keluarga. Tidak hanya stigmatisasi, deskriminasi juga diberikan kepada kelompok yang dicap sebagai “PKI”. Kedua hal ini, stigmatisasi dan deskriminasi, telah
menimbulkan bentuk-bentuk pemarginalan kepada mereka yang dicap PKI dan keluarganya.
Di dalam masyarakat, deskriminasi cenderung diikuti dengan proses eksklusi sosial atau pengucilan orang-orang yang berdampak pada tidak adanya
kesempatan memperoleh hak-hak publik, seperti pekerjaan dan pergaulan. Dampak lainnya adalah kekhawatiran yang luas untuk mempelajari ideologi atau
ajaran-ajaran komunisme dan marxisme. Dampak yang paling nyata adalah pada mereka yang menjadi mantan tahanan politik karena diduga terlibat G 30 S. Para
tahanan politik ini, selain yang berasal dari kalangan militer, ditangkap dan ditahan tanpa proses pengadilan atau pembuktian kesalahan secara hukum.
Mereka yang berasal dari kalangan militer dihukum setelah melalui proses pengadilan militer. Setalah bebas dari tahanan, mantan tahanan politik ini masih
memperoleh perlakuan deskriminatif dengan pencantuman “ET” eks tapol pada kartu tanda penduduk mereka sehingga membatasi ruang gerak mereka di dalam
masyarakat karena akan selalu diawasi gerak-geriknya sebagai bentuk “kewaspadaan”.
c. Indoktrinasi dan Pengaburan Sejarah
Dari narasi Orde Baru tentang PKI diketahui bahwa PKI dipahami sebagai “tabu” dalam masyarakat. Pembicaraan tentang PKI di luar narasi resmi dapat dianggap
sebagai bentuk lain dari pengajaran dan penyebaran ajaran-ajaran PKI, termasuk di dalamnya membicarakan ideologi atau paham komunisme dan marxisme. PKI
31
Menggugat dunia..., Dian Susilastri, FIB UI, 2008
adalah dosa masa lalu bangsa sehingga harus “dikubur” dalam-dalam dan segala ajarannya merupakan bahaya laten yang sewaktu-waktu dapat muncul dan
membahayakan. Narasi Orde Baru yang demikian menyebabkan persoalan sejarah tentang
PKI cenderung diabaikan dan kehilangan fakta-fakta sehingga semakin kabur. Narasi yang cenderung merupakan indoktrinasi atas stigma PKI yang negatif
menimbulkan pemahaman yang sebaliknya tentang apa yang dilakukan oleh pemerintah Orde Baru. Kekerasan kolektif dan pemarginalan sebagian anak
bangsa yang dilakukan oleh Pemerintah Orba terhadap pengikut PKI dan mereka yang dituduh terlibat diabaikan dan dijadikan sebagai tindakan yang “benar” atas
nama keadilan karena telah menghukum PKI. Pemahaman terhadap narasi Orba yang membenarkan semua tindakan
kekerasan dan pemarginalan terhadap mereka yang terlibat dituduh PKI dijadikan sebagai bahan ajaran bagi semua anak bangsa khususnya di lembaga-
lembaga pendidikan. Hal ini dapat dipahami sebagai bentuk indoktrinasi ajaran dan menutup kemungkinan penafsiran-penafsiran dan penemuan-penemuan fakta
baru yang berlawanan dengan narasi pemerintah.
32
Menggugat dunia..., Dian Susilastri, FIB UI, 2008
BAB III
Narasi Metafora “Dunia Kabut” dalam Kalatidha : Sebuah Gugatan tentang Keadilan terhadap
Narasi Pemerintah Orde Baru mengenai G 30 S PKI
Dalam bab ini akan disajikan berbagai hal yang berkaitan dengan permasalahan-permasalahan dalam novel yang berkaitan dengan dunia kabut
dan pemaknaannya secara metaforis, yakni sesuatu yang memberikan makna pencitraan lain dengan menampilkan bentuk seperti kabut, samar-samar dan
penuh misteri. Selanjutnya berbagai hal tersebut dihubungkan dengan narasi pemerintah Orde Baru mengenai G 30 S PKI. Sebelumnya akan diuraikan
terlebih dahulu mengenai batasan pengertian keadilan secara umum dan dari pandangan tokoh utama. Tokoh utama adalah narator serba tahu yang menuturkan
sekaligus menyatakan pendapatnya mengenai kisah-kisah ketidakadilan yang ada di Kalatidha.
3.1 Pengertian Keadilan Inti keadilan adalah meletakkan segala sesuatu pada tempatnya. John Rawls