Perlindungan Konsumen Terhadap Peredaran Produk Pangan Hasil Teknologi Rekayasa Genetika

(1)

DAFTAR PUSTAKA

Buku, Makalah, Skripsi:

Barkatulah, Abdul Halim. Hukum Perlindungan Konsumen Kajian Teoritis dan Perkembangan Pemikiran. Bandung, Nusa Media: 2008.

Darus, Mariam. Perlindungan Konsumen Dilihat dari Perjanjian Baku (standar), Kertas Kerja Pada Simposium Aspek-aspek Hukum Masalah Perlindungan Konsumen. Jakarta: 1980.

Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta, Balai Pustaka: 1996.

Echols, John. M. dan Hasan Sadily. Kamus Inggris-Indonesia. Jakarta, Gramedia: 1986.

Engel, James. F. dan Roger D.Blackwell. Perilaku Konsumen. Jilid 2, Jakarta, Binarpa Aksara: 1994.

Hetami, Kamila. Pelabelan Produk Pangan Yang Mengandung Bahan Rekayasa Genetika Sebagai Wujud Keterbukaan Informasi. Tesis Program Magister Ilmu Hukum Universitas Diponegoro. Semarang, Fakultas Hukum UNDIP: 2009.

Hornby, A.S. (Gen. Ed). Oxford Advance Learner’s Dictionary of Current English. Oxford, Oxford University Press : 1987.

Kotler, Philip. Manajemen Pemasaran; Analisis, Perencanaan Implementasi, dan Pengendalian (Marketing managements; Analysis, Planning, Implementation, and Control). diterjemahkan oleh Adi Zakaria Afiff, vol II. Jakarta, Lembaga Penerbit FEUI: 1993

Kristiyanti, Celina Tri Siwi. Hukum Perlindungan Konsumen. Jakarta, Sinar Grafika : 2008.

Mackenzie, Ruth et.al., An Explanatory Guide to the Cartagena Protocol on Biosafety, IUCN, Gland, Switzerland and Cambridge, UK, 2003.

Miru, Ahmadi dan Sutarman Yodo. Hukum Perlindungan Konsumen. Jakarta, Raja Grafindo Persada : 2008.

______________________________. Hukum Perlindungan Konsumen, Jakarta, Raja Grafindo Persada: 2004.


(2)

______________________________. Hukum Perlindungan Konsumen. Jakarta, Rajawali Pers: 2004.

Nasution, AZ. Perlindungan Konsumen dan Peradilan Di Indonesia. Jakarta, Badan Pembinaan Hukum Nasional-Departemen Kehakiman R.I: 1993-1994.

___________. Hukum Perlindungan Konsumen Suatu Pengantar. Jakarta, Diadit Media : 2002.

Nugroho, Adi. Perilaku Konsumen. Jakarta, Studia Press: 2002.

Nugroho, Alois A. Dari Etika Bisnis ke Etika Ekobisnis. Jakarta, Grasindo: 2001 Rajagukguk, Erman. Peranan Hukum Di Indonesia: Menjaga Persatuan,

Memulihkan Ekonomi dan Memperluas Kesejahteraan Sosial. Jakarta, Makalah disampaikan dalam rangka Dies Natalies dan Peringatan Tahun Emas Universitas Indonesia, 5 Februari 2000.

Shidarta. Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia. Jakarta, Grasindo: 2000. Sidabolok, Janus. Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia. Bandung, Citra

Aditya Bakti: 2000.

Sitepoe, Mangku. Rekayasa Genetika. Jakarta, Grasindo: 2001.

Sofie, Yusuf. Perlindungan Konsumen dan Instrumen-Instrumen Hukumnya. Bandung, Citra Aditya Bakti: 2000.

Susanto, Happy. Hak-Hak Konsumen Jika Dirugikan. Jakarta, Visimedia : 2008. Susilo, Zumrotin K. Penyambung Lidah konsumen. Jakarta, YLKI dengan Puspa

Swara : 1996.

Sutedi, Adrian. Tanggung Jawab Produk Dalam Hukum Perlindungan Konsumen. Bogor, Ghalia Indonesia : 2008.

Syawali, Husni dan Neni Sri Imaniyati (Penyunting). Hukum Perlindungan Konsumen. Bandung, Mandar Maju: 2000.

WCED. Our Common Future. terjemahan Bambang Sumantri, Jakarta, Gramedia: 1988.

Widjaja, Gunawan dan Ahmad Yani. Hukum Tentang Perlindungan Konsumen. Jakarta, Gramedia Pustaka Utama: 2000.


(3)

______________________________. Hukum tentang Perlindungan Konsumen,

Jakarta, Gramedia: 2003.

Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia, Amankah? Yang Perlu Anda Ketahui tentang Makanan Rekayasa Genetika, Jakarta: 2002.

Peraturan Perundang-undangan:

Republik Indonesia, Undang-Undang tentang Perlindungan Konsumen, UU No.8 Tahun 1999.

Republik Indonesia, Undang-Undang tentang Pangan, UU No. 7 Tahun 1996. Republik Indonesia, Undang-Undang tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup,

UU No. 23 Tahun 1997.

Republik Indonesia, Peraturan Pemerintah tentang Badan Perlindungan Konsumen Nasional, PP No. 57 Tahun 2001.

Republik Indonesia, Peraturan Pemerintah tentang Label dan Iklan Pangan, PP No. 69 Tahun 1999.

Republik Indonesia, Peraturan tentang Keamanan, Mutu dan Gizi Pangan, PP No. 28 Tahun 2004.

Republik Indonesia, Peraturan Pemerintah tentang Keamanan Hayati Produk Rekayasa Genetika, PP No. 21 Tahun 2005.

Republik Indonesia, Peraturan Pemerintah tentang Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Perlindungan Konsumen, PP No. 58 Tahun 2001.

Republik Indonesia, Peraturan Pemerintah tentang Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat, PP No. 59 Tahun 2001.

Republik Indonesia, Keputusan Presiden tentang Sistem Pengawasan Obat dan Makanan (SisPom), Kepres No. 166 Tahun 2000 dan Kepres No. 103 Tahun 2001.

Republik Indonesia, Surat Keputusan Bersama Empat Menteri tentang Keamanan Hayati dan Keamanan Pangan Produk Hasil Rekayasa Genetika, SKB Empat Menteri tanggal 29 September 1999.


(4)

Soesilo, R. 1995. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Bogor : Politeia.

Subekti, R dan R. Tjitrosudibio. 2004. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Jakarta : PT. Pradnya Paramita.

Artikel, Majalah, Jurnal, Surat Kabar:

Fornell, Claes dan Robert A. Westbrook. The Vicious Cycle of Consumer Complaints. Journal of Marketing 48 (Summer1984).

Khomsan, Ali. Minyak Sawit dan Aterosklerosis. Kompas, 20 Juli 2004.

Lindungi Konsumen dari Peredaran Produk Transgenik, Kompas, 18 Juni 2001. Pengertian bioteknologi dalam The UN Convention on Biological Diversity,

Article 2: “Biotechnology” means any technological application that uses biological system, living organism, or derivatives thereof, to make or modify products or processes for specific use.

Sekretariat Dewan Ketahanan Pangan. Posisi Pemerintah Mengenai Pengembangan dan Pemanfaatan Pangan Transgenik. Jakarta, Oktober 2001.

Warta Konsumen, 1998.

Internet:

Anonim. Gatot Ibrahim W., Jangan Ragu Untuk Mengadu,

Anonim. 2010

Anonim. tanggal 04 Juli 2010.

Anonim

Anonim. tanggal 19 Juli 2010.


(5)

Anonim tanggal 20 Juli 2010.


(6)

BAB III

PERAN PEMERINTAH DALAM MELINDUNGI KONSUMEN TERHADAP PEREDARAN PRODUK PANGAN HASIL TEKNOLOGI

REKAYASA GENETIKA

A. Peran Pemerintah sebagai Pembina

Dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen Pasal 29 ayat 1 dinyatakan bahwa “Pemerintah bertanggung jawab atas pembinaan penyelenggaraan

perlindungan konsumen yang menjamin diperolehnya hak konsumen dan pelaku usaha serta dilaksanakannya kewajiban konsumen dan pelaku usaha”.93

Dalam Penjelasan Umum Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2001 tentang Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Perlindungan Konsumen, disebutkan bahwa pembinaan perlindungan konsumen yang diselenggarakan oleh pemerintah adalah sebagai upaya untuk menjamin diperolehnya hak konsumen dan pelaku usaha serta dilakukannya kewajiban masing-masing sesuai dengan asas keadilan dan asas keseimbangan kepentingan.Tugas pembinaan dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen dilakukan oleh menteri atau menteri teknis terkait. Menteri ini melakukan koordinasi atas penyelenggaraan perlindungan konsumen. Beberapa tugas pemerintah dalam melakukan pembinaan penyelenggaraan perlindungan konsumen telah dijabarkan dalam Peraturan

93

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen


(7)

Pemerintah Nomor 58 Tahun 2001 tentang Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Perlindungan Konsumen sebagai berikut:94

a. Menciptakan iklim usaha dan tumbuhnya hubungan yang sehat antara pelaku usaha dan konsumen.

Sebagaimana disebutkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2001 tentang Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Perlindungan Konsumen Pasal 4, untuk menciptakan iklim usaha dan menumbuhkan hubungan yang sehat antara pelaku usaha dan konsumen, menteri melakukan koordinasi penyelenggaraan perlindungan konsumen dengan menteri teknis terkait. Tugas-tugas koordinasi yang dimaksud adalah:

1. Menyusun kebijakan di bidang perlindungan konsumen.

2. Memasyarakatkan peraturan perundang-undangan dan informasi yang berkaitan dengan perlindungan konsumen.

3. Meningkatkan peran BPKN dan BPSK melalui peningkatan kualitas sumber daya manusia dan lembaga.

4. Meningkatkan pemahaman dan kesadaran pelaku usaha dan konsumen terhadap hak dan kewajiban masing-masing.

5. Meningkatkan pemberdayaan konsumen melalui pendidikan, pelatihan, dan keterampilan.

6. Meneliti terhadap barang dan/atau jasa yang beredar yang menyangkut perlindungan konsumen.

7. Meningkatkan kualitas barang dan/atau jasa.

94

Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2001 tentang Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Perlindungan Konsumen Pasal 4-6.


(8)

8. Meningkatkan kesadaran sikap jujur dan tanggung jawab pelaku usaha dalam memproduksi, menawarkan, mempromosikan, mengiklankan, dan menjual barang/jasa.

9. Meningkatkan pemberdayaan usaha kecil dan menengah dalam memenuhi standar mutu barang dan/atau jasa serta pencantuman label dan klausula baku.

b. Berkembangnya lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat.

Sebagaimana disebutkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2001 tentang Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Perlindungan Konsumen Pasal 5, untuk mengembangkan LPKSM, menteri juga perlu melakukan koordinasi penyelenggaraan perlindungan konsumen dengan menteri teknis. Tugas-tugas koordinasi yang dimaksud adalah:95

1. Memasyarakatkan peraturan perundang-undangan dan informasi yang berkaitan dengan perlindungan konsumen.

2. Melakukan pembinaan dan peningkatan sumber daya manusia pengelola LPKSM melalui pendidikan, pelatihan, dan keterampilan.

3. Meningkatkan kegiatan penelitian dan pengembangan di bidang perlindungan konsumen yang dimaksud untuk meningkatkan sumber daya manusia.

95


(9)

Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2001 tentang Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Perlindungan Konsumen Pasal 6, disebutkan bahwa dalam upaya untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia serta meningkatkan kegiatan penelitian dan pengembangan di bidan perlindungan konsumen, menteri melakukan koordinasi penyelenggaraan perlindungan konsumen dengan menteri teknis sebagai berikut:96

a. Meningkatkan kualitas aparat penyidik pegawai negeri sipil di bidang perlindungan konsumen.

b. Meningkatkan kualitas tenaga peneliti dan penguji barang/jasa

c. Melakukan pengembangan dan pemberdayaan lembaga pengujian mutu barang.

d. Melakukan penelitian dan pengembangan teknologi pengujian dan standar mutu barang dan/atau jasa serta penerapannya.

B. Peran Pemerintah sebagai Pengawas

Banyak orang beranggapan bahwa satu-satunya yang berkewajiban memberikan perlindungan konsumen adalah organisasi konsumen. Anggapan ini tentunya tidak benar. Perlindungan konsumen sebenarnya menjadi tanggung jawab semua pihak yaitu pemerintah, pelaku usaha, organisasi konsumen, dan konsumen itu sendiri. Tanpa adanya andil dari keempat unsur tersebut, sesuai

96


(10)

dengan fungsinya masing-masing maka tidaklah mudah mewujudkan kesejahteraan konsumen.97

Pemerintah bertindak sebagai pengayom masyarakat, dan juga sebagai Pembina pelaku usaha dalam meningkatkan kemajuan industri dan perekonomian negara. Bentuk perlindungan konsumen yang diberikan adalah dengan mengeluarkan undang-undang, peraturan-peraturan pemerintah, atau Penerbitan Standar Mutu Barang. Di samping itu, tidak kalah pentingnya adalah melakukan pengawasan pada penerapan peraturan, ataupun standar-standar yang telah ada.98

Sikap yang adil dan tidak berat sebelah dalam melihat kepentingan konsumen dan produsen diharapkan mampu memberikan perlindungan kepada konsumen. Perlindungan kepada konsumen tidak harus berpihak pada kepentingan konsumen yang merugikan kepentingan pelaku usaha, jadi harus ada keseimbangan.99

Bagi pelaku usaha atau produsen, mereka perlu menyadari bahwa kelangsungan hidup usahanya sangat tergantung pada konsumen. Untuk itu mereka mempunyai kewajiban untuk memproduksi barang dan jasa sebaik dan seaman mungkin dan berusaha untuk memberikan kepuasan kepada konsumen. Pemberian informasi yang benar tentang produk pangan yang bersumber dari luar negeri khususnya dalam hal ini produk pangan hasil teknologi rekayasa genetika

97

Ahmadi Miru, dan Sutarrnan Yodo, Hukum Perlindungan Konsumen, Cetakan kedua, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004, Hal. 110.

98

Ibid., Hal. 9. 99


(11)

menjadi arti yang sangat penting. Hal ini akan berhubungan dengan masalah keamanan, kesehatan maupun keselamatan konsumen.100

Hal-hal tersebut perlu disadari produsen. Pemahaman bahwa yang dimaksud dengan “konsumen” adalah “kita semua” sangatlah penting. Suatu musibah benar-benar dapat menimpa kita semua, termasuk juga produsen. Tidak ada satu pihak pun yang menjamin bahwa produsen tidak dapat ditipu, dan siapa yang menjamin bahwa pemerintah tidak dapat terjebak suatu transaksi atas suatu produk pangan hasil teknologi rekayasa genetika. Sebenarnya yang tidak kalah penting perannya dalam mewujudkan perlindungan konsumen adalah konsumen itu sendiri. Mereka mempunyai potensi dan kekuatan yang cukup, untuk melindungi diri mereka sendiri ataupun kelompoknya apabila terorganisir dengan baik, dan sangat mengharapkan adanya penegakan hukum dalam ruang lingkup perlindungan konsumen.101

Dalam melaksanakan penegakan hukum (law enforcemen) perlindungan konsumen, khususnya dalam hal peredaran produk pangan hasil teknologi rekayasa genetika, perlu adanya alat negara yang melaksanakannya. Berdasarkan Pasal 59 Undang-Undang Perlindungan Konsumen Nomor 8 Tahun 1999 telah diatur tentang penyidikan. Dalam pasal tersebut diatur bahwa selain Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia, Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu di lingkungan instansi pemerintah yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang perlindungan konsumen juga diberi wewenang khusus sebagai penyidik

100

Husin Syawali, Nemi Sri Imamyati, Hukum Perlindungan Konsumen, Penerbit CV. Mandar Majis, Cetakan pertama, Tahun 2000, Hal. 42.

101


(12)

sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Hukum Acara Pidana yang berlaku.102

Artinya, untuk melakukan penyidikan tentang produk pangan hasil teknologi rekayasa genetika, bukan hanya wewenang polisi, tetapi dapat juga dilakukan oleh Penyidik Pejabat Pegawai Negeri Sipil (PPNS). Penyidik PPNS tersebut berwenang:

103

1. Melakukan pemeriksaan atas kebenaran laporan atau keterangan berkenaan dengan tindak pidana di bidang perlindungan konsumen.

2. Melakukan pemeriksaan terhadap orang atau badan hukum yang diduga melakukan tindak pidana di bidang perlindungan konsumen.

3. Meminta keterangan dan bahan bukti dari orang atau badan hukum sehubungan dengan peristiwa tindak pidana di bidang perlindungan konsumen.

4. Melakukan pemeriksaan atas pembukuan, catatan, dan dokumen lain berkenaan dengan tindak pidana di bidang perlindungan konsumen.

5. Melakukan pemeriksaan di tempat tertentu yang diduga terdapat bahan bukti serta melakukan penyitaan terhadap barang hasil pelanggaran yang dapat dijadikan bukti dalam perkara tindak pidana di bidang perlindungan konsumen.

6. Meminta bantuan ahli dalam rangka pelaksanaan tugas penyidikan tindak pidana di bidang perlindungan konsumen.

102

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen Pasal 59.

103 Ibid.


(13)

Dalam melakukan kewenangannya, Penyidik PPNS tersebut memberitahukan dimulainya penyidikan dan hasil penyidikannya kepada Penyidik Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia dan menyampaikan hasil penyidikan kepada Penuntut Umum melalui Penyidik Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia. Di samping itu dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen Pasal 30 ayat 1 disebutkan bahwa “Pengawasan terhadap penyelenggaraan perlindungan konsumen serta penerapan ketentuan peraturan perundang-undangan diselenggarakan oleh pemerintah, masyarakat, dan lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat”.104

Dalam Penjelasan Umum Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2001 tentang Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Perlindungan Konsumen, disebutkan bahwa perlindungan konsumen dilakukan secara bersama oleh pemerintah, masyarakat, dan LPKSM, mengingat banyak ragam dan jenis barang dan/atau jasa yang beredar di pasar serta luasnya wilayah Indonesia. Berdasarkan penjelasan tersebut, tugas pengawasan tidak hanya dibebankan kepada pemerintah, masyarakat umum dan lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat (LPKSM).105

Sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen Pasal 30 ayat 3 bahwa “Pengawasan oleh masyarakat dan lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat dilakukan terhadap barang dan/atau jasa yang beredar di pasar”. Lebih lanjut, Pasal 4 mengatur bahwa, “Apabila hasil

104

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen

105

Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2001 tentang Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Perlindungan Konsumen.


(14)

pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat 3 ternyata menyimpang dari peraturan perundang-undangan yang berlaku dan membahayakan konsumen, Menteri dan/atau menteri teknis mengambil tindakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku”. Hasil pengawasan yang diselenggarakan masyarakat dan lembaga perlidungan konsumen swadaya masyarakat dapat disebarluaskan kepada masyarakat dan bisa disampaikan kepada menteri dan menteri teknis.

Di bawah ini akan dipaparkan beberapa pengawasan yang dilakukan oleh pemerintah, masyarakat, dan LPKSM.

1. Pengawasan oleh Pemerintah

Tugas pengawasan pemerintah terhadap penyelenggaraan perlindungan konsumen dilakukan oleh menteri atau menteri teknis terkait, bentuk pengawasan oleh pemerintah diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2001 tentang Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Perlindungan Konsumen Pasal 8 sebagai berikut:106

a. Pengawasan oleh pemerintah dilakukan terhadap pelaku usaha dalam memenuhi standar mutu produksi barang dan/atau jasa, pencantuman label dan klausula baku, promosi, pengiklanan, serta pelayanan purnajual barang dan/atau jasa.

b. Pengawasan sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 dilakukan dalam proses produksi, penawaran, promosi, pengiklanan, dan penjualan barang dan/atau jasa.

106

Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2001 tentang Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Perlindungan Konsumen Pasal 8


(15)

c. Hasil pengawasan sebagaimana dimaksud dalam ayat 2 dapat disebarluaskan kepada masyarakat.

d. Ketentuan mengenai tata cara pengawasan sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 ditetapkan oleh menteri dan atau menteri teknis terkait bersama-sama atau sendiri-sendiri sesuai dengan bidang tugas masing-masing.

2. Pengawasan oleh Masyarakat

Bentuk pengawasan oleh masyarakat diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2001 tentang Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Perlindungan Konsumen Pasal 9 sebagai berikut:107

a. Pengawasan oleh masyarakat dilakukan terhadap barang dan/atau jasa yang beredar di pasar.

b. Pengawasan sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 dilakukan dengan cara penelitian, pengujian, dan atau survei.

c. Aspek pengawasan meliputi pemuatan informasi tentang risiko penggunaan barang jika diharuskan, pemasangan label, pengiklanan, dan lain-lain yang disyaratkan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan dan kebiasaan dalam praktik dunia usaha.

d. Hasil pengawasan sebagaimana dimaksud dalam ayat 2 dapat disebarluaskan kepada masyarakat dan dapat disampaikan kepada menteri dan menteri teknis.

107


(16)

3. Pengawasan oleh Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat Bentuk pengawasan oleh LPKSM diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2001 tentang Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Perlindungan Konsumen Pasal 10 sebagai berikut:108

a. Pengawasan oleh LPKSM dilakukan terhadap barang dan/atau jasa yang beredar di pasar.

b. Pengawasan sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 dilakukan dengan cara penelitian, pengujian, dan atau survei (dalam Penjelasan PP No.58 Tahun 2001 tentang Cara Melakukan Pengawasan di samping melalui penelitian , pengujian, dan/atau survei bisa juga berdasarkan laporan dan pengaduan dari masyarakat baik yang bersifat perorangan maupun kelompok).

c. Aspek pengawasan meliputi pemuatan informasi tentang risiko penggunaan barang jika dihapuskan, pemasangan label, pengiklanan, dan lain-lain yang disyaratkan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan dan kebiasaan dalam praktik dunia usaha.

d. Penelitian pengujian dan/atau survei sebagaimana dimaksud dalam ayat 2 dilakukan terhadap barang dan/atau jasa yang diduga tidak memenuhi unsur keamanan, kesehatan, kenyamanan, dan keselamatan konsumen (dalam Penjelasan PP No.58 Tahun 2001 tentang Cara Melakukan Pengawasan di samping melalui penelitian , pengujian, dan/atau survei bisa juga berdasarkan laporan dan pengaduan dari masyarakat baik yang bersifat perorangan maupun kelompok).

108


(17)

e. Hasil pengawasan sebagaimana dimaksud dalam ayat 2 dapat disebarluaskan kepada masyarakat dan dapat disampaikan kepada menteri dan menteri teknis.

Pengujian terhadap barang dan/atau jasa yang beredar, sebagaimana diatur dalam pasal 10 di atas, dilakukan melalui laboratorium penguji yang telah diakreditasi sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku (ketentuan PP No.58 Tahun 2001). Maksud dari ketentuan ini adalah untuk mendapatkan hasil yang objektif, transparan, dan dapat dipertanggungjawabkan. Lembaga laboratorium yang terakreditasi bisa berupa lembaga nasional atau internasional.

C. Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN)

Selain melakukan tugas pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan perlindungan konsumen, peran pemerintah juga membentuk apa yang dimaksud dengan Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN). Badan ini dibentuk sebagai upaya pengembangan perlindungan konsumen sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen dan Peraturan Pemerintah Nomor 57 Tahun 2001 tentang Badan Perlindungan Konsumen Nasional.

Pembentukan lembaga konsumen semacam BPKN telah dipraktikkan di berbagai negara, seperti di Amerika Serikat ada The Food and Drug Administration (FDA), di Australia ada The Australian Competition and Consumer Comission (ACCC). Sebagai Badan Kesehatan Publik, tugas utama FDA adalah melindungi konsumen sebagaimana diamanatkan dalam


(18)

undang-undang federal, yang mencakup bidang makanan, obat-obatan, kosmetika, dan kesehatan pada umumnya. Sementara itu, tugas utama ACCC, yang dibentuk pada tanggal 6 November 1995 adalah menjalankan fungsi yang diberikan dalam dua undang-undang, yaitu Trade Practices Acts 1974 dan The Prices Surveillance Act 1983. Kedua undang-undang tersebut melarang praktik curang dalam bisnis yang mencakup banyak hal, termasuk isu perlindungan konsumen.109

Keanggotaan BPKN terdiri dari unsur pemerintah, pelaku usaha, Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat. Akademisi, dan tenaga ahli. Berdasarkan ketentuan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 57 Tahun 2001 tentang Badan Perlindungan Konsumen Nasional Pasal 4 ayat 1, BPKN terdiri atas seorang ketua merangkap anggota, seorang wakil ketua merangkap anggota. Saat ini, keseluruhan anggota BPKN berjumlah 17 orang dengan dibantu beberapa staf sekretariat. Masa jabatan mereka adalah tiga tahun, dan dapat diangkat kembali untuk satu kali masa jabatan berikutnya. BPKN berkedudukan di Jakarta dan bertanggung jawab kepada Presiden RI. Apabila BPKN diperlukan, bisa dibentuk perwakilan di ibu kota daerah provinsi untuk membantu pelaksanaan tugasnya. Kedudukan BPKN yang langsung bertanggung jawab kepada presiden adalah sangat kuat. Tentunya, kedudukan ini sangat penting dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen.110

Menurut pandangan Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, BPKN yang bertanggung jawab langsung kepada presiden merupakan bentuk perlindungan dari arus atas (top-down), sedangkan arus bawah (bottom-up) diperankan oleh

109

Shidarta, Op. cit., Hal. 107-108. 110

Peraturan Pemerintah Nomor 57 Tahun 2001 tentang Badan Perlindungan Konsumen Nasional


(19)

LPKSM yang representatif bisa menampung dan memperjuangkan aspirasi konsumen.111

Fungsi BPKN adalah memberikan saran dan pertimbangan kepada pemerintah dalam upaya mengembangkan perlindungan konsumen di Indonesia. Untuk menjalankan fungsi tersebut, BPKN dibebani tugas-tugas utama sebagaimana dinyatakan dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen Pasal 34. Dalam menjalankan tugas-tugasnya, BPKN bisa bekerja sama dengan organisasi konsumen internasional. Beberapa tugas utama BPKN adalah sebagai berikut:112

1. Memberikan saran dan rekomendasi kepada pemerintah dalam rangka penyusunan kebijaksanaan di bidang perlindungan konsumen.

2. Melakukan penelitian dan pengkajian terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku di bidang perlindungan konsumen.

3. Melakukan penelitian terhadap barang dan/atau jasa yang menyangkut keselamatan konsumen.

4. Mendorong berkembangnya lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat.

5. Menyebarluaskan informasi melalui media mengenai perlindungan konsumen dan memasyarakatkan sikap keberpihakan kepada konsumen. 6. Menerima pengaduan tentang perlindungan konsumen dari masyarakat,

lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat, atau pelaku usaha. 7. Melakukan survei yang menyangkut kebutuhan konsumen.

111

Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, Op. cit. 112

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 57 Tahun 2001 tentang Badan Perlindungan Konsumen Nasional, Pasal 3 ayat 2.


(20)

Jika dicermati, tugas-tugas BPKN tersebut memiliki banyak kesamaan dengan tujuan Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat (LPKSM), seperti Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI). Tujuan berdirinya YLKI adalah untuk memberikan bimbingan dan perlindungan kepada masyarakat konsumen menuju kesejahteraan keluarga. Secara praktis, tujuan tersebut diimplementasikan dalam bentuk penelitian, pendidikan, penerbitan, dan warta konsumen.

Menurut Undang-Undang Perlindungan Konsumen Pasal 37, persyaratan untuk menjadi anggota BPKN adalah sebagai berikut:113

1. Warga negara Republik Indonesia. 2. Berbadan sehat.

3. Berkelakuan baik.

4. Tidak pernah dihukum karena kejahatan.

5. Memiliki pengetahuan dan pengalaman di bidang perlindungan konsumen. 6. Berusia sekurang-kurangnya 30 tahun.

Sebagaimana ditentukan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 57 Tahun 2001 tentang Badan Perlindungan Konsumen Nasional Pasal 6, proses pengangkatan anggota BPKN melalui tahapan sebagai berikut:114

113

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.

114

Peraturan Pemerintah Nomor 57 Tahun 2001 tentang Badan Perlindungan Konsumen Nasional Pasal 6.


(21)

1. Menteri mengajukan usul calon anggota BPKN yang telah memenuhi persyaratan keanggotaan BPKN kepada presiden.

2. Calon anggota BPKN dikonsultasikan oleh presiden kepada Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR).

3. DPR memberikan pertimbangan dan penilaian terhadap calon anggota BPKN dan menyampaikan hasilnya kepada presiden.

7. Presiden mengangkat anggota BPKN dari calon anggota BPKN yang telah dikonsultasikan kepada DPR.

Proses pemberhentian anggota BPKN sama dengan ketika diangkat. Sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 57 Tahun 2001 tentang Badan Perlindungan Konsumen Nasional Pasal 7, proses pemberhentian anggota BPKN adalah sebagai berikut:115

1. Menteri mengajukan usul pemberhentian anggota BPKN yang tidak lagi memenuhi persyaratan keanggotaan BPKN kepada presiden.

2. Usul pemberhentian anggota BPKN tersebut dikonsultasikan oleh presiden kepada DPR.

3. DPR memberikan pertimbangan dan penilaian terhadap usul pemberhentian anggota BPKN dan menyampaikan hasilnya kepada presiden.

4. Presiden memberhentikan anggota BPKN yang telah dikonsultasikan kepada DPR.

115


(22)

Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 57 Tahun 2001 tentang Badan Perlindungan Konsumen, ditentukan bahwa “Presiden tidak dapat memberhentikan anggota BPKN apabila Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia memberikan pertimbangan dan penilaian untuk tidak memberhentikan anggota BPKN tersebut. Anggota BPKN yang berhenti atau diberhentikan sebelum masa jabatannya berakhir digantikan oleh anggota pengganti antar waktu. Pengangkatan dan pemberhentian anggota pengganti antar waktu dilakukan seperti pada pengangkatan dan pemberhentian anggota baru.

BPKN menjalankan tugas dan tata kerjanya berdasarkan undang-undang dan peraturan yang berlaku, disertai pula dengan adanya Keputusan Ketua BPKN Nomor 02/BPKN/Kep/12/2004. Untuk memperlancar kerja BPKN, dibentuklah tiga komisi, yaitu:116

1. Komisi I tentang penelitian dan pengembangan. 2. Komisi II tentang informasi, edukasi dan pengaduan. 3. Komisi III tentang kerja sama.

Di luar BPKN yang independen, dalam Pasal 29 dan 30 Undang-Undang Perlindungan Konsumen diamanatkan, pemerintah khususnya menteri yang membidangi perdagangan, ditugasi juga untuk mengkoordinasikan pembinaan dan pengawasan perlindungan konsumen secara nasional. Pembinaan dan pengawasan yang lebih khusus dilakukan oleh menteri-menteri teknis sesuai bidang tugas mereka. Menteri yang membidangi perdagangan itu berwenang membentuk tim

116


(23)

koordinasi pengawasan barang dan/atau jasa yang beredar di pasar. Tim ini terdiri atas wakil instansi terkait, masyarakat, dan lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat (LPKSM). Fungsi tim pun hanya sebatas memberikan rekomendasi kepada menteri untuk melakukan tindakan konkret, seperti penghentian produksi atau peredaran barang/jasa yang dinilai melanggar peraturan yang berlaku.

Dengan demikian, ada perbedaan antara BPKN dan tim diatas. BPKN berfungsi memberikan rekomendasi kepada Pemerintah dalam rangka penyusunan kebijakan di bidang perlindungan konsumen, sementara tim koordinasi yang dibentuk oleh menteri itu berfungsi memberikan rekomendasi berupa tindakan konkret atas setiap permasalahan yang timbul di lapangan.


(24)

BAB IV

PENANGANAN ATAS KELUHAN-KELUHAN KONSUMEN BERKAITAN DENGAN PRODUK PANGAN HASIL TEKNOLOGI

REKAYASA GENETIKA

A. Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK)

Hubungan hukum antara pelaku usaha/penjual dengan konsumen tidak tertutup kemungkinan timbulnya perselisihan/sengketa konsumen. Selama ini sengketa konsumen dieselesaikan melalui gugatan di pengadilan, namun pada kenyataannya yang tidak dapat dipungkiri bahwa lembaga pengadilan pun tidak akomodatif untuk menampung sengketa konsumen karena proses perkara yang terlalu lama dan sangat birokratis. Berdasarkan Pasal 45 UUPK setiap konsumen yang dirugikan dapat menggugat pelaku usaha melalui lembaga yang bertugas menyelesaikan sengketa antara konsumen dan pelaku usaha atau melalui peradilan yang berada di lingkungan peradilan umum. Di luar peradilan umum UUPK membuat terobosan dengan memfasilitasi para konsumen yang merasa dirugikan dengan mengajukan gugatan ke pelaku usaha di luar peradilan, yaitu Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK). Mekanisme gugatan dilakukan secara sukarela dari kedua belah pihak yang bersengketa. Hal ini berlaku untuk gugatan secara perorangan, sedangkan gugatan secara kelompok (class action) dilakukan melalui peradilan umum.


(25)

BPSK adalah pengadilan khusus konsumen (small claim court) yang sangat diharapkan dapat menjawab tuntutan masyarakat agar proses beperkara berjalan cepat, sederhana dan murah. Dengan demikian, BPSK hanya menerima perkara yang nilai kerugiannya kecil. Pemeriksaan dilakukan oleh hakim tunggal dan kehadiran penuh pihak ketiga (pengacara) sebagai wakil pihak yang bersengketa tidak diperkenankan. Putusan dari BPSK tidak dapat dibanding kecuali bertentangan dengan hukum yang berlaku.

Menurut Undang-Undang Perlindungan Konsumen Pasal 1 ayat 12, BPSK adalah ”badan yang bertugas menangani dan menyelesaikan sengketa antara pelaku usaha dan konsumen”.117

Di samping bertugas menyelesaikan masalah sengketa konsumen, BPSK juga bertugas memberikan konsultasi perlindungan konsumen. Bentuk konsultasinya sebagai berikut:

118

1. Memberikan penjelasan kepada konsumen atau pelaku usaha tentang hak dan kewajibannya masing-masing.

2. Memberikan penjelasan tentang bagaimana menuntut ganti rugi atas kerugian yang diderita oleh konsumen dan juga pelaku usaha.

3. Memberikan penjelasan tentang bagaimana memperoleh pembelaan dalam hal penyelesaian sengketa konsumen

4. Memberikan penjelasan tentang bagaimana bentuk dan tata cara penyelesaian sengketa konsumen.

117

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.

118


(26)

BPSK dibentuk oleh pemerintah untuk menyelesaikan sengketa konsumen di luar pengadilan. Kedudukan badan ini berada di daerah tingkat II. Susunan pengurus BPSK dibentuk oleh gubernur masing-masing provinsi dan diresmikan oleh Menteri Perdagangan. Anggota BPSK terdiri dari tiga unsur, yaitu pemerintah, konsumen, dan pelaku usaha. Masing-masing unsur tersebut terdiri dari minimal tiga orang dan maksimal lima orang. Pengangkatan dan pemberhentian anggota BPSK ditetapkan oleh menteri. Keanggotaan BPSK terdiri dari ketua merangkap anggota, wakil ketua merangkap anggota, dan anggota itu sendiri.119 Dalam hal ini penulis telah melakukan penelitian di BPSK Kota Medan dan telah mengetahui struktur keanggotaan di BPSK Kota Medan.120

1. Warga negara Republik Indonesia (WNI).

Persyaratan untuk menjadi anggota BPSK sebagai berikut:

2. Berbadan sehat. 3. Berkelakuan baik.

4. Tidak pernah dihukum karena kejahatan.

5. Memiliki pengetahuan dan pengalaman di bidang perlindungan konsumen. 6. Berusia sekurang-kurangnya 30 tahun.

Dalam menjalankan tugasnya BPSK dibantu oleh sekretariat. Sekretariat BPSK terdiri dari ketua sekretariat dan anggota sekretariat. Pengangkatan dan pemberhentian kepala sekretariat/anggota sekretariat BPSK ditetapkan oleh menteri.

119 Ibid. 120


(27)

Menurut Undang-Undang Perlindungan Konsumen Pasal 52, tugas dan wewenang BPSK sebagai berikut:121

1. Melaksanakan penanganan dan penyelesaian sengketa konsumen dengan cara mediasi, konsiliasi, atau arbitrase.

2. Memberikan konsultasi perlindungan konsumen.

3. Melakukan pengawasan terhadap pencantuman klusula baku.

4. Melaporkan kepada penyidik umum jika terjadi pelanggaran ketentuan dalam undang-undang ini.

5. Menerima pengaduan baik tertulis maupun tidak tertulis dari konsumen tentang terjadinya pelanggaran terhadap perlindungan konsumen.

6. Melakukan penelitian dan pemeriksaan sengketa perlindungan konsumen. 7. Memanggil pelaku usaha yang diduga telah melakukan pelanggaran

terhadap perlindungan konsumen.

8. Memanggil dan menghadirkan saksi, saksi ahli dan/atau setiap orang yang dianggap mengetahui pelanggaran terhadap undang-undang ini.

9. Meminta bantuan penyidik untuk menghadirkan pelaku usaha, saksi, saksi ahli, atau setiap orang sebagaimana dimaksud di angka 7 dan 8, yang tidak bersedia memenuhi panggilan BPSK.

10. Mendapatkan, meneliti dan/atau menilai surat, dokumen, atau alat bukti lain guna penyelidikan dan atau pemeriksaan.

11. Memutuskan dan menetapkan ada atau tidak adanya kerugian di pihak konsumen.

121

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.


(28)

12. Memberitahukan putusan kepada pelaku usaha yang melakukan pelanggaran terhadap perlindungan konsumen.

13. Menjatuhkan sanksi administratif kepada pelaku usaha yang melanggar ketentuan undang-undang ini.

Dalam menangani dan menyelesaikan sengketa konsumen, BPSK membentuk majelis. Jumlah anggota majelis harus ganjil dan sedikit-dikitnya tiga orang yang mewakili unsur pemerintah, konsumen, dan pelaku usaha (dibantu oleh seorang panitera).122

Konsumen yang merasa hak-haknya telah dirugikan bisa mengajukan permohonan penyelesaian sengketa konsumen ke sekretariat BPSK. Pelaku usaha juga bisa melakukan hal yang sama. Surat permohonan tersebut bisa berupa permohonan secara tertulis atau secara lisan. Permohonan tersebut juga bisa diajukan oleh ahli waris dan kuasanya jika ternyata konsumen yang bersangkutan telah meninggal dunia, sedang sakit, telah lanjut usia, belum dewasa, atau orang yang berkewarganegaraan asing. Permohonan yang dibuat secara tertulis akan diberikan bukti tanda terima oleh sekretariat BPSK, sedangkan permohonan yang dibuat secara lisan akan dicatatkan dalam suatu format yang telah disediakan dengan dibubuhi tanda tangan atau cap jempol konsumen yang bersangkutan atau yang mewakilinya. Berkas permohonan yang telah dicatatkan oleh sekretariat BPSK kemudian ditulis tanggal dan nomor registrasi. Permohonan penyelesaian sengketa konsumen sebaiknya memang diajukan secara tertulis dengan memenuhi beberapa persyaratan yang telah ditetapkan, karena bisa dijadikan tanda bukti

122


(29)

bahwa permohonan sudah diajukan. Jika permohonan tidak memenuhi persyaratan, BPSK bisa menolak permohonan tersebut. Persyaratan yang dimaksud adalah sebagai berikut:123

1. Nama dan alamat lengkap konsumen (bisa ahli waris atau kuasanya yang disertai dengan surat kuasa bermaterai).

2. Nama dan alamat pelaku usaha. 3. Rincian barang/jasa yang diadukan.

4. Bukti perolehan barang/jasa seperti bon, faktur, kuitansi, dan dokumen pembuktian lainnya (jika ada).

5. Keterangan tempat, waktu, dan tanggal diperolehnya barang/jasa tersebut. 6. Saksi yang mengetahui barang/jasa tersebut diperoleh (jika ada).

7. Foto-foto barang dan kegiatan pelaksanaan jasa (jika ada).

BPSK wajib mengeluarkan putusan paling lambat dalam waktu 21 hari kerja setelah gugatan diterima. Undang-Undang Perlindungan Konsumen Pasal 56 mengatur lebih lanjut hal-hal yang berkaitan dengan hasil putusan yang dikeluarkan oleh BPSK sebagai berikut:124

1. Dalam waktu paling lambat tujuh hari kerja sejak menerima putusan BPSK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 pelaku usaha wajib melaksanakan putusan tersebut.

2. Para pihak bisa mengajukan keberatan kepada pengadilan negeri paling lambat 14 hari kerja setelah menerima pemberitahuan putusan tersebut.

123

Lampiran 124

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.


(30)

3. Pelaku usaha yang tidak mengajukan keberatan dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat 2 dianggap menerima putusan BPSK. 4. Jika ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dan ayat 3 tidak

dijalankan oleh pelaku usaha, BPSK menyerahkan putusan tersebut kepada penyidik untuk melakukan penyidikan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.

5. Putusan BPSK sebagaimana dimaksud pada ayat 3 merupakan bukti permulaan yang cukup bagi penyidik untuk melakukan penyidikan.

Tentang pengajuan keberatan sebagaimana disebutkan pada poin (ayat 2 Pasal 56) tersebut, pengadilan negeri wajib mengeluarkan putusan atas keberatan dalam waktu paling lambat 21 hari sejak diterimanya keberatan. Terhadap putusan pengadilan negeri tersebut, para pihak dalam waktu paling lambat 14 hari bisa mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung Republik Indonesia (MA). Mahkamah Agung wajib mengeluarkan putusan dalam waktu paling lambat 30 hari sejak menerima permohonan kasasi.125

Dari keseluruhan proses persidangan berdasarkan ketentuan Undang-Undang Perlindungan Konsumen, terlihat setidak-tidaknya dari sudut biaya dan waktu penyelenggaraan keadilan itu, pihak konsumen dan pelaku usaha yang jujur dan bertanggung jawab dimudahkan dan dipercepat. Dalam menghadapi situasi sekarang, konsumen mengharapkan pelayanan birokrasi menjadi lebih baik, paling tidak beberapa indikator atau kriteria yang ditawarkan di atas semaksimal mungkin dipenuhi. Abdi negara sudah seharusnya melayani kepentingan

125

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.


(31)

masyarakat dan bukan dilayani oleh masyarakat. Mengingat salah satu tolak ukur dari majunya suatu negara adalah nilai dari pelayanan terhadap masyarakat oleh aparatur negara.

B. Instansi Pemerintah

Kemajuan teknologi telah menimbulkan perubahan cepat dan signifikan pada makanan, industri farmasi, kosmetika, alat kesehatan, dan obat asli Indonesia. Dengan teknologi yang semakin canggih, industri-industri tersebut mampu memproduksi berbagai produk dalam skala yang sangat besar. Dengan dukungan kemajuan teknologi transportasi, produk-produk tersebut dapat menyebar ke berbagai tempat dalam waktu yang singkat dan mampu menjangkau seluruh lapisan masyarakat.126 Di sisi lain, konsumsi masyarakat terhadap makanan cenderung meningkat. Hal itu seiring dengan perubahan gaya hidup masyarakat termasuk pola konsumsinya. Ditambah pula dengan gencarnya iklan dan promosi di berbagai media, turut mendorong konsumen untuk mengonsumsinya secara berlebihan, namun seringkali tidak rasional. Sementara itu pengetahuan masyarakat masih belum memadai untuk dapat memilih dan menggunakan produk tersebut secara tepat, benar, dan aman.127

Dengan alasan tersebut di atas, maka pemerintah Indonesia memerlukan Sistem Pengawasan Obat dan Makanan (SisPOM) yang efektif sehingga mampu mendeteksi, mencegah, dan mengawasi produk-produk tersebut guna melindungi keamanan, keselamatan, dan kesehatan konsumennya. Berdasarkan Keputusan

126

Zumrotin K. Susilo, Menyambung Lidah Konsumen, diterbitkan atas kerja sama YLKI dengan Puspa Swara, April 1996, Hal. 63

127


(32)

Presiden Nomor 166 Tahun 2000 dan Keputusan Presiden Nomor 103 Tahun 2001 dibentuklah Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), yang dalam pelaksanaan tugasnya berkoordinasi dengan Menteri Kesehatan.128

Konsumen seringkali tidak mengetahui kemana masalah ini harus diadukan ketika dirugikan produsen, khususnya produsen makanan, komoditi yang sering dikonsumsi sehari-hari. Untuk mengatasi hal tersebut, Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) membuka sebuah unit pelayanan yang menampung semua keluhan konsumen. Unit ini dinamakan dengan Unit Layanan Pengaduan Konsumen (ULPK). Diharapkan melalui ULPK ini, masyarakat Indonesia bisa mendapatkan informasi dan mengadukan berbagai kasus yang berkaitan dengan obat, makanan, dan minuman yang beredar di pasaran. Informasi ini berhubungan dengan mutu, harga, efek samping, aturan pakai, kode produksi, sampai peraturan yang melandasi ruang gerak Badan POM, termasuk terhadap produk pangan hasil teknologi rekayasa genetika. ULPK diresmikan pada 1 April 1998 oleh Menteri Kesehatan, (saat itu Prof. Fariz Anfasa Moeloek).

Lembaga ini melaksanakan tugas pemerintahan di bidang pengawas obat dan makanan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku, dengan kewenangannya antara lain pemberian izin dan pengawasan peredaran obat serta pengawasan industry farmasi. Hal ini dilandasi untuk kepentingan konsumen.

129

ULPK melayani pengaduan dan konsultasi gratis setiap hari. Pengaduan bisa dilakukan melalui telepon, faksimili, email atau langsung mendatangi kantor

128

Keputusan Presiden Nomor 166 Tahun 2002 dan Keputusan Presiden Nomor 103 Tahun 2001 tentang Sistem Pengawasan Obat dan Makanan, (Sispom).

129

Gatot Ibrahim W., Jangan Ragu Untuk Mengadu,


(33)

ULPK. ULPK akan menanggapi keluhan konsumen dengan cepat. Bila kasus yang diadukan memerlukan analisis yang mendalam, petugas akan menyampaikan keluhan konsumen kepada unit teknis Badan POM terkait yang siap menindaklanjuti dan memberikan jawaban dalam tempo 24 jam. Kalau ternyata hasil analisis menunjukkan bahwa kasus yang dilaporkan konsumen merugikan orang banyak, Badan POM selaku instansi yang berwenang tidak segan untuk memberikan peringatan keras berikut sanksi kepada produsen atau pelaku bisnis yang bersangkutan. Keberadaan unit ini diharapkan juga akan meningkatkan pengawasan dari masyarakat untuk kepentingan mereka sendiri. Masyarakat akan semakin kritis memilih dan mengawasi produk sesuai dengan kebutuhan dan kualitas yang diinginkannya. Hal ini berhubungan dan merupakan implementasi dari Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Mempersiapkan konsumen untuk bersikap kritis adalah mutlak diperlukan apabila Indonesia tidak mau tergelincir dalam menghadapi pasar bebas.130

Dalam rangka penegakan hukum dan meningkatkan kredibilitas professional yang tinggi, maka kewenangan SisPom meliputi:

131

1. Pengaturan, relugasi, dan standardisasi.

2. Lisensi dan sertifikasi industri di bidang farmasi berdasarkan cara-cara produksi yang baik.

3. Evaluasi produk sebelum diizinkan beredar.

130

Zumrotin K. Susilo, Op. cit., Hal. 4. 131

Lihat Keputusan Presiden Nomor 166 Tahun 2000 dan Keputusan Presiden Nomor 103 Tahun 2001 tentang Sistem Pengawasan Obat dan Makanan (SisPOM).


(34)

4. Post marketing vigilance termasuk sampling dan pengujian laboratorium, pemeriksaan sarana produksi dan distribusi, penyidikan, dan penegakan hukum.

5. Pre audit dan pasca audit iklan dan promosi produk.

6. Riset terhadap pelaksanaan kebijakan pengawasan obat dan makanan. 7. Komunikasi, informasi, dan edukasi publik termasuk peringatan publik.

Agar mampu melaksanakan tugas dan fungsinya secara efektif dan efisien, serta memiliki kemampuan beradaptasi dan berinovasi sesuai dengan kebutuhan lingkungan yang berubah dengan cepat, perlu dilakukan transformasi mendasar, mencakup antara lain:132

a. mental model dan sistem berpikir sumber daya manusia; b. sistem operasi yang terkendali oleh kinerja melalui insentif;

c. struktur pengambilan keputusan yang mampu menciptakan akuntabilitas publik;

d. peraturan perundang-undangan sesuai dengan perkembangan.

Kebijakan revitalisasi Badan POM diarahkan terutama pada kegiatan prioritas yang memiliki efek sinergi dan daya dorong yang besar terhadap tujuan perlindungan masyarakat luas, mencakup antara lain:133

1. Evaluasi mutu, keamanan dan khasiat produk berisiko oleh tenaga ahli berdasarkan bukti-bukti ilmiah.

2. Standardisasi mutu produk untuk melindungi konsumen sekaligus meningkatkan daya saing menghadapi era pasar bebas.

132 Ibid. 133


(35)

3. Pelaksanaan cara-cara produksi dan distribusi yang baik sebagai built-in control.

4. Operasi pemeriksaan dan penyidikan terhadap produksi, distribusi dan peredaran narkotika, psikotropika dan precursor serta produk-produk ilegal. 5. Monitoring iklan dengan melibatkan peran aktif masyarakat dan organisasi

profesi.

6. Komunikasi, informasi, dan edukasi kepada masyarakat untuk meningkatkan kesadaran dan pengetahuan terhadap mutu, khasiat dan keamanan produk.

7. Bimbingan teknis terutama kepada industri kecil menengah yang berfokus pada peningkatan kualitas produk.

Dengan dasar-dasar tersebut di atas, maka Badan POM mempunyai beberapa tujuan yang diharapkan dapat memberikan alat preventif untuk melakukan perlindungan konsumen. Beberapa tujuan yang menjadi target kinerja dari Badan POM adalah:134

1. Terkendalinya penyaluran produk terapetik dan NAPZA.

2. Terkendalinya mutu, keamanan, dan khasiat/kemanfaatan produk obat dan makanan termasuk klim pada label dan iklan di peredaran.

3. Tercegahnya risiko penggunaan bahan kimia berbahaya sebagai akibat pengelolaan yang tidak memenuhi syarat.

4. Penurunan kasus pencemaran pangan.

134 Ibid.


(36)

5. Peningkatan kapasitas organisasi yang didukung dengan kompetensi dan keterampilan personil yang memadai.

6. Terwujudnya komunikasi yang efektif dan saling menghargai antara sesame dan pihak terkait.

Pemerintah bekerjasama dengan YLKI pada Tahun 2002 telah melakukan penelitian dengan mengambil sampel secara acak di beberapa supermarket, hypermarket dan pasar tradisional di Jakarta menunjukkan 6 dari 17 pangan turunan kedelai dan jagung positif mengandung bahan rekayasa genetika, dapat dilihat pada tabel di bawah ini.

Tabel Hasil Uji Kualitatif Pangan Rekayasa Genetika

No Jenis Merek No.Batch/

exp. date

No. Depkes Produsen Alamat

Produsen

Hasil Lab.

1 Susu formula

Nan 1 PE6EH/04

2003

ML 5104230020 16

Nestle - Negatif

2 Susu formula

Morinaga 10833/13 Feb 04 MD 5104101220 22 PT Ultrajaya u/PT sanghiang Perkasa

- Negatif

3 Kecap Indofood 08FICII6/08 Jun 03 MD 2454100112 26 PT Cakrapangan Sejati u/PT Indosentra Pelangi PO BOX No. 4520 JKTF 11045 Positif

4 Kecap ABC 3/07.11.03 MD

2454090090 02 PT Heinz ABC Indonesia PO BOX 4608/JKT 10001 Positif

5 Kecap Bango 100804 MD

2454090041 72 PT Sakura Aneka Food Jakarta Telp: 5480376 Positif

6 Mie instan

Indomie JKTB20231/ 0(1)0702

MD 2272090080 03

PT Indofood Sukses Makmur Tbk

- Negatif

7 Mie instan

ABC EO30602 MD

2272100471 78 PT ABC President Enterprises Indonesia Karawang 41371 Negatif

8 Mie Instan

GaGa 100 MFG121609 1/0702 MD 2272101781 77 PT Jakarana Tama Bogor 16720


(37)

9 Kentan g Mister Potato 1K/30.4.200 2 ML 2622010010 81 PT Pacific Food Indonesia Jl. Manis III No. 6 Kawasan Industri Manis Jatake Tangerang Negatif

10 Kentan g

Chitato TO832310/ 23 Feb 02

MD 2622110130 06 Indofood Fritolay Semarang Layanan konsumen: PO BOX 4112, Jakarta 11041 Negatif

11 Jagung Corn Flake ‘Simba’

060902 MD

8622100563 65 PT Simba Indosnack Makmur Gunung Putri Bogor 16964 Positif

12 Jagung Corn Flake Nestle 01102002PH PIAHAJ ML 8622110060 04 PT Nestle Indonesia Jakarta 12520 Negatif

13 Jagung Happytos Tortilla chips 27April 2002 MD 2622130012 66

S.A Products - Negatif

14 Susu Formul a Isomil Soy Infant Formula 72086NR/12 2003 ML 5105020010 60 PT Abbott Indonesia Jakarta PO BOX 2387/Jkt 10001 Positif

15 Susu Formul a Wyeth S-26 1017818/ MAR28 2004 MD 5104100460 08 PT Sugizindo Citeureup Indonesia

- Negatif

16 Susu Formul a

Enfamil E1119D010 1/01 Apr 2004 MD 5104101080 08 PT Sugizindo Bogor u/PT Indexim Alpha PO BOX 2833/Jkt 10028 Negatif

17 Kentan g

Pringleys L118016620 0 0113/Nov-02

ML 3622040043 21

The Procter & Gamble Co.

Indonesia

Jakarta Positif

Berdasarkan tabel diatas, penulis dapat mengetahui bahwa produk pangan hasil rekayasa genetika sudah banyak ditemukan di pasaran. Namun sejauh ini, pemerintah belum pernah mendapatkan pengaduan dari masyarakat atas produk pangan rekayasa genetika yang pernah dikonsumsi. Meskipun belum ada pengaduan, pemerintah diharapkan bersedia mencegah serta menerima semua pengaduan dari masyarakat khususnya mengenai produk pangan hasil rekayasa


(38)

genetika. Begitu juga sebaliknya, masyarakat diharapkan lebih waspada dan lebih selektif dalam memilih makanan yang akan dikonsumsi dan tidak ragu-ragu untuk melaporkan apabila masyarakat menemukan ataupun menderita kerugian akibat mengkonsumsi makanan khususnya pangan hasil rekayasa genetika.

C. Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat

Penyelenggaraan perlindungan konsumen di Indonesia perlu didukung oleh semua pihak, baik pemerintah maupun masyarakat. Untuk meningkatkan penyelenggaraan perlindungan konsumen, pemerintah memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk berperan aktif dalam mewujudkan perlindungan konsumen. Salah satu peran masyarakat adalah lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat (LPKSM).135

Menurut defenisi Undang-Undang Perlindungan Konsumen Pasal 1, LPKSM adalah “lembaga non-pemerintah yang terdaftar dan diakui oleh pemerintah yang mempunyai kegiatan menangani perlindungan konsumen”.

Kian ketatnya persaingan dalam merebut pangsa pasar melalui bermacam-macam produk barang, maka perlu keseriusan Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat (LPKSM) perlu memantau secara serius pelaku usaha/penjual yang hanya mengejar profit semata dengan mengabaikan kualitas produk barang.

136

LPKSM memiliki kesempatan untuk berperan aktif dalam mewujudkan perlindungan konsumen. Menurut Undang-Undang Perlindungan Konsumen Pasal 44 dan Peraturan Pemerintah Nomor 59 Tahun 2001 tentang Perlindungan

135

Happy Susanto, Op. cit., Hal. 89. 136

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.


(39)

Konsumen Swadaya Masyarakat Pasal 3-9, tugas LPKSM yakni sebagai berikut:137

1. Menyebarkan informasi dalam rangka meningkatkan kesadaran atas hak dan kewajiban serta kehati-hatian konsumen dalam mengonsumsi barang dan/atau jasa. Penyebaran informasi yang dilakukan oleh LPKSM, meliputi penyebarluasan berbagai pengetahuan mengenai perlindungan konsumen termasuk peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan masalah perlindungan konsumen.

2. Memberikan nasihat kepada konsumen yang memerlukan secara lisan atau tertulis agar konsumen bisa melaksanakan hak dan kewajibannya.

3. Melakukan kerja sama dengan instansi terkait dalam upaya mewujudkan perlindungan konsumen. Pelaksanaan kerja sama LPKSM dengan instansi terkait ini meliputi pertukaran informasi mengenai perlindungan konsumen, pengawasan atas barang dan/atau jasa yang beredar, dan penyuluhan serta pendidikan konsumen.

4. Membantu konsumen dalam memperjuangkan haknya, termasuk menerima keluhan atau pengaduan konsumen. Dalam membantu konsumen untuk memperjuangkan haknya, LPKSM bisa melakukan advokasi atau pemberdayaan konsumen agar mampu memperjuangkan haknya secara mandiri, baik secara perorangan maupun kelompok.

5. Melakukan pengawasan bersama pemerintah dan masyarakat terhadap pelaksanaan perlindungan konsumen. Pengawasan perlindungan konsumen

137

Peraturan Pemerintah Nomor 59 Tahun 2001 tentang Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat


(40)

oleh LPKSM bersama pemerintah dan masyarakat dilakukan atas barang atau jasa yang beredar di pasar dengan cara penelitian, pengujian dan/atau survei.

Berdasarkan ketentuan Undang-Undang Perlindungan Konsumen yang berlaku, pemerintah hanya mengakui LPKSM yang memenuhi syarat. Persyaratan LPKSM yang diakui pemerintah yakni sebagai berikut:138

1. Terdaftar di pemerintah kabupaten/kota.

2. Bergerak di bidang perlindungan konsumen sebagaimana tercantum dalam anggaran dasarnya.

Proses dan tata cara pendaftaran LPKSM diatur dalam Keputusan Menteri (Kepmen) Perindustrian dan Perdagangan Nomor 302/MPP/Kep/10/2001 tentang Pendaftaran LPKSM. LPKSM yang telah diakui oleh pemerintah karena telah memenuhi persyaratan yang ditentukan, perlu melakukan pendaftaran dan penerbitan tanda daftar lembaga perlindungan konsumen (TDLPK). Kewenangan penerbitan TDLPK ada pada menteri. Menteri kemudian melimpahkan kewenangan penerbitan TDLPK kepada bupati/walikota. Bupati/walikota bisa melimpahkan kembali kewenangan kepada kepala dinas. TDLPK diterbitkan berdasarkan tempat kedudukan atau domisili LPKSM. TDLPK tersebut berlaku di seluruh wilayah Indonesia. Kantor cabang atau kantor perwakilan LPKSM dalam menjalankan kegiatan penyelenggaraan perlindungan konsumen bisa

138


(41)

mempergunakan TDLPK kantor pusat dan dibebaskan dari pendaftaran untuk memperoleh TDLPK.139

1. Permohonan untuk memperoleh TDLPK diajukan oleh lembaga swadaya masyarakat (LSM) kepada bupati/walikota melalui kepala dinas setempat, dengan mengisi formulir surat permohonan (SP-TDLPK) model A sebagaimana dimaksud dalam lampiran I keputusan menteri ini.

Sebagaimana diatur dalam Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor 302/MPP/Kep/10/2001 Pasal 6, tata cara pendaftarannya yakni sebagai berikut:

2. Jika kewenangan pemberian TDLPK dilimpahkan kepada kepala dinas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat 3. Permohonan diajukan langsung kepada kepala dinas setempat dengan mengisi formulir surat permohonan (SP-TDLPK) model A, sebagaimana dimaksud dalam lampiran I keputusan menteri ini.

3. Permohonan TDLPK sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 dan ayat 2 ditandatangani oleh pimpinan LSM, penanggung jawab, atau kuasanya. Dalam proses permohonan pendaftaran TDLPK perlu melampirkan dokumen-dokumen sebagai berikut:140

a. LSM yang berstatus badan hukum (yayasan) melampirkan:

1. Salinan akta notaris pendirian badan hukum/yayasan yang telah mendapat pengesahan badan hukum dari menteri hukum dan hak azasi manusia atau instansi yang berwenang.

139

Happy Susanto, Ibid., Hal. 90-91. 140


(42)

2. Salinan kartu tanda penduduk (KTP) pimpinan/penanggung jawab LSM yang masih berlaku.

3. Salinan surat keterangan tempat kedudukan/domisili LSM dari lurah/kepala desa setempat.

b. LSM yang tidak berstatus badan hukum maupun yayasan melampirkan: 1. Salinan akta notaries pendirian LSM atau akta notaries yang telah

mendapat pengesahan dari instansi yang berwenang.

2. Salinan KTP pimpinan/penanggung jawab LSM yang masih berlaku.

3. Salinan surat keterangan tempat kedudukan/domisili LSM dari lurah/kepala desa setempat.

Status dan kedudukan LPKSM bisa dibatalkan oleh pemerintah jika mengandung aspek-aspek berikut ini:

1. Tidak lagi menjalankan kegiatan perlindungan konsumen.

2. Terbukti melakukan kegiatan pelanggaran atas ketentuan Undang-Undang Perlindungan Konsumen dan peraturan pelaksanaannya.

Konsumen yang dirugikan oleh pelaku usaha bisa mengadukan ke LPKSM agar suara dan haknya bisa diperjuangkan. Sebagaimana dijelaskan pada bagian tugas-tugas LPKSM, di samping memberikan informasi dan memberikan nasihat kepada konsumen, lembaga ini juga bisa memperjuangkan hak-hak konsumen. Oleh karena itu, konsumen yang merasa hak-haknya telah dilanggar bisa mengadukannya ke LPKSM yang ada di berbagai daerah di Indonesia. Banyak konsumen di Indonesia yang hanya melakukan pengaduan dengan mengirimkan


(43)

surat ke pihak pelaku usaha yang dianggap telah melanggar hak-haknya. Ada juga yang menulis dan mengirimkan surat pembaca ke berbagai macam media massa. Meskipun diakui cara-cara tersebut baik dan barangkali bisa memberikan hasil yang memuaskan, ada cara lain yang kiranya bisa dilakukan. Cara yang dimaksud adalah dengan meminta bantuan LPKSM untuk membantu menyelesaikan masalah. LPKSM akan membantu para konsumen yang ingin mengadukan hak-haknya. Konsumen bisa datang langsung atau melalui telepon. Dengan bantuan LPKSM, biasanya konsumen yang akan mengadukan haknya juga memperoleh banyak pengetahuan hukum yang sangat berarti sebagai bekal atau dasar untuk menyelesaikan masalahnya, termasuk dalam penyelesaian sengketa dengan pelaku usaha nantinya.

Dalam hal ini penulis telah melakukan tinjauan ke LPKSM di Medan. Dan dari hasil tinjauan yang dilakukan sejauh ini belum ada kasus yang diadukan oleh konsumen mengenai produk pangan hasil rekayasa genetika. Namun meskipun belum ada kasus yang diadukan oleh konsumen namun diharapkan pemerintah lebih bersikap preventif dalam menangani peredaran produk pangan tersebut. Dan masyarakat juga diharapkan peduli terhadap makanan yang dikonsumsi serta tidak ragu-ragu untuk membuat pengaduan apabila masyarakat dirugikan terkait pangan rekayasa genetika.


(44)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

Dalam bab terakhir ini penulis akan membuat kesimpulan dari pembahasan dalam bab-bab terdahulu yang berhubungan dengan Perlindungan Konsumen Terhadap Peredaran Produk Pangan Hasil Teknologi Rekayasa Genetika.

A. Kesimpulan

Dari kesimpulan pembahasan dalam Bab II sampai Bab IV, dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut :

1. Pengaturan produk pangan dalam kaitannya dengan perlindungan konsumen, telah diatur secara maksimal dan saling mendukung, sehingga tercipta harmonisasi peraturan perundang-undangan, khususnya hukum perlindungan konsumen terhadap peredaran produk pangan hasil teknologi rekayasa genetika. Peraturan perundang-undangan tersebut adalah:

1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan.

2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup.

3. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. 4. Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 1999 tentang Label dan Iklan

Pangan.

5. Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2004 tentang Keamanan, Mutu dan Gizi Pangan.


(45)

6. Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2005 tentang Keamanan Hayati Produk Rekayasa Genetik.

7. Surat Keputusan Bersama Empat Menteri Tahun 1999 tentang Keamanan Hayati dan Keamanan Pangan Produk Hasil Rekayasa Genetik.

2. Peran pemerintah dalam melindungi konsumen terhadap produk pangan hasil teknologi rekayasa genetika adalah mengembangkan perlindungan konsumen di Indonesia serta melaksanakan penegakan hukum (law enforcement) atas peraturan perundang-undangan yang berlaku. Bentuk perlindungan konsumen yang diberikan Pemerintah sebagai pengayom masyarakat konsumen dan juga sebagai Pembina pelaku usaha adalah dengan mengeluarkan undang-undang, peraturan-peraturan pemerintah, atau peraturan lain serta melakukan pengawasan pada penerapan peraturan, ataupun standar-standar perlindungan konsumen yang telah ada.

3. Penanganan atas keluhan-keluhan konsumen berkaitan dengan peredaran produk pangan hasil teknologi rekayasa genetika dilakukan oleh Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen, Instansi Pemerintah melalui Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) dengan cara membuka suatu unit pelayanan yang menampung semua keluhan konsumen. Unit ini dinamakan dengan Unit Layanan Pengaduan Konsumen (ULPK). Selain itu, penanganan keluhan konsumen dapat dilakukan juga oleh Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat. Diharapkan melalui lembaga-lembaga di atas, masyarakat selaku konsumen bisa mendapatkan informasi dan


(46)

mengadukan berbagai kasus yang berkaitan dengan produk pangan hasil teknologi rekayasa genetika yang beredar di pasaran.

B. Saran

Melihat dari masih banyaknya kendala dalam perlindungan konsumen atas produk pangan yang mengandung bahan rekayasa genetika berikut ini penulis dapat mengusulkan saran sebagai berikut:

1. Perlu dibuat penyesuaian terhadap peraturan perundang-undangan yang telah ada untuk dapat menjangkau perkembangan pengetahuan dan teknologi sehingga lebih mudah pada tingkat implementasinya. Selain itu perlu adanya harmonisasi peraturan nasional dengan peraturan internasional sehingga dapat diminimalisasi masuknya produk-produk yang mengandung bahan rekayasa genetika ke dalam teritori nasional. Selain itu perlu adanya penegakan hukum (law enforcement) yang lebih baik dalam rangka pemenuhan hak konsumen di bidang pangan. Pemerintah dan pelaku usaha harus memberikan informasi yang seluas-luasnya kepada semua pihak yang terlibat produk rekayasa genetika, mengenai risiko dan keuntungannya sehingga masyarakat dapat melakukan pilihan yang cerdas atas produk-produk rekayasa genetika yang beredar di pasaran. Dengan adanya law enforcement ini diharapkan pelaku usaha yang melakukan pelanggaran diberikan sanksi yang tegas sehingga dapat menimbulkan efek jera bagi pelaku usaha yang lainnya.


(47)

2. Peran pemerintah dalam memberikan perlindungan hukum kepada masyarakat, harus disertai juga dengan peran serta yang aktif dari masyarakat untuk bersama-sama mewujudkan perlindungan konsumen yang dapat memberikan kontribusi bagi dunia usaha, sehingga diharapkan dapat memberikan manfaat yang saling menguntungkan.

3. Perlu dibentuk peraturan pelaksanaan khusus oleh pemerintah tentang ketentuan peredaran produk pangan hasil teknologi rekayasa genetika. Hal ini diharapkan dapat memberikan dasar hukum yang lebih teknis dan rinci sebagai pelaksanaan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan dan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.


(48)

BAB II

PENGATURAN PEREDARAN PRODUK PANGAN HASIL TEKNOLOGI REKAYASA GENETIKA DALAM KERANGKA HUKUM

PERLINDUNGAN KONSUMEN

A. Peraturan Yang Mengatur Tentang Peredaran Produk Pangan Hasil Teknologi Rekayasa Genetika di Indonesia

Peraturan yang dibuat oleh pemerintah yang mengatur tentang produk pangan sudah merupakan kewajiban pemerintah. Salah satu produk hukum tentang pangan adalah Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan. Undang-Undang tentang Pangan dimaksudkan sebagai landasan hukum bagi pengaturan, pembinaan, dan pengawasan terhadap kegiatan atau proses produksi, peredaran, dan atau perdagangan pangan. Sebagai landasan hukum di bidang pangan, Undang-Undang tentang Pangan dimaksudkan menjadi acuan dari berbagai peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan pangan, baik yang sudah ada maupun yang akan dibentuk. Sebelum dilakukan pengkajian dan pembahasan tentang produk pangan hasil teknologi rekayasa genetika, maka sebaiknya diperlukan suatu inventarisasi peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan produk pangan, khususnya tentang produk pangan hasil teknologi rekayasa genetika. Dari inventarisasi peraturan perundang-undangan yang dilakukan, maka didapatkan beberapa pengaturan, baik dalam bentuk undang-undang maupun peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), yaitu sebagai berikut:


(49)

1. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan; 2. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan;

3. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen; 4. Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 1999 tentang Label dan Iklan

Pangan;

5. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2004 tentang Keamanan, Mutu dan Gizi Pangan;

6. Keputusan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Nomor HK.00.05.23.51.02961 tentang Pendaftaran Produk Pangan Impor Terbatas, tanggal 28 September 2001;

7. Keputusan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Nomor HK.00.05.23.0131 tentang Pencantuman Asal Bahan Tertentu, kandungan Alkohol, dan Batas Kadaluwarsa Pada Penandaan/Label Obat, Obat Tradisional, Suplemen Makanan, dan Pangan, tanggal 13 Januari 2003;

8. Keputusan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Nomor HK.00.05.5.1641 tentang Pedoman Pemeriksaan Sarana Produksi Pangan Industri Rumah Tangga (IRT).

Dari inventarisasi peraturan perundang-undangan tersebut diatas, dapat diketahui bahwa pengaturan tentang produk pangan sudah cukup banyak. Meskipun demikian, ternyata hanya ada beberapa peraturan saja yang khusus mengatur tentang produk pangan hasil teknologi rekayasa genetika yaitu:

1. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan; 2. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan;


(50)

3. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen; 4. Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2004 tentang Keamanan, Mutu dan

Gizi Pangan;

5. Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 1999 tentang Label dan Iklan Pangan;

6. Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2005 tentang Keamanan Hayati Produk Rekayasa Genetika;

7. SKB Empat Menteri tentang Keamanan Hayati dan Keamanan Pangan Produk Hasil Rekayasa Genetika

Untuk dapat memberikan gambaran yang lebih jelas lagi, maka dibawah ini akan dijelaskan beberapa peraturan tersebut diatas.

Dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan mengatur antara lain: persyaratan teknis tentang pangan, yang meliputi ketentuan keamanan pangan, ketentuan mutu dan gizi pangan, serta ketentuan label dan iklan pangan, sebagai suatu sistem standarisasi pangan yang bersifat menyeluruh; tanggung jawab setiap orang yang memproduksi, menyimpan, mengangkut, dan atau mengedarkan pangan, serta sanksi hukum yang sesuai agar mendorong pemenuhan atas ketentuan-ketentuan yang ditetapkan; peranan pemerintah dan masyarakat dalam mewujudkan tingkat kecukupan pangan di dalam negeri dan penganekaragaman pangan yang dikonsumsi secara tidak bertentangan dengan keyakinan masyarakat. Kegiatan atau proses produksi pangan untuk diedarkan atau diperdagangkan harus memenuhi ketentuan tentang sanitasi pangan, bahan tambahan pangan, residu cemaran, dan kemasan pangan. Hal lain yang patut


(51)

diperhatikan oleh setiap orang yang memproduksi pangan adalah penggunaan metode tertentu dalam kegiatan atau proses produksi pangan yang memiliki kemungkinan timbulnya risiko yang dapat merugikan atau membahayakan kesehatan manusia, seperti rekayasa genetika atau iridiasi, harus dilakukan berdasarkan persyaratan tertentu. Pengaturan mengenai pangan yang mengandung hasil rekayasa genetika tersebut diatur dalam Pasal 13 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan yang menyatakan bahwa :37

Selain itu menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup masalah ekonomi dan ilmu pengetahuan, dalam hal ini teknologi rekayasa genetika, saling tergantung dengan masalah lingkungan hidup manusia. Kebergantungan setempat semakin meningkat akibat teknologi modern yang digunakan dalam pertanian dan pabrik-pabrik. Sayangnya sejalan

Ayat (1) Setiap orang yang memproduksi pangan atau menggunakan bahan baku, bahan tambahan pangan, dan atau bahan bantu lain dalam kegiatan atau proses produksi pangan yang dihasilkan dari proses rekayasa genetika wajib terlebih dahulu memeriksakan keamanan pangan bagi kesehatan manusia sebelum diedarkan.

Ayat (2) Pemerintah menetapkan persyaratan dan prinsip penelitian, pengembangan, dan pemanfaatan metode rekayasa genetika dalam kegiatan atau proses produksi pangan, serta menetapkan persyaratan bagi pengujian pangan yang dihasilkan dari proses rekayasa genetika.

Bunyi pasal diatas sangat jelas menunjukkan adanya upaya pemerintah untuk memberikan antisipasi dampak penggunaan bahan rekayasa genetika di bidang pangan terhadap keselamatan manusia, etika, moral, dan keyakinan masyarakat. Akan tetapi ketiadaan penjabaran lebih lanjut mengenai pasal ini dalam waktu dekat kurang memberikan antisipasi yang maksimal.

37


(52)

dengan kemajuan teknologi lahan pun menjadi semakin sempit, hak-hak tradisional terhadap hutan dan sumber daya lainnya menjadi luntur, dan tanggun jawab dalam pengambilan keputusan semakin dijauhkan dari kepentingan masyarakat. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup ini mencoba menyelaraskan kepentingan bisnis dengan tidak mengabaikan lingkungan hidup manusia. ”Penegakan kepentingan bersama tidak berarti menghalangi pertumbuhan dan perluasan, meskipun mungkin itu membatasi penerimaan dan difusi inovasi-inovasi teknis.”38

Pasal 18 Ayat (1) menyebutkan:39

Dari penjelasan tersebut tersirat bahwa instrument AMDAL (Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup) belum sepenuhnya sejalan dengan amanat prinsip pencegahan dini, karena di sini sudah tidak ada lagi ketidakpastian dengan probabilitas risiko. Jadi meskipun berada pada “the earliest stage of planning”

AMDAL baru bersifat “preventive”, belum “precautions”. Terlebih lagi dalam

“Setiap usaha dan/atau kegiatan yang menimbulkan dampak besar dan penting terhadap lingkungan hidup wajib memiliki analisis mengenai dampak lingkungan hidup untuk memperoleh izin melakukan usaha dan/atau kegiatan.”

Kemudian dalam penjelasan ayat (3) disebutkan:

“…Bagi usaha dan/atau kegiatan yang diwajibkan untuk membuat atau melaksanakan analisis mengenai dampak lingkungan hidup, maka rencana pengelolaan dan rencana pemantauan lingkungan hidup yang wajib dilaksanakan… harus dicantumkan dan dirumuskan dengan jelas dalam izin… Misalnya kewajiban untuk mengolah limbah yang boleh dibuang ke dalam media lingkungan hidup dan kewajiban yang berkaitan dengan pembuangan limbah…”

38

WCED, Our Common Future, terjemahan. Bambang Sumantri, (Jakarta: Gramedia, 1988), Hal.65.

39

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup


(53)

pelaksanaan izin hanya diperlukan sebagai instrumen ekonomi dari yang seharusnya sebagai instrumen pengawasan.

Selain itu dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK), pengaturan tentang peredaran produk hasil teknologi rekayasa genetika ini juga telah diatur. Dalam Bab IV Pasal 8 tentang perbuatan yang dilarang bagi pelaku usaha, dinyatakan bahwa pelaku usaha dilarang memproduksi dan / atau memperdagangkan barang dan / atau jasa yang:40

1. Tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan standar yang dipersyaratkan dan ketentuan peraturan perundang-undangan;

2. Tidak sesuai dengan berat bersih, isi bersih atau netto, dan jumlah dalam hitungan sebagaimana yang dinyatakan dalam label atau etiket barang tersebut;

3. Tidak sesuai dengan ukuran, takaran, timbangan dan jumlah dalam hitungan menurut ukuran yang sebenarnya;

4. Tidak sesuai dengan kondisi, jaminan, keistimewaan atau kemanjuran sebagaimana dinyatakan dalam label, etiket atau keterangan barang dan / atau jasa tersebut;

5. Tidak sesuai dengan mutu, tingkatan, komposisi, proses pengolahan, gaya, mode, atau penggunaan tertentu sebagaimana dinyatakan dalam label atau keterangan barang dan / atau jasa tersebut;

40

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen Pasal 8 angka 1


(54)

6. Tidak sesuai dengan janji yang dinyatakan dalam label, etiket, keterangan, iklan atau promosi penjualan barang dan / atau jasa tersebut;

7. Tidak mencantumkan tanggal kadaluwarsa atau jangka waktu penggunaan / pemanfaatan yang paling baik atas barang tertentu;

8. Tidak mengikuti ketentuan berproduksi secara halal, sebagaimana pernyataan “halal” yang dicantumkan dalam label;

9. Tidak memasang label atau membuat penjelasan barang yang memuat nama barang, ukuran, berat / isi bersih atau netto, komposisi, aturan pakai, tanggal pembuatan, akibat sampingan, nama dan alamat pelaku usaha serta keterangan lain untuk penggunaan yang menurut ketentuan harus dipasang / dibuat;

10. Tidak mencantumkan informasi dan / atau petunjuk penggunaan barang dalam bahasa Indonesia sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.

Sanksi atas pelanggaran ketentuan tentang produk pangan hasil teknologi rekayasa genetika sebagaimana diatur dalam Pasal 8 angka 1, 9, 10 tersebut di atas telah diatur sebagai sanksi pidana. Ancaman pidana tersebut ada dalam Pasal 62 ayat (1) yang menyatakan:41

41

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, Pasal 62 ayat (1).

“Pelaku usaha yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 13 ayat (2), Pasal 15, Pasal 17 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c, huruf e, ayat (2), dan Pasal 18 dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak Rp. 2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).”


(55)

Disamping peraturan tersebut diatas pangan hasil teknologi rekayasa genetika diatur juga dalam Peraturan Pemerintah No 69 Tahun 1999 tentang Label dan Iklan Pangan yang menyatakan bahwa:42

(1) Pada label untuk pangan hasil rekayasa genetika wajib dicantumkan tulisan PANGAN REKAYASA GENETIKA.

(2) Dalam hal pangan hasil rekayasa genetika sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) merupakan bahan yang digunakan dalam suatu produk pangan, pada Label cukup dicantumkan keterangan tentang pangan rekayasa genetika pada bahan yang merupakan pangan hasil rekayasa genetika tersebut saja.

(3) Selain pencantuman tulisan sebagaimana dimaksud ayat (1), pada Label dapat dicantumkan logo khusus pangan hasil rekayasa genetika.

Adapun huruf dan tulisan atau peringatan yang harus dicantumkan dalam pelabelan adalah sekurang-kurangnya sama dengan huruf pada bahan yang bersangkutan.

Contoh: Komposisi:

Kedelai (rekayasa genetika), gula kelapa, air, garam, pengawet Na Benzoat.

atau

Komposisi:

Kedelai*, gula kelapa, air, garam. Pengawet Na Benzoat. *bahan rekayasa genetika

Dari bunyi pasal tersebut di atas dapat dilihat sikap pemerintah Indonesia yang menghendaki adanya mandatory labeling terhadap produk pangan rekayasa genetika. Akan tetapi aturan ini juga tidak memberikan keterangan lebih lanjut

42


(56)

mengenai pelabelan itu sendiri, seperti misalnya mengenai ambang batas yang dapat ditoleransi, ataupun kriteria rekayasa genetika apakah menggunakan

product based atau process based. Lebih lanjut, ketiadaan sarana penunjang pelabelan yang dibenarkan oleh aturan perdagangan internasional sehingga tidak masuk dalam kategori proteksionisme turut menyumbang lemahnya aturan ini. Dengan demikian peraturan tersebut diatas diharapkan memberikan suasana yang kondusif bagi terciptanya komunikasi dan sinergi antara kemajuan bioteknologi dengan berbagai pengetahuan. Pemerintah memiliki tanggung jawab dalam pemenuhan kebutuhan pangan masyarakat, dalam hal:43

1. Melindungi kesehatan publik.

2. Menjaga jangan sampai terjadi kecurangan terhadap konsumen.

Dalam kegiatan perdagangan pangan, masyarakat yang mengkonsumsi perlu diberikan sarana yang memadai agar memperoleh informasi yang benar dan tidak menyesatkan. Sehubungan dengan hal tersebut, perlu ditetapkan ketentuan mengenai label dan iklan tentang pangan. Dengan demikian, masyarakat yang mengkonsumsi pangan dapat mengambil keputusan berdasarkan informasi yang akurat sehingga tercipta perdagangan pangan yang jujur dan bertanggung jawab.

Selanjutnya pada Bagian Ketiga Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2004 tentang Keamanan, Mutu dan Gizi Pangan ini berusaha memberikan perlindungan kepada masyarakat dari pangan yang dapat merugikan dan/atau membahayakan kesehatan.

43


(57)

Dalam Pasal 14 disebutkan bahwa:44

Pangan hasil rekayasa genetika juga diatur dalam Surat Keputusan Bersama Menteri Pertanian, Menteri Kehutanan dan Perkebunan, Menteri Kesehatan dan Menteri Negara Pangan dan Hortikultura No. 998.1/Kpts/

Ayat (1) Setiap orang yang memproduksi pangan atau menggunakan bahan baku, bahan tambahan pangan, dan/atau bahan bantu lain dalam kegiatan atau proses produksi pangan yang dihasilkan dari proses rekayasa genetika wajib terlebih dahulu memeriksakan keamanan pangan tersebut sebelum diedarkan.

Pemeriksaan keamanan pangan produk rekayasa genetika sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi :

a. informasi genetika, antara lain deskripsi umum pangan produk rekayasa genetika dan deskripsi inang serta penggunaanya sebagai pangan;

b. deskripsi organisme donor; c. deskripsi modifikasi genetika;

d. karakterisasi modifikasi genetika; dan

e. informasi keamanan pangan, antara lain kesepadanan substansial, perubahan nilai gizi, alergenitas dan toksisitas.

Pemeriksaan keamanan pangan produk rekayasa genetika sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh komisi yang menangani keamanan pangan produk rekayasa genetika, yang kemudian memberikan rekomendasi kepada Kepala Badan yang dijadikan pertimbangan untuk menetapkan bahan baku, bahan tambahan pangan, dan/atau bahan bantu lain hasil proses rekayasa genetika yang dinyatakan aman sebagai pangan.

44

Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2004 tentang Keamanan, Mutu dan Gizi Pangan


(58)

OT.210/9/99; 790.a/Kpts-IX/1999; 1145A/MENKES/SKB/IX/1999; 015 A/Meneg.PHOR/09/1999 tentang Keamanan Hayati dan Keamanan Pangan Produk Pertanian Hasil Rekayasa Genetik. SKB ini ditandatangani oleh Menteri Pertanian, Menteri Kehutanan dan Perkebunan, Menteri Kesehatan, dan Menteri Negara Pangan dan Hortikultura pada tanggal 29 September 1999. SKB ini mengatur tentang jenis-jenis dan penggunaan produk pertanian hasil rekayasa genetika (PPHRG) yang terdiri dari hewan transgenik, bahan asal hewan transgenik dan hasil olahannya, ikan transgenik, bahan asal ikan transgenik dan hasil olahannya, tanaman transgenik, bagian-bagian dari hasil olahannya serta jasad renik; syarat keamanan hayati dan keamanan pangan PPHRG; tata cara pengkajian keamanan hayati dan keamanan pangan PPHRG; hak dan kewajiban propenen; dan pemantauan, pengawasan dan pelaporan.45

Dari keseluruhan peraturan-peraturan tersebut diatas, ada satu peraturan yang khusus secara teknis mengatur tentang pangan hasil teknologi rekayasa genetika yaitu yang ada di dalam Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2005

Keputusan bersama ini dimaksudkan untuk mengatur dan mengawasi keamanan hayati dan keamanan pangan pemanfaatan produk pertanian hasil rekayasa genetic, dengan tujuan untuk menjamin keamanan hayati dan keamanan pangan bagi kesehatan manusia, keanekaragaman hayati dan lingkungan yang berkaitan dengan pemanfaatan produk pertanian hasil rekayasa genetika. Akan tetapi SKB ini mengandung kelemahan, diantaranya adalah law enforcement yang rendah karena tidak mempunyai hirarki dalam tata urutan perundang-undangan.

45

Surat Keputusan Bersama Empat Menteri tentang Keamanan Hayati dan Keamanan Pangan Produk Hasil Rekayasa Genetika tanggal 29 September 1999.


(1)

pengerjaan skripsi ini. Satu persembahan buatmu Let’s Sing: Kau lah yang pertama yang memberi arti cinta, tuk selamanya tetaplah di hatiku…Ingin memelukmu, mendekap hangat cintamu…tuk selamanya Kau Tetap di Hatiku. Luv U.

15.Kepada Bou Ulfa, Uda Charles, Bou Murni, Bou Pita, Bou Suci, Bou Nona, Bou Lusi, Amangboru Purba, Amangboru Sitanggang, Amangboru Panggabean, Amangboru Simanjuntak dan Alm. Amangboru Budi, Maktua Emi, Inanguda Lintong, Nantulang Edi, Opung Tohom, Hakim, Opung Perjuangan, Opung Ria, Tante Upik, Om Mean, Bang Iyut, Bang Desman, Kak Eva, Kak Grace dan semua keluarga yang tidak bisa disebutkan satu persatu, terimakasih buat arahan dan bimbingan yang selalu kalian berikan. 16.Kepada sahabat-sahabatku 8 Brothers: Andri, Jujunk, Marshias, Eka, Raja,

Andrew dan Josye, Gantang Family: Christian, Nuek, Jenkay, Dondris, Tondi, Cimen. Terima kasih untuk canda tawa yang kita lalui bersama, membantu dalam segala hal berbagi suka dan duka serta buat dukungan dan motivasi kalian yang terutama di saat-saat penulisan skripsi ini.

17.Kepada kakanda-kakanda di Fakultas Hukum, Bang Juliman, Bang Imam, Kak Sastra, Bang Janroy, Bang Roy, Kak Tere, dan semua anak-anak GMNI dan anak-anak wamar senang mempunyai senior sekaligus teman seperti kalian yang gokil.

18.Kepada teman-temanku, Andri, Jujunk, Tanzila, Oki, Indra, Irvan, Maya, Sheila, Kiki, Helen, Karina, Lusi (kita jalani bersama lewat klinis), Lusi (makasih buat segala masukan dan pinjaman contoh penulisan skripsinya),


(2)

Brando, Reymon, Andry, Agnes, Selly, Mieke, Yola, Melda, Tika, Newi, Vera, Nomika, Eben, Albert, Renata, Tere, Titin, Maria, Gishela, Witra, Sere, Gading, Asido, Chandra, Inggrid, Fiby, Risa, Nody, Melky (kita lewati bersama lewat latihan pemusik buat natal 2009) dan semua teman-teman yang ada di grup C ’06 serta teman-teman stambuk 2006. Terima kasih buat kerja samanya selama ini.

19.Kepada PP GKPI Mangara, Bang Leswon, Kak Rugun, Kak Evi, Bang Daniel, Bang Sigmun, Dian, Duma, Mariel, Otniel, Kak Jeny, Cristopel, Andrew, Rina, Rebeka, serta anak-anak PP GKPI Se Resort Medan Timur II, terima kasih buat canda tawa dan kerja samanya selama ini.

20.Kepada Bu Emi selaku Store Manager Matahari Departement Store, Tbk Grand Palladium, Bu Yosephine selaku HR. Supervisor, Pak Ade, Pak Anto, Pak Dedi, Pak Toni, Bu Uni, Bu Lisa, Bu Ruth serta Bu Sondang selaku Supervisor, Kak Poh, Kak Vivi, Kak Risna selaku Koordinator Kasir, terima kasih buat smangat dan izin keluar toko yang diberikan kepada penulis; Kak Santi, Kak Wiwid, Kak Fatimah, Juli, Mak Mimi, Kak Halimah, Kak Supiasih, Barizi, Kak Girz, Agnes, selaku rekan kerja kasir terima kasih buat semangat dan canda tawanya selama kita bekerja dan seluruh rekan kerja di MDS Palladium, rekan shoes, rekan ladies, rekan youth, rekan mens, rekan home, rekan childreen, melati, teknisi dan security terima kasih buat kerja


(3)

Akhir kata dengan segala kerendahan hati, Penulis mohon maaf yang sebesar- besarnya apabila terdapat kesalahan- kesalahan di dalam skripsi ini, karena sebagai manusia biasa pasti tak luput dari kesalahan, seperti pepatah “tak ada gading yang tak retak”, sehingga mohon Pembaca memaafkan kesalahan - kesalahan yang terdapat di dalamnya. Penulis berharap agar karya tulis ini dapat bermanfaat bagi semua pihak yang berkepentingan, terutama dalam penerapan serta pengembangan ilmu hukum di Indonesia. Semoga Tuhan Yang Maha Esa selalu memberkati kita semua. Amin.

Medan, September 2010 Penulis,


(4)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... vii

ABSTRAKSI ... ix

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1

B. Perumusan Masalah ... 11

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan ... 12

D. Keaslian Penulisan... 13

E. Tinjauan Pustaka ... 13

F. Metode Penulisan ... 28

G. Sistematika Penulisan ... 3

BAB II PENGATURAN PEREDARAN PRODUK PANGAN HASIL TEKNOLOGI REKAYASA GENETIKA DALAM KERANGKA HUKUM PERLINDUNGAN KONSUMEN A. Peraturan tentang Peredaran Produk Pangan Hasil Teknologi Rekayasa Genetika di Indonesia ... 32 B. Pihak Yang Bertanggung Jawab Dalam Peredaran Produk Pangan


(5)

BAB III PERAN PEMERINTAH DALAM MELINDUNGI KONSUMEN TERHADAP PEREDARAN PRODUK PANGAN HASIL TEKNOLOGI REKAYASA GENETIKA

A. Peran Pemerintah Sebagai Pembina ... 87

B. Peran Pemerintah Sebagai Pengawas ... 90

C. Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN) ... 98

BAB IV PENANGANAN ATAS KELUHAN-KELUHAN KONSUMEN BERKAITAN DENGAN PRODUK PANGAN HASIL TEKNOLOGI REKAYASA GENETIKA A. Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) ... 105

B. Instansi Pemerintah ... 112

C. Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat (LPKSM)………..119

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan ... 125

B. Saran ... 127

DAFTAR PUSTAKA ... x


(6)

PERLINDUNGAN KONSUMEN TERHADAP

PEREDARAN PRODUK PANGAN HASIL TEKNOLOGI REKAYASA GENETIKA

Alex Immanuel Tobing*

Dr. T. Keizerina Devi Azwar, S.H, M. Hum ** Windha, SH, M.Hum***

ABSTRAK

Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi memicu bertambahnya produk-produk perdagangan, yang mana salah satunya adalah produk rekayasa genetika, yang mana memiliki segi positif dan negatif, sekaligus meningkatkan kesadaran konsumen akan mutu dan keamanan produk yang dikonsumsinya. Teknologi rekayasa genetika merupakan transplantasi atau pencangkokan satu gen ke gen lainnya dimana dapat bersifat antar gen dan dapat pula lintas gen. Rekayasa genetika juga diartikan sebagai perpindahan gen.

Hal tersebut menimbulkan permasalahan yang berkaitan dengan produk pangan yang mengandung bahan rekayasa genetika khususnya pengaturan peredarannya, peran pemerintah dalam melindungi konsumen terhadap peredaran produk tersebut serta bagaimana penanganan keluhan konsumen terhadap peredaran produk pangan genetika. lindungan konsumen terhadap peredaran produk pangan hasil rekayasa genetika.

Metode penulisan yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah Metode Penelitian Hukum Normatif yang bersifat deskriptif. Sumber data yang diperoleh yaitu data primer yang diperoleh dari wawancara dengan beberapa narasumber serta data sekunder yang diperoleh dari penelitian kepustakaan berupa buku-buku, artikel-artikel baik dari koran maupun media elektronik, kamus, peraturan-peraturan pemerintah, Undang-Undang Perlindungan Konsumen dan Undang-Undang Pangan, serta Undang-Undang yang berkaitan dengan peredaran produk pangan genetika.

Perlindungan hukum yang diberikan terhadap konsumen adalah melalui Undang-Undang Perlindungan Konsumen, Undang-Undang Pangan serta beberapa peraturan perundang-undangan lainnya yang terkait dengan pangan rekayasa genetika. Dalam hal ini pemerintah berperan sebagai pembina dan pengawas dalam melindungi konsumen. Penanganan atas keluhan konsumen terhadap peredaran pangan rekayasa genetika dapat dilakukan melalui Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen, Instansi Pemerintah serta Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat. Pemerintah diharapkan perlu