Utopia Negeri Cahaya Representasi Narasi Pemerintah Orde Baru

dibunuhnya dengan cara kejam. Pembalasan baginya selalu lebih kejam. Setelah ketidakadilan yang disaksikan dan ikut dirasakan terhadap saudara kembarnya serta terhadap diri dan keluarganya sudah terlalu banyak dan lama tanpa ada yang mampu melakukan perlawanan dan pembelaan, ia harus mengadili sendiri dengan caranya sendiri. Orang-orang yang diadili tersebut dalam Kalatidha dimetaforakan sebagai Rajapati. Kehadiran gadis tokoh Gadis Meraga Sukma ini menunjukkan adanya metafora perlawanan terhadap kesalahan, dan setiap kesalahan sudah seharusnya memperoleh hukuman yang setimpal. Di satu sisi, kehadirannya sebagai seorang pesilat mengesankan bahwa ‘kekerasan’ berbalas dengan ‘kekerasan’ pula tanpa harus mempertimbangkan perasaan.

e. Utopia Negeri Cahaya

Negeri cahaya adalah ilusi sebuah negeri yang sempurna yang menjadi utopia tokoh utama narator. Negeri cahaya muncul karena tokoh utama menyaksikan adanya kekacauan kehidupan dan ketidakadilan yang terjadi di sekelilingnya. Negeri cahaya tersebut merupakan gambaran sebuah negeri yang ironis dengan kisah-kisah di dalam Kalatidha yang dominan sebagai sesuatu yang suram tanpa cahaya atau suatu kontradiksi antara cahaya dan kabut. “Di bumi yang terkasih yang berdarah berdaging dan bersampah bergunung-gunung sampah...Permainan yang penuh pertumpahan darah permainan yang penuh ketidakadilan permainan tentang siapa yang berhak menguasai demi rasa kemenangan yang begitu penting begitu hakiki begitu dibutuhkan asal sekadar tapi benar-benar merupakan kekuasaan” hlm. 137—138 78 Menggugat dunia..., Dian Susilastri, FIB UI, 2008 “Tiada yang lebih memungkinkan dari segala dunia selain dari Negeri Cahaya, negeri di mana segala makhluk dan segala perbedaan dihargai setara.” hlm. 135 “Sembari melangkah aku mencoba mengerti dan mengingat kembali dunia sempurna yang pernah kubayangkan...pernah kubayangkan dan kuangankan sebuah negeri sempurna dengan segenap keindahan, kesejahteraan, dan keadilan yang paling mungkin di dunia...” hlm. 137—138 Kutipan tersebut menggambarkan bahwa apa yang ada atau dialami kutipan pertama merupakan perlawanan dari apa yang sekedar dibayangkan oleh tokoh utama kutipan kedua dan ketiga. Dunia dengan segenap keindahan, kesejahteraan, dan keadilan bagi negara dan warganya tersebut sangat kontras dengan situasi yang ada di hadapan tokoh utama, yaitu yang ia alami, rasakan, saksikan, ikut rasakan, atau sekedar ia tau dari guntingan koran. Bahwa undang- undang sebagai wujud fakta negara haruslah indah, betapa manusia akan bisa merasa terhormat dalam kesejahteraan keadilan dan kesetaraan dalam kebebasan, dan cita-cita kesempurnaan seharusnya bukan sebagai khayalan belaka namun diperjuangkan demi kebahagiaan. Akan tetapi, realita yang ada di hadapannya adalah kekerasan demi kekerasan bagi banyak orang tanpa mampu keluar dari jerat penderitaan tersebut. Bahkan, ekses dari penderitaan yang disaksiskan, dirasakan, dan didengarnya itu melekat hingga sepanjang hidup orang-orang yang termarginal. Dengan demikian negeri cahaya dapat diibaratkan sebagai sebuah cita-cita masa depan bagi kehidupan yang menghargai keadilan, kesetaraan, dan kebebasan. Di samping itu, dengan mengacu pada kata ‘cahaya’, ‘dunia kabut’ dalam Kalatidha diharapkan menjadi terang dengan adanya cahaya. 79 Menggugat dunia..., Dian Susilastri, FIB UI, 2008

f. Catatan Joni Gila