13
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Masalah dan Latar Belakang
Krisis ekonomi yang melanda Indonesia sejak tahun 1997, tidak saja menyudahi kekuasaan Soeharto dan rezimnya pada pertengahan 1998, tetapi juga
menempati Indonesia ke dalam masa-masa sulit. Angka kemiskinan meningkat tajam, pengangguran membengkak, kualitas pendidikan menurun, pelayanan sosial
semakin buruk, kekurangan gizi pada balita, kriminalitas meningkat, kerusuhan dan konflik sosial terjadi di beberapa wilayah di tanah air Bamualim dalam
Prihatna, 2005; 13. Akibat-akibat yang muncul dari krisis ekonomi saat ini sudah merambah
dalam berbagai strata masyarakat. Banyak masyarakat yang tidak mampu memenuhi kebutuhan sandang, pangan, dan papan. Persoalan ini membuat negeri
14
ini semakin sulit keluar dari masalah kemiskinan. Upaya untuk menyelesaikan masalah kemiskinan telah dilakukan pemerintah dengan bebagai program, mulai
dari Jaring Pengaman Sosial JPS, Bantuan Langsung Tunai BLT, dan Bantuan Operasional Sekolah BOS. Di samping itu, juga ada Program Nasional
Pemberdayaan Masyarakat PNPM, misalnya Program Pengembangan Kecamatan PPK, program penanggulangan kemiskinan di perkotaan, dan program-program
lainnya Wajdi, 2007; 1. Namun, berbagai program penanggulangan kemiskinan yang dijalankan
pemerintah ini ternyata belum efektif untuk menekan jumlah penduduk miskin. Hal ini terbukti dengan tingginya angka putus sekolah dan buta huruf. Hingga tahun
2006, penderita buta aksara di Jawa Barat misalnya mencapai jumlah 1,5 juta orang. Dari jumlah itu, 23 diantaranya berada dalam usia produktif antara 15-44
tahun. Belum lagi tingkat pengangguran yanag meningkat. Jumlah pengangguran terbuka tahun 2007 di Indonesia sebanyak 12,7 juta orang. Ditambah lagi kasus
gizi buruk yang tinggi, kelaparan dan busung lapar, dan rakyat yang makan nasi aking. Data BPS Propinsi Sumatera Utara menunjukkan peningkatan angka
kemiskinan sebesar 15,66 dibanding tahun 2004. Jumlah masyarakat miskin tahun 2006 sebanyak 1.979.702 orang. Angka ini jauh lebih besar dibanding tahun
2004 sebanyak 1.806.060 orang Ghopur, 2010; 1. Kegagalan pemerintah dalam menyejahterakan masyarakat, terutama
masyarakat yang berada di lapisan bawah, tidak terlepas dari program-program pembangunan pro-pertumbuhan yang meyakini terjadinya trickle down effect efek
tetesan ke bawah. Hal ini terjadi karena program-program pemerintah yang pro-
15
pertumbuhan tidak berdampak besar dalam perbaikan kondisi sosial ekonomi masyarakat. Akibat yang ditimbulkan adalah masyarakat miskin tetap miskin,
bahkan ada yang bertambah miskin, sedangkan kelompok masyarakat yang kaya bertambah kaya Zubaedi, 2007; 96.
Dalam kondisi seperti ini, seharusnya negaralah yang paling bertanggung jawab terhadap langgengnya fenomena kemiskinan yang ada sekarang ini.
Kegagalan pemerintah dalam memfasilitasi pemenuhan kebutuhan masyarakat perlu mendapatkan perhatian. Aziz 2009; 2 mengatakan di titik inilah, negara
sangat membutuhkan “aktor” lain yang bisa membantunya memecahkan masalah kemiskinan. Di sinilah peran filantropi dibutuhkan.
Filantropi telah dikenal di setiap kebudayaan umat manusia sepanjang sejarah. Di Indonesia, tradisi ini telah menjadi kebiasaan masyarakat Indonesia dan
dikenal di berbagai etnis dengan bentuk dan nama yang berbeda. Tradisi ini merupakan wujud dari ajaran agama dan nilai-nilai budaya yang sudah mengakar
sejak ratusan tahun yang lalu. Setiap agama dan kebudayaan pasti mengajarkan setiap umatnya untuk senantiasa menolong manusia lain yang membutuhkan
bantuan. Apalagi dengan situasi krisis moneter yang sampai kini masih terasa dan berbagai bencana alam yang datang silih berganti telah menggairahkan dunia
filantropi di Indonesia. Bantuan yang diberikan dapat berupa bantuan tenaga maupun bantuan
materil. Maka dari itu, bermunculan organisasi-organisasi massa dari berbagai etnis dan agama yang bertugas untuk mengumpulkan dana filantropi. Dana yang
telah terkumpul kemudian disalurkan kepada orang yang membutuhkan. Di
16
Indonesia, dana filantropi terbesar diperoleh dari filantropi Islam. Hal ini dikarenakan sebagian besar masyarakat Indonesia adalah kaum muslim. Praktek-
praktek filantropi Islam telah berakar kuat dalam bentuk zakat, infak, sedekah, dan wakaf Aziz, 2009; 3. Khusus untuk filantropi Islam, telah banyak lahir sejumlah
organisasi filantropi. Bila dulu kita hanya mengenal Badan Amil Zakat, kini aktivitas itu menjadi terstruktur dalam banyak lembaga yang profesional, misal
Dompet Dhuafa DD, Pos Keadilan peduli Umat PKPU, Rumah Zakat, Tabung Wakaf, dan sebagainya.
Hasil survei Center for the Study of Religion and Culture CSRC UIN Jakarta 2004 menunjukkan bahwa potensi dana filantropi Islam zakat, infak, dan
sedekah yang terkumpul dalam setahunnya mencapai Rp 19,3 triliun. Namun, dana itu ternyata tidak mampu digunakan untuk mengentaskan kemiskinan.
Bahkan, justru menciptakan ketergantungan dan melestarikan kemiskinan itu sendiri. Bahkan asset wakaf yang bernilai 590 trilyun ternyata 80 hanya
digunakan untuk masjid dan pekuburan. Masih menurut penelitian CSRC, jumlah dana Rp 19,3 triliun hanya 5-7 persen yang dapat diterima dan dimanfaatkan oleh
lembaga-lembaga filantropi modern, dan selebihnya tidak. Setidaknya ada beberapa faktor kenapa dana filantropi Islam itu belum mampu menjawab problem
masyarakat. Yang paling utama adalah praktik filantropi Islam di Indonesia masih sangat tradisional. Tradisional dalam artian masih banyaknya dana filantropi yang
diberikan secara langsung kepada fakir-miskin, peminta-minta, dan keluarga tak mampu Sajad, 2009; 1.
17
Praktik demikian tidak memberdayakan masyarakat dan malah membuat ketergantungan, karena sama saja dengan memberi ikan kepada orang yang lapar,
tetapi tidak memberikan kailnya. Dengan kata lain, dana filantropi Islam secara umum masih berorientasi konsumtif, sehingga tidak berfungsi menyelesaikan
kemiskinan masyarakat. Oleh karena itu, untuk mengurangi kemiskinan, dana filantropi Islam harus diorientasikan menjadi lebih produktif sehingga mempunyai
efek jangka panjang, dan memberdayakan Sajad, 2009; 1. Pemberdayaan zakat telah dicontohkan Nabi Muhammad SAW. Beliau
pernah memberikan sedekah kepada seorang fakir sebanyak dua dirham, sambil mernberi anjuran agar mempergunakan uang itu satu dirham untuk makan dan satu
dirham lagi untuk membeli kampak dan bekerja dengan kampak itu. Lima belas hari kemudian orang ini datang lagi kepada Nabi SAW dan menyampaikan bahwa
ia telah bekerja dan berhasil mendapat sepuluh dirham. Dari kisah tersebut dapat dipetik bahwa pemberian sedekah tidak sekadar sampai pada fakir, sunnah Nabi
menyarankan agar sedekah dapat membebaskan seorang fakir dari kefakirannya. Contoh di atas telah banyak menginspirasi berbagai lembaga filantropi Islam
untuk melakukan pemberdayaan masyarakat dalam rangka mengelola dana zakat. Misalnya penyaluran dana untuk modal usaha pembuatan home industry, atau
usaha lainnya yang telah dilakukan oleh DSNI Amanah. Contoh lain misalnya program pendampingan oleh Masyarakat Mandiri MM Dompet Dhuafa. LAZ ini
melakukan pendampingan kepada ratusan petani kelapa di Desa Wora-wari, Kec. Kebonagung, Pacitan, Jawa Timur yang menggantungkan hidupnya pada
pembuatan gula merah. Melalui pendampingan ini, mereka belajar tentang mutu,
18
jenis produk kelapa dan juga tentang pengembangan pasar. Pendampingan yang dilakukan oleh MM ini adalah salah satu bentuk cara mengoptimalkan penggunaan
dana zakat, infak dan sedekah Muhammad, 2008; 1. Salah satu lembaga amil zakat di Indonesia adalah Rumah Zakat. Rumah
Zakat merupakan sebuah lembaga swadaya masyarakat yang memfokuskan pada pengelolaan zakat, infak, sedekah, dan wakaf secara lebih profesional dengan
menitikberatkan program pendidikan, kesehatan, pembinaan komunitas dan pemberdayaan ekonomi sebagai penyaluran program unggulan. Rumah Zakat
telah mengembangkan program-program pemberdayaan masyarakat sebagai bentuk pengelolaan zakat yang lebih produktif dan memberdayakan para mustahik.
Oleh karena itu, peneliti tertarik untuk meneliti dan mengetahui lebih dalam mengenai bentuk-bentuk dan proses pemberdayaan masyarakat yang dilakukan
Rumah Zakat.
1.2 Tinjauan Pustaka
Istilah filantropi philanthropy berasal dari bahasa Yunani, philos cinta dan anthropos manusia. Secara harfiah, filantropi adalah konseptualisasi dari
praktik memberi giving, pelayanan sevices dan asosiasi association secara sukarela untuk membantu pihak lain yang membutuhkan sebagai ekspresi rasa
cinta. Secara umum, filantropi didefinisikan sebagai tindakan sukarela untuk kepentingan publik voluntary action for the public goods Prihatna, 2005; 3.
Tradisi filantropi telah dikenal di setiap kebudayaan umat manusia sepanjang sejarah. Di Indonesia, tradisi ini telah menjadi kebiasaan masyarakat
19
Indonesia dan dikenal di berbagai etnis dengan bentuk dan nama yang berbeda. Tradisi ini merupakan wujud dari ajaran agama dan nilai-nilai budaya yang sudah
mengakar sejak ratusan tahun yang lalu. Setiap agama dan kebudayaan pasti mengajarkan setiap umatnya untuk
senantiasa menolong manusia lain yang membutuhkan bantuan. Bantuan yang diberikan dapat berupa bantuan tenaga maupun bantuan materiil. Maka dari itu,
bermunculan organisasi-organisasi massa dari berbagai etnis dan agama yang bertugas untuk mengumpulkan dana filantropi. Dana yang telah terkumpul
kemudian disalurkan kepada orang yang membutuhkan. Di Indonesia, dana filantropi terbesar diperoleh dari filantropi Islam. Hal ini dikarenakan sebagian
besar masyarakat Indonesia adalah kaum muslim. Praktek-praktek filantropi Islam telah berakar kuat dalam bentuk zakat, infak, sedekah, dan wakaf.
Dalam ajaran Islam, zakat, infak, sedekah, dan wakaf mengandung pengertian yang sama dan acap kali digunakan secara bergantian untuk maksud
yang sama, yaitu berderma. Dalam surat Al-Maidah ayat 60, yang sering dirujuk sebagai ayat tentang kedermawanan, misalnya, tidak menyebut istilah zakat
melainkan sadaqah sedekah. Namun, dalam kehidupan sehari-hari penggunaan istilah zakat, infak, sedekah, dan wakaf mengandung makna yang khusus dan
digunakan secara berbeda Prihatna, 2005; 6. Zakat sering diartikan sebagai membelanjakan mengeluarkan harta dan
sifatnya wajib dipenuhi oleh setiap muslim. Sebagai salah satu rukun Islam, zakat menjadi perwujudan ibadah seseorang kepada Allah SWT sekaligus sebagai
perwujudan dari rasa kepedulian sosial. Asnaini 2008;1 mengatakan, seseorang
20
yanag melaksanakan zakat dapat mempererat hubungannya kepada Allah SWT hablun min Allah dan hubungan kepada sesama manusia hablun min annas.
Dengan demikian, inti dari ibadah zakat adalah pengabdian sosial dan pengabdian kepada Allah SWT. Harta yang dikeluarkan para penderma dalam rangka berzakat,
tidak berdasarkan kerelaan hati, melainkan berdasarkan perhitungan tertentu. Selain itu, para penerima zakat juga telah ditentukan oleh Islam. Sayyid
Muhammad Rasyid Ridha berdasarkan surat at Taubah ayat 60, membagi 8 golongan yang berhak menerima zakat, yaitu :
a. Golongan fakir
fuqarā’, yaitu orang yang tidak memiliki pekerjaan dan tidak mampu mencukupi kebutuhan hidupnya.
b. Golongan miskin
masākīn, yaitu orang yang memiliki pekerjaan namun tidak mampu memenuhi kebutuhan hidupnya.
c. Golongan para pegawai zakat
‘āmilīn, yaitu orang yang bekerja untuk mengatur pemungutan dan pembagian zakat.
d. Golongan orang-orang yang perlu dihibur hatinya
mu’alaffati qulūbuhum, yaitu orang yang memerlukan bantuan materi atau keuangan untuk
mendekatkan hatinya kepada Islam. e.
Golongan orang-orang yang terikat hutang ghārimīn, yaitu orang yang
tidak menyanggupi untuk membayar hutang. f.
Golongan orang-orang yang terlantar dalam perjalanan Ibnu al- sabīl,
yaitu orang yang memerlukan batuan ongkos untuk pulang ke daerah asalnya. g.
Golongan budak al- Riqāb, yaitu budak biasa yang dengan jatah zakatnya
mereka mampu dimerdekakan.
21
h. Golongan orang –orang yang berjuang atau berperang
fī sabilillah, yaitu orang –orang yang berjuang di jalan Allah.
Infak merupakan amal ibadah kepada Allah dan amal sosial kemasyarakatan dan kemanusiaan dalam wujud menyerahkan sebagian harta yang dimiliki
perseorangan atau suatu badan hukum untuk diberikan kepada seseorang atau badan hukum karena suatu kebutuhan Djatnika 1986 dalam Kurde, 2005; 18.
Infak merujuk kepada pemberian yang bukan zakat, yang kadang kala jumlahnya lebih besar dari zakat. Biasanya infak digunakan untuk kepentingan peningkatan
kapasitas sarana, misalnya bantuan untuk masjid, madrasah, pondok pesantren, dan rumah sakit.
Sedekah dalam pengetian umum adalah memberikan harta atau nilainya atau manfaatnya kepada yang berhak atau patut diberi, karena perintah Allah dan
RasulNya , baik perintah wajib ataupun perintah sunnah, yang merupakan ibadah kepada Allah dan sekaligus merupakan amal sosial kemasyarakatan dan
kemanusiaan Djatnika 1986 dalam Kurde, 2005; 20. Sedekah biasanya dalam jumlah kecil diserahkan kepada fakir miskin, pengemis, pengamen, dan lain-lain.
Berbeda dengan zakat, baik infak maupun sedekah keduanya adalah sunnah. Sementara itu, wakaf, jika mengacu pada hadist otentik, dapat
dikategorikan ke dalam infak. Dengan kata lain, konsep infak mencakup wakaf. Namun, perbedaannya terletak pada kekekalan manfaatnya. Sebagian ulama
menekankan pemanfaatan hasil wakaf dengan menjaga kekekalannya. Dalam pengertian hukum Islam wakaf adalah melepas kepemilikan atas harta yang dapat
bermanfaat dengan tanpa mengurangi bendanya untuk diserahkan kepada
22
perorangan atau kelompok agar dimanfaatkan untuk tujuan-tujuan yang tidak bertentangan dengan syari’at. Dalam sejarah perkembangan Islam, wakaf berperan
penting dalam mendukung pendirian lembaga-lembaga sosial Islam Prihatna, 2005; 7.
Pengelolaan filantropi Islam dengan manajemen modern telah dilakukan oleh Dompet Dhu’afa. Berbagai strategi Dompet Dhu’afa dalam menghimpun dana
memberi implikasi pada jumlah dana yang cenderung meningkat dari tahun ke tahun. Manajemen organisasi Dompet Dhu’afa yang didukung penerapan
manajemen modern dengan sendirinya sudah menerapkan konsep organisasi filantropi modern, mulai dari penghimpunan, pendistribusian, dan target sasaran
penerima. Peruntukan dananya tidak diberikan hanya untuk kebutuhan tanggap darurat berjangka pendek, tetapi juga dikonsentrasikan bagi upaya pemberdayaan
masyarakat untuk rentang waktu jangka panjang Helmanita, 2005; 116. Cerminan aktivitas kedermawanan sosial di bidang keagamaan dapat dilihat
dari aktivitas pengelolaan dana filantropi Islam Badan Amil Zakat BAZ Propinsi Jawa Barat. BAZ Jabar menggalang dana zakat, infak, dan sedekah ZIS dengan
cara melakukan kerja sama dengan pihak bank, pengurus Dewan Kesejahteraan Masjid DKM setempat, dan kantor kecamatan atau kelurahan. Selain itu, BAZ
Jabar juga melakukan sosialisasi melalui berbagai media massa, baik cetak maupun elektronik. Melalui berbagai macam cara tersebut, total dana ZIS yang terkumpul
24 Kabupaten di Propinsi Jawa Barat pada tahun 2002 adalah sebesar Rp 38.850. 909.788,00 Al-Makassary, 2005; 70.
23
Dana filantropi yang telah terkumpul yang berasal dari zakat, infak, sedekah, dan wakaf tersebut kemudian dikelola dan disalurkan kepada para
mustahiq berdasarkan 8 golongan yang telah disebutkan di atas. Prihatna 2005;3- 4 membagi dua bentuk pengelolaan filantropi berdasarkan sifatnya. Pertama,
filantropi berbasis karitas charity atau yang lebih dikenal sebagai filantropi tradisional. Praktik filantropi ini pada umumnya pemberian dermawan kepada
kaum miskin sehingga lebih bersifat individual. Model pengelolaan seperti ini dirasakan cukup membantu orang-orang miskin yang membutuhkan bantuan,
namun justru menimbulkan budaya ‘malas’, budaya ‘meminta-minta’, serta jurang pemisah antara si kaya dan si miskin. Kedua, filantropi yang berkeadilan sosial.
Dalam konsep filantropi ini, kemiskinan masyarakat lebih disebabkan oleh ketidakadilan dalam alokasi sumber daya dan akses kekuasaan dalam masyarakat.
Dalam praktiknya, filantropi ini diharapkan dapat mendorong perubahan struktur dan kebijakan agar berpihak pada masyarakat yang lemah dan minoritas.
Keberpihakan masyarakat terhadap golongan lemah dan minoritas ini merupakan tujuan yang hendak dicapai dalam pengelolaan filantropi.
Keberpihakan ini terwujud di dalam aktivitas-aktivitas filantropi yang dilakukan masyarakat, BAZ, LAZ, dan organisasi massa lainnya yang bergerak dalam bidang
charity. Tujuan utamanya adalah membebaskan manusia dari ketidakberdayaan dan kemiskinan.
Kemiskinan saat ini merupakan permasalahan yang sangat penting untuk dipecahkan. Amartya Sen medefinisikan kemiskinan sebagai ketiadaan akses
berupa informasi, kesehatan, pendidikan, sandang, pangan, dan papan Saidiman
24
dalam Zubaedi, 2007; 128. Menurut definisi yang lebih umum, kemiskinan merupakan permasalahan pembangunan sosial yang terkait dengan berbagai bidang
pembangunan lainnya yang ditandai dengan pengangguran, keterbelakangan, dan ketidakberdayaan. kemiskinan terbagi atas dua model: pertama, kemiskinan kronis
chronic poverty atau disebut juga kemiskinan struktural, karena terjadi secara terus-menerus. Kedua, kemiskinan sementara transient poverty yang ditandai
dengan menurunnya pendapatan dan kesejahteraan masyarakat secara sementara. Kemiskinan ini biasanya menimpa karena terjadi sebuah gejolak sosial, konflik,
perang, atau bencara alam Zubaedi, 2007; 128. Kemiskinan di Indonesia adalah masalah yang kronis, kompleks, dan
multidimensional, artinya kemiskinan tidak saja melibatkan faktor ekonomi, tetapi juga sosial, budaya, dan politik, sehingga kemiskinan tidak semata terkait dengan
kesejahteraan sosial Prayitno, 2000; 82. Prayitno 2000; 84 juga mengemukakan bahwa dalam memahami kesejahteraan sosial, perlu dipahami juga dimensi-
dimensi apa saja yang terkait dengan masalah kemiskinan tersebut. Pertama, yang paling jelas, kemiskinan berdimensi ekonomi atau material. Dimensi ini terkait
dengan kebutuhan dasar manusia yang bersifat material, pangan, sandang, perumahan, dan kesehatan. Kedua, kemiskinan berdimensi sosial dan budaya.
Masyarakat yang secara ekonomi terus menerus digolongkan miskin akan membentuk suatu pola kebudayaan yang disebut sebagai budaya kemiskinan.
Budaya kemiskinan ini dapat terlihat dengan terlembaganya nilai-nilai, dimana ketika nilai tidak dihilangkan, maka kemiskinan ekonomi juga sulit untuk
dihilangkan. Ketiga, kemiskinan berdimensi struktural atau politik. Kemiskinan ini
25
terjadi karena orang miskin tidak memiliki sarana untuk terlibat dalam proses politik dan tidak memiliki kekuatan politik, sehingga selalu menduduki struktur
sosial yang paling bawah. Loekman Soetrisno dalam Prayitno 2000; 81 menyebutkan bahwa ada
dua pemikiran dalam melihat substansi kemiskinan di Indonesia. Pemikiran pertama adalah bahwa kemiskinan itu pada dasarnya disebabkan oleh campur
tangan yang terlalu luas dari negara dalam kehidupan masyarakat. Pemikiran ini menganggap bahwa orang miskin mampu membangun diri sendiri, apabila
pemerintah memberi kebebasan bagi masyarakat untuk mengatur diri sendiri. Karenanya, penekanan dari pemikiran ini adalah upaya empowerment masyarakat.
Pemikiran kedua mengatakan bahwa orang menjadi miskin karena tidak memiliki ethos kerja yang tinggi, tidak memiliki jiwa wiraswasta, dan tingkat pendidikannya
rendah. Ketidakberdayaan masyarakat sehingga menjadikannya miskin terkait
dengan yang digagas oleh Freire sebagai proses dehumanisasi. Proses dehumanisasi terjadi melalui mekanisme kekerasan, baik yang fisik dan
dipaksakan, maupun melalui cara-cara halus, dimana keduanya bersifat struktural dan sistemik. Freire dalam Fakih 2006; 31 menjelaskan proses dehumanisasi
dengan menganalisis kesadaran manusia terhadap dirinya sendiri. Freire menggolongkan kesadaran manusia ke dalam tiga golongan, pertama, kesadaran
magis, yaitu kesadaran yang lebih mengarahkan penyebab masalah dan ketakberdayaan masyarakat dengan faktor-faktor di luar manusia, baik natural
maupun super natural. Masyarakat secara dogmatik menerima suatu pembenaran
26
tanpa memahami makna. Kedua, kesadaran naïf. Kesadaran ini lebih melihat manusia sebagai akar penyebab masalah masyarakat. Dengan demikian, orang
miskin ada karena mereka malas, tidak memiliki jiwa kewirausahaan, atau tidak memiliki jiwa pembangunan. Ketiga, kesadaran kritis. Kesadaran ini lebih melihat
sistem dan struktur sebagai sumber masalah masyarakat. Kesadaran ini memberi kesempatan kepada masyarakat untuk mampu mengidentifikasi ketidakadilan
dalam sistem dan struktur yang ada, kemudian menganalisis bagaimana sistem dan struktur itu bekerja, serta bagaimana mentransformasikannya. Ketiga kesadaran
yang disebutkan Freire ini sangat berpengaruh terhadap perkembangan pemberdayaan masyarakat dalam tingkat akar rumput grassroot.
Berbagai reaksi mulai bermunculan terhadap lemahnya model pembangunan yang pro-pertumbuhan ekonomi. Para ilmuwan berpandangan
bahwa model pembangunan ini telah gagal dalam mengatasi problem kemiskinan, menjaga kelestarian lingkungan, serta memecahkan problem sosial yang
mengimpit masyarakat. Pembangunan pro-pertumbuhan ekonomi mulai dikembangkan di
Indonesia setelah secara resmi proklamasi kemerdekaan dibacakan. Untuk mengejar ketertinggalan dengan negara-negara maju, pemerintah Indonesia ketika
itu mengadopsi sistem kapitalisme dan strategi modernisasi dalam menentukan kebijakan-kebijakan pembangunan. Pemerintah sangat dipengaruhi oleh teori
pertumbuhan ekonomi yang dikembangkan oleh Rostow. Menurut Rostow dalam Zubaedi 2007; 170, semakin besar kemampuan produktif masyarakat, semakin
besar kekayaan yang dapat dihimpun, dan lama kelamaan kekayaan itu akan
27
“menetes ke bawah” trickle down effect. “Tetesan ke bawah” ini diharapkan akan mencapai lapisan rakyat kecil yang berada di pedesaan maupun daerah yang belum
sempat dibangun. Secara teoritis, teori Rostow terlihat menarik. Namun, dalam penerapannya, konsep trickle down effect yang diharapkan dapat meningkatkan
kemakmuran masyarakat justru tidak terjadi. Hal yang terjadi adalah bertambahnya kekayaan sekelompok orang yang dekat dengan kekuasaan, serta terjadinya
peningkatan angka pengangguran, kemiskinan, serta angka migrasi desa kota Adi, 2008; 11.
Kritik dan kecaman terhadap pembangunan pro-pertumbuhan ekonomi yang telah dinilai gagal dalam upaya menyejahterakan rakyat mengarahkan
munculnya suatu pendekatan dan gerakan baru yang mengarah pada pemberdayaan. Gerakan ini diawali dari paradigma pembangunan yang berpusat
pada manusia people centered development yang diakui sebagai pembangunan alternatif Sutoro Eko dalam Zubaedi, 2007; 172. Model pembangunan ini
menekankan pentingnya pembangunan berbasis masyarakat, berparadigma bottom- up, dan lokalitas. Selain itu, pembangunan alternatif juga menekankan peran aktif
masyarakat yang dapat diimplementasikan di dalam program-program pengembangan masyarakat Zubaedi, 2007; 176.
Pengembangan masyarakat dilakukan dengan tujuan untuk
mengembangkan kemampuan masyarakat bawah dalam mengidentifikasi kebutuhan, mendapatkan sumber daya dalam memenuhi kebutuhan, dan
memberdayakan mereka Susan Kenny dalam Zubaedi, 2007; 16. Proses pengembangan masyarakat tidak berpusat pada birokrasi, melainkan berpusat pada
28
masyarakat atau komunitasnya sendiri. Pemberian kekuasaan pada inisiatif lokal dan partisipasi masyarakat menjadi kata kunci dalam pengembangan masyarakat
Suparjan dan Suyatno, 2003; 21. Pengembangan masyarakat adalah upaya mengembangkan sebuah kondisi
masyarakat secara berkelanjutan dan aktif berlandaskan prinsip-prinsip keadilan sosial dan saling menghargai melalui program-program pembangunan yang
menghubungkan seluruh komponen masyarakat Zubaedi, 2007; 18. FCDL dalam zubaedi juga menambahkan bahwa :
“pengembangan masyarakat menerjemahkan nilai-nilai keterbukaan, persamaan, pertanggungjawaban, kesempatan, pilihan, partisipasi, saling
timbal-balik, dan pembelajaran terus menerus. Inti pengembangan masyarakat adalah mendidik dan membuat anggota masyarakat mampu
mengerjakan sesuatu dengan memberikan kekuatan atau sarana yang diperlukan dan memberdayakan mereka”
Dalam kaitannya dengan tradisi filantropi, bantuan-bantuan yang bersifat karitas charity memang sangat membantu masyarakat miskin yang membutuhkan
bantuan. Namun, hal ini justru menimbulkan masalah-masalah sosial lainnya seperti sikap ketergantungan yang besar orang miskin terhadap bantuan yang
diberikan, serta menimbulkan budaya malas bagi orang-orang miskin yang selalu mendapatkan bantuan. Berangkat dari hal ini, para ilmuwan sosial mulai
mengembangkan bentuk bantuan yang menghindarkan masyarakat dari budaya malas. Salah satu strategi yang dikembangkan adalah dengan memberikan bantuan
dalam wujud modal usaha. Hal ini dilakukan untuk membebaskan masyarakat dari rasa ketergantungan dan memberdayakan masyarakat sebagai upaya membebaskan
diri mereka dari kemiskinan.
29
Makna yang terkandung dalam pengembangan masyarakat pada dasarnya tidak sekadar membantu masyarakat dalam menyelesaikan kesulitan yang mereka
hadapi, tetapi juga membentuk kemandirian mereka sehingga mampu menyelesaikan pemasalahan mereka sendiri Suparjan dan Suyatno, 2003; 22.
Salah satu upaya masyarakat dilakukan agar kemandirian masyarakat dapat terwujud adalah dengan cara memberdayakan mereka. Konsep pemberdayaan
masyarakat berawal dari pandangan yang menempatkan manusia sebagai subyek dari kehidupannya. Gerakan ini menekankan kepada perlunya power dan
keberpihakan kepada kelompok atau masyarakat yang tidak berdaya Zubaedi, 2007; 95.
Pemberdayaan masyarakat merupakan bentuk pembangunan yang berpusat pada rakyat dan ditujukan untuk membangun kemandirian masyarakat. Konsep
pemberdayaan masyarakat pada hakikatnya merupakan suatu proses perencanaan pembangunan dengan memusatkan pada partisipasi, kemampuan, dan masyarakat
lokal. Oleh karena itu, masyarakat perlu dilibatkan pada setiap tahap pelaksanaan pembangunan dari perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi program yang mereka
lakukan Suparjan da Suyatno, 2007; 24. Shardlow 1998 dalam Adi 2008; 78 melihat bahwa pemberdayaan pada intinya membahas bagaimana individu,
kelompok, atau komunitas berusaha mengawasi kehidupan mereka sendiri dan mengusahakan untuk membentuk masa depan sesuai dengan keinginan mereka.
Isitilah “pemberdayaan” diadopsi dari istilah empowerment, yang lahir sebagai bagian dari perkembangan kebudayaan masyarakat. Proses pemberdayaan
mengandung dua kecenderungan, yaitu, pertama, kecenderungan primer, yaitu
30
pemberdayaan yang menekankan proses memberikan kekuatan, kemampuan, kepada masyarakat agar menjadi lebih berdaya. Kedua, kecenderungan sekunder,
yaitu pemberdayaan yang menekankan pada proses mendorong atau memotivasi individu agar mempunyai kemampuan menentukan apa yang menjadi pilihan
hidupnya. Kedua kecenderungan ini saling berhubungan karena seringkali agar kecenderungan primer dapat terwujud, maka harus melalui kecenderungan
sekunder terlebih dahulu Sutrisno, 2003; 132-133. Hal yang perlu kita cermati bersama berkaitan dengan upaya pemberdayaan
adalah keberadaannya sebagai suatu program atau suatu proses. Sebagai suatu program, pemberdayaan dilihat dari tahapan-tahapan kegiatan guna mencapai suatu
tujuan yang sudah ditentukan jangka waktunya. Pemberdayaan model ini banyak terjadi dengan pembangunan berdasarkan proyek-proyek yang dikembangkan oleh
lembaga-lembaga pemerintah. Sementara itu, pemberdayaan yang dilihat sebagai proses merupakan proses yang berkesinambungan sepanjang hidup seseorang on
going process. Hogan 2000 melihat pemberdayaan sebagai on going process, dimana proses pemberdayaan individu sebagai suatu proses yang relatif terus
berjalan sepanjang usia manusia. Proses pemberdayaan akan berlangsung selama komunitas itu masih tetap ada dan mau berusaha memberdayakan diri mereka
sendiri Adi, 2008; 83-85. Pemberdayaan masyarakat sebagai suatau proses dirasakan paling efektif.
Pendekatan ini menekankan pentingnya merangsang masyarakat untuk mengidentifikasi keinginan-keinginan dan kebutuhan-kebutuhannya sendiri. Selain
itu, pendekatan ini menjadikan masyarakat lebih peduli terhadap permasalahan
31
mereka dengan memberdayakan potensi yang telah dimiliki. Yakub 1983 menilai bahwa upaya pemberdayaan masyarakat umumnya mencakup dua kegiatan
penting. Pertama, berupaya membebaskan dan menyadarkan masyarakat. Kegiatan ini sifatnya subyektif dan memihak kepada masyarakat tertindas dhuafa’ dalam
rangka memfasilitasi mereka dalam proses penyadaran. Kedua, pemberdayaan masyarakat menggerakkan partisipasi dan etos swadaya masyarakat Zubaedi,
2007; 104-105. Partisipasi masyarakat mutlak diperlukan dalam proses pemberdayaan
masyarakat. Pemberdayaan masyarakat harus selalu melihat partisipasi secara maksimal dengan tujuan setiap orang dalam komunitas dapat secara aktif terlibat.
Semakin banyak warga masyarakat yang aktif untuk berpartisipasi, maka semakin ideal kepemilikan komunitas dan proses untuk menjadikannya pengembangan
masyarakat dapat terealisasikan Jim Ife dalam Suparjan dan suyatno, 2003; 42. Adanya partisipasi masyarakat memungkinkan mereka memiliki rasa tanggung
jawab terhadap keberlanjutan pembangunan. Dengan pendekatan partisipatif, diharapkan partisipasi, potensi, dan kreativitas masyarakat dapat lebih digali
Suparjan dan Suyatno, 2003; 53. Dalam perkembangannya, konsep partisipasi masih cenderung diartikan
secara salah kaprah. Atas nama partisipasi, pemerintah seringkali meminta rakyat untuk ikut serta dalam proyek pembangunan yang dilaksanakan pemerintah.
Rakyat seakan-akan memang harus mendukung atau ikut program-program pemerintah secara gratis dengan alasan proyek-proyek pembangunan itu untuk
kepentingan rakyat Suparjan dan Suyatno, 2003; 55. Berbagai istilah partisipasi
32
telah digunakan masyarakat dalam berbagai makna umum. Menurut Mikkelsen 2005 dalam Adi 2008; 108, partisipasi yang sesungguhnya pada dasarnya
berasal dari masyarakat itu sendiri dan dikelola oleh masyarakat itu sendiri dengan tujuan suatu proses demokrasi. Chambers 2002 dalam Adi 2008; 108 juga
menambahkan bahwa istilah partisipasi seringkali digunakan dalam tiga bentuk, yaitu:
1. Partisipasi sebagai label kosmetik cosmetic label. Partisipasi masyarakat
dianggap seperti kosmetik agar proyek yang diusulkan terlihat lebih cantik dengan tujuan mendapat pendanaan dari pihak pemerintah maupun swasta.
2. Partisipasi sebagai praktik mengooptasi coopting practice. Partisipasi
masyarakat digunakan untuk memobilisasi tenaga-tenaga masyarakat lokal dengan tujuan mengurangi pembiayaan proyek. Misalnya pada proyek
pembangunan jembatan yang dilakukan pemerintah, masyarakat digunakan sebagai alat untuk membantu proyek tersebut.
3. Partisipasi sebagai proses pemberdayaan empowering process. Partisipasi
masyarakat dimaknai sebagai kemampuan masyarakat lokal untuk menganalisis masalah mereka, cara mengatasinya, pengambilan keputusan,
serta melakukan perbaikan terhadap hidup mereka. Dengan demikian, Chambers menggambarkan partisipasi ini memunculkan proses pemberdayaan
masyarakat. Sebagai proses pemberdayaan masyarakat, masyarakat hendaknya perlu
dilibatkan dalam tiap proses pengembangan masayarakat, yaitu pertama, identifikasi masalah, dimana masyarakat didampingi bersama dengan fasilitator
33
mengidentifikasi persoalan, identifikasi peluang, potensi, dan hambatan. Kedua, proses perencanaan, dimana masyarakat menyusun rencana-rencana berdasarkan
hasil identifikasi. Ketiga, pelaksanaan proyek pembangunan. Keempat, evaluasi, dimana masyarakat dilibatkan untuk mengevaluasi hasil pembangunan. Kelima,
mitigasi, dimana masyarakat dapat terlibat dalam mengukur dan mengurangi dampak negatif pembangunan. Keenam, monitoring, dimana masyarakat
mengawasi dan menjaga agar proses pembangunan yang dapat dilakukan dapat berkelanjutan Eugen C.Erickson 1974 dalam Suparjan dan Suyatno, 2003; 59.
Partisipasi masyarakat yang dilihat sebagai proses pemberdayaan masyarakat juga merupakan unsur penting dalam menciptakan modal sosial dalam
masyarakat. Modal sosial juga bernilai penting dalam suatu proses pemberdayaan masyarakat yang menjadi perekat antara kelompok masyarakat yang satu dengan
lainnya Adi, 2008; 308. Hal ini diperkuat oleh argumentasi Francis Fukuyama 1999 yang dikutip oleh Hasbullah 2006; 3 yang mengatakan bahwa modal
sosial sangat berperan penting dalam memfungsikan dan memperkuat kehidupan masyarakat saat ini. Modal sosial yang lemah akan mengikis semangat bergotong
royong, memperparah kemiskinan, dan menurunkan kesejahteraan masyarakat. Modal sosial dapat didefinisikan sebagai norma dan aturan yang mengikat
warga masyarakat yang berada didalamnya, dan mengatur pola perilaku warganya, juga unsur kepercayaan trust dan jaringan networking antarwarga masyarakat
ataupun kelompok masyarakat Adi, 2008; 308. Bank Dunia 1999 mendefinisikan modal sosial sebagai berikut:
34
“Modal sosial sebagai sesuatu yang merujuk ke dimensi institusional, hubungan-hubungan yang tercipta, dan norma-norma yang membentuk
kualitas dan kuantitas hubungan sosial dalam masyarakat.”
Prusak 2001 memberikan pengertian modal sosial sebagai : “Modal sosial sebagai stok dari hubungan yang aktif antar masyarakat
setiap pola hubungan yang terjadi diikat oleh kepercayaan trust, kesalingpengetian mutual understanding, dan nilai-nilai bersama shared
value yang mengikat anggota kelompok untuk membuat kemungkinan aksi bersama dapat dilakukan secara efektif dan efisien.”Hasbullah, 2006; 6
Francis Fukuyama 2003 juga memberikan pengertian mengenai modal sosial: “segala sesuatu yang membuat masyarakat bersekutu untuk mencapai
tujuan bersama atas dasar kebersamaan, dan di dalamnya diikat oleh nilai- nilai dan norma-norma yang tumbuh dan dipatuhi.”Hasbullah, 2006; 8
Dari beberapa pengertian modal sosial di atas, maka dapat disimpulkan beberapa unsur pokok yang harus ada dalam membentuk modal sosial. Pertama,
partisipasi dalam suatu jaringan. Salah satu kunci keberhasilan sekelompok orang dalam membangun modal sosial terletak bagaimana dirinya atau kelompoknya
melibatkan diri atau berpartisipasi dalam suatu jaringan hubungan sosial. Kedua, resiprositas. Di dalam modal sosial, terjadi kegiatan tukar menukar kebaikan antar
individu dalam suatu kelompok. Pertukaran semacam ini terbentuk dalam semangat altruism atau keikhlasan. Ketiga, kepercayaan trust. Unsur ini berarti
suatu bentuk keinginan untuk mengambil resiko yang didasari perasaan yakin kepada orang lain bahwa ia akan melakukan apa yang diharapkan dan tidak
merugikan orang yang memberikan kepercayaan. Fukuyama 1995; 23 semakin mempertegasnya dengan mengatakan bahwa rasa saling percaya trust itu tumbuh
dan berakar dari nilai-nilai yang melekat pada budaya suatu kelompok masyarakat.
35
Trust didefinisikan oleh Fukuyama sebagai harapan-harapan terhadap keteraturan, kejujuran, dan prilaku kooperatif yang muncul dari dalam sebuah komunitas yang
didasarkan pada norma-norma yang dianut bersama oleh anggota-anggota komunitas itu. Dari hasil-hasil studi modal sosial yang dilakukan Fukuyama di
berbagai negara menunjukkan rasa saling percaya rendah low-trust dan rasa saling percaya yang pendek limited network of trust cenderung akan memiliki
modal sosial yang lemah, dimana pada akhirnya semakin memperlemah eksistensi masyarakat tersebut. Peranan modal sosial dapat merangsang pertumbuhan sektor
ekonomi karena tingkat rasa saling percaya yang tinggi dan kerekatan hubungan dalam jaringan yang luas di masyarakat. Keempat, norma sosial. Unsur ini sangat
berperan dalam mengawasi perilaku-perilaku yang tumbuh di dalam masyarakat. Aturan kolektif ini biasanya tidak tertulis, tetapi dipahami oleh anggota masyarakat
dan menentukan pola tingkah laku yang diharapkan dalam hubungan sosial. Kelima, nilai-nilai. Nilai berperan penting dalam kehidupan manusia. Di dalam
setiap kebudayaan, terdapat nilai-nilai tertentu yang mendominasi. Nilai-nilai inilah yang mempengaruhi aturan-aturan bertindak masyarakatnya dan aturan-
aturan bertingkah laku. Keenam, tindakan yang proaktif. Tindakan ini didasari keinginan masyarakat untuk mencari jalan keluar bagi keterlibatan mereka.
Tindakan proaktif ini akan membentuk inisiatif individu yang kemudian menjadi inisiatif kelompok. Inisiatif ini kemudian akan mewujudkan masyarakat yang aktif
dan kreatif Hasbullah, 2006; 9-16. Lembaga amil zakat LAZ merupakan contoh konkret adanya modal sosial
di dalam masyarakat. Di dalamnya tercipta unsur-unsur pokok modal sosial, mulai
36
dari partisipasi individu-individu hingga terbentuk suatu lembaga swadaya masyarakat, altruism atau keikhlasan dari para penderma, kepercayaan mereka
terhadap lembaga untuk mengelola dana yang mereka berikan, norma sosial dan nilai-nilai Islam yang mengatur setiap perilaku mereka, hingga tindakan proaktif
penyaluran-penyaluran dana dalam bentuk-bentuk yang kreatif. Dengan adanya inisiatif individu-individu yang dikembangkan menjadi inisiatif kelompok inilah
yang kemudian menjadi dasar terbentuknya lembaga-lembaga amil zakat. Salah satu lembaga amil zakat yang ada di kota Medan adalah Rumah Zakat.
Lembaga yang dibentuk atas inisiatif Ustadz Abu Sauqi ini memfokuskan pada pengelolaan zakat, infak, sedekah, wakaf, dan juga mengelola dana-dana CSR
Corporate Social Responsibility perusahaan. Pengelolaan dana filantropi ini dititikberatkan pada program pendidikan, kesehatan, dan pemberdayaan ekonomi
sebagai program unggulan. Berdasarkan temuan-temuan awal, peneliti melihat bahwa Rumah Zakat
telah mengembangkan pengelolaan dana filantropi untuk program pemberdayaan masyarakat. Pergeseran tradisi pengelolaan kedermawanan sosial yang selama ini
menggunakan pendekatan charity kepada pengelolaan dengan pendekatan pemberdayaan masyarakat tentu saja merupakan salah satu langkah strategis untuk
memberantas kemiskinan dan kelaparan sesuai dengan amanah dan tujuan pembangunan milenium atau MDG’S Millenium Development Goals. Selain itu,
pergeseran tradisi ini juga turut menciptakan masyarakat yang kreatif, mandiri, dan partisipatif, sehingga sikap ketergantungan dan budaya malas yang ditimbulkan
oleh pemberian bantuan yanag bersifat karitas dapat ditekan seminimal mungkin.
37
Dalam membedah temuan-temuan data yang terkumpul, peneliti menggunakan teori ilmu sosial kritik dari golongan mahzab Frankfurt yang
dikombinasikan dengan konsep pemberdayaan masyarakat sebagai pisau analisis dalam membedah persoalan pengelolaan dana filantropi. Teori sosial, menurut
teori kritik, tidak memberikan penilaian benar atau salah dalam melihat suatu realitas sosial, tetapi bertugas memberikan proses penyadaran kritis kepada
masyarakat terhadap realitas sosial tersebut. Cita-cita keadilan sosial mustahil terwujud tanpa kesadaran masyarakat yang tertindas. Aksi masyarakat memiliki
kesadaran kritis yang bertindak atas kepentingan mereka pada akhirnya akan membawa mereka kepada pembebasan Fakih, 2001; 94. Hal ini juga disepakati
oleh Freire bahwa tugas teori sosial adalah melakukan penyadaran terhadap sistem dan struktur yang menindas serta menghapuskan proses dehumanisasi yang
mematikan kemanusiaan Fakih, 2001; 30. Teori sosial kritik telah banyak mempengaruhi pandangan, pendekatan, dan
praktik perubahan sosial di masyarakat. Pendekatan yang paling dirasakan pengaruhnya adalah pendekatan tidak memandang masyarakat sebagai obyek
pembangunan, tetapi meletakkan masyarakat sebagai subyek perubahan sosial dan pembangunan. Pendekatan ini melahirkan metode partisipatori yang juga dianggap
sebagai pemberdayaan empowering karena sifatnya yang memungkinkan untuk memberdayakan masyarakat sebagai subyek perubahan dan pemecah masalah-
masalah mereka sendiri Fakih, 2001; 97-99.
1.3 Rumusan Masalah
38
Adapun yang menjadi rumusan masalah dalam penelitian ini yaitu seperti apa bentuk-bentuk pengelolaan zakat yang dilakukan Rumah Zakat dan bagaimana
pengelolaan itu dirumuskan ke dalam proses pengembangan masyarakat di desa binaan.
1.4 Ruang Lingkup
Adapun yang menjadi ruang lingkup penelitian adalah sebagai berikut : 1.
Bagaimana bentuk pengelolaan zakat yang dilakukan oleh Rumah Zakat? 2.
Sejauh mana pengelolaan filantropi Rumah Zakat dikembangkan dalam konteks pemberdayaan masyarakat?
3. Bagaimana keterlibatan masyarakat terhadap program-program yang
dilakukan Rumah Zakat?
1.5 Tujuan dan Manfaat Penelitian
- Tujuan Penelitian
Penetapan tujuan penelitian merupakan hal yang sangat penting karena setiap penelitian yang dilakukan haruslah mempunyai tujuan tertentu. Studi ini
bertujuan untuk :
1.
Menjelaskan lebih terperinci bentuk-bentuk pengelolaan zakat yang dilakukan oleh Rumah Zakat.
2.
Mendeskripsikan pengelolaan filantropi yang dilakukan Rumah Zakat yang dikembangkan dalam konteks pemberdayaan masyarakat.
39
3.
Mendeskripsikan keterlibatan masyarakat terhadap program-program yang dilakukan Rumah Zakat.
- Manfaat Penelitian
Setiap penelitian memiliki manfaat yang hendak dicapai agar hasil dari penelitian dapat memberikan sumbangsih bagi pembaca nantinya. Manfaat
penelitian ini dapat dirangkum sebagai berikut :
1.
Memperkaya informasi bagi masyarakat mengenai bentuk-bentuk pengelolaan zakat yang dilakukan oleh Rumah Zakat.
2.
Sebagai bahan masukan kepada para pembaca untuk membantu terselenggaranya program-program filantropi berbasis pemberdayaan
masyarakat yang dilakukan Rumah Zakat.
3.
Sebagai tambahan literatur bagi para pembaca.
1.6 Metode Penelitian
1.6.1 Rancangan Penelitian
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif. Metode ini digunakan agar mampu menghasilkan data-data
deskriptif mengenai pengelolaan zakat dalam konteks pemberdayaan masyarakat dan keterlibatan masyarakat terhadap program-program yang
dilakukan Rumah Zakat. Dengan demikian, eksplorasi data secara mendalam tentang aktivitas pengelolaan zakat dalam konteks pemberdayaan
masyarakat bisa terjaring dengan baik.
40
1.6.2 Informan Penelitian
Untuk menghasilkan data dengan tingkat akurasi yang tinggi mengenai pengelolaan zakat dan program-program Rumah Zakat yang
berbasis pemberdayaan masyarakat, maka peneliti seharusnya menggunakan 3 kategori informan kunci. Kategori pertama berasal dari pengurus Rumah
Zakat yang bekerja langsung dalam pengelolaan zakat. Dari informan ini, peneliti berharap mendapatkan data yang akurat dan mendalam mengenai
bentuk-bentuk pengelolaan zakat, program-program pemberdayaan masyarakat, hingga data mengenai desa-desa binaan Rumah Zakat. Kategori
kedua adalah masyarakat yang menerima bantuan zakat mustahik. Para informan yang berasal dari mustahik akan peneliti peroleh melalui desa-desa
binaan Rumah Zakat. Melalui informan ini, peneliti akan memperoleh data- data mengenai keterlibatan mereka terhadap program-program
pemberdayaan masyarakat yang dilakukan Rumah Zakat. Selain itu juga, kategori informan ketiga adalah para pemberi zakat muzakki yang secara
aktif terlibat dalam penyaluran dana-dana filantropi. Namun, pada kenyataannya di lapangan, peneliti mengalami kesulitan
karena minimnya informasi yang diberikan Rumah Zakat mengenai daftar para mustahik dan para donatur Rumah Zakat. Hal ini menyebabkan peneliti
kesulitan dalam memilih dan menentukan informan kunci yang cukup representatif. Untuk mensiasati hal tersebut, peneliti melakukan penelitian
langsung ke daerah desa binaan dan memilih secara langsung di lapangan mustahik yang peneliti nilai mampu memberikan informasi yang akurat
41
mengenai aktivitas Rumah Zakat. Sedangkan untuk informan kategori ketiga, peneliti tidak dapat mengakses informasi tersebut karena peneliti
mengalami kesulitan pada peraturan Rumah Zakat yang harus menyembunyikan identitas para donatur sesuai yang diamanahkan Rumah
Zakat pusat dan para donatur itu sendiri. Dengan demikian, peneliti tidak menggunakan informan kategori ketiga.
Peneliti juga menyadari minimnya informasi mengenai informan para akan mempengaruhi proses analisis yang akan peneliti lakukan. Namun,
informasi yang peneliti temukan di lapangan dirasakan cukup untuk menggambarkan keadaan Rumah Zakat dan aktivitas-aktivitas
pemberdayaan yang dilakukan Rumah Zakat.
1.6.3 Teknik Pengumpulan Data Data dalam penelitian ini dibedakan atas data kualitatif dan data kuantitatif.
Data kualitatif dijadikan data utama, sedangkan data kuantitatif digunakan untuk melengkapi data kualitatif. Pengumpulan data dilakukan dengan mencari data
primer dan data sekunder. Data primer merupakan data yang diperoleh dari lapangan melalui observasi dan wawancara mendalam. Sedangkan data sekunder
merupakan data yang diperoleh dari kepustakaan, dalam hal ini buku-buku, literatur, jurnal, tesis, laporan penelitian, skripsi, serta bahan-bahan bacaan yang
relevan dengan masalah penelitian. Dalam penelitian ini, pengumpulan data primer dilakukan dengan beberapa
teknik, yaitu :
42
1.
Wawancara Mendalam depth Interview Pertanyaan-pertanyaan awal hingga informasi yang dibutuhkan untuk
mendeskripsikan kondisi objektif, sangat efektif dengan metode ini. Metode ini juga dapat lebih mendekatkan diri secara emosional dengan informan. Selain itu,
data-data otentik dari sudut pandang masyarakat emic view juga dapat dimulai dengan wawancara. Menurut Bungin 2007;107 wawancara merupakan proses
memperoleh keterangan untuk tujuan penelitian dengan cara tanya jawab, sambil bertatap muka antara pewawancara dengan informan atau orang yang
diwawancarai, dengan atau tanpa menggunakan pedoman wawancara, di mana pewawancara dan informan terlibat dalam kehidupan sosial yang relatif lama.
Teknik wawancara dilakukan dengan melakukan tanya jawab secara langsung dan terbuka dengan pelaku kegiatan yaitu pengurus Rumah Zakat dan masyarakat
binaan. Untuk menjaga terstrukturnya wawancara mendalam, peneliti menggunakan pedoman wawancara interview guide. Pedoman wawancara yang
disusun peneliti sebelum melakukan wawancara ke lapangan bersifat fleksibel. Artinya, bila selama melakukan wawancara peneliti menemukan jawaban-jawaban
yang tidak dipahami peneliti, maka peneliti melakukan perubahan-perubahan terhadap pertanyaan yang telah disusun tersebut. Selain menggunakan pedoman
wawancara, peneliti juga menggunakan tape recorder untuk mencegah kealpaan data.
2.
Observasi Partisipasi Informasi dan data pada penelitian ini salah satunya didapat dari observasi
partisipasi yang dilakukan untuk melihat secara langsung pengelolaan dana
43
filantropi dan berbagai kegiatannya yang bersentuhan langsung dengan masyarakat. Untuk memperoleh data yang akurat mengenai pengelolaan dana
filantropi, peneliti turut serta dalam setiap kegiatan pemberdayaan masyarakat di Rumah Zakat. Selain itu, observasi partisipasi merupakan pilihan yang tepat untuk
mendukung akurasi data yang diperoleh dari wawancara. 1.6.4 Teknik Analisis Data.
Dalam menganalisis data-data mengenai pengelolaan dana filantropi serta proses pemberdayaan masyarakat yang dilakukan Rumah Zakat, maka penelitian
ini menggunakan metode on going analysis, di mana konsep-konsep serta teori- teori yang dipakai bisa saja berbeda dengan keadaan di lapangan. Setiap informasi
baru ditarik inferensi-inferensinya, sehingga inferensi-inferensi tersebut digunakan untuk membangun dan mempertajam pertanyaan-pertanyaan di hari berikutnya.
Dalam menggunakan metode ini, analisis dilakukan sambil meneliti atau selama proses pengumpulan data berlangsung.
1.7 Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian dalam studi ini adalah di Rumah Zakat Cabang Medan yang terletak di Jl. Setia Budi no. 32 Medan Sunggal dan desa binaan Rumah
Zakat di Jl. Balai Desa Medan Sunggal. Lokasi Medan Sunggal dipilih karena di wilayah ini Rumah Zakat telah mendirikan sentra pemberdayaan masyarakat atau
Empowering Centre yang terletak di Jl. Balai Desa No. 5 Medan Sunggal. Selain itu, di wilayah ini juga telah mencakup implementasi seluruh program-program
Rumah Zakat sehingga memudahkan peneliti memperoleh data.
44
BAB II KONTEKS PENELITIAN