pembunuhan dengan dalih politik. Sekalipun pembunuhan itu datangnya dari dua posisi yang berbeda, kedua bocah itu telah kehilangan masa depan.
b. Hutan Bambu yang Berkabut
Hutan bambu adalah sebuah tempat yang mempunyai nuansa magis atau singup atau ‘angker’ karena kerimbunan dan gemerisik suara daun-daunnya seolah
memberi kesan sebagai sesuatu yang bisa hidup. Namun di satu sisi, hutan bambu yang tidak berpenghuni mempunyai kesan ketenangan, kedamaian, dan
kesenyapan. Hutan bambu yang ada di dalam Kalatidha juga memberi kesan demikian. Nuansa angker hutan bambu di dalam Kalatidha lebih dipertajam
dengan adanya kabut yang sering menyelimuti hutan bambu serta bersemayamnya dua belas makam tidak bernama yang tidak terawat.
Di dalam Kalatidha, secara imajinatif hutan bambu mempunyai fungsi sebagai penghadir kabut yang menjadi sarana berkembangnya khayalan tokoh
utama untuk melakukan berbagai kemungkinan perlawanan terhadap ketidakadilan-ketidakadilan yang ikut dirasakan olehnya. Dari hutan bambu itu
seolah tokoh utama menemukan sisi angker sekaligus kesenyapan dan pengalaman yang sangat pribadi. Dari hutan bambu yang berkabut tokoh utama
mendapatkan kenyataan bahwa di situ banyak roh yang melayang yang masih ada di alam barzakh, yaitu roh penasaran yang masih menuntut atau belum
mendapatkan keadilan atas kematiannya. Kabut di hutan bambu dapat diibaratkan sebagai sebuah kaca mata tembus
pandang ajaib yang mampu digunakan untuk melihat, menerawang, bahkan pemakainya dapat ikut memainkan peranan di dalam dunia lain tersebut.
73
Menggugat dunia..., Dian Susilastri, FIB UI, 2008
“Kabut adalah duniaku—dalam kabut itulah aku mengembara dan menjelajahi seribusatu kemungkinanku” hlm. 2
Tokoh utama yang mempunyai kebolehan menjelajah ke “dunia lain” sangat tergantung pada keberadaan hutan bambu tersebut. Di dalam hutan bambu
itu juga seolah ia menemukan cinta yang berbalas, yaitu dari roh gadis kembar yang mati terbakar bersama keluarganya di rumah mereka yang di kepung massa.
Hasil rekonsiliasi nyata dan maya dalam dunia kabut hutan bambu, yaitu roh gadis yang meraga sukma, mampu membuat tekanan terhadap aparat
keamanan yang kebingungan mencari bukti pelaku tindak pembantaian terhadap orang-orang yang kemudian diketahui sebagai pelaku pencidukan. Demikian
tergantungnya kisah dalam dunia kabut tersebut terhadap hutan bambu, karena dari sanalah keajaiban rekonsiliasi tersebut pada mulanya. Kekuatan dari tokoh
fantasi yang muncul tersebut dapat dianggap ‘mengancam’ kepentingan dan eksistensi penguasa superstruktur pengendali sistem dalam negeri. Langkah
kuratif yang diambil yaitu hutan bambu sebagai sumber kekuatan magis digusur oleh buldoser kencana tidak berpengemudi yang datang dari langit dengan parasut.
Hutan bambu berikut kabut dan gundukan makam gadis kembar ikut tergusur, maka hilanglah dunia khayalan tokoh utama yang penuh kekuatan pembalasan
dendam dan sebagai gantinya muncul mall yang kontradiktif dengan eksistensi hutan bambu.
Hutan bambu yang berkabut dapat dipandang mempunyai dua fungsi metaforis. Metafora pertama adalah hutan bambu dengan kabutnya yang
menghadirkan kisah-kisah fantastik merujuk pada upaya-upaya perlawanan terhadap ketidakadilan yang tergambar dalam kisah-kisah kekerasan kolektif dan
74
Menggugat dunia..., Dian Susilastri, FIB UI, 2008
pemarginalan. Kisah perlawanan tersebut tidak mempunyai dampak yang signifikan terhadap keadilan yang diharapkan, akan tetapi mampu menyuarakan
kehendak para korban kekerasan kolektif yang menghendaki keadilan dan sirnanya kisah-kisah yang diselimuti kabut misteri.
Metafora kedua adalah hutan bambu dengan wujud ‘fisiknya’ yang beralih ke mall merujuk pada suatu wilayah yang terhegemoni secara total oleh penguasa.
Dengan demikian, penghadiran hutan bambu di Kalatidha adalah sebagai metafor terhadap ruang gerak para korban peristiwa tragedi kemanusiaan yang sangat
dibatasi, diatur, dan dikuasai yang dalam narasi pemerintah Orde Baru tentang G 30 SPKI bentuknya adalah deskriminasi melalui stigmasi pada eks tapol dan
keluarga mereka yang terlibat PKI.
c. Rajapati