BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Krisis ekonomi yang terjadi di Indonesia antara lain disebabkan karena korupsi, kolusi, nepotisme KKN, manipulasi dan praktek-praktek ekonomi yang
tidak beretika atau tidak bermoral. Kondisi itu lalu menghadirkan moral hazard di berbagai sektor ekonomi dan politik yang harus dipikul dan ditanggung bersama
semua elemen bangsa.
1
Permasalahan moral hazard sudah cukup luas dan mendalam, bahkan menjadi beban moral yang sangat memberatkan. Dalam skala
yang luas, faktor moral dan etika harus dimasukkan sebagai variabel ekonomi yang penting, khususnya dalam pola tingkah laku berekonomi dan berbisnis.
2
Tingkah laku para pelaku bisnis pada era globalisasi dan perdagangan bebas yang didukung oleh kemajuan teknologi komunikasi dan informatika, menyebabkan
ruang gerak arus transaksi barang dan jasa melintasi batas-batas wilayah suatu Negara semakin cepat dan meluas, sehingga barang yang ditawarkan bervariasi,
baik yang berasal dari luar negeri maupun dalam negeri, tentunya dengan berbagai resiko, bisa menguntungkan juga bisa merugikan.
1
Pengertian moral hazard dalam hal ini adalah resiko yang harus ditanggung secara moral.
2
Erman Rajagukguk, Peranan Hukum Di Indonesia: Menjaga Persatuan, Memulihkan Ekonomi dan Memperluas Kesejahteraan Sosial, Jakarta: Makalah disampaikan dalam rangka
Dies Natalies dan Peringatan Tahun Emas Universitas Indonesia, 5 Februari 2000, Hal. 6.
Universitas Sumatera Utara
Apabila tidak ingin distigma anti World Trade Organization WTO, maka di era perdagangan bebas saat ini semua pihak dituntut untuk berpikir realistik dan
bersikap responsif, bahwa semua barang dan jasa yang berasal dari negara lain harus bisa masuk ke Indonesia. Masuknya barang dan jasa impor ke Indonesia
bukannya tanpa permasalahan. Permasalahannya muncul, jika ada pengaduan konsumen atas barang dan jasa impor tersebut, misalnya permasalahan bagaimana
mekanisme penyelesaiannya yang sederhana, cepat dan biayanya ringan.
3
Selain itu masih banyak makanan impor, atau bahkan lokal yang tidak diketahui dengan
jelas siapa distributornya di Indonesia. Ketidakjelasan ini menyulitkan konsumen bila mengalami kerugian akibat menggunakan produk barang atau jasa tersebut,
apalagi konsumen adalah sesorang yang melakukan pembelian dengan atau tanpa pengaruh dari pihak lain.
4
3
Adi Nugroho, Perilaku Konsumen, Cetakan Pertama, Jakarta : Stuudia Press, 2002, hal. 3.
4
Ibid.,Hal 3
Secara yuridis, muncul pula masalah benturan sistem hukum antara Indonesia dengan negara-negara lain. Apabila perundang-undangan Indonesia
bertentangan dengan ketentuan atau kesepakatan WTO, maka diperlukan harmonisasi ketentuan-ketentuan hukum nasional terhadap ketentuan atau
kesepakatan yang ditetapkan oleh WTO. Secara teoritis, hal ini dapat saja diselesaikan, tetapi pada tataran praktek dan kenyataan tidak mudah dilakukan
karena berbagai sebab, baik yang bersifat yuridis, politis maupun sosiologis.
Universitas Sumatera Utara
Paling tidak, ada tiga penyebab yang dapat dikategorikan sebagai hambatan- hambatan dalam perdagangan bebas, yaitu :
5
1. Karena tidak konsistennya badan peradilan Indonesia atas putusan-
putusannya. Sering terjadi perbedaan-perbedaan putusan-putusan pengadilan dalam kasus serupa. Dalam kasus yang berskala nasional saja
pengadilan belum mampu bersikap konsisten, bagaimana dengan kasus konsumen pada era perdagangan bebas yang bersuasana internasional.
2. Sebagian besar konsumen Indonesia enggan berpekara ke pengadilan,
padahal telah sangat dirugikan oleh pengusaha. Keengganan ini akan sangat berbeda jika dibandingkan dengan konsumen-konsumen di negara-negara
peserta perdangan bebas lainnya, seperti Amerika Serikat, Inggris, dan lain- lain. Mereka telah terbiasa mempertanyakan produk-produk yang
dikonsumsinya, kalau perlu penyelesaian melalui jalur hukum.Keengganan konsumen Indonsia ini, disamping disebabkan ketidakkritisan mereka, juga
lebih banyak didasarkan pada : a.
Belum dapat diterapkannya norma-norma perlindungan di Indonesia ; dalam hal ini Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen, yang relatif masih belum dipahami oleh sebagian besar masyarakat sebagai konsumen.
b. Praktek peradilan di Indonesia yang tidak sederhana, kurang cepat dan
biaya yang tidak ringan.
5
Yusuf Sofie, Perlindungan Konsumen dan Instrumen-Instrumen Hukumnya, Cetakan kesatu, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2000, hal. 249.
Universitas Sumatera Utara
c. Sikap menghindari konflik, meskipun hak-haknya sebagai konsumen
dilanggar pengusaha atau perusahaan. 3.
Tarik-menarik berbagai kepentingan di antara para pelaku ekonomi yang memiliki akses kuat di berbagai bidang, termasuk akses pada pengambil
keputusan. Secara sosiologis, hal ini berada diluar jangkauan hukum. Walaupun hukum digunakan untuk menjangkaunya, itu pun hanya sebatas
kepada mereka yang menjadi tumbal space-goat tarik menarik kepentingan tersebut.
Dalam era perdagangan bebas tersebut di atas, perlu segera disiapkan perangkat hukum yang mengaturnya. Kegiatan bisnis perusahaan di berbagai
Negara telah diantisipasi dengan diterbitkannya peraturan-peraturan perundang- undangan yang pada umumnya ditujukan pada pengaturan masalah perilaku bisnis.
Kebijakan ini dimaksud untuk menjaga agar persaingan antara kalangan usaha dilakukan secara jujur fair competition dengan syarat-syarat yang diperlukan
agar perilaku bisnis tidak merugikan konsumen serta ketentuan-ketentuan tentang perlindungan konsumen dapat ditaati oleh pihak-pihak terkait. Dalam menjaga
kelangsungan roda perekonomian, konsumen menduduki posisi cukup penting, namun ironisnya sebagai salah satu pelaku ekonomi, kedudukan konsumen sangat
lemah dalam hal perlindungan hukum.
6
Di Indonesia, konsumen yang selama ini berada pada posisi yang lemah terkesan hanya menjadi objek pelaku usaha melalui kiat promosi, maupun cara
6
Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, Hukum Tentang Perlindungan Konsumen, Penerbit Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2000, hal.12.
Universitas Sumatera Utara
penjualan yang sangat ekspansif. Lemahnya posisi konsumen disebabkan antara lain masih rendahnya kesadaran dan pendidikan konsumen di Indonesia.
7
Lemahnya posisi konsumen di Indonesia tidak telepas dari sejarah tentang perlindungan konsumen. Sejarah tentang perlindungan konsumen di Indonesia
baru benar-benar dipopulerkan sekitar dua puluh tahun yang lalu, yakni dengan berdirinya suatu lembaga swadaya masyarakat non governmental organization
yang bernama Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia YLKI. Berdirinya YLKI kemudian diikuti oleh beberapa organisasi serupa antara lain Lembaga Pembinaan
dan Perlindungan Konsumen LP2K di Semarang yang berdiri sejak Februari 1988 dan pada 1990 bergabung sebagai anggota Consumers International CI.
8
Lemahnya posisi konsumen menyebabkan posisi hukum konsumen ikut menjadi lemah. Sebelum diterbitkannya Undang-Undang Perlindungan Konsumen,
penegakan hukum untuk mengawasi produsen sangat sulit dilakukan, terutama dalam kaitannya dengan pengajuan gugatan atas kerugian yang diderita oleh
konsumen. Kesulitan-kesulitan dalam melakukan gugatan terhadap pelaku usaha yang telah merugikan konsumen adalah dimana setiap pengugat haruslah dapat
membuktikan, bahwa pihak pelaku usaha sebagai tergugat telah melakukan kesalahan. Dengan demikian setiap pihak yang mendalilkan adanya suatu
kesalahan, maka pihak yang mendalilkan tersebut haruslah dapat membuktikan
7
A.Z Nasution, Perlindungan Konsumen dan Peradilan Di Indonesia, Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Nasional-Departemen Kehakiman R.I, 1993-1994, hal.10.
8
Shidarta, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia, Jakarta: Grasindo, 2000, hal.40- 43.
Universitas Sumatera Utara
kesalahannya. Hal ini tentu menyulitkan konsumen untuk membuktikan kesalahan produsen sebagai pihak yang bertindak sebagai pelaku usaha.
9
9
Ibid., Hal. 45.
Berbagai larangan telah dikenakan bagi para pelaku usaha, baik itu pelaku usaha pabrikan dan atau distributornya, pelaku usaha periklanan, maupun kegiatan
yang terkait dengan kehumasan. Pada prinsipnya konsumen berada pada posisi yang secara ekonomis kurang diuntungkan. Konsumen semata-mata tergantung
pada informasi yang diberikan dan disediakan oleh pelaku usaha. Akan tetapi informasi yang diberikan tanpa disertai dengan edukasi akan kurang dirasakan
manfaatnya. Hal ini antara lain dilakukan melalui pemasangan label atau standarisasi mutu. Adanya pemasangan label atau pelabelan ataupun standarisasi
mutu produk dirasakan sangat penting, khususnya terhadap produk makanan, karena hal ini sangat berhubungan dengan nyawa manusia. Label berfungsi
sebagai tanda pengenal suatu produk yang didalamnya memuat informasi mengenai produk yang bersangkutan, antara lain seperti nama produk, beratisi
bersih, bahan yang digunakan, nama dan alamat produsen, tanggal kadaluarsa dan harga. Label merupakan sumber informasi yang esensial bagi konsumen sehingga
konsumen memiliki kontrol dan pilihan yang efektif terhadap apa yang mereka konsumsi berhubungan dengan alasan-alasan kesehatan, keamanan, dan
kepercayaan yang diyakini konsumen misalnya label halal. Oleh karena itu keterangan atau informasi pada label harus jujur, benar, dan tidak menyesatkan.
Menurut Keputusan Dirjen Pengawasan Obat dan Makanan POM Nomor: 02240 BSKVII91 tentang Pedoman Persyaratan Mutu serta Label dan adalah:
Universitas Sumatera Utara
a. Nama makanan nama produk
b. Komposisi atau daftar ingredien
c. Isi netto
d. Nama dan alamat pabrikimporter
e. Nomor pendaftaran
f. Kode produksi
g. Tanggal kadaluwarsa
h. Petunjuk atau cara penyimpanan
i. Petunjuk atau cara penggunaan
j. Nilai gizi
k. Tulisan atau pernyataan khusus
Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi meningkatkan kesadaran konsumen akan mutu dan keamanan produk yang dikonsumsinya. Keadaan ini
menyebabkan konsumen semakin selektif dalam memilih suatu produk yang berhubungan dengan standar-standar kualitas, bahan baku, bahan tambahan, bahan
penolong, proses dan manajemen proses. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi juga menyebabkan produk-produk yang diperdagangkan makin
bertambah. Manajemen produksi memanfaatkan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi menciptakan produk-produk baru yang memiliki nilai ekonomi yang
lebih tinggi. Salah satu produk baru yang dihasilkan dari pemanfaatan kemajuan teknologi adalah produk rekayasa genetika. Produk rekayasa genetika merupakan
produk yang dihasilkan dari teknologi memanipulasi sifat baka atau gen DNA suatu organism tanpa melalui seksual tanpa melalui perkawinan untuk
Universitas Sumatera Utara
menghasilkan organisme dengan sifat-sifat sesuai dengan yang ditentukan. Metode ini dipakai salah satunya untuk menciptakan tanaman-tanaman rekayasa
genetika yang kemudian digunakan sebagai teknik pertanian pangan yang meliputi bidang: peningkatan produksi, peningkatan kualitas, perbaikan pasca panen, dan
perbaikan processing.
10
Permasalahan yang timbul dalam hal pelepasan dan perdagangan pangan yang mengandung bahan rekayasa genetika adalah melalui konteks yang lebih
luas dari penggunaan teknologi rekayasa genetika misalnya dalam teknik obat- obatan dan konsekuensi-konsekuensinya dalam lingkungan sosial-ekonomi
manusia. Selain kedua hal tersebut, permasalahan yang timbul berkaitan dengan produk pangan yang mengandung hasil rekayasa genetika adalah mengenai
pelabelan dalam rangka perlindungan hak-hak konsumen atas informasi produk yang dikonsumsinya. Berbeda dengan penggunaan bahan hasil rekayasa genetika
pada bidang kedokteran yang dibatasi pada dosis tertentu dan melalui percobaan selama bertahun-tahun, penggunaan bahan hasil rekayasa genetika pada pangan
lebih tidak terkontrol. Hal ini dikarenakan petani bebas menanam tanaman yang mengandung bahan rekayasa genetika, selain juga karena konsumsi terhadap
produk-produk ini cenderung tak terbatas. Sebagai contoh, kedelai bahan dasar kecap, tahu. tempe, susu yang sering dikonsumsi masyarakat Indonesia sehari-hari
Dengan demikian produk pertanian yang menggunakan teknik rekayasa genetika ini panen yang dihasilkan menjadi lebih banyak, lebih
besar dan tahan lama, dengan harga yang lebih murah dibandingkan dengan produk pertanian konvensional.
10
Mangku Sitepoe, Rekayasa Genetika, Jakarta: Grasindo, 2001, Hal. 7.
Universitas Sumatera Utara
70 diimpor dari Amerika Serikat yang separuh dari produksinya merupakan hasil rekayasa genetika.
11
Dalam pelabelan, selain soal kelengkapan informasi, hal yang tidak kalah penting adalah masalah bahasa.
Label pada produk yang menggunakan hasil rekayasa genetika ini sangat penting mengingat sampai sekarang ini belum ada suatu
penelitian yang menyatakan bahwa mengkonsumsi produk hasil rekayasa genetika adalah aman. Penggunaan teknologi rekayasa genetika dan berbagai produknya
menimbulkan kekhawatiran akan dampak negatifnya terhadap kesehatan manusia dan lingkungan di masa yang akan datang dampak jangka panjang. Dengan
menitikberatkan pada masalah pelabelan, maka perlindungan konsumen terhadap produk pangan hasil teknologi rekayasa genetika haruslah sangat diperhatikan.
12
Banyak produk makanan dengan pelabelan lengkap, tetapi pesan informasi tidak sampai ke konsumen, karena menggunakan
bahasa yang tidak dipahami konsumen. Akhir-akhir ini, di pasaran dengan mudah ditemukan produk impor dengan pelabelan menggunakan bahasa Negara asal
produk tersebut, seperti Cina, Jepang. Padahal menurut pasal 31 ayat 2 Undang- Undang No. 7 Tahun 1996 tentang pangan, disebutkan, keterangan label pada
produk makanan ditulis atau dicetak dengan menggunakan bahasa Indonesia, angka Arab, dan huruf Latin.
13
11
Lindungi Konsumen dari Peredaran Produk Transgenik, Kompas, 18 Juni 2001
12
Ibid., hal.15.
13
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan, Dirjen Bimas Islam dan Penyelenggaraan Haji, Tahun 2003.
Ketentuan ini berlaku terhadap setiap pelaku usaha yang memproduksi atau memasukkan ke dalam wilayah Indonesia pangan
yang dikemas untuk diperdagangkan.
Universitas Sumatera Utara
Selama sepuluh tahun perundingan tingkat internasional dilakukan untuk membahas permasalahan menyangkut organism hasil rekayasa genetika. Pada Mei
2000 dihasilkan regulasi pertama dari Konvensi PBB tentang Keanekaragaman Hayati Convention on Biodiversity, yaitu Cartagena Protocol on Biosafety.
Protokol ini bertujuan untuk memberikan aturan dalam memastikan tingkat proteksi yang memadai dalam hal transfer, penanganan, dan penggunaan yang
aman dari organisme hidup hasil bioteknologi modern yang mungkin berpengaruh merugikan terhadap kelestarian dan pemanfaatan berkelanjutan keanekaragaman
hayati, dengan juga mempertimbangkan resiko terhadap kesehatan manusia, dan khususnya pada pergerakan lintas batas.
Protokol Cartagena adalah perjanjian yang mengikat secara hukum legally binding dan berlaku 90 hari setelah 50 negara meratifikasi. Sampai dengan Mei
2000 tercatat 68 negara telah meratifikasi. Indonesia sendiri telah menandatangani Protokol ini pada tanggal 24 Mei 2000. Para pihak dalam perjanjian ini harus
memastikan bahwa pengembangan, penanganan, pengangkutan, pemakaian, pemindahan dan pelepasan organism hidup dilakukan sedemikian rupa sehingga
dapat mencegah atau mengurangi risiko yang timbul terhadap keanekaragaman hayati, dengan juga mempertimbangkan risikonya terhadap kesehatan manusia.
Pertimbangan risiko terhadap keanekaragaman hayati dan kesehatan manusia dalam jangka panjang tersebut membawa Protokol ini menekankan perlunya
pendekatan pencegahan dini precautionary yang terkandung dalam Prinsip 15 The Rio Declaration on Environment and Developmnet.
Universitas Sumatera Utara
Dengan menandatangani Cartagena Protocol on Biosafety artinya Pemerintah Indonesia berkewajiban secara moral menerapkan peraturan
internasional mengenai penanganan lintas batas bahan rekayasa genetika. Terlebih lagi karena Indonesia telah meratifikasi Convention on Biological Diversity
dengan Undang-Undang Nomor 5 tahun 1994. Peraturan perundang-undangan Indonesia yang berkaitan dengan Pangan
Hasil Teknologi Rekayasa Genetika masih terlalu jauh dari standar internasional, terutama sekali dalam hal perlindungan konsumen. Bahkan kenyataannya sampai
sekarang masih belum ada produk pangan hasil teknologi rekayasa genetika yang mencantumkan label produk rekayasa genetika seperti yang dikehendaki oleh
peraturan yang sudah ada.
14
B. Perumusan Masalah