Ruwatan pada Masyarakat Jawa Owasa pada Masyarakat Nias

51 Agama dan Perilaku Keagamaan Salah satu bentuk dinamisme yang biasa dijalankan oleh masyarakat primitif adalah magi, yaitu menjalankan aktivitas dengan menggunakan kekuatan alam atau benda yang ber-mana. Ada beberapa bentuk magi, antara lain sebagai berikut. Pertama, magi imitatif. Magi jenis ini berdasarkan perbuatan tiruan. Fenomena alam diyakini bisa dipengaruhi dengan perbuatan-perbuatan yang menyerupai keadaan yang sebenarnya. Misalnya, untuk bisa mendatangkan hujan, maka orang akan membuat asap supaya membentuk mega. Atau agar bisa membunuh musuhnya, manusia membuat orang-orangan kemudian ditusuk atau dipukul. Kedua, magi analogi. Magi ini memengaruhi alam dengan perbuatan yang bisa menyebabkan suasana atau keadaan yang sebenarnya. Misalnya untuk memudahkan atau mempercepat kelahiran pada ibu yang sudah hamil tua, maka semua benda yang terbuka atau terikat harus dibuka. Ketiga, magi bahasa. Magi ini menggunakan bahasa untuk bisa memengaruhi keadaan. Misalnya, untuk mempercepat perkawinan, di tanah Melayu diadakan upacara berpantun. Komunikasi antara kedua belah pihak dianggap bisa menyebabkan menyebabkan munculnya kekuatan gaib. Pantun yang dibacakan biasanya berisikan pantun asmara atau petuah-petual orang tua. Animisme berasal dari kata anima yang berarti nafas atau nyawa. Menurut E.B. Tylor, animisme adalah bentuk agama yang tertua. Ada beberapa macam kepercayaan pada bangsa primitif di Indonesia. Misalnya kepercayaan terhadap kekuatan yang dimiliki manusia baik yang telah meninggal atau yang masih hidup dan kepercayaan terhadap segala benda yang ada di sekitarnya.

a. Ruwatan pada Masyarakat Jawa

Ruwatan adalah upacara pengusiran roh yang berlaku pada suku bangsa Jawa. Tujuannya untuk membebaskan korban atau calon korban agar tidak dimangsa Batara Kala. Pelaksanaan ritual ini didasarkan pada lakon wayang Murwakala, sebuah naskah lama yang diambil dari kitab Tantu Panggelaran pada akhir abad XV. Orang atau anak yang diancam Batara Kala memiliki ciri-ciri tertentu. Biasanya anak yang menempati posisi khusus dalam sebuah keluarga. Misalnya, anak tunggal, anak kandung lima sampai enam bersaudara atau yang dikenal dengan sendang kapit pancuran anak perempuan di antara dua anak laki-laki dalam satu keluarga, pancuran kapit sendang anak laki-laki di antara dua anak perempuan, dan lain-lain. Anak-anak itu dalam budaya Jawa dikenal sebagai anak sukerta. Upacara pengusiran roh jahat bisa dilakukan dengan menggelar wayang kulit dengan tema Murwakala. Untuk melaksanakan upacara Murwakala, diperlukan persiapan yang matang agar terhindar dari segala pengganggu. Religi itu merupakan sesuatu yang suci, sehingga diperlukan sesajen untuk disajikan kepada para dewa dan danyang penunggu tempat- tempat tertentu. Tokoh wayang yang akan digunakan dihias secara khusus dengan dilengkapi air suci dan kemenyan. Tokoh wayang yang dipilih biasanya putera dan puteri Arjuna atau Bima, misalnya Wisanggeni. Selama Sumber: Profil Propinsi Yogyakarta, halaman 112-113 Gambar 2.12 Wayang kulit Di unduh dari : Bukupaket.com 52 ANTROPOLOGI Kelas XII pergelaran wayang Murwakala, batas antara dunia mistis dengan dunia nyata terhapus. Keluarga yang memiliki anak sukerto juga ikut menyatu dalam mitos.

b. Owasa pada Masyarakat Nias

Owasa adalah perayaan keselamatan yang dilaksanakan oleh bangsawan Nias. Status bangsawan Nias biasanya ditentukan oleh emas permata yang dimilikinya. Untuk menahbiskan ke- dudukannya, bangsawan harus mengumpulkan babi dan menyembelihnya. Setelah menyelenggarakan upacara owasa, bangsawan akan memperoleh gelar baru dengan hak-hak istimewa. Gelar itu dalam masyarakat Nias disebut si’ulu. Dalam perayaan itu, setiap orang akan saling mengalahkan dalam hal menyediakan hewan babi. Semakin banyak babi yang ia sediakan, semakin tinggi pula kedudukan dan martabat yang akan ia peroleh. Selanjutnya, daging babi yang telah disembelih itu dibagikan kepada masyarakat sesuai dengan tingkat dan golongannya. Semakin banyak yang ia bagikan semakin terhormat pula ia di mata masyarakat.

c. Puliaijat pada Masyarakat Siberut