“M
ereka yang senang melihat nasib manusia lain yang buruk karena dipermalukan, direndahkan, dihina, disiksa, dan dianiaya—setidaknya
mereka tidak berbuat apa-apa menyaksikan penindasan manusia yang satu kepada manusia yang lain di depan hidung mereka, adalah
manusia-manusia yang jika dilahirkan kembali akan jadi kecoa, kelabang, atau tikus-tikus got.” hlm. 129—130
Rajapati dalam Kalatidha dikisahkan berjumlah ratusan orang yang melakukan kekerasan kolektif. Rajapati akhirnya dibunuh oleh gadis meraga
sukma dengan cara yang lebih kejam dari yang dilakukan rajapati kepada korbannya. Tubuh sang rajapati yang di masyarakat wujudnya adalah kelompok
massa dibunuh dengan cara dipenggal kepalanya, dicacah tubuhnya, dan dipotong kemaluannya. Bahkan roh rajapati yang telah keluar dari tubuhnya tetap dikejar
dan disiksa oleh gadis meraga sukma tersebut. Prosesi pembasmian rajapati tersebut bermakna sebagai sebuah tuntutan keadilan dengan pembalasan terhadap
sumber ketidakadilan. Dalam narasi pemerintah Orde Baru tentang G 30 SPKI disebutkan
bahwa rakyat marah kepada PKI karena tindakan kontra revolusi dan menimbulkan gejolak massa, Rajapati dianalogikan dengan massa tersebut.
d. Gadis Meraga Sukma
Tokoh gadis yang meraga sukma ini dilukiskan sebagai wanita pesilat
58
yang tidak sentimental untuk menjadi ‘eksekutor’ bagi para pelaku kisah pembunuhan
dan pencidukan, khususnya yang telah melakukan penganiayaan terhadap
58
Tipe gadis ini mirip dengan tokoh utama “Perempuan Preman” di Melawai yang ada dalam kumpulan cerpen SGA Dunia Sukab Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2001. Ia juga pandai
silat dan mampu terbang atau melenting ke atas dengan ringan. Satu hal yang dominan adalah persamaan ideologinya, yaitu perempuan melawan kekerasan dengan kekerasan juga.
76
Menggugat dunia..., Dian Susilastri, FIB UI, 2008
keluarganya. Selain sebagai eksekutor ia juga bertindak sebagai ‘hakim’ dalam pengadilannya sendiri.
“Dalam tubuh saudara kembarnya akan dia adili sendiri orang- orang itu.” hlm. 127
Tindakan dan jabatan yang sekaligus disandang oleh gadis tersebut yaitu sebagai eksekutor dan hakim merujuk pada ironi supremasi hukum yang ‘mandul’
pada waktu itu, setelah keadilan bagi pelaku pembunuhan dan pencidukan atau kekerasan kolektif yang ditunggu hingga bertahun-tahun tidak kunjung tiba.
Tokoh gadis meraga sukma ini hadir dari rangkaian kisah yang disaksikan oleh tokoh utama narator sebagai korban kisah kekerasan kolektif.
Dia adalah hasil penyatuan roh dan raga gadis kembar yang keluarganya mati terbakar di dalam rumah yang dikepung massa. Seorang dari gadis kembar
tersebut ikut terbakar bersama kedua orang tuanya berikut rumah mereka, dan satu yang lain tumbuh menjadi gadis yang disebut-sebut gila. Peristiwa pembakaran
tersebut merupakan salah satu dari sekian banyak kisah kekerasan massal. Kekuatan dari dunia lain di balik kabut yang melambangkan kekuatan
yang tergalang dari ribuan korban kekersan kolektif diibaratkan menyatu dalam jiwa gadis itu dan muncul di dunia menjalankan keadilan sendiri, yaitu dengan
membantai sang rajapati. Dalam hal ini terjadi kekerasan yang berulang atau kekerasan dibalas kekerasan dengan kata lain telah berlaku hukum rimba.
Gadis tersebut sangat ingat wajah-wajah 257 orang yang melakukan pembakaran atau ikut menyaksikan bahkan yang sekedar lewat di tempat dia dan
keluarganya dihakimi massa dengan tuduhan yang tidak terbukti benar. Satu per satu dia mendatangi mereka, menyampaikan letak kesalahan mereka, dan akhirnya
77
Menggugat dunia..., Dian Susilastri, FIB UI, 2008
dibunuhnya dengan cara kejam. Pembalasan baginya selalu lebih kejam. Setelah ketidakadilan yang disaksikan dan ikut dirasakan terhadap saudara kembarnya
serta terhadap diri dan keluarganya sudah terlalu banyak dan lama tanpa ada yang mampu melakukan perlawanan dan pembelaan, ia harus mengadili sendiri dengan
caranya sendiri. Orang-orang yang diadili tersebut dalam Kalatidha dimetaforakan sebagai Rajapati.
Kehadiran gadis tokoh Gadis Meraga Sukma ini menunjukkan adanya metafora perlawanan terhadap kesalahan, dan setiap kesalahan sudah seharusnya
memperoleh hukuman yang setimpal. Di satu sisi, kehadirannya sebagai seorang pesilat mengesankan bahwa ‘kekerasan’ berbalas dengan ‘kekerasan’ pula tanpa
harus mempertimbangkan perasaan.
e. Utopia Negeri Cahaya