mengadukan berbagai kasus yang berkaitan dengan produk pangan hasil teknologi rekayasa genetika yang beredar di pasaran.
B. Saran
Melihat dari masih banyaknya kendala dalam perlindungan konsumen atas produk pangan yang mengandung bahan rekayasa genetika berikut ini penulis
dapat mengusulkan saran sebagai berikut: 1.
Perlu dibuat penyesuaian terhadap peraturan perundang-undangan yang telah ada untuk dapat menjangkau perkembangan pengetahuan dan
teknologi sehingga lebih mudah pada tingkat implementasinya. Selain itu perlu adanya harmonisasi peraturan nasional dengan peraturan internasional
sehingga dapat diminimalisasi masuknya produk-produk yang mengandung bahan rekayasa genetika ke dalam teritori nasional. Selain itu perlu adanya
penegakan hukum law enforcement yang lebih baik dalam rangka pemenuhan hak konsumen di bidang pangan. Pemerintah dan pelaku usaha
harus memberikan informasi yang seluas-luasnya kepada semua pihak yang terlibat produk rekayasa genetika, mengenai risiko dan keuntungannya
sehingga masyarakat dapat melakukan pilihan yang cerdas atas produk- produk rekayasa genetika yang beredar di pasaran. Dengan adanya law
enforcement ini diharapkan pelaku usaha yang melakukan pelanggaran diberikan sanksi yang tegas sehingga dapat menimbulkan efek jera bagi
pelaku usaha yang lainnya.
Universitas Sumatera Utara
2. Peran pemerintah dalam memberikan perlindungan hukum kepada
masyarakat, harus disertai juga dengan peran serta yang aktif dari masyarakat untuk bersama-sama mewujudkan perlindungan konsumen yang
dapat memberikan kontribusi bagi dunia usaha, sehingga diharapkan dapat memberikan manfaat yang saling menguntungkan.
3. Perlu dibentuk peraturan pelaksanaan khusus oleh pemerintah tentang
ketentuan peredaran produk pangan hasil teknologi rekayasa genetika. Hal ini diharapkan dapat memberikan dasar hukum yang lebih teknis dan rinci
sebagai pelaksanaan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan dan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.
Universitas Sumatera Utara
BAB II PENGATURAN PEREDARAN PRODUK PANGAN HASIL TEKNOLOGI
REKAYASA GENETIKA DALAM KERANGKA HUKUM PERLINDUNGAN KONSUMEN
A. Peraturan Yang Mengatur Tentang Peredaran Produk Pangan Hasil Teknologi Rekayasa Genetika di Indonesia
Peraturan yang dibuat oleh pemerintah yang mengatur tentang produk pangan sudah merupakan kewajiban pemerintah. Salah satu produk hukum
tentang pangan adalah Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan. Undang-Undang tentang Pangan dimaksudkan sebagai landasan hukum bagi
pengaturan, pembinaan, dan pengawasan terhadap kegiatan atau proses produksi, peredaran, dan atau perdagangan pangan. Sebagai landasan hukum di bidang
pangan, Undang-Undang tentang Pangan dimaksudkan menjadi acuan dari berbagai peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan pangan, baik yang
sudah ada maupun yang akan dibentuk. Sebelum dilakukan pengkajian dan pembahasan tentang produk pangan hasil teknologi rekayasa genetika, maka
sebaiknya diperlukan suatu inventarisasi peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan produk pangan, khususnya tentang produk pangan hasil
teknologi rekayasa genetika. Dari inventarisasi peraturan perundang-undangan yang dilakukan, maka didapatkan beberapa pengaturan, baik dalam bentuk
undang-undang maupun peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan BPOM, yaitu sebagai berikut:
Universitas Sumatera Utara
1. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan;
2. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan;
3. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen;
4. Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 1999 tentang Label dan Iklan
Pangan; 5.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2004 tentang Keamanan, Mutu dan Gizi Pangan;
6. Keputusan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Nomor
HK.00.05.23.51.02961 tentang Pendaftaran Produk Pangan Impor Terbatas, tanggal 28 September 2001;
7. Keputusan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Nomor
HK.00.05.23.0131 tentang Pencantuman Asal Bahan Tertentu, kandungan Alkohol, dan Batas Kadaluwarsa Pada PenandaanLabel Obat, Obat
Tradisional, Suplemen Makanan, dan Pangan, tanggal 13 Januari 2003; 8.
Keputusan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Nomor HK.00.05.5.1641 tentang Pedoman Pemeriksaan Sarana Produksi Pangan
Industri Rumah Tangga IRT. Dari inventarisasi peraturan perundang-undangan tersebut diatas, dapat
diketahui bahwa pengaturan tentang produk pangan sudah cukup banyak. Meskipun demikian, ternyata hanya ada beberapa peraturan saja yang khusus
mengatur tentang produk pangan hasil teknologi rekayasa genetika yaitu: 1.
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan; 2.
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan;
Universitas Sumatera Utara
3. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen;
4. Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2004 tentang Keamanan, Mutu dan
Gizi Pangan; 5.
Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 1999 tentang Label dan Iklan Pangan;
6. Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2005 tentang Keamanan Hayati
Produk Rekayasa Genetika; 7.
SKB Empat Menteri tentang Keamanan Hayati dan Keamanan Pangan Produk Hasil Rekayasa Genetika
Untuk dapat memberikan gambaran yang lebih jelas lagi, maka dibawah ini akan dijelaskan beberapa peraturan tersebut diatas.
Dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan mengatur
antara lain: persyaratan teknis tentang pangan, yang meliputi ketentuan keamanan pangan, ketentuan mutu dan gizi pangan, serta ketentuan label dan iklan pangan,
sebagai suatu sistem standarisasi pangan yang bersifat menyeluruh; tanggung jawab setiap orang yang memproduksi, menyimpan, mengangkut, dan atau
mengedarkan pangan, serta sanksi hukum yang sesuai agar mendorong pemenuhan atas ketentuan-ketentuan yang ditetapkan; peranan pemerintah dan
masyarakat dalam mewujudkan tingkat kecukupan pangan di dalam negeri dan penganekaragaman pangan yang dikonsumsi secara tidak bertentangan dengan
keyakinan masyarakat. Kegiatan atau proses produksi pangan untuk diedarkan atau diperdagangkan harus memenuhi ketentuan tentang sanitasi pangan, bahan
tambahan pangan, residu cemaran, dan kemasan pangan. Hal lain yang patut
Universitas Sumatera Utara
diperhatikan oleh setiap orang yang memproduksi pangan adalah penggunaan metode tertentu dalam kegiatan atau proses produksi pangan yang memiliki
kemungkinan timbulnya risiko yang dapat merugikan atau membahayakan kesehatan manusia, seperti rekayasa genetika atau iridiasi, harus dilakukan
berdasarkan persyaratan tertentu. Pengaturan mengenai pangan yang mengandung hasil rekayasa genetika tersebut diatur dalam Pasal 13 Undang-
Undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan yang menyatakan bahwa :
37
Selain itu menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup
masalah ekonomi dan ilmu pengetahuan, dalam hal ini teknologi rekayasa genetika, saling tergantung dengan masalah lingkungan
hidup manusia. Kebergantungan setempat semakin meningkat akibat teknologi modern yang digunakan dalam pertanian dan pabrik-pabrik. Sayangnya sejalan
Ayat 1 Setiap orang yang memproduksi pangan atau menggunakan bahan baku, bahan tambahan pangan, dan atau bahan bantu lain dalam kegiatan
atau proses produksi pangan yang dihasilkan dari proses rekayasa genetika wajib terlebih dahulu memeriksakan keamanan pangan bagi kesehatan
manusia sebelum diedarkan.
Ayat 2 Pemerintah menetapkan persyaratan dan prinsip penelitian, pengembangan, dan pemanfaatan metode rekayasa genetika dalam kegiatan
atau proses produksi pangan, serta menetapkan persyaratan bagi pengujian pangan yang dihasilkan dari proses rekayasa genetika.
Bunyi pasal diatas sangat jelas menunjukkan adanya upaya pemerintah untuk memberikan antisipasi dampak penggunaan bahan rekayasa genetika di
bidang pangan terhadap keselamatan manusia, etika, moral, dan keyakinan masyarakat. Akan tetapi ketiadaan penjabaran lebih lanjut mengenai pasal ini
dalam waktu dekat kurang memberikan antisipasi yang maksimal.
37
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan Pasal 13.
Universitas Sumatera Utara
dengan kemajuan teknologi lahan pun menjadi semakin sempit, hak-hak tradisional terhadap hutan dan sumber daya lainnya menjadi luntur, dan tanggun
jawab dalam pengambilan keputusan semakin dijauhkan dari kepentingan masyarakat. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan
Lingkungan Hidup ini mencoba menyelaraskan kepentingan bisnis dengan tidak mengabaikan lingkungan hidup manusia. ”Penegakan kepentingan bersama tidak
berarti menghalangi pertumbuhan dan perluasan, meskipun mungkin itu membatasi penerimaan dan difusi inovasi-inovasi teknis.”
38
Pasal 18 Ayat 1 menyebutkan:
39
Dari penjelasan tersebut tersirat bahwa instrument AMDAL Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup belum sepenuhnya sejalan dengan amanat
prinsip pencegahan dini, karena di sini sudah tidak ada lagi ketidakpastian dengan probabilitas risiko. Jadi meskipun berada pada “the earliest stage of planning”
AMDAL baru bersifat “preventive”, belum “precautions”. Terlebih lagi dalam “Setiap usaha danatau kegiatan yang menimbulkan dampak besar dan
penting terhadap lingkungan hidup wajib memiliki analisis mengenai dampak lingkungan hidup untuk memperoleh izin melakukan usaha
danatau kegiatan.”
Kemudian dalam penjelasan ayat 3 disebutkan: “…Bagi usaha danatau kegiatan yang diwajibkan untuk membuat atau
melaksanakan analisis mengenai dampak lingkungan hidup, maka rencana pengelolaan dan rencana pemantauan lingkungan hidup yang wajib
dilaksanakan… harus dicantumkan dan dirumuskan dengan jelas dalam izin… Misalnya kewajiban untuk mengolah limbah yang boleh dibuang ke
dalam media lingkungan hidup dan kewajiban yang berkaitan dengan pembuangan limbah…”
38
WCED, Our Common Future, terjemahan. Bambang Sumantri, Jakarta: Gramedia, 1988, Hal.65.
39
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup
Universitas Sumatera Utara
pelaksanaan izin hanya diperlukan sebagai instrumen ekonomi dari yang seharusnya sebagai instrumen pengawasan.
Selain itu dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen UUPK
, pengaturan tentang peredaran produk hasil teknologi rekayasa genetika ini juga telah diatur. Dalam Bab IV Pasal 8 tentang
perbuatan yang dilarang bagi pelaku usaha, dinyatakan bahwa pelaku usaha dilarang memproduksi dan atau memperdagangkan barang dan atau jasa
yang:
40
1. Tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan standar yang dipersyaratkan dan
ketentuan peraturan perundang-undangan; 2.
Tidak sesuai dengan berat bersih, isi bersih atau netto, dan jumlah dalam hitungan sebagaimana yang dinyatakan dalam label atau etiket barang
tersebut; 3.
Tidak sesuai dengan ukuran, takaran, timbangan dan jumlah dalam hitungan menurut ukuran yang sebenarnya;
4. Tidak sesuai dengan kondisi, jaminan, keistimewaan atau kemanjuran
sebagaimana dinyatakan dalam label, etiket atau keterangan barang dan atau jasa tersebut;
5. Tidak sesuai dengan mutu, tingkatan, komposisi, proses pengolahan, gaya,
mode, atau penggunaan tertentu sebagaimana dinyatakan dalam label atau keterangan barang dan atau jasa tersebut;
40
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen Pasal 8 angka 1
Universitas Sumatera Utara
6. Tidak sesuai dengan janji yang dinyatakan dalam label, etiket, keterangan,
iklan atau promosi penjualan barang dan atau jasa tersebut; 7.
Tidak mencantumkan tanggal kadaluwarsa atau jangka waktu penggunaan pemanfaatan yang paling baik atas barang tertentu;
8. Tidak mengikuti ketentuan berproduksi secara halal, sebagaimana
pernyataan “halal” yang dicantumkan dalam label; 9.
Tidak memasang label atau membuat penjelasan barang yang memuat nama barang, ukuran, berat isi bersih atau netto, komposisi, aturan pakai, tanggal
pembuatan, akibat sampingan, nama dan alamat pelaku usaha serta keterangan lain untuk penggunaan yang menurut ketentuan harus dipasang
dibuat; 10.
Tidak mencantumkan informasi dan atau petunjuk penggunaan barang dalam bahasa Indonesia sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang
berlaku. Sanksi atas pelanggaran ketentuan tentang produk pangan hasil teknologi
rekayasa genetika sebagaimana diatur dalam Pasal 8 angka 1, 9, 10 tersebut di atas telah diatur sebagai sanksi pidana. Ancaman pidana tersebut ada dalam Pasal 62
ayat 1 yang menyatakan:
41
41
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, Pasal 62 ayat 1.
“Pelaku usaha yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 13 ayat 2, Pasal 15, Pasal 17
ayat 1 huruf a, huruf b, huruf c, huruf e, ayat 2, dan Pasal 18 dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 lima tahun atau pidana denda
paling banyak Rp. 2.000.000.000,00 dua miliar rupiah.”
Universitas Sumatera Utara
Disamping peraturan tersebut diatas pangan hasil teknologi rekayasa
genetika diatur juga dalam Peraturan Pemerintah No 69 Tahun 1999 tentang Label dan Iklan Pangan
yang menyatakan bahwa:
42
1 Pada label untuk pangan hasil rekayasa genetika wajib dicantumkan tulisan
PANGAN REKAYASA GENETIKA. 2
Dalam hal pangan hasil rekayasa genetika sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 merupakan bahan yang digunakan dalam suatu produk pangan,
pada Label cukup dicantumkan keterangan tentang pangan rekayasa genetika pada bahan yang merupakan pangan hasil rekayasa genetika
tersebut saja.
3 Selain pencantuman tulisan sebagaimana dimaksud ayat 1, pada Label
dapat dicantumkan logo khusus pangan hasil rekayasa genetika. Adapun huruf dan tulisan atau peringatan yang harus dicantumkan dalam
pelabelan adalah sekurang-kurangnya sama dengan huruf pada bahan yang bersangkutan.
Contoh: Komposisi:
Kedelai rekayasa genetika, gula kelapa, air, garam, pengawet Na Benzoat.
atau
Komposisi:
Kedelai, gula kelapa, air, garam. Pengawet Na Benzoat. bahan rekayasa genetika
Dari bunyi pasal tersebut di atas dapat dilihat sikap pemerintah Indonesia yang menghendaki adanya mandatory labeling terhadap produk pangan rekayasa
genetika. Akan tetapi aturan ini juga tidak memberikan keterangan lebih lanjut
42
Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 1999 tentang Label dan Iklan Pangan, Pasal 35.
Universitas Sumatera Utara
mengenai pelabelan itu sendiri, seperti misalnya mengenai ambang batas yang dapat ditoleransi, ataupun kriteria rekayasa genetika apakah menggunakan
product based atau process based. Lebih lanjut, ketiadaan sarana penunjang pelabelan yang dibenarkan oleh aturan perdagangan internasional sehingga tidak
masuk dalam kategori proteksionisme turut menyumbang lemahnya aturan ini. Dengan demikian peraturan tersebut diatas diharapkan memberikan suasana yang
kondusif bagi terciptanya komunikasi dan sinergi antara kemajuan bioteknologi dengan berbagai pengetahuan. Pemerintah memiliki tanggung jawab dalam
pemenuhan kebutuhan pangan masyarakat, dalam hal:
43
1. Melindungi kesehatan publik.
2. Menjaga jangan sampai terjadi kecurangan terhadap konsumen.
Dalam kegiatan perdagangan pangan, masyarakat yang mengkonsumsi perlu diberikan sarana yang memadai agar memperoleh informasi yang benar dan tidak
menyesatkan. Sehubungan dengan hal tersebut, perlu ditetapkan ketentuan mengenai label dan iklan tentang pangan. Dengan demikian, masyarakat yang
mengkonsumsi pangan dapat mengambil keputusan berdasarkan informasi yang akurat sehingga tercipta perdagangan pangan yang jujur dan bertanggung jawab.
Selanjutnya pada Bagian Ketiga Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2004 tentang Keamanan, Mutu dan Gizi Pangan
ini berusaha memberikan perlindungan kepada masyarakat dari pangan yang dapat merugikan danatau
membahayakan kesehatan.
43
Tesis Kemal Hetami, Op.cit., Hal. 115.
Universitas Sumatera Utara
Dalam Pasal 14 disebutkan bahwa:
44
Pangan hasil rekayasa genetika juga diatur dalam Surat Keputusan Bersama Menteri Pertanian, Menteri Kehutanan dan Perkebunan, Menteri
Kesehatan dan Menteri Negara Pangan dan Hortikultura No. 998.1Kpts
Ayat 1 Setiap orang yang memproduksi pangan atau menggunakan bahan baku, bahan tambahan pangan, danatau bahan bantu lain dalam kegiatan
atau proses produksi pangan yang dihasilkan dari proses rekayasa genetika wajib terlebih dahulu memeriksakan keamanan pangan tersebut sebelum
diedarkan.
Pemeriksaan keamanan pangan produk rekayasa genetika sebagaimana dimaksud pada ayat 1 meliputi :
a. informasi genetika, antara lain deskripsi umum pangan produk rekayasa genetika dan deskripsi inang serta penggunaanya sebagai pangan;
b. deskripsi organisme donor; c. deskripsi modifikasi genetika;
d. karakterisasi modifikasi genetika; dan e. informasi keamanan pangan, antara lain kesepadanan substansial, perubahan
nilai gizi, alergenitas dan toksisitas. Pemeriksaan keamanan pangan produk rekayasa genetika sebagaimana
dimaksud pada ayat 1 dilaksanakan oleh komisi yang menangani keamanan pangan produk rekayasa genetika, yang kemudian memberikan rekomendasi
kepada Kepala Badan yang dijadikan pertimbangan untuk menetapkan bahan baku, bahan tambahan pangan, danatau bahan bantu lain hasil proses rekayasa genetika
yang dinyatakan aman sebagai pangan.
44
Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2004 tentang Keamanan, Mutu dan Gizi Pangan
Universitas Sumatera Utara
OT.210999; 790.aKpts-IX1999; 1145AMENKESSKBIX1999; 015 AMeneg.PHOR091999 tentang Keamanan Hayati dan Keamanan Pangan
Produk Pertanian Hasil Rekayasa Genetik . SKB ini ditandatangani oleh
Menteri Pertanian, Menteri Kehutanan dan Perkebunan, Menteri Kesehatan, dan Menteri Negara Pangan dan Hortikultura pada tanggal 29 September 1999. SKB
ini mengatur tentang jenis-jenis dan penggunaan produk pertanian hasil rekayasa genetika PPHRG yang terdiri dari hewan transgenik, bahan asal hewan
transgenik dan hasil olahannya, ikan transgenik, bahan asal ikan transgenik dan hasil olahannya, tanaman transgenik, bagian-bagian dari hasil olahannya serta
jasad renik; syarat keamanan hayati dan keamanan pangan PPHRG; tata cara pengkajian keamanan hayati dan keamanan pangan PPHRG; hak dan kewajiban
propenen; dan pemantauan, pengawasan dan pelaporan.
45
Dari keseluruhan peraturan-peraturan tersebut diatas, ada satu peraturan yang khusus secara teknis mengatur tentang pangan hasil teknologi rekayasa
genetika yaitu yang ada di dalam Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2005
Keputusan bersama ini dimaksudkan untuk mengatur dan mengawasi keamanan hayati dan keamanan pangan pemanfaatan produk pertanian hasil
rekayasa genetic, dengan tujuan untuk menjamin keamanan hayati dan keamanan pangan bagi kesehatan manusia, keanekaragaman hayati dan lingkungan yang
berkaitan dengan pemanfaatan produk pertanian hasil rekayasa genetika. Akan tetapi SKB ini mengandung kelemahan, diantaranya adalah law enforcement yang
rendah karena tidak mempunyai hirarki dalam tata urutan perundang-undangan.
45
Surat Keputusan Bersama Empat Menteri tentang Keamanan Hayati dan Keamanan Pangan Produk Hasil Rekayasa Genetika tanggal 29 September 1999.
Universitas Sumatera Utara
tentang Keamanan Hayati Produk Rekayasa Genetik . Peraturan Pemerintah
ini terdiri dari sepuluh Bab, dengan 37 Pasal, yang secara garis besar mengatur tentang ketentuan umum, jenis dan persyaratan PRG, penelitian dan
pengembangan PRG, pemasukan PRG dari luar negeri, pengkajian, pelepasan dan peredaran, serta pemanfaatan PRG, pengawasan dan pengendalian PRG,
kelembagaan, pembiayaan, ketentuan peralihan, dan ketentuan penutup. Dari 37 pasal tersebut terdapat beberapa Pasal yang berkaitan dengan produk pangan hasil
teknologi rekayasa genetika sebagaimana diatur dalam Pasal 5, Pasal 6, Pasal 13, Pasal 23.
Peraturan Pemerintah ini diperlukan oleh karena peraturan perundang- undangan yang telah ada belum cukup untuk mengatur segala sesuatu tentang
PRG sebagaimana diamanatkan dalam Konvensi, maka diperlukan pengaturan yang sistematis dan efektif. Peraturan pemerintah ini dijadikan dasar hukum
dalam mewujudkan keamanan hayati, keamanan pangan, danatau pakan PRG bagi kesejahteraan rakyat berdasarkan prinsip kesehatan serta pengelolaan
sumberdaya hayati, perlindungan konsumen dan kepastian berusaha dengan mempertimbangkan agama, etika, social, budaya, dan estetika.
Pasal 3 Peraturan Pemerintah No. 21 Tahun 2005 tentang Keamanan Hayati Produk Rekayasa Genetika disebutkan: ”Pengaturan yang diterapkan dalam
Peraturan Pemerintah ini menggunakan pendekatan kehati-hatian dalam rangka mewujudkan keamanan lingkungan, keamanan pangan danatau pakan dengan
didasarkan pada metode ilmiah yang sahih serta mempertimbangkan kaidah agama, etika, sosial budaya, dan estetika.”.
Universitas Sumatera Utara
Dalam Pasal 5 mengatur tentang Jenis PRG, yaitu meliputi:
46
f. karakterisasi molekuler PRG harus terinci jelas; a. hewan PRG, bahan asal hewan PRG, dan hasil olahannya;
b. ikan PRG, bahan asal ikan PRG, dan hasil olahannya; c. tanaman PRG, bahan asal tanaman PRG, dan hasil olahannya; dan
d. jasad renik PRG, bahan asal jasad renik PRG, dan hasil olahannya. Sedangkan dalam Pasal 6 mengatur tentang Persyaratan PRG, yaitu
meliputi: 1. PRG baik yang berasal dari dalam negeri maupun dari luar negeri yang akan
dikaji atau diuji untuk dilepas danatau diedarkan di Indonesia harus disertai informasi dasar sebagai petunjuk bahwa produk tersebut memenuhi
persyaratan keamanan lingkungan, keamanan pangan danatau keamanan pakan.
2. Informasi dasar sebagai petunjuk pemenuhan persyaratan keamanan lingkungan sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 meliputi antara lain:
a. deskripsi dan tujuan penggunaan; b. perubahan genetik dan fenotip yang diharapkan harus terdeteksi;
c. identitas jelas mengenai taksonomi, fisiologi: dan reproduksi PRG; d. organisme yang digunakan sebagai sumber gen harus dinyatakan secara
jelas dan lengkap; e. metode rekayasa genetika yang digunakan mengikuti prosedur baku yang
secara ilmiah dapat dipertanggungjawabkan kesahihannya;
46
Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2005 tentang Keamanan Hayati Produk Rekayasa Genetika.
Universitas Sumatera Utara
g. ekspresi gen yang ditransformasikan ke PRG harus stabil; h. cara pemusnahan yang digunakan bila tetjadi penyimpangan.
3. Informasi dasar sebagai petunjuk pemenuhan persyaratan keamanan pangan dan keamanan pakan sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 meliputi antara
lain: a. metode rekayasa genetik yang digunakan mengikuti prosedur baku yang
secara ilmiah dapat dipertanggungjawabkan kesahihannya; b. kandungan gizi PRG secara substansial harus sepadan dengan yang non
PRG; c. kandungan senyawa beracun, antigizi, dan penyebab alergi dalam PRG
secara substansial harus sepadan dengan yang non-PRG; d. kandungan karbohidrat, protein, abu, lemak, serat, asam amino, asam
lemak, mineral, dan vitamin dalam PRG secara substansial harus sepadan dengan yang non-PRG;
e. protein yang disandi gen yang dipindahkan tidak bersifat alergen; f. cara pemusnahan yang digunakan bila terjadi penyimpangan.
Selanjutnya pada Pasal 13, mengingat PRG juga banyak bersumber dari luar negeri, maka diatur mengenai Pemasukan PRG dari Luar Negeri yaitu:
47
47
Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2005 tentang Keamanan Hayati Produk Rekayasa Genetika.
1. Setiap orang yang akan memasukkan PRG sejenis dari luar negeri untuk pertama kali, wajib mengajukan permohonan kepada Menteri yang
berwenang atau Kepala LPND yang berwenang.
Universitas Sumatera Utara
2. Permohonan untuk memasukkan PRG wajib dilengkapi dengan dokumen yang menerangkan bahwa persyaratan keamanan lingkungan, keamanan
pangan danatau keamanan pakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 telah dipenuhi.
3. Selain memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat 2, pemasukan PRG dari luar negeri wajib dilengkapi pula dengan:
a. surat keterangan yang menyatakan bahwa PRG tersebut telah diperdagangkan secara bebas certificate of free trade di negara asalnya;
dan b. dokumentasi pengkajian dan pengelolaan risiko dari institusi yang
berwenang dimana pengkajian risiko pernah dilakukan. 4. Setelah menerima permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat 1,
Menteri yang berwenang atau Kepala LPND yang berwenang: a. memeriksa kelengkapan dokumen dan persyaratan sebagaimana dimaksud
pada ayat 2 dan ayat 3; b. memberitahukan kepada pemohon mengenai kelengkapan dokumen dan
persyaratan yang wajib dipenuhi oleh pemohon sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku terhadap pemasukan PRG selambat-
lambatnya dalam 15 lima belas hari sejak permohonan diterima. 5. Dalam hal dokumen dan persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat 2
dan ayat 3 telah lengkap, Menteri yang berwenang atau Kepala LPND yang berwenang meminta rekomendasi keamanan lingkungan kepada
Menteri.
Universitas Sumatera Utara
6. Menteri yang berwenang atau Kepala LPND yang berwenang wajib mendasarkan keputusannya pada rekomendasi keamanan hayati yang
diberikan oleh Menteri atau Ketua KKH. 7. Ketentuan mengenai syarat dan tata cara pemasukan PRG dari luar negeri
diatur lebih lanjut oleh Menteri yang berwenang atau Kepala LPND yang berwenang.
Selain hal tersebut diatas, dalam hal pelepasan dan peredaran produk pangan hasil teknologi rekayasa genetika juga telah diatur bahwa:
48
Pada penjelasan Pasal 3 menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan pendekatan kehati-hatian adalah suatu pendekatan dalam pengambilan keputusan
untuk melakukan tindakan pencegahan atas adanya kemungkinan terjadinya dampak merugikan pada lingkungan dan kesehatan manusia yang signifikan,
bahkan sebelum bukti-bukti ilmiah konklusif mengenai dampak tersebut muncul. Peraturan Pemerintah ini menetapkan bahwa pendekatan kehati-hatian
diimplementasikan dalam ketentuan bahwa sebelum suatu PRG dapat dimanfaatkan perlu dilakukan terlebih dahulu pengkajian dan pengelolaan risiko
keamanan lingkungan, pangan danatau pakan dengan metode ilmiah yang sahih dan pertimbangan factor social, ekonomi, dan etika, untuk menjamin bahwa risiko
pemanfaatan PRG terhadap lingkungan dan kesehatan manusia dapat diterima “Terhadap PRG yang telah memperoleh rekomendasi keamanan hayati
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat 5 dan Pasal 17 ayat 2, Menteri yang berwenang atau Kepala LPND yang berwenang memberikan
izin pelepasan danatau peredaran sesuai dengan peraturan perundang- undangan yang berlaku.”
48
Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2005 tentang Keamanan Hayati Produk Rekayasa Genetika, Pasal 23.
Universitas Sumatera Utara
berdasarkan persyaratan peraturan yang ada. Pertimbangan dari kaidah agama, etika, sosial budaya dan etika, antara lain adalah gen yang ditransformasikan ke
PRG harus berasal dari organisme yang tidak bertentangan dengan kaidah agama tertentu, bentuk atau fenotipe hewan PRG harus sepadan dengan tetuanya dan
sesuai dengan estetika yang berlaku. Peraturan Pemerintah ini telah memberikan aturan yang lebih spesifik mengenai pemanfaatan produk rekayasa genetika, akan
tetapi sama dengan peraturan-peraturan sebelumnya. Peraturan Pemerintah No. 21 Tahun 2005 ini belum mampu menyediakan acuan yang jelas mengenai hal kapan
tindakan pencegahan dini dilakukan pada situasi konkrit. Akibatnya, prinsip pencegahan dini menjadi samar-samar sekedar konsep dan sulit untuk diterapkan
ke dalam kebijakan. Untuk itu, langkah-langkah yang diperlukan dalam rangka mendukung
prinsip pencegahan dini harus dilihat dari berbagai aspek, diantaranya: 1 aspek legalitas; 2 aspek pengembangan kelembagaan; 3 aspek pengembangan
fasilitas sarana dan peralatan; 4 aspek penelitian dan pengembangan; 5 aspek pencerahan masyarakat public awareness tentang PBHRG; dan 6 peranan
kelembagaan.
49
a. Mengefektifkan penerapan peraturan-peraturan yang telah ada, yaitu:
Aspek Legalitas
1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan khususnya pasal 13,
ayat 1 dan ayat 2.
49
Posisi Pemerintah Mengenai Pengembangan dan Pemanfaatan Pangan Transgenik, Sekretariat Dewan Ketahanan Pangan, Jakarta, Oktober 2001.
Universitas Sumatera Utara
2. Peraturan Pemerintah PP Nomor 69 Tahun 1999 tentang Label dan
Iklan Pangan, Pasal 35 tentang label pangan hasil rekayasa genetika dalam upaya memberikan informasi tentang bahan pangan yang akan
dibeli oleh konsumen. Pelabelan dikenakan pada produk bahan pangan dan produk makanan olahan. Untuk itu, perlu diterbitkan peraturan
pelaksanaan pada tingkat Menteri, dalam pengaturan pelabelan bagi bahan pangan transgenic yang diperdagangkan dan diimpor.
3. PP No. 21 Tahun 2005 tentang Keamanan Hayati Produk Rekayasa
Genetik. 2.
Penyiapan berbagai perangkat hukum dalam bentuk Rancangan Undang- Undang yang merupakan sinkronisasi dari peraturan perundangan yang
terkait sehingga menjangkau semua aspek antara lain, lingkungan hidup, kesehatan, keamanan bagi pahan pangan makanan olahan dan bahan pakan
ternak, serta perdagangan imporekspor bahan baku.
Aspek Pengembangan Kelembagaan
Mengembangkan kelembagaan yang kuat guna menangani permasalahan yang muncul dari pengembangan dan pemanfaatan PBHRG, yaitu:
a. Komisi Nasional Keamanan Hayati dan Keamanan Pangan sebagai lembaga
yang bersifat independen yang keanggotaannya terdiri dari berbagai unsur keahlian dan mempunyai kewenangan dan otoritas tinggi dalam pengaturan
pengembangan dan pemanfaatan PBHRG.
Universitas Sumatera Utara
b. Memperkuat tugas dan fungsi Komisi Nasional Keamanan Hayati dan
Keamanan Pangan sebagai lembaga koordinasi lintas sektoral dengan cara meningkatkan keterlibatan dan keterwakilan keanggotaan dalam komisi.
Aspek pengembangan fasilitas sarana dan peralatan
a. Sepanjang sudah tersedia fasilitas sarana peralatan yang keberadaannya
pada berbagai instansiinstitusi perlu dilakukan peningkatan pemanfaatan fasilitas laboratorium penguji lintas sektor maupun lintas sub sektor
terutama untuk komoditi impor dalam bentuk curah.
b. Dukungan pengadaan fasilitas uji laboratorium bagi yang benar-benar
diperlukan dan belum tersedia keberadaannya.
Aspek penelitian dan pengembangan
a. Penelitian dan pengembangan dalam pemanfaatan PBHRG perlu dipacu
dengan memahami koridor yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996 pasal 13 ayat 2 dirahkan agar dampak negative dapat
diminimalkan. b.
Merumuskan kembali kebijaksanaan pengembangan dan pemanfaatan PBHRG, antara lain:
1. Galur tanaman transgenik dari luar negeri yang belum dilepas oleh negara
penemu tidak boleh diuji coba atau uji multi lokasi dalam skala komersial. 2.
Bibit benih transgenik tidak boleh diperdagangkan sebelum dilakukan pengujian melalui Fasilitas uji Terbatas FUT dan Fasilitas Uji Lapang
Universitas Sumatera Utara
Terbatas FULT serta uji multi lokasi terlebih dahulu, dengan melihat Risk Assessment dan Risk Management dengan mengacu kepada ketentuan
yang diatur Komisi Keamanan Hayati dan Keamanan Pangan.
Aspek pencerahan masyarakat public awareness
Tentang PBHRG yaitu: a.
Sosialisasi secara nasional dalam rangka pencerahan masyarakat public awareness tentang berbagai aspek, manfaat dan dampak PBHRG, melalui
kampanye, media massa, publikasi dan pertemuan. b.
Memasukkan materi PBHRG pada kurikulum pendidikan formal.
Peranan kelembagaan
Untuk menjabarkan dan mengoperasionalkan posisi pemerintah ini, diperlukan tindak lanjut dari berbagai institusi terkait. Pengelolaam mutu dan
keamanan pangan di setiap rantai pangan pada umumnya ditangani oleh satu instansi atau lebih yang dilakukan oleh berbagai tingkat Badan, Direktorat
Jenderal, Direktorat, bahkan sampai dengan Sub Direktorat. Berdasarkan Tupoksi, semua instansi terkait dalam system pangan mengembangkan sistem pengelolaan
mutu dan keamanan pangan yang mencakup tiga fungsi sekaligus, yaitu penyusunan standar, pengendalian, dan penjaminan mutu. Namun demikian,
belum ada Total Food Quality Control yang disepakati oleh seluruh stake holder mutu dan keamanan pangan, sehingga pengamatan perkembangan pemanfaatan
Universitas Sumatera Utara
PBHRG belum ada consensus yang jelas sementara produk olahan maupun bahan yang berasal dari PBHRG terus masuk ke negara kita.
50
B. Pihak Yang Bertanggungjawab Terhadap Peredaran Produk Pangan Hasil Teknologi Rekayasa Genetika