KNKHKP 3.
Memberikan rekomendasi aman atau tidaknya PBHRG.
4. Mengadakan kerjasama dan konsultasi dengan
lembaga-lembaga luar negeri tentang Keamanan Hayati dan Keamanan Pangan
5. Melakukan kajian dan evaluasi Keamanan Hayati
dan Keamanan Pangan akibat pemanfaatan PBHRG, termasuk mengevaluasi hasil kajian Tim
Teknis Hayati Keamanan Hayati dan Keamanan Pangan.
10 Tim Teknis Keamanan
Hayati dan Keamanan
Pangan TTKHKP
1. Membantu KN-KHKP dalam memberikan saran
dan pertimbangan kepada Menteri. 2.
Memeriksa dan mengevaluasi semua permohonan pemanfaatan PBHRG.
3. Melakukan pengujian lanjutan di laboratorium,
rumah kaca, dan lapangan terbatas. 4.
Memberikan saran dan pertimbangan teknis tentang Keamanan Hayati dan Keamanan Pangan
atas pengujian dan pemanfaatan PBHRG. 5.
Melakukan pemantauan Keamanan Hayati dan Keamanan Pangan terhadap lingkungan hidup
danatau kesehatan manusia dalam pemanfaatan PBHRG.
C. Hak-Hak Konsumen
Istilah “perlindungan konsumen” berkaitan dengan perlindungan hukum. Oleh karena itu, perlindungan konsumen mengandung aspek hukum. Adapun
materi yang mendapatkan perlindungan itu bukan sekedar fisik, melainkan terlebih-lebih hak-haknya yang bersifat abstrak. Dengan kata lain, perlindungan
konsumen sesungguhnya identik dengan perlindungan yang diberikan hukum tentang hak-hak konsumen.
Konsumen seringkali menghadapi ketidakseimbangan kedudukan dengan produsen terutama disebabkan oleh kemampuan ekonomi, tingkat pendidkan dan
posisi tawar yang lebih rendah. Ketidakpuasan konsumen tidak ditanggapi secara serius oleh produsen, atau kalaupun ditangani hanya memberikan kelegaan yang
Universitas Sumatera Utara
bersifat sementara. Hal ini mengakibatkan timbulnya perasaan tak berdaya, terasing, dan terisolasi yang disebut oleh Anderson dan Cunningham dengan
alienasi. Alienasi menimbulkan respons defensif dalam bentuk boikot, tekanan untuk legislasi, dan seterusnya yang menjadi pemicu lahirnya gerakan
konsumerisme pada tahun 1960-an sampai 1970-an. Konsumerisme merupakan gerakan yang memperjuangkan ditegakkannya hak-hak konsumen, yang meliputi
kebijakan dan aktifitas yang dirancang untuk melindungi kepentingan dan hak konsumen ketika mereka terlibat di dalam suatu hubungan tukar-menukar dengan
organisasi jenis apapun.
60
Hak-hak dasar konsumen yang terdapat dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen Pasal 4 tersebut sebenarnya bersumber dari hak-hak
dasar umum yang diakui secara internasional. Hak-hak dasar umum tersebut pertama kali dikemukakan oleh John F.Kennedy, Presiden Amerika Serikat AS,
pada tanggal 15 Maret 1962, melalui “A special Message for the Protection of Consumer Interest” atau yang lebih dikenal dengan istilah “Deklarasi Hak
Konsumen” Declaration of Consumer Right. Deklarasi tersebut menghasilkan empat hak dasar konsumen yaitu:
61
1. Hak untuk mendapatkan keamanan dan keselamatan the right of safety
Produsen bertanggung jawab menjamin kenyamanan, keamanan, dan keselamatan konsumen dalam mengkonsumsi barang danatau jasa. Engels
menyebutkan doktrin keterdugaan foreseeability yang berpendapat bahwa pabrik harus mampu mengantisipasi dan menanggulangi risiko yang melekat di
60
James.F.Engel dan Roger D.Blackwell, Perilaku Konsumen, Jilid 2, Jakarta: Binarpa Aksara, 1994, Hal. 459.
61
Shidarta, Op.cit., Hal. 16-27.
Universitas Sumatera Utara
dalam pemakaian produk dan mencari tahu cara-cara untuk menghindarinya.
62
62
James F. Engel, Op.cit., Hal.465-466
Disamping itu produsen harus mempunyai kebijakan yang tepat untuk menjamin bahwa barang yang diproduksinya adalah aman bila digunakan secara normal.
Oleh karena itu produsen yang bertanggung jawab membawa barang ke pasar, khususnya kepada pemasok, eksportir, importir, pengecer, dan sejenisnya harus
menjamin bahwa ketika barang berada dalam penanganannya tidak menjadi berbahaya diakibatkan oleh handling atau penyimpanan yang tidak tepat.
Konsumen harus diberikan instruksi yang jelas mengenai cara penggunaan barang dan diberi informasi mengenai risiko-risiko yang mungkin muncul dalam
menggunakan barang tersebut. Informasi keamanan yang vital harus disampaikan kepada konsumen dengan mencantumkan simbol-simbol yang
dimengerti secara internasional apabila memungkinkan. Selanjutnya produsen juga harus waspada terhadap bahaya yang tak terduga setelah produk masuk ke
pasar dan harus memperingatkan pihak-pihak yang berwenang dan masyarakat dengan segera. Produsen harus menarik kembali, mengganti, atau memodifikasi
produknya apabila produk tersebut diketahui cacat berat danatau menyebabkan bahaya yang substansial dan akut meskipun produk tersebut digunakan dengan
benar. Artinya, produk makanan tersebut memenuhi standar kesehatan, gizi, dan sanitasi, serta tidak mengandung bahan yang membahayakan bagi jiwa manusia.
Di AS, hak ini merupakan hak tertua yang tidak kontroversial karena didukung oleh masyarakat ekonomi.
Universitas Sumatera Utara
2. Hak untuk mendapatkan informasi the right to be informed
Setiap konsumen berhak untuk mendapatkan informasi yang jelas dan komprehensif tentang suatu produk barangjasa yang dibeli dikonsumsi.
Konsumen berhak mengetahui hal-hal tentang barang atau jasa sebelum memutuskan untuk menggunakannya terutama sekali karena konsumen harus
menyediakan dana untuk itu. Bagi konsumen, informasi tentang barang dan atau jasa merupakan kebutuhan pokok sebelum ia menggunakan sumber dananya
gaji, upah, honor, atau apa pun nama lainnya untuk mengadakan transaksi konsumen tentang barangjasa tersebut.
63
Informasi suatu produk baik barang maupun jasa di atas dapat diperoleh dari:
64
1. Pemerintah melalui penjelasan, siaran, keterangan, maupun legislasi.
Apabila dirumuskan dalam peraturan perundang-undangan informasi merupakan suatu keharusan, antara lain dalam bentuk label dan
standardisasi. 2.
Konsumen atau organisasi konsumen melalui pembicaraan dari mulut ke mulut, media massa, ataupun hasil-hasil penelitian.
3. Kalangan usaha melalui iklan, label, selebaran, brosur, pamphlet, katalog,
dan lain-lain. Hal yang penting dalam pemberian informasi kepada konsumen adalah
bahwa informasi tersebut harus adekuat dan jujur.
65
63
AZ. Nasution, Hukum Perlindungan Konsumen, Jakarta: Diadit Media, 2002, Hal.55.
64
Ibid., Hal. 56-57.
Keadekuatan informasi dapat dijabarkan sebagai berikut:
Universitas Sumatera Utara
1. Informatif. Suatu informasi dikatakan informatif apabila informasi tersebut
mampu menyediakan informasi yang berguna bagi konsumen. Sebagai contoh, iklan atau label yang menggunakan bahasa Inggris dianggap tidak
informatif apabila diterapkan pada produk yang dipasarkan di Indonesia dengan sasaran masyarakat ekonomi menengah ke bawah.
2. Cukup. Artinya, suatu informasi mampu memberikan keterangan yang
memadai ketika konsumen memutuskan untuk membeli atau tidak. Cukup tidaknya suatu informasi sangat berbeda bagi masing-masing konsumen,
dan untuk mengetahuinya harus dilakukan penelitian, dan kalau perlu pendidikan konsumen.
“Oleh karena itu, adalah mustahil untuk memberikan jawaban sederhana terhadap pertanyaan berapa banyakkah yang dikatakan cukup. Ini hanya
dapat dipecahkan berdasarkan penelitian yang memverifikasi pemerolehan dan pemakaian informasi yang actual. Seandainya ada
kekurangan yang mengakibatkan keputusan pembelian yang tidak bijaksana, maka tindakan dapat diambil dalam bentuk promosi yang
diubah atau upaya pendidikan konsumen.”
66
3. Tidak kelebihan beban, yaitu bahwa pemberian informasi tidak terlalu
banyak yang justru malah merusak pengambilan keputusan. “Ada batas-batas yang jelas pada pemrosesan informasi. Banyak
pendukung konsumen berniat baik keliru mengasumsikan bahwa “lebih banyak lebih baik” dan akhirnya malah menghambat dan bukannya
membantu konsumen.”
67
1. Tidak menipu false statement;
Selain adekuat, suatu informasi juga harus jujur. Kejujuran informasi meliputi:
65
Ibid., Hal. 468.
66
Ibid., Hal. 470.
67
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
2. Tidak menyesatkan mislead;
3. Proporsional.
Yang pertama, suatu informasi tidak boleh menipu. Termasuk kategori menipu diantaranya: tidak menyatakan yang sebenarnya, menutupi kondisi yang
sesungguhnya, dan manipulasi. Kedua, informasi yang menyesatkan adalah klaim yang menyatakan
sesuatu yang sebenarnya memang tidak ada. Contohnya, kalimat “Tidak mengandung kolesterol” pada kemasan minyak goreng merek tertentu.
68
“Apa yang dimaksud dengan consumer ignorance, yaitu ketidakmampuan konsumen menerima informasi akibat kemajuan teknologi dan keragaman
produk yang dipasarkan dapat saja dimanfaatkan secara tidak sewajarnya oleh pelaku usaha. Itulah sebabnya, hukum perlindungan konsumen memberikan hak
konsumen atas informasi yang benar, yang di dalamnya tercakup juga hak atas informasi yang proporsional dan diberikan secara tidak diskriminatif.”
Klaim ini menyesatkan karena mengesankan bahwa minyak goring selain merek
tersebut mengandung kolesterol. Ketiga, informasi harus diberikan secara sama bagi semua konsumen.
Kemampuan dan kesempatan konsumen dalam mengakses informasi tidak sama. Ketidakmampuan ini bisa dimanfaatkan demi keuntungan pelaku usaha, oleh
karena itu informasi harus diberikan secara proporsional.
69
68
Kompas, 20 Juli 2004, Hal. 34.
69
Shidarta, Op.cit., Hal. 21.
Informasi yang adekuat dan jujur ini sangat penting untuk kemudian
konsumen dapat menentukan pilihan yang bijaksana.
Universitas Sumatera Utara
3. Hak untuk memilih the right to choose Setiap konsumen berhak memilih produk barangjasa dengan harga yang
wajar. Artinya, konsumen tidak boleh dalam kondisi tertekan atau paksaan untuk memilih suatu produk tersebut yang mungkin bisa merugikan hak-haknya. Ia
harus dalam kondisi bebas dalam menentukan pilihannya terhadap barangjasa yang akan dikonsumsi.
Menurut Customers International anggapan dasar dalam era pasar bebas bahwa arus informasi yang sempurna akan memberikan kemungkinan pada
pembeli dan penjual untuk memilih barang dan jasa secara rasional, serta adanya kemudahan keluar masuk barang ke dalam pasar tanpa halangan tidaklah selalu
menjadi kenyataan.
70
“Hak memilih yang dimiliki konsumen ini hanya ada jika ada alternatif pilihan dari jenis produk tertentu, karena jika suatu produk dikuasai
secara monopoli oleh suatu produsen atau dengan kata lain tidak ada pilihan lain baik barang maupun jasa, maka dengan sendirinya hak
untuk memilih ini tidak akan berfungsi.” Situasi pasar, kebijakan subsidi, paten, dan praktek
dumping juga sangat mempengaruhi kebebasan konsumen untuk memilih.
71
4. Hak untuk didengar the right to be heard
Konsumen berhak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang danatau jasa yang digunakan. Hak untuk didengar ini merupakan hak dari
70
Husni Syawali dan Neni Sri Imaniyati Penyunting, Hukum Perlindungan Konsumen, Bandung: Mandar Maju, 2000, Hal. 64.
71
Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, Hukum Perlindungan Konsumen, Jakarta: Rajawali Pers, 2004, Hal. 42.
Universitas Sumatera Utara
konsumen untuk tidak dirugikan lebih lanjut, atau hak untuk menghindarkan diri dari kerugian.
72
Ganti rugi dapat dicapai dengan tiga cara, yaitu pencegahan, restitusi, dan hukuman.
73
Kedua, mengenai restitusi. Konsumen berhak untuk mengharapkan jawaban dari pabrik atau pengecer ketika keluhan diajukan, sehingga isu restitusi
tidak perlu mencapai titik di mana otoritas legal melangkah masuk. Tindakan ini paling tidak mempertahankan loyalitas konsumen, dan sejarah membuktikan
bahwa keuntungan dalam loyalitas konsumen jauh melebihi biaya. Akan tetapi, menurut Claes Fornell dan Robert A. Westbrook, pelajaran jenis ini tampaknya
tidak tertanam sebagaimana seharusnya, seandainya tingkat keluhan merupakan indikasi.
Pertama, pencegahan. Idealnya, suara konsumen perlu didengar sebelum masalah berkembang dan ganti rugi menjadi perlu. Hal ini dapat
dilakukan oleh para pelaku usaha dengan menerapkan tata etika perusahaan, menjaga mutu produk, dan garansi.
74
Empat hak dasar ini diakui secara internasional. Dalam perkembangannya, organisasi-organisasi konsumen yang tergabung dalam The International
Organization of Consumer Union IOCU menambahkan lagi beberapa hak, Ketiga, hukuman. Apabila tidak ada tindakan lain yang berhasil, tindakan
yang lebih ekstrem dalam bentuk denda atau kurungan, kehilangan laba, dan gugatan hukum dapat dilakukan.
72
Ibid., Hal. 43.
73
James F. Engel, Op.cit., Hal. 478-481
74
Claes Fornell dan Robert A. Westbrook, “The Vicious Cycle of Consumer Complaints”, Journal of Marketing 48 Summer1984, Hal. 68-78.
Universitas Sumatera Utara
seperti hak mendapatkan pendidikan konsumen, hak mendapatkan ganti kerugian, dan hak mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat. Namun, tidak semua
organisasi konsumen menerima penambahan hak-hak tersebut. Mereka bebas untuk menerima semua atau sebagian. YLKI, misalnya memutuskan untuk
menambahkan satu hak lagi sebagai pelengkap empat hak dasar konsumen, yaitu hak mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat sehingga keseluruhannya
dikenal sebagai pancahak konsumen. Hak konsumen untuk mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat, tidak dimasukkan dalam UUPK ini karena
UUPK secara khusus mengecualikan hak-hak atas kekayaan intelektual HAKI dan di bidang pengelolaan lingkungan. Tidak jelas mengapa hanya kedua bidang
hukum ini saja yang dikecualikan secara khusus, mengingat sebagai undang- undang paying umbrella act, UUPK seharusnya dapat mengatur hak-hak
konsumen itu secara lebih komprehensif. Langkah untuk meningkatkan martabat dan kesadaran konsumen harus diawali dengan upaya untuk memahami hak-hak
pokok konsumen, yang dapat dijadikan sebagai landasan perjuangan untuk mewujudkan hak-hak tersebut.
75
Resolusi Perserikatan Bangsa-Bangsa Nomor 39248 Tahun 1985 tentang Perlindungan Konsumen Guideliness for Consumer Protection juga
merumuskan beberapa aspek penting yang merupakan bagian penting dalam perlindungan konsumen yang perlu diperhatikan yaitu:
76
75
Celina Tri Siwi Kristiyanti, Hukum Perlindungan Konsumen, Cetakan pertama, Jakarta: Sinar Grafika, 2008, Hal. 31.
76
Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, Hukum tentang Perlindungan Konsumen, Cetakan ketiga, Jakarta: Gramedia, 2003, Hal. 27-28.
Universitas Sumatera Utara
1. Perlindungan konsumen dari bahaya-bahaya terhadap kesehatan dan
keamanannya. 2.
Promosi dan perlindungan kepentingan ekonomi sosial konsumen. 3.
Tersedianya informasi yang memadai bagi konsumen untuk memberikan kemampuan mereka dalam melakukan pilihan yang tepat sesuai kehendak
dan pribadi. 4.
Pendidikan konsumen. 5.
Tersedianya upaya ganti rugi yang efektif. 6.
Kebebasan untuk membentuk organisasi konsumen atau organisasi lainnya yang relevan dan memberikan kesempatan kepada organisasi tersebut untuk
menyuarakan pendapatnya dalam proses pengambilan keputusan yang menyangkut kepentingan mereka.
Masyarakat Eropa Europose Ekonomische Gemeenschap atau EEG juga menyepakati lima hak dasar konsumen sebagai berikut:
77
1. Hak perlindungan kesehatan dan keamanan.
2. Hak perlindungan kepentingan ekonomi.
3. Hak mendapat ganti rugi.
4. Hak atas penerangan.
5. Hak untuk didengar.
Dari sekian banyak hak konsumen yang disebutkan diatas, pemerintah telah mendefenisikan hak-hak konsumen tersebut dimana hak-hak konsumen tersebut
77
Ahmad Miru dan Sutarman Yodo, Hukum Perlindungan Konsumen, Jakarta: Rajawali Press, 2004, Hal. 39-40.
Universitas Sumatera Utara
tertuang dalam Pasal 4 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen yaitu:
78
a. Hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi
barang danatau jasa; b.
Hak untuk memilih barang danatau jasa serta mendapatkan barang danatau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang
dijanjikan; c.
Hak atas informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang danatau jasa;
d. Hak untuk didengar pendapat dan keluhan atas barang danatau jasa yang
digunakan; e.
Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut;
f. Hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen;
g. Hak untuk diperlakukan dan dilayani secara benar dan jujur serta tidak
diskriminatif; h.
Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi danatau penggantian, apabila barang danatau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian
atau tidak sebagaimana mestinya; i.
Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.
78
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.
Universitas Sumatera Utara
Di samping hak-hak dalam Pasal 4, juga terdapat hak-hak konsumen yang dirumuskan dalam pasal-pasal berikutnya, khususnya dalam Pasal 7 yang
mengatur tentang kewajiban pelaku usaha, kewajiban dan hak merupakan antinomi dalam hukum, sehingga kewajiban pelaku usaha dapat dilihat sebagai
hak konsumen. Selain hak-hak yang disebutkan itu, ada juga hak untuk dilindungi dari akibat negatif persaingan curang. Hal ini berangkat dari pertimbangan,
kegiatan bisnis yang dilakukan pengusaha sering dilakukan secara tidak jujur, yang dalam hukum dikenal dengan terminologi “persaingan curang” unfair
competition. Dalam hukum positif Indonesia, masalah persaingan curang dalam bisnis ini diatur secara khusus pada Pasal 382 bis Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana. Selanjutnya, sejak 5 Maret 2000 diberlakukan juga Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha
Tidak Sehat. Ketentuan-ketentuan ini sesungguhnya diperuntukkan bagi sesama pelaku usaha tidak bagi konsumen langsung. Kendati demikian, kompetisi tidak
sehat di antara mereka pada jangka panjang pasti berdampak negatif bagi konsumen karena pihak yang dijadikan sasaran rebutan adalah konsumen itu
sendiri. Di sini letak arti penting mengapa hak ini perlu dikemukan.
79
Akhirnya, jika semua hak-hak yang disebutkan itu disusun kembali secara sistematis mulai dari yang diasumsikan paling mendasar, akan diperoleh urutan
sebagai berikut:
80
79
Celina Tri Siwi Kristiyanti, Hukum Perlindungan Konsumen, Cetakan pertama, Jakarta: Sinar Grafika, 2008, Hal. 32.
80
Ibid., Hal. 32-33.
Universitas Sumatera Utara
a. Hak Konsumen Mendapatkan Keamanan
Konsumen berhak mendapatkan keamanan dari barang dan jasa yang ditawarkan kepadanya. Produk barang dan jasa tersebut tidak boleh
membahayakan jika dikonsumsi sehingga konsumen tidak dirugikan baik secara jasmani dan rohani. Hak untuk memperoleh keamanan ini penting ditempatkan
pada kedudukan utama karena berabad-abad berkembang suatu falsafah berpikir bahwa konsumen terutama pembeli adalah pihak yang wajib berhati-hati,
bukan pelaku usaha. Falsafah yang disebut caveat emptor let the buyer beware ini mencapai puncaknya pada abad ke-19 seiring dengan berkembangnya paham
rasional individualisme di Amerika Serikat. Dalam perkembangannya kemudian, prinsip yang merugikan konsumen ini telah ditinggalkan. Dalam barang danatau
jasa yang dihasilkan dan dipasarkan oleh pelaku usaha beresiko sangat tinggi terhadap keamanan konsumen, Pemerintah selayaknya mengadakan pengawasan
secara ketat. Misalnya zat atau obat yang tergolong dalam narkotika dan psikotropika. Undang-Undang No.5 Tahun 1997 tentang Psikotropika dan
Undang-Undang No.22 Tahun 1997 tentang Narkotika menetapkan psikotropika dan narkotika golongan I hanya dapat digunakan untuk kepentingan ilmu
pengetahuan, tidak dapat digunakan untuk kepentingan pelayanan kesehatan. Restriksi demikian perlu dilakukan semata-mata demi menjaga keamanan
masyarakat atas akibat negatif dari produk tersebut. Satu hal yang juga sering dilupakan dalam kaitan dengan hak untuk mendapatkan keamanan adalah
penyediaan fasilitas umum yang memenuhi syarat yang ditetapkan. Di Indonesia, sebagian besar fasilitas umum, seperti pusat perbelanjaan, hiburan, rumah sakit
Universitas Sumatera Utara
dan perpustakaan belum cukup akomodatif untuk menopang keselamatan pengunjungnya. Hal ini tidak saja bagi pengguna produk barang dan jasa
konsumen yang berfisik normal pada umumnya, akan tetapi juga terlebih-lebih mereka yang cacat fisik dan lanjut usia. Akibatnya, besar kemungkinan mereka
ini tidak dapat leluasa berjalan dan naik tangga di tempat-tempat umum karena tingkat resiko yang sangat tinggi.
81
b. Hak untuk Mendapatkan Informasi yang Benar
Setiap produk yang diperkenalkan kepada konsumen harus disertai informasi yang benar. Informasi ini diperlukan agar konsumen tidak sampai
mempunyai gambaran yang keliru atas produk barang dan jasa. Informasi ini dapat disampaikan dengan berbagai cara, seperti lisan kepada konsumen, melalui
iklan di berbagai media atau mencantumkan dalam kemasan produk. Jika dikaitkan dengan hak konsumen atas keamanan, maka setiap produk yang
mengandung risiko terhadap keamanan konsumen, wajib disertai informasi berupa petunjuk pemakaian yang jelas. Sebagai contoh, iklan yang secara ideal
diartikan sebagai sarana pemberi informasi kepada konsumen, seharusnya terbebas dari manipulasi data. Jika iklan memuat informasi yang tidak benar,
maka perbuatan itu memenuhi kriteria kejahatan yang lazim disebut fraudulent misrepresentation. Bentuk kejahatan ini ditandai oleh:
1. pemakaian pernyataan yang jelas-jelas salah false statement, seperti
menyebutkan diri terbaik tanpa indikator yang jelas;
81
Ibid., Hal. 33.
Universitas Sumatera Utara
2. pernyataan yang menyesatkan mislead, misalnya menyebutkan adanya
khasiat tertentu padahal tidak. Menurut Troelstrup, konsumen pada saat ini membutuhkan banyak
informasi yang lebih relevan dibandingkan dengan saat sekitar 50 tahun lalu. Alasannya, yaitu:
82
1. terdapat lebih banyak produk, merek, dan tentu saja penjualnya;
2. daya beli konsumen makin meningkat;
3. lebih banyak variasi merek yang beredar di pasaran, sehingga belum
banyak diketahui semua orang; 4.
model-model produk lebih cepat berubah; 5.
kemudahan transportasi dan komunikasi sehingga membuka akses yang lebih besar kepada bermacam-macam produsen dan penjual.
Hak untuk mendapatkan informasi menurut Prof. Hans W. Micklitz, seorang ahli hukum konsumen dari Jerman, dalam ceramah di Jakarta, 26-30
Oktober 1998 membedakan konsumen berdasarkan hak ini.
83
a. konsumen yang terinformasi well-informed
Ia menyatakan, sebelum kita melangkah lebih detail dalam perlindungan konsumen, terlebih
dulu harus ada persamaan persepsi tentang tipe konsumen yang akan mendapatkan perlindungan. Menurutnya, secara garis besar dapat dibedakan dua
tipe konsumen, yaitu:
b. konsumen yang tidak terinformasi.
82
Shidarta, Ibid., Hal. 20.
83
Warta Konsumen, 1998, Hal. 33-34.
Universitas Sumatera Utara
Ciri-ciri konsumen yang terinformasi sebagai tipe pertama adalah: 1.
memiliki tingkat pendidikan tertentu; 2.
mempunyai sumber daya ekonomi yang cukup, sehingga dapat berperan dalam ekonomi pasar, dan
3. lancar berkomunikasi.
Dengan memiliki tiga potensi, konsumen jenis ini mampu bertanggung jawab dan relatif tidak memerlukan perlindungan.
Ciri-ciri konsumen yang tidak terinformasi sebagai tipe kedua memiliki ciri-ciri, antara lain:
1. kurang berpendidikan;
2. termasuk kategori kelas menengah ke bawah;
3. tidak lancar berkomunikasi.
Konsumen jenis ini perlu dilindungi, khususnya menjadi tanggung jawab negara untuk memberikan perlindungan. Selain cici-ciri konsumen yang tidak
terinformasikan, karena hal-hal khusus dapat juga dimasukkan kelompok anak- anak, orang tua, dan orang asing yang tidak dapat berkomunikasi dengan bahasa
setempat sebagai jenis konsumen yang wajib dilindungi oleh negara. Informasi ini harus diberikan secara sama bagi semua konsumen tidak diskriminatif.
Dalam perdagangan yang sangat mengandalkan informasi, akses kepada informasi yang tertutup, misalnya dalam praktik insider trading di bursa efek,
dianggap sebagai bentuk kejahatan yang serius. Penggunaan teknologi tinggi dalam mekanisme produksi barang danatau
jasa akan menyebabkan makin banyaknya informasi yang harus dikuasai oleh
Universitas Sumatera Utara
masyarakat konsumen. Di sisi lain mustahil mengharapkan sebagian besar konsumen memiliki kemampuan dan kesempatan akses informasi secara sama
besarnya. Apa yang dikenal dengan consumer ignorance, yaitu ketidakmampuan konsumen menerima informasi akibat kemajuan teknologi dan keragaman
produk yang dipasarkan dapat saja dimanfaatkan secara tidak sewajarnya oleh pelaku usaha. Itulah sebabnya, hukum perlindungan konsumen memberikan hak
konsumen atas informasi yang benar, yang di dalamnya tercakup juga hak atas informasi yang proposional dan diberikan secara tidak diskriminatif.
84
c. Hak untuk Didengar
Hak yang erat kaitannya denagn hak untuk mendapatkan informasi adalah hak untuk didengar. Ini disebabkan oleh informasi yang diberikan pihak yang
berkepentingan atau berkompeten sering tidak cukup memuaskan konsumen. Untuk itu konsumen berhak mengajukan pengajuan informasi lebih lanjut.
Dalam tata krama dan tata cara periklanan Indonesia disebutkan, bila diminta oleh konsumen, maka baik perusahaan periklanan, media, maupun pengiklan,
harus bersedia memberikan penjelasan mengenai suatu iklan tertentu. Pengaturan demikian, sekalipun masih berbentuk kode etik self regulation
akan mengarah kepada langkah positif menuju penghormatan hak konsumen untuk didengar. Dalam Pasal 44 UU No. 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran
dinyatakan lembaga penyiaran wajib meralat isi siaran danatau berita. Penyanggah berita itu mungkin adalah konsumen dari produk tertentu. Ralat atau
84
Celina Tri Siwi Kristiyanti, Op.cit., Hal. 35.
Universitas Sumatera Utara
pembetulan wajib dilakukan dalam waktu selambat-lambatnya satu kali 24 jam berikutnya atau pada kesempatan pertama pada ruang mata acara yang sama, dan
dalam bentuk dan cara yang sama dengan penyampaian isi siaran danatau berita yang disanggah. Ketentuan dalanUndang-Undang Penyiaran itu jelas-jelas
menunjukkan hak untuk didengar, yang dalam doktrin hukum dapat diidentikkan dengan hak untuk membela diri.
85
d. Hak untuk Memilih
Dalam mengonsumsi suatu produk, konsumen berhak menentukan pilihannya. Ia tidak boleh mendapat tekanan dari pihak luar sehingga ia tidak
lagi bebas untuk membeli atau tidak membeli. Seanadainya ia jadi membeli, ia juga bebas menentukan produk mana yang akan dibeli. Hak untuk memilih ini
erat kaitannya dengan situasi pasar. Jika seseorang atau suatu golongan diberi hak monopoli untuk memproduksi dam memasarkan barang atau jasa, maka
besar kemungkinan konsumen kehilangan hak untuk memilih produk yang satu dengan produk yang lain. Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 tentang Praktik
Larangan Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat mengartikan monopoli sebagai pengusaan atas produksi danatau pemasaran barang danatau atas
penggunaan jasa tertentu oleh satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha. Dampak dari praktik monopoli ini adalah adanya persaingan usaha tidak
sehat unfair competition yang merugikan kepentingan umum konsumen. Jika monopoli itu diberikan kepada perusahaan yang tidak berorientasi pada
85
Ibid., Hal. 36.
Universitas Sumatera Utara
kepentingan konsumen, akhirnya konsumen pasti didikte untuk mengonsumsi barang atau jasa itu tanpa dapat berbuat lain. Dalam keadaan seperti itu, pelaku
usaha dapat secara sepihak mempermainkan mutu barang dan harga jual. Monopoli juga dapat timbul akibat perjanjian-perjanjian antarpelaku usaha yang
bersifat membatasi hak konsumen untuk memilih. Dalam dunia perdagangan dikenal apa yang disebut market sharing agreements, quota agreement, price
fixing agreements, resale price maintenance, dan sebagainya dalam sejarah perdagangan dikenal sejak 1870-an.
86
e. Hak untuk Mendapatkan Produk Barang danatau Jasa Sesuai dengan Nilai
Tukar yang Diberikan Dengan hak ini berarti konsumen harus dilindungi dari permainan harga
yang tidak wajar. Dengan kata lain, kuantitas dan kualitas barang danatau jasa yang dikonsumsi harus sesuai dengan nilai uang yang dibayar sebagai
penggantinya. Nmaun, dalam ketidakbebasan pasar, pelaku usaha dapat saja mendikte pasar dengan menaikkan harga, dan konsumen menjadi korban dari
ketiadaan pilihan. Konsumen dihadapkan pada kondisi: take it or leave it. Jika setuju silahkan beli, jika tidak silahkan mencari tempat yang lain padahal di
tempat lain pun pasar sudah dikuasainya. Dalam situasi demikian, biasanya konsumen terpaksa mencari produk alternatif bila masih ada, yang boleh jadi
kualitasnya malahan lebih buruk. Akibat tidak berimbangnya posisi tawar- menawar antara pelaku usaha dan konsumen, maka pihak pertama dapat saja
86
Ibid., Hal. 37
Universitas Sumatera Utara
membebankan biaya-biaya tertentu yang sewajarnya tidak ditanggung konsumen. Praktik yang tidak terpuji ini lazim dikenal dengan istilah externalities.
87
f. Hak untuk Mendapatkan Ganti Kerugian
Jika konsumen merasakan kuantitas dan kualitas barang danatau jasa yang dikonsumsinya tidak sesuai dengan nilai tukar yang diberikannya, ia berhak
mendapatkan ganti kerugian yang pantas. Jenis dan jumlah kerugian itu tentu saja harus sesuai dengan ketentuan yang berlaku atau atas kesepakatan masing-
masing pihak. Untuk menghindar dari kewajiban memberikan kerugian, sering terjadi pelaku usaha mencantumkan klausul-klausul eksonerasi di dalam
hubungan hukum antara produsenpenyalur produk dan konsumennya. Klausul seperti “barang yang dibeli tidak dapat dikembalikan” merupakan hal yang lazim
ditemukan pada took-toko. Pencantuman secara sepihak demikian tetap tidak dapat menghilangkan hak konsumen untuk mendapatkan ganti kerugian. Dalam
uraian tentang hak untuk didengar dikatakan, Undang-Undang No. 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran mewajibkan lembaga penyiaran wajib mencantumkan
ralat isi siaran danatau berita yang disanggah pihak lain. Jika penyanggah isi siaran itu konsumen, walaupun ralat dimuat, hak konsumen tidak berarti dengan
sendirinya hilang. Lembaga penyiaran tidak terbebas dari tanggung jawab atas tuntutan hukum yang diajukan oleh pihak yang merasa dirugikan.
88
87
Ibid., Hal. 37.
88
Ibid., Hal. 38
Universitas Sumatera Utara
g. Hak untuk Mendapatkan Penyelesaian Hukum
Hak untuk mendapatkan ganti kerugian harus ditempatkan lebih tinggi daripada hak pelaku usaha produsenpenyalur produk untuk membuat klausul
eksonerasi secara sepihak. Jika permintaan yang diajukan konsumen dirasakan tidak mendapat tanggapan yang layak dari pihak-pihak terkait dalam hubungan
hukum dengannya, maka konsumen berhak mendapatkan penyelesaian hukum, termasuk advokasi. Dengan kata lain, konsumen berhak menuntut
pertanggungjawaban hukum dari pihak-pihak yang dipandang merugikan karena mengonsumsi produk itu. Hak untuk mendapatkan penyelesaian hukum ini
sebenarnya meliputi juga hak untuk mendapatkan ganti kerugian, konsumen tidak selalu harus menempuh upaya hukum terlebih dahulu. Sebaliknya, setiap
upaya hukum pada hakikatnya berisikan tuntutan memperoleh ganti kerugian oleh salah satu pihak. Tentu ada beberapa karakteristik tuntutan yang tidak
memperbolehkan tuntutan ganti kerugian ini, seperti dalam upaya legal standing LSM yang dibuka kemungkinannya dalan Pasal 46 ayat 1 Huruf c UUPK.
89
h. Hak untuk Mendapatkan Lingkungan Hidup yang Baik dan Sehat
Hak konsumen atas lingkunan yang baik dan sehat merupakan hak yang diterima sebagai salah satu hak dasar konsumen oleh berbagai organisasi
konsumen di dunia. Lingkungan yang baik dan sehat berarti sangat luas, dan setiap makhluk hidup adalah konsumen atas lingkungan hidupnya. Lingkungan
hidup meliputi lingkungan hidup dalam arti fisik dan lingkungan nonfisik.
89
Ibid.,
Universitas Sumatera Utara
Dalam Pasal 22 Undang-Undang No. 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan dan Pasal 5 ayat 1 UU No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup,
hak untuk mendapatkan lingkungan yang baik dan sehat ini dinyatakan secara tegas. Pasal 5 ayat 1 Undang-Undang Pengelolaan Lingkungan Hidup
menyatakan bahwa setiap orang mempunyai hak yang sama atas lingkungan hidup yang baik dan sehat. Dalam ketentuan itu jelas bahwa lingkungan hidup ,
selain sehat juga harus baik. Rumusan ini tidak berbeda dengan undang-undang yang lama, yakni: Undang-Undang No.4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-
Ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup. Pengertian “setiap orang” selain mengacu kepada manusia individual, juga kepada kelompok orang atau
badan usaha. Desakan pemenuhan hak konsumen atas lingkungan hidup yang baik dan sehat makin mengemuka akhir-akhir ini. Misalnya munculnya gerakan
konsumerisme hijau green consumerism yang sangat peduli pada kelestarian lingkungan. Sementara itu, mulai tahun 2000 semua perusahaan yang berkaitan
dengan hasil hutan, baru dapat menjual produknya di negara-negara yang bergabung dalam The International Tropical Tumber Organization ITTO, jika
telah memperoleh ecolabeling certificate. Ketentuan demikian sangat penting artinya, khususnya bagi produsen hasil hutan tropis, seperti Indonesia, karena
praktis pangsa pasar terbesarnya adalah negara-negara anggota ITTO. Untuk itu lembaga Ekolabeling Indonesia LEI pada tahun 1998 mulai melakukan audit
atas sejumlah perusahaan perkayuan Indonesia agar dapat diberikan sertifikat ekolabeling yang disebut SNI 5000.
90
90
Ibid., Hal . 39.
Universitas Sumatera Utara
i. Hak untuk Dilindungi dari Akibat Negatif Persaingan Curang
Persaingan curang atau dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 disebut dengan “persaingan usaha tidak sehat” dapat terjadi jika seorang pengusaha
berusaha menarik langganan atau klien pengusaha lain untuk memajukan usahanya atau memperluas penjualan atau pemasarannya dengan menggunakan
alat atau sarana yang bertentangan dengan iktikad baik dan kejujuran dalam pergaulan perekonomian. Walaupun persaingan terjadi antara pelaku usaha,
namun dampak dari persaingan itu selalu dirasakan oleh konsumen. Jika persaingan sehat, konsumen memperoleh keuntungan. Sebaliknya, jika
persaingan curang konsumen pula yang dirugikan. Kerugian itu boleh jadi tidak dirasakan dalam jangka pendek tetapi cepat atau lambat pasti terjadi. Contoh
bentuk yang kerap terjadi dalam persaingan curang adalah permainan harga dumping. Satu produsen yang kuat mencoba mendesak produsen saingannya
yang lemah dengan cara membanting harga produk. Tujuannya untuk merebut pasar, dan produksi saingannya akan berhenti berproduksi. Pada kesempatan
berikutnya, dalam pasar yang monopolistik itulah harga kembali dikendalikan produsen yang curang ini. Dalam posisi demikian, konsumen pula yang
dirugikan. Hak konsumen untuk dihindari dari akibat negatif persaingan curang dapat dikatakan sebagai upaya pre-emptive yang harus dilakukan, khususnya
oleh pemerintah guna mencegah timbulnya akibat-akibat langsung yang merugikan konsumen. Itulah sebabnya, gerakan konsumen sudah selayaknya
menaruh perhatian terhadap keberadaan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan hak ini, seperti yang ada saat ini, yaitu UU No. 5 Tahun 1999
Universitas Sumatera Utara
tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 disebutkan adanya 1 perjanjian yang
dilarang, dan 2 kegiatan yang dilarang, antara lain dalam Pasal 17 sampai dengan Pasal 24. Termasuk dalam bentuk perjanjian yang dilarang adalah
oligopoli, penetapan harga, pembagian wilayah, pemboikotan, kartel, trust, oligopsoni, integrasi vertikal, perjanjian tertutup dan perjanjian dengan pihak
luar negeri yang mengakibatkan terjadinya praktik monopoli danatau persaingan tidak sehat.
91
j. Hak untuk Mendapatkan Pendidikan Konsumen
Masalah perlindungan konsumen di Indonesia termasuk masalah yang baru. Oleh karena itu, wajar bila masih banyak konsumen yang belum menyadari hak-
haknya. Kesadaran akan hak tidak dapat dimungkiri sejalan dengan kesadaran hukum masyarakat, makin tinggi penghormatannya pada hak-hak dirinya dan
orang lain. Upaya pendidikan konsumen tidak selalu harus melewati jenjang pendidikan formal, tetapi dapat melewati media massa dan kegiatan lembaga
swadaya masyarakat. Dalam banyak hal, pelaku usaha terikat untuk memperhatikan hak konsumen untuk mendapat “pendidikan konsumen” ini.
Pengertian “pendidikan” tidak harus diartikan sebagai proses formal yang dilembagakan. Pada prinsipnya, makin kompleks teknologi yang diterapkan
dalam menghasilkan suatu produk menuntut pula makin banyak informasi yang hasus disampaikan kepada konsumen. Bentuk informasi yang lebih
91
Ibid., Hal. 40.
Universitas Sumatera Utara
komprehensif dengan tidak semata-mata menonjolkan unsur komersialisasi, sebenarnya sudah merupakan bagian dari pendidikan konsumen. Produsen mobil
misalnya dalam memasarkan produk dapat menyisipkan program-program pendidikan konsumen yang memiliki kegunaan praktis, seperti tata cara
perawatan mesin, pemeliharaan ban, atau penggunaan sabuk pengaman. Adapun mengenai kewajiban konsumen dijelaskan dalam Pasal 5, yakni:
92
a. membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau
pemanfaatan barang danatau jasa, demi keamanan dan keselamatan; b.
beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang danatau jasa; c.
membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati; d.
mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen secara patut.
92
Ibid., Hal. 41.
Universitas Sumatera Utara
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang