BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Kehilangan Berat, Kerusakan Luas Bidang Permukaan dan Intensitas Serangan pada Contoh Uji yang Diawetkan secara Rendaman Dingin di
Dua Lokasi Percobaan
4.1.1 Kehilangan Berat Kayu
Rata-rata persentase kehilangan berat contoh uji di dua lokasi percobaan yang berbeda permukiman dan arboretum disajikan pada Gambar 3 dan 4. Hasil
lengkap perhitungan disajikan pada Lampiran 1 dan 2.
Gambar 3 Persentase kehilangan berat kayu hasil rendaman dingin di permukiman.
Dari Gambar 3 diketahui bahwa kayu awetan petai berkonsentrasi 10 memiliki persentase kehilangan berat tertinggi 59,40, sedangkan kayu awetan
sengon 10 memiliki persentase kehilangan berat terendah 3,64. Dibandingkan dengan kayu pinus kontrol, secara keseluruhan diketahui pula
bahwa kayu awetan petai, manii dan karet ternyata kurang tahan terhadap serangan faktor perusak. Kayu awetan sengon malah lebih tahan. Rata-rata
kehilangan berat kayu awetan sengon 7,03 sedangkan rata-rata kehilangan berat kayu kontrol 8,36.
Berbeda halnya dengan yang di permukiman Gambar 3, dari Gambar 4 diketahui bahwa keempat jenis kayu yang diteliti sengon, petai, manii dan karet,
meskipun sudah diawetkan ternyata semuanya tidak tahan terhadap serangan faktor perusak dibandingkan dengan kayu pinus kontrol. Rata-rata kehilangan
berat masing-masing jenis kayu yang diteliti pada semua tingkat konsentrasi bahan pengawet lebih tinggi dibandingkan dengan kontrolnya. Rata-rata
kehilangan berat kayu kontrol sebesar 6,07, sedangkan rata-rata kehilangan berat kayu awetan sengon, petai, manii dan karet berturut-turut adalah 25,62,
31,83, 44,13 dan 53,98. Selanjutnya diketahui pula bahwa kayu awetan yang dikubur di arboretum mengalami rata-rata kehilangan berat yang lebih tinggi
untuk jenis yang sama, kecuali pada kayu awetan petai. Kehilangan berat kayu awetan sengon, manii dan karet di permukiman berturut-turut hanya 7,03,
20,52 dan 39,04. Kehilangan berat kayu awetan petai relatif sama antara yang di permukiman dengan yang di arboretum 34,02 berbanding 31,83.
Gambar 4 Persentase kehilangan berat kayu hasil rendaman dingin di arboretum. Dari Gambar 3 dan 4 juga dapat diketahui bahwa kehilangan berat pada
masing-masing jenis kayu awetan di dua lokasi penelitian tidak memperlihatkan adanya suatu pola yang konsisten terkait dengan meningkatnya konsentrasi larutan
bahan pengawet, kecuali pada kayu awetan petai. Pola kehilangan berat pada kayu yang sesuai dengan teori, yaitu semakin tinggi konsentrasi bahan pengawet akan
semakin rendah kehilangan beratnya, hanya terdapat pada kayu awetan sengon di arboretum.
Hasil analisis sidik ragam atau ANOVAnya Lampiran 13 menunjukkan bahwa kehilangan berat contoh uji hanya dipengaruhi oleh faktor tunggal yaitu
jenis kayu, konsentrasi larutan bahan pengawet dan lokasi pengujian, sedangkan interaksinya tidak berpengaruh nyata. Hasil uji lanjut Duncan Lampiran 14
menunjukkan bahwa kehilangan berat kayu awetan karet sebanding dengan yang terjadi pada kayu awetan petai dan manii. Ketiganya berbeda dibandingkan
dengan kehilangan berat kayu awetan sengon. Rata-rata kehilangan berat pada kayu awetan petai, manii dan karet berturut-turut adalah 32,93, 32,32 dan
46,51, sedangkan pada kayu awetan sengon hanya 16,33 Gambar 5.
Gambar 5 Rata-rata kehilangan berat berdasarkan jenis kayu. Pengaruh jenis kayu terhadap persentase kehilangan berat dapat
dimaklumi karena masing-masing jenis kayu memiliki karakteristik yang berbeda. Dalam penelitian ini, perbedaan nilai kehilangan berat antar jenis kayu lebih
disebabkan oleh adanya perbedaan tingkat keterawetan kayu karena keempat jenis kayu yang diteliti memiliki kelas awet yang relatif sama, yaitu Kelas Awet IV
manii, IV-V sengon dan petai, serta V-IV karet. Meskipun kelas awetnya sama, ketahanan kayu terhadap serangan faktor perusak akan berbeda apabila
tingkat keterawetannya berbeda. Inilah sebabnya mengapa kehilangan berat pada kayu awetan sengon paling rendah dibandingkan dengan ketiga jenis kayu
lainnya. Kayu sengon tergolong kayu yang mudah diawetkan tingkat keterawetannya sedang, sedangkan petai, manii dan karet tergolong sulit hingga
agak sulit diawetkan Abdurrohim et al. 2004; Martawijaya et al. 2005.
Gambar 6 memperlihatkan pengaruh konsentrasi larutan bahan pengawet terhadap persentase kehilangan berat contoh uji. Konsentrasi 10 menghasilkan
kehilangan berat tertinggi 37,90, kemudian diikuti oleh konsentrasi 5 34,62, dan yang paling rendah adalah konsentrasi 15 23,55. Berdasarkan
uji Duncan Lampiran 14, pengaruh konsentrasi 10 relatif sama dengan pengaruh konsentrasi 5 dan pengaruh konsentrasi 5 relatif sama dengan
pengaruh konsentrasi 15, tetapi pengaruh konsentrasi 10 berbeda nyata dibandingkan dengan pengaruh konsentrasi 15. Dengan kata lain, konsentrasi
larutan bahan pengawet 5 sama pengaruhnya dengan konsentrasi 10 maupun 15 terhadap persentase kehilangan berat contoh uji.
Gambar 6 Rata-rata kehilangan berat berdasarkan konsentrasi. Pengaruh konsentrasi larutan bahan pengawet terhadap persentase
kehilangan berat hasil penelitian ini sesuai dengan teori yang berlaku dimana semakin tinggi konsentrasi akan semakin rendah pula persentase kehilangan berat.
Semakin tinggi konsentrasi larutan bahan pengawet, peluang terjadinya penetrasi yang dalam dan retensi yang lebih banyak akan semakin besar sehingga kayu
menjadi lebih tahan terhadap serangan faktor perusak. Menurut Hunt dan Garrat 1986, meski penetrasi tidak selalu berkolerasi dengan retensi, penetrasi yang
dalam cenderung meningkatkan nilai retensi sehingga kayu menjadi lebih awet. Namun demikian, mengingat harga bahan pengawet yang relatif mahal, maka
penggunaan larutan bahan pengawet dengan konsentrasi 5 sangat disarankan. Gambar 7 memperlihatkan pengaruh perbedaan lokasi pengujian terhadap
persentase kehilangan berat contoh uji. Rata-rata kehilangan berat contoh uji yang
dikubur di arboretum lebih tinggi 38,89 dibandingkan dengan yang dikubur di permukiman 25,15. Perbedaan ini diduga terkait dengan perbedaan intensitas
serangan dan atau perbedaan jenis serta jumlah faktor perusak yang ada di masing-masing lokasi akibat kondisi lingkungan yang berbeda. Menurut
Tarumingkeng 1993; Nandika et al. 2003, aktifitas manusia dapat menyebabkan terganggunya ketenteraman dan kenyamanan hidup rayap serta
perusak biologis kayu lainnya. Lebih beragamnya jenis dan jumlah faktor perusak yang ada di arboretum dibandingkan dengan yang ada di permukiman serta
tingginya intensitas serangan faktor perusak tersebut diduga merupakan faktor penyebab.
Gambar 7 Rata-rata kehilangan berat berdasarkan lokasi pengujian. Tabel 4 dan 5 memuat perbandingan kelas awet kayu sebelum dikubur
keawetan alami dan setelah dikubur berdasarkan rata-rata persentase kehilangan berat contoh uji di dua lokasi. Data yang tersaji membuktikan bahwa persentase
kehilangan berat contoh uji yang dikubur di arboretum secara umum lebih tinggi dibandingkan dengan yang dikubur di permukiman kecuali kayu sengon. Kondisi
arboretum yang lebih tenang karena tidak banyak gangguan manusia merupakan habitat ideal bagi berbagai jenis faktor biologis perusak kayu.
A
Tabel 4
Kelas awet kayu hasil rendaman dingin setelah uji kubur di permukiman
Jenis Kayu
Kehilangan Berat Keawetan
Alami Kelas Awet
Setelah Uji Kubur 5
10 15
5 10
15
Sengon 8,03
3,64 9,43
IV-V III
III III
Petai 31,03
59,40 11,63
IV-V V
V IV
Manii 16,90
28,15 16,51
IV IV
V IV
Karet 39,37
46,37 31,38
V-IV V
V V
Tabel 5
Kelas awet kayu hasil rendaman dingin setelah uji kubur di arboretum
Jenis Kayu
Kehilangan Berat Keawetan
Alami Kelas Awet
Setelah Uji Kubur 5
10 15
5 10
15
Sengon 40,27
22,40 14,20
IV-V V
IV IV
Petai 33,90
50,38 11,22
IV-V V
V IV
Manii 50,41
51,12 30,85
IV V
V V
Karet 57,04
41,76 63,14
V-IV V
V V
Gambar 8 memperlihatkan kondisi contoh uji sebelum dan sesudah dikubur di masing-masing lokasi pengujian.
Gambar 8 Kondisi sebelum dan sesudah dikubur di permukiman A dan B dan di arboretum C dan D.
4.1.2 Kerusakan Luas Bidang Permukaan
Rata-rata persentase kerusakan luas bidang permukaan untuk selanjutnya ditulis kerusakan LBP di permukiman maupun di arboretum disajikan pada
Gambar 9 dan 10. Data lengkap hasil perhitungan disajikan pada Lampiran 3 dan 4.
A B
C D
Gambar 9 Persentase kerusakan LBP hasil rendaman dingin di permukiman. Gambar 9 diketahui bahwa kayu awetan karet berkonsentrasi 10
mengalami kerusakan LBP yang tertinggi 98,42, sedangkan kayu awetan sengon 15 memiliki kerusakan LBP terendah 0,83. Dibandingkan dengan
kayu pinus kontrol, secara keseluruhan diketahui pula bahwa kayu awetan petai, manii dan karet meskipun telah diawetkan ternyata masih kurang tahan terhadap
serangan faktor perusak. Kayu awetan sengon pada semua tingkat konsentrasi dan kayu awetan manii berkonsentrasi 15 malah lebih tahan. Rata-rata
kerusakan LBP kayu awetan sengon 1,92, sedangkan pada kayu awetan manii 15 adalah 1,08. Rata-rata kerusakan LBP pada kayu kontrol 10,50.
Gambar 9 juga memperlihatkan bahwa kayu awetan karet dengan konsentrasi larutan bahan pengawet yang berbeda memiliki nilai kerusakan LBP
yang hampir sama, berturut-turut sebesar 98,33 konsentrasi 5, 98,42 konsentrasi 10 dan 98,17 konsentrasi 15. Keadaan ini terkait dengan
kelas awet dan keterawetan kayu karet. Dengan Kelas Awet V-IV dan keterawetan yang tergolong sulit Wahyudi et al. 2007, maka kayu awetan karet
tetap mudah diserang oleh faktor biologis perusak kayu.
Gambar 10 Persentase kerusakan LBP hasil rendaman dingin di Arboretum. Berbeda dari Gambar 9, dari Gambar 10 diketahui bahwa kayu awetan
karet pada ketiga tingkat konsentrasi, kayu awetan manii 5 dan 15, kayu awetan petai 5 dan 10 serta kayu awetan sengon 5 memiliki kerusakan LBP
yang lebih tinggi dibandingkan kontrolnya. Kerusakan LBP kayu awetan petai 15 serta kayu awetan sengon dengan 10 dan 15 berturut-turut sebesar
19,33, 5,33 dan 6,17. Kerusakan LBP kayu awetan manii 10 tidak jauh berbeda dibandingkan dengan kerusakan LBP kayu pinus kontrol, yaitu 35,42
berbanding 38,50. Hasil analisis sidik ragam atau ANOVA pada Lampiran 15 menunjukkan
bahwa persentase kerusakan LBP dipengaruhi oleh jenis kayu, konsentrasi larutan bahan pengawet, lokasi pengujian, interaksi antara kayu dan konsentrasi serta
interaksi antara konsentrasi dan lokasi. Hasil uji lanjut Duncannya Lampiran 16 dan Gambar 11 menunjukkan bahwa kerusakan LBP kayu awetan petai 10
setara dengan kerusakan LBP pada semua tingkat interaksi antara jenis kayu dan konsentrasi bahan pengawet, kecuali pada kayu awetan manii 10 dan sengon
pada seluruh tingkat konsentrasi. Kerusakan LBP kayu awetan karet 10 dan 15 berbeda nyata dengan kerusakan LBP kayu awetan manii 5 dan 10 serta
sengon pada seluruh tingkat konsentrasi. Kerusakan LBP tertinggi 98,88 terdapat pada kayu awetan karet 15, sedangkan yang terendah pada kayu awetan
sengon dengan konsentrasi 15 3,50.
Gambar 11 Rata-rata kerusakan LBP berdasarkan interaksi antara jenis kayu dan konsentrasi larutan bahan pengawet.
Perbedaan kerusakan LBP sebagaimana di atas dipastikan ada hubungannya dengan perbedaan struktur anatomi penyusun masing-masing jenis
kayu karena langsung maupun tidak langsung akan mempengaruhi keterawetan kayu. Disini kerapatan kayu relatif tidak ada pengaruhnya karena kayu dengan
kerapatan yang sama menghasilkan persentase kerusakan LBP yang berbeda. Rata-rata kerapatan kayu sengon, petai, manii dan karet yang diteliti berturut-turut
adalah 0,33 gcm
3
, 0,59 gcm
3
, 0,35 gcm
3
dan 0,58 gcm
3
Rahayu et al. 2009.
Gambar 12 menunjukkan pengaruh perbedaan lokasi pengujian pada masing-masing tingkat konsentrasi larutan bahan pengawet terhadap kerusakan
LBP. Hasil uji lanjut Duncannya menunjukkan bahwa konsentrasi 5 di arboretum berbeda nyata dengan konsentrasi 10 dan 15 di arboretum serta
konsentrasi 5 dan 15 di permukiman. Konsentrasi 10 di permukiman sebanding dengan konsentrasi 10 dan 15 di arboretum serta konsentrasi 5
dan 15 di permukiman. Dari Gambar 12 diketahui bahwa interaksi antara konsentrasi larutan
bahan pengawet dan lokasi memberikan hasil yang berbeda. Pada konsentrasi 5, kerusakan LBP contoh uji yang dikubur di arboretum dua kali lebih besar
dibandingkan dengan yang dikubur di permukiman 95,69 berbanding 41,13. Pada konsentrasi 10 dan 15, perbedaan itu tidak begitu besar, dan
memperlihatkan hasil yang saling berlawanan: pada konsentrasi 10, kerusakan
LBP contoh uji yang dikubur di permukiman lebih banyak, sedangkan untuk konsentrasi 15, kerusakan LBP contoh uji yang dikubur di permukiman lebih
sedikit dibandingkan dengan yang dikubur di arboretum.
Gambar 12 Rata-rata kerusakan LBP kayu berdasarkan interaksi antara konsentrasi larutan bahan pengawet dan lokasi pengujian.
Rata-rata kerusakan LBP tertinggi berdasarkan interaksi antara konsentrasi larutan bahan pengawet dan lokasi adalah 95,69 konsentrasi 5 di arboretum,
sedangkan yang terendah adalah 32,60 konsentrasi 15 di permukiman. Secara keseluruhan dapat diketahui bahwa kerusakan LBP pada contoh uji
yang dikubur di arboretum cenderung berkurang dengan meningkatnya konsentrasi larutan bahan pengawet, sedangkan di lokasi permukiman
berfluktuasi. Kerusakan LBP yang dikubur di permukiman meningkat dengan meningkatnya konsentrasi larutan bahan pengawet 5 ke 10, namun
kemudian cenderung berkurang dengan meningkatnya konsentrasi larutan bahan pengawet 10 ke 15.
Gambar 13 memperlihatkan kerusakan LBP contoh uji di masing-masing lokasi pengujian.
Gambar 13 Kerusakan LBP contoh uji di permukiman A dan B dan di
arboretum C dan D. A
B C
D
4.1.3 Intensitas Serangan
Rata-rata nilai intensitas serangan di dua lokasi percobaan yang berbeda permukiman dan arboretum disajikan pada Gambar 14 dan 15. Data lengkap
hasil perhitungan disajikan pada Lampiran 5 dan 6.
Gambar 14 Nilai intensitas serangan kayu hasil rendaman dingin di permukiman. Dari Gambar 14 diketahui bahwa intensitas serangan faktor biologis
perusak kayu terhadap kayu karet pada semua tingkat konsentrasi larutan bahan pengawet boron, maupun pada kayu awetan petai dan manii pada konsentrasi 10
tergolong tinggi, yang dibuktikan dengan hancurnya contoh uji nilai = 0. Contoh uji lainnya termasuk kontrol relatif utuh nilai = 6-10, yang menandakan bahwa
intensitas serangan terhadap kayu kontrol tergolong rendah: tidak ada serangan kecuali 1-2 buah lubang gerek kecil dan penetrasi faktor perusak hanya 30-50
dari luas penampang permukaan contoh uji. Sama halnya dengan yang di permukiman, intensitas serangan terhadap
kayu awetan karet pada konsentrasi 5 dan 15, kayu sengon dan manii 5 serta kayu awetan petai 5 dan 10, tergolong tinggi dimana contoh ujinya hancur
Gambar 15. Contoh uji lainnya termasuk kontrol relatif utuh, yang menandakan bahwa intensitas serangan tergolong sedang hingga rendah nilai = 4-8. Secara
keseluruhan intensitas serangan tertingi lebih banyak terjadi pada contoh uji yang dikubur di permukiman daripada di arboretum. Hal ini merupakan petunjuk bahwa
jenis faktor biologis perusak yang ada di dua lokasi pengujian adalah berbeda.
Gambar 15 Intensitas serangan kayu hasil rendaman dingin di arboretum. Hasil analisis sidik ragamnya Lampiran 17 menunjukkan bahwa jenis
kayu, konsentrasi larutan bahan pengawet, lokasi pengujian, serta interaksi antara kayu dan konsentrasi, maupun interaksi antara konsentrasi dan lokasi pengujian
mempengaruhi intensitas serangan. Hasil lanjut Duncan Lampiran 18 dan Gambar 16 menunjukkan bahwa intensitas serangan pada kayu awetan sengon
dengan konsentrasi 10 dan 15 berbeda nyata dibandingkan dengan intensitas serangan terhadap kayu awetan sengon 5, maupun terhadap kayu awetan manii
5 dan 10, kayu awetan petai 5 dan 10, dan kayu awetan karet semua tingkat konsentrasi. Intensitas serangan pada kayu manii dan petai konsentrasi
15 berbeda nyata dengan intensitas serangan pada kayu awetan manii dan petai 5 dan 10, serta kayu awetan karet semua tingkat konsentrasi.
Intensitas serangan tertinggi terdapat pada kayu awetan karet 5 dan 15, sedangkan
intensitas serangan terendah pada kayu awetan sengon yang diawetkan dengan bahan pengawet berkonsentrasi 15.
Gambar 16 Rata-rata nilai intensitas serangan berdasarkan interaksi antara jenis kayu dan konsentrasi larutan bahan pengawet.
Perbedaan nilai intensitas serangan berhubungan dengan perbedaan kelas awet kayu setelah diawetkan dimana kelas awet tersebut dipengaruhi oleh struktur
anatomi penyusun kayu khususnya tingkat keterawetan kayu. Itulah sebabnya kayu karet meskipun sudah diawetkan masih disukai oleh faktor biologis perusak
kayu karena sulit diawetkan. Menurut Martawijaya dan Barly 1982, selain ditentukan oleh teknik pengawetan dan bahan pengawet yang digunakan,
keberhasilan suatu proses pengawetan juga ditentukan oleh jenis dan kondisi kayu.
Intensitas serangan juga terkait dengan nilai kerusakan LBP contoh uji. Semakin tinggi persentase kerusakan LBP, akan semakin tinggi pula intensitas
serangan. Tingginya intensitas serangan akan menghasilkan nilai scoring yang semakin rendah.
Hasil lanjut Duncan juga menunjukkan bahwa konsentrasi 15 di permukiman berbeda nyata dengan konsentrasi 10 di permukiman dan 5 di
arboretum. Konsentrasi 10 dan 15 di arboretum berbeda nyata dengan konsentrasi 5 di arboretum. Gambar 17 menunjukkan pengaruh perbedaan
lokasi pengujian pada masing-masing tingkat konsentrasi larutan bahan pengawet terhadap intensitas serangan. Secara keseluruhan, derajat intensitas serangan
tertinggi terjadi di arboretum pada konsentrasi 5 nilai = 0, sedangkan yang terendah di permukiman pada konsentrasi 15 nilai = 6,75. Dengan demikian
maka konsentrasi larutan sebesar 15 merupakan konsentrasi yang paling efektif mencegah serangan faktor biologis perusak kayu yang ada di kedua lokasi
pengujian.
Gambar 17 Rata-rata nilai intensitas serangan berdasarkan interaksi antara konsentrasi larutan bahan pengawet dan lokasi pengujian.
Rata-rata nilai intensitas di lokasi arboretum sesuai dengan teori dimana seiring meningkatnya bahan pengawet maka nilai intensitas serangan semakin
tinggi kayu relatif utuh. Dengan kata lain, semakin tinggi nilai intensitas semakin tahan kayu terhadap serangan oleh faktor biologis perusak kayu.
Efektifnya konsentrasi 15 dibandingkan dengan konsentrasi 5 dan 10 disebabkan oleh nilai retensi dan penetrasinya yang lebih tinggi. Menurut
Djauhari 2012, rata-rata retensi dan penetrasi senyawa boron pada masing- masing konsentrasi berturut-turut adalah 1,64 kgm
3
dan 18,69 konsentrasi 5, 3,58 kgm
3
dan 39,07 konsentrasi 10 serta 6,40 kgm
3
dan 98,14 konsentrasi 15. Ditambah pula dengan curah hujan yang tinggi 151-300 mm
saat pengujian berlangsung Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika 2011 sehingga boron yang ada pada kayu-kayu awetan 5 dan 10 lebih mudah
tercuci sehingga kayu mudah diserang oleh faktor biologis perusak dibandingkan dengan kayu awetan berkonsentrasi 15.
Gambar 18 memperlihatkan kondisi contoh uji setelah di serang oleh faktor biologis perusak kayu yang ada di masing-masing lokasi pengujian.
Gambar 18 Perbedaan intensitas serangan terhadap contoh uji di permukiman A
dan B dan di arboretum C dan D. 4.2 Kehilangan Berat, Kerusakan Luas Bidang Permukaan dan Intensitas
Serangan pada Contoh Uji yang Diawetkan secara Fumigasi di Dua Lokasi Percobaan
4.2.1 Kehilangan Berat Kayu
Rata-rata persentase kehilangan berat contoh uji kayu yang sudah difumigasi dengan amonia di dua lokasi percobaan permukiman dan arboretum
disajikan pada Gambar 19 dan 20. Hasil lengkap perhitungan disajikan pada Lampiran 7 dan 8.
Gambar 19 Persentase kehilangan berat kayu hasil fumigasi di permukiman.
B A
C D
Gambar 20 Persentase kehilangan berat kayu hasil fumigasi di arboretum. Dari Gambar 19 diketahui bahwa kayu petai yang difumigasi dengan
amonia 10 l memiliki persentase kehilangan berat tertinggi 90,05, sedangkan kayu sengon yang difumigasi dengan amonia 2 l memiliki persentase kehilangan
berat terendah 6,68. Dibandingkan dengan kayu pinus kontrol, secara keseluruhan diketahui bahwa semua kayu, selain sengon yang difumigasi dengan
2 l amonia, walaupun sudah difumigasi ternyata masih dapat diserang atau tidak tahan terhadap serangan faktor perusak. Rata-rata kehilangan berat kayu sengon,
petai, manii dan karet berturut-turut adalah sebesar 38,86, 63,33, 70,57 dan 62,20, sedangkan rata-rata kehilangan berat kayu kontrolnya hanya 8,36.
Sama halnya dengan Gambar 19, dari Gambar 20 dapat diketahui bahwa secara umum semua jenis kayu yang diteliti sengon, petai, manii dan karet yang
difumigasi dengan amonia tidak tahan terhadap serangan faktor perusak dibandingkan dengan kayu pinus kontrol, kecuali kayu sengon dan manii yang
difumigasi dengan amonia 4 l karena persentase kehilangan beratnya lebih tinggi dibandingkan dengan kayu kontrol. Rata-rata kehilangan berat kayu kontrol
sebesar 6,07, sedangkan rata-rata kehilangan berat kayu sengon, petai, manii dan karet masing-masing adalah sebesar 34,70, 69,02, 28,33 dan 37,26.
Dibandingkan dengan yang dikubur di arboretum Gambar 20, ternyata kayu- kayu yang dikubur di permukiman mengalami rata-rata kehilangan berat yang
lebih tinggi. Terkait dengan meningkatnya volume amonia, diketahui juga bahwa
kehilangan berat masing-masing jenis kayu di dua lokasi penelitian tidak memperlihatkan suatu pola yang konsisten Gambar 19 dan 20.
Hasil analisis sidik ragam atau ANOVA Lampiran 19 memperlihatkan bahwa kehilangan berat contoh uji dipengaruhi oleh jenis kayu, volume amonia,
lokasi pengujian, interaksi antara jenis kayu dan lokasi pengujian, serta interaksi antara jenis kayu, volume dan lokasi pengujian. Uji lanjut Duncan Lampiran 20
dan Gambar 21 menunjukkan bahwa kehilangan berat kayu manii yang dikubur di permukiman, kayu petai yang dikubur di permukiman maupun di arboretum, serta
kayu karet yang dikubur di permukiman ketiganya berbeda nyata dengan kehilangan berat kayu sengon yang dikubur di permukiman maupun di arboretum
serta kayu manii dan karet yang dikubur di arboretum. Kehilangan berat kayu manii di permukiman sebanding dengan kehilangan berat kayu petai yang dikubur
di arboretum dan di permukiman serta kayu karet yang dikubur di permukiman. Kehilangan berat kayu sengon yang dikubur di permukiman juga sebanding
dengan kehilangan berat kayu sengon, manii dan karet yang dikubur di arboretum. Kehilangan berat tertinggi 70,57 terdapat pada kayu manii yang dikubur di
permukiman, sedangkan yang terendah pada kayu sengon yang dikubur di arboretum 23,89.
Gambar 21 Rata-rata kehilangan berat berdasarkan interaksi antara jenis kayu dan lokasi pengujian.
Secara keseluruhan dapat dikatakan bahwa kayu sengon yang sudah difumigasi relatif lebih tahan terhadap serangan faktor perusak kayu dibandingkan
dengan ketiga jenis kayu yang diteliti, baik di permukiman maupun di arboretum Gambar 21. Kehilangan berat kayu sengon baik yang dikubur di permukiman
maupun di arboretum merupakan nilai terendah, berturut-turut sebesar 39,38
dan 23,89. Berbeda dengan kayu yang diawetkan dengan boron, ternyata kayu yang difumigasi lebih tahan terhadap serangan faktor biologis perusak kayu yang
ada di arboretum. Ini menandakan bahwa amonia tidak disukai oleh faktor perusak yang ada diarboretum, sedangkan faktor perusak yang ada di permukiman
tidak terpengaruh dengan adanya amonia. Ini memperkuat dugaan bahwa jenis perusak biologis yang ada di dua lokasi penelitian adalah berbeda.
Gambar 22 memperlihatkan rata-rata kehilangan berat berdasarkan interaksi antara jenis kayu, volume amonia dan lokasi penelitian. Dari Gambar 22
diketahui bahwa kehilangan berat kayu petai yang difumigasi dalam amonia 8 l dan 10 l serta kayu manii dalam amonia 2 l yang dikubur di permukiman berbeda
nyata dengan kehilangan berat kayu sengon yang difumigasi dalam amonia 2 l, 4 l, 6 l, 8 l, dan 10 l dan dikubur di arboretum, juga dengan kayu sengon 2 l, 4 l, dan
8 l yang dikubur di permukiman, maupun dengan kayu manii 2 l, 4 l, 6 l, dan 8 l di arboretum serta dengan kayu karet 2 l, 4 l dan 6 l yang dikubur di arboretum.
Kehilangan berat kayu sengon yang difumigasi dalam 6 l amonia dan dikubur di permukiman, kayu petai 4 l dan 6 l di arboretum, dan kayu karet 6 l di lokasi
permukiman berbeda nyata dengan kehilangan berat kayu sengon 2 l, 4 l dan 6 l yang dikubur di arboretum, kayu sengon 2 l dan 4 l di permukiman, kayu manii 2 l
dan 4 l di arboretum, serta dengan kayu karet 2 l dan 4 l yang dikubur di arboretum. Kehilangan berat kayu petai 2 l dan 8 l yang dikubur di arboretum,
kayu manii 8 l di permukiman serta kayu karet 8 l dan 10 l di permukiman berbeda nyata dengan kehilangan berat kayu sengon yang difumigasi dalam
amonia 2 l dan dikubur di permukiman, kayu sengon 2 l dan 4 l di arboretum, kayu manii 4 l dan 6 l di arboretum serta kayu karet 4 l di permukiman.
Kehilangan berat kayu petai yang difumigasi dalam amonia 6 l dan dikubur di permukiman serta kayu karet 2 l di permukiman berbeda nyata dengan kehilangan
berat kayu sengon yang difumigasi dalam amonia 4 l dan dikubur di arboretum serta kayu manii 4 l di arboretum. Kehilangan berat kayu petai yang difumigasi
dalam amonia 8 l dan 10 l serta kayu manii 2 l di permukiman berbeda nyata dengan kehilangan berat kayu sengon dan manii 4 l di arboretum. Kehilangan
berat kayu petai 2 l dan 4 l di permukiman, kayu karet 4 l di permukiman dan
kayu karet 8 l di arboretum tidak berbeda nyata dengan kehilangan berat semua kombinasi lainnya.
Gambar 22 Rata-rata kehilangan berat berdasarkan interaksi antara jenis kayu, volume dan lokasi.
Secara umum dapat disebutkan bahwa kehilangan berat tidak menunjukkan adanya suatu pola yang konsisten seiring dengan meningkatnya
volume amonia pada setiap lokasi. Rata-rata kehilangan berat tertinggi terjadi pada kayu manii yang dikubur di permukiman 70,57. Nilai ini tidak jauh
berbeda dengan kehilangan berat kayu petai di permukiman 63,33 maupun di arboretum 69,02, serta dengan kayu karet di permukiman 62,20.
Persentase kehilangan berat terendah terdapat pada kayu sengon yang dikubur di arboretum 23,89. Semua jenis kayu yang difumigasi dengan amonia relatif
masih tidak tahan terhadap organisme perusak kayu dibandingkan dengan kayu kontrolnya. Kehilangan berat kayu kontrol di permukiman dan di arboretum
masing-masing sebesar 8,36 dan 6,07. Selain diakibatkan oleh perbedaan jenis faktor biologis perusak yang ada
di masing-masing lokasi pengujian, perbedaan nilai kehilangan berat kayu diduga juga terkait dengan perbedaan struktur anatomi penyusun masing-masing jenis
kayu yang akan mempengaruhi tingkat keterawetan dan kelas awet kayu setelah kayu difumigasi. Banyak-sedikitnya gas amonia yang masuk ke dalam kayu
sangat menentukan ketahanan kayu terhadap serangan faktor biologis perusak. Hal ini diperkuat oleh data pada Tabel 6 dan 7 dimana hampir semua kayu yang
telah difumigasi memiliki kelas awet yang lebih rendah dibandingkan keawetan alaminya. Ini menandakan bahwa amonia tidak berikatan dengan komponen
dinding sel kayu namun hanya terdapat di dalam rongga sel kayu terutama rongga sel pembuluh pori-pori. Semakin kecil diameter rongga pori-pori kayu maka
akan semakin sedikit pula volume amonia yang masuk. Kondisi ini diperparah dengan sifat amonia yang mudah menguap.
Tabel 6 Kelas awet kayu hasil fumigasi setelah uji kubur di permukiman
Jenis Kayu
Kehilangan Berat Keawetan
Alami Kelas Awet Setelah Uji kubur
2 l 4 l
6 l 8 l
10 l 2 l
4 l 6 L
8 l 10 l
Sengon 6,68
16,85 76,57 35,43 48,75 IV - V
III IV
V V
V Petai
45,55 47,03 52,39 81,62 90,05 IV
V V
V V
V Manii
82,63 80,74 64,24 70,35 54,89 IV
V V
V V
V Karet
53,72 43,25 74,27 67,72 72,06 IV - V
V V
V V
V
Tabel 7 Kelas awet kayu hasil fumigasi setelah uji kubur di arboretum
Jenis Kayu
Kehilangan Berat Keawetan
Alami Kelas Awet Setelah Uji kubur
2 l 4 l
6 l 8 l
10 l 2 l
4 l 6 l
8 l 10 l
Sengon 77,03
4,22 25,61 36,66 30,00
IV - V V
II V
V V
Petai 69,94 74,66 73,78
68,7 58,00
IV V
V V
V V
Manii 25,39
3,69 14,14 32,64 65,79
IV V
II IV
V V
Karet 19,93 10,25 33,12 44,88 78,14
IV - V V
III V
V V
Gambar 23 memperlihatkan kehilangan berat contoh uji sebelum dan sesudah dikubur di masing-masing lokasi pengujian.
Gambar 23 Kehilangan berat contoh uji di permukiman A dan B dan di arboretum C dan D.
A B
C D
4.2.2 Kerusakan Luas Bidang Permukaan
Rata-rata persentase kerusakan luas bidang permukaan kerusakan LBP di dua lokasi pengujian disajikan pada Gambar 24 dan 25. Data lengkap hasil
perhitungan disajikan pada Lampiran 9 dan 10. Dari Gambar 24 diketahui bahwa kayu karet yang difumigasi dengan
amonia 6 l mengalami kerusakan LBP yang tertinggi 99,25, sedangkan kayu sengon yang difumigasi dengan amonia 2 l mengalami kerusakan LBP yang
terendah 23,75. Dibandingkan dengan kayu pinus kontrol diketahui bahwa semua kayu yang diteliti meskipun sudah difumigasi ternyata masih kurang tahan
terhadap faktor perusak. Rata-rata kerusakan LBP kayu kontrol 10,50. Secara keseluruhan diketahui pula bahwa meskipun kerusakan LBP pada
semua jenis kayu yang diteliti dan pada setiap volume amonia yang diberikan lebih besar dibandingkan kerusakan LBP kontrolnya, persentase kerusakan LBP
tidak berhubungan dengan peningkatan volume amonia. Rata-rata kerusakan LBP kayu sengon, petai, manii dan karet secara keseluruhan berturut-turut adalah
71,43, 89,95, 94,83 dan 89,42. Keadaan ini terkait dengan tingkat keterawetan dan kelas awet kayu setelah kayu difumigasi. Dengan keterawetan
yang sulit dan kelas awet dari rendah sampai sangat rendah, maka kayu yang sudah difumigasi pun akan dapat dengan mudah diserang oleh faktor biologis
perusak kayu.
Gambar 24 Persentase kerusakan LBP hasil fumigasi di permukiman. Gambar 25 memperlihatkan rata-rata persentase kerusakan LBP kayu yang
telah difumigasi dan dikubur di arboretum.
Gambar 25 Persentase kerusakan LBP hasil fumigasi di arboretum. Dari Gambar 25 diketahui bahwa kerusakan LBP kayu petai yang
difumigasi dengan amonia 4 l merupakan kerusakan LBP yang tertinggi 99,08, sedangkan kerusakan LBP kayu sengon yang difumigasi dengan amonia 4 l
merupakan kerusakan LBP yang terendah 22,25. Kayu sengon dan karet yang difumigasi dengan amonia 4 l serta kayu manii yang difumigasi dengan amonia 6
l mengalami kerusakan LBP yang lebih rendah dibandingkan kayu kontrol. Kerusakan LBP kayu sengon dan karet 4 l masing-masing sebesar 22,5 dan
31,92, sedangkan kerusakan LBP kayu manii 6 l sebesar 26,08. Kerusakan LBP kayu pinus kontrol adalah 38,50.
Secara keseluruhan diketahui bahwa rata-rata kerusakan LBP pada semua jenis kayu yang diteliti lebih tinggi dibandingkan kerusakan LBP kayu kontrol.
Rata-rata kerusakan LBP hasil penelitian ini adalah 47,10 sengon, 98,15 petai, 49,18 manii dan 58,25 karet. Kerusakan LBP kayu petai tidak
dipengaruhi oleh volume amonia yang digunakan, sedangkan pada sengon, manii dan karet, kerusakan LBP berfluktuasi menurut volume amonia dan tidak
konsisten.
Hasil analisis sidik ragam atau ANOVA Lampiran 21 menunjukkan bahwa kerusakan LBP dipengaruhi oleh jenis kayu, lokasi pengujian dan interaksi
antara jenis kayu dan lokasi. Hasil uji lanjut Duncan Lampiran 22 dan Gambar 26 memperlihatkan bahwa kerusakan LBP kayu petai yang dikubur di arboretum
dan kayu manii yang dikubur di permukiman berbeda nyata dengan kerusakan LBP kayu sengon yang dikubur di permukiman maupun di arboretum serta kayu
karet, manii, dan sengon yang dikubur di arboretum. Kerusakan LBP kayu petai dan karet yang dikubur di permukiman berbeda nyata dengan kerusakan LBP
kayu sengon, manii dan karet yang dikubur di arboretum. Kerusakan LBP kayu petai yang dikubur di arboretum dan kayu manii di permukiman tidak berbeda
nyata dibandingkan dengan kerusakan LBP kayu petai dan karet yang dikubur di permukiman. Selanjutnya diketahui pula bahwa kerusakan LBP kayu petai dan
karet yang dikubur di permukiman tidak berbeda nyata dibandingkan dengan kerusakan LBP kayu sengon yang di permukiman. Kerusakan LBP kayu sengon
di permukiman juga tidak berbeda nyata dengan kerusakan LBP kayu karet yang di arboretum. Kerusakan LBP kayu karet di arboretum tidak berbeda nyata
dengan kerusakan LBP kayu manii yang di arboretum.
Gambar 26 Rata-rata kerusakan LBP berdasarkan interaksi antara jenis kayu dan lokasi pengujian.
Dari Gambar 26 juga diketahui bahwa kerusakan LBP kayu sengon, manii dan karet yang dikubur di permukiman lebih besar dibandingkan dengan yang
dikubur di arboretum, sedangkan pada kayu petai relatif sama. Rata-rata nilai kerusakan LBP tertinggi berdasarkan interaksi antara jenis kayu dan lokasi
pengujian adalah 98,15 petai di arboretum, sedangkan yang terendah adalah 47,10 sengon di arboretum.
Perbedaan nilai kerusakan LBP di atas juga terkait dengan perbedaan macam atau jenis faktor biologis perusak kayu yang ada di dua lokasi serta
perbedaan struktur anatomi penyusun kayu. Perbedaan dalam hal struktur anatomi kayu akan mengakibatkan perbedaan jumlah amonia yang masuk dan atau yang
bereaksi dengan komponen dinding sel penyusun kayu. Sifat amonia yang mudah menguap juga turut andil dalam perbedaan nilai kerusakan LBP yang terjadi.
Gambar 27 memperlihatkan kerusakan LBP contoh uji di masing-masing lokasi pengujian.
Gambar 27 Kerusakan LBP contoh uji di permukiman A dan B dan di arboretum
C dan D. 4.2.3 Intensitas Serangan
Rata-rata nilai intensitas serangan di dua lokasi percobaan yang berbeda permukiman dan arboretum disajikan pada Gambar 28 dan 29. Data lengkap
hasil perhitungan disajikan pada Lampiran 11 dan 12. Dari Gambar 28 diketahui bahwa intensitas serangan faktor biologis
perusak kayu yang paling rendah terdapat pada kayu sengon yang difumigasi dengan amonia 2 l. Intensitas serangan ini setara dengan intensitas serangan pada
kayu kontrolnya nilai = 7. Intensitas serangan pada kayu sengon 4 l dan 10 l setara dengan intensitas yang terjadi pada kayu petai dan karet 2 l, tetapi lebih
rendah dibandingkan kayu kontrolnya nilai 4 berbanding 7. Intensitas serangan
A B
C D
pada contoh uji lainnya tergolong tinggi yang dibuktikan dengan hancurnya contoh uji nilai = 0.
Gambar 28 Nilai intensitas serangan pada kayu hasil fumigasi di permukiman.
Gambar 29 Nilai intensitas serangan pada kayu hasil fumigasi di arboretum. Berbeda halnya dengan yang di permukiman, intensitas serangan terhadap
kayu petai semua volume amonia, manii 10 l dan karet 8 l yang dikubur di arboretum tergolong tinggi dimana contoh uji semuanya hancur nilai = 0.
Intensitas serangan yang paling rendah terdapat pada kayu sengon 4 l dan manii 6 l nilai = 7. Intensitas ini relatif lebih rendah dibandingkan dengan yang terjadi
pada kontrol, sengon 6 l dan 10 l, manii 2 l, 4 l dan 8 l, serta karet 2 l dan 4 l nilai
= 6. Intensitas serangan pada contoh uji lainnya relatif lebih tinggi dibandingkan kontrolnya nilai = 4.
Di arboretum, faktor biologis perusak tampaknya tidak mau menyerang kayu sengon. Tidak ada satupun contoh uji kayu sengon yang hancur Gambar
29. Pada kayu manii dan karet ada satu perlakuan yang contoh ujinya hancur, sedangkan pada kayu petai semua contoh uji hancur. Hal ini memperkuat dugaan
bahwa faktor biologis perusak yang ada di permukiman berbeda dibandingkan dengan yang ada di arboretum.
Hasil analisis sidik ragam atau ANOVA Lampiran 23 menunjukkan bahwa intensitas serangan dipengaruhi nyata oleh jenis kayu, volume amonia,
lokasi pengujian, interaksi antara jenis kayu dan lokasi, serta interaksi antara jenis kayu, volume dan lokasi. Hasil uji Duncan Lampiran 24 dan Gambar 30
memperlihatkan bahwa intensitas serangan pada kayu manii di arboretum berbeda nyata dengan intensitas serangan pada kayu sengon, petai, manii dan karet di
permukiman serta dengan kayu petai di arboretum. Intensitas serangan pada kayu sengon dan karet di arboretum berbeda nyata dengan intensitas serangan pada
kayu sengon, manii dan karet di permukiman serta kayu petai di arboretum. Intensitas serangan pada kayu sengon di permukiman berbeda nyata dengan
intensitas serangan terhadap kayu manii di permukiman maupun terhadap kayu petai di arboretum.
Gambar 30 Rata-rata nilai intensitas serangan berdasarkan interaksi antara jenis kayu dan lokasi pengujian.
Dari Gambar 30 juga diketahui bahwa rata-rata nilai intensitas serangan untuk semua jenis kayu yang dikubur di arboretum relatif lebih tinggi
dibandingkan dengan yang di permukiman, kecuali pada kayu petai. Ini berarti kayu-kayu yang dikubur di arboretum relatif masih utuh intensitas serangan
rendah. Di permukiman, intensitas serangan relatif lebih tinggi nilai rata-rata nya lebih kecil dan lebih banyak contoh uji yang hancur. Kayu petai yang dikubur di
arboretum dan kayu manii yang dikubur di permukiman merupakan jenis yang mengalami intensitas serangan tertinggi nilai = 0; kayu hancur, sedangkan kayu
manii di arboretum merupakan kayu dengan intensitas serangan terendah nilai = 4,53.
Berdasarkan hasil uji lanjut Duncan Lampiran 24 dan Gambar 31 diketahui bahwa intensitas serangan pada kayu-kayu yang difumigasi dengan
amonia 4 l dan dikubur di arboretum berbeda nyata dibandingkan dengan intensitas serangan pada kayu-kayu yang difumigasi dalam amonia 10 l dan
dikubur di arboretum serta dengan kayu-kayu yang difumigasi dalam amonia 4 l, 6 l, 8 l dan 10 l dan dikubur di permukiman. Intensitas serangan pada kayu-kayu
yang difumigasi dalam amonia 6 l dan dikubur di arboretum berbeda nyata dibandingkan dengan intensitas serangan pada kayu-kayu yang difumigasi dalam
amonia 4 l, 6 l, 8 l dan 10 l dan dikubur di permukiman. Intensitas serangan pada kayu-kayu yang difumigasi dalam amonia 2 l dan dikubur di arboretum berbeda
nyata dibandingkan dengan intensitas serangan pada kayu-kayu yang difumigasi dalam amonia 6 l dan 8 l dan dikubur di permukiman. Intensitas serangan pada
kayu-kayu yang difumigasi dalam amonia 2 l dan dikubur di permukiman serta kayu-kayu yang difumigasi dalam amonia 8 l dan dikubur di arboretum berbeda
nyata dibandingkan dengan intensitas serangan pada kayu-kayu yang difumigasi dalam amonia 6 l dan dikubur di permukiman.
Gambar 31 Rata-rata nilai intensitas serangan berdasarkan interaksi antara bahan pengawet amonia dan lokasi.
Dari gambar tersebut diketahui juga bahwa intensitas serangan tertinggi nilai = 0 terjadi pada perlakuan fumigasi dengan 6 l amonia dan dikubur di
permukiman, sedangkan intensitas serangan terendah nilai = 4,58 terjadi pada perlakuan fumigasi amonia 4 l di arboretum.
Gambar 32 memperlihatkan kondisi contoh uji setelah di serang oleh faktor biologis perusak kayu yang ada di masing-masing lokasi pengujian.
Gambar 32 Perbedaan intensitas serangan terhadap contoh uji di permukiman A dan B dan di arboretum C dan D.
A B
C D
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN