Strategi Mewujudkan Kemandirian Pesantren Berbasis Pemberdayaan Santri (Studi Kasus Pesantren Hidayatullah Desa Bandar Labuhan, Kecamatan Tanjung Morawa, Kabupaten Deli Serdang)

(1)

STRATEGI MEWUJUDKAN KEMANDIRIAN PESANTREN BERBASIS PEMBERDAYAAN SANTRI

(Studi Kasus Pesantren Hidayatullah Desa Bandar Labuhan, Kecamatan Tanjung Morawa, Kabupaten Deli Serdang)

SKRIPSI

Diajukan Guna Memenuhi Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Sosial

DISUSUN OLEH Syahid Ismail NIM 090901043

DEPARTEMEN SOSIOLOGI

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2013


(2)

ABSTRAK

Pondok pesantren merupakan lembaga pendidikan Islam tradisional khas Indonesia yang mampu eksis hingga saat ini. Pondok pesantren terbukti merupakan lembaga pendidikan yang unik, mandiri, dan syarat dengan kultur lokal sejak 500 tahun yang lalu. Model pendidikan barat yang diadopsi pemerintah sebagai pendidikan formal di Indonesia telah memberikan tantangan dan warna terhadap perkembangan pondok pesantren. Pesantren pun menyikapi tantangan tersebut dengan cara yang berbeda-beda, di sisi lain pesantren dituntut untuk mampu mempertahankan idealismenya sekaligus memenuhi tuntutan pragmatis dari masyarakat. Penelitian ini berlatar belakang dari melihat Pesantren Hidayatullah Medan sebagai lembaga pendidikan yang tumbuh berbasiskan pemberdayaan santri dan berkomitmen untuk menjadi pesantren yang mandiri serta beridealisme Islam. Pesantren ini dilihat memiliki metode tersendiri untuk melakukan adaptasi antara tuntutan pragmatis dengan idealisme pesantren sehingga pesantren bisa mandiri secara sosial ekonomi.

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui metode pemberdayaan yang berbasis santri, faktor pendorong dan penghambatnya, serta bentuk-bentuk program dan manfaatnya. Penelitian ini memaparkan mengenai metode-metode pemberdayaan santri yang dilaksanakan oleh Pesantren Hidayatullah Medan, kemudian melihat bagaimana faktor pendorong dan penghambatnya, serta apa saja bentuk-bentuk program dan manfaatnya. Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian deskriptif dengan menggunakan metode penelitian kualitatif. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan cara observasi, wawancara mendalam, dan studi kepustakaan.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pesantren Hidayatullah Medan sebagai lembaga pendidikan Islam menerapkan tiga ranah pendidikan yaitu faqahah

(kedalaman pemahaman), thabiah (perangan, watak, karakter), dan kafaah

(kecakapan operasional). Untuk memenuhi tiga tuntutan yaitu tuntutan pendidikan, tuntutan untuk mengurangi beban operasional pesantren, dan tuntutan dakwah maka Pesantren Hidayatullah Medan melakukan beberapa metode pemberdayaan berbasis santri di antaranya sebagai berikut: 1) dibentuknya Dewan Santri sebagai penggerak program pengkaryaan; 2) Wadah Apresiasi Potensi Santri (WAPOSI); 3) pengabdian alumni; 4) menerapkan kurikulum khas yang didesain agar mendukung program pengkaryaan; 5) kepemimpinan demokratis dan kordinasi secara buttom up. Namun, program tersebut memiliki beberapa hambatan yaitu Sumber Daya Manusia (SDM) yang kurang memahami usaha yang bernilai ekonomi tinggi, cenderung mengelola usaha tradisional; fasilitas berteknologi dan dana yang terbatas; serta manajemen program pengkaryaan yang kurang efektif. Hidayatullah Medan telah berhasil menjadi pesantren yang mandiri, namun terjadi penurunan saat melakukan akselerasi pembangunan dengan dukungan dana dari luar. Pesantren Hidayatullah Medan diharapkan memperbaiki sisi manajemen program dan melakukan adaptasi kreatif yang tepat dengan tetap memperhatikan keseimbangan setiap tuntutan.


(3)

KATA PENGANTAR

Alhamdulillahirobbilalamin penulis ucapkan kepada Allah SWT. Berkat rahmat-Nya penulis telah mampu menyelesaikan skripsi dengan judul “Strategi Mewujudkan Kemandirian Pesantren Berbasis Pemberdayaan Santri (Studi Kasus Pesantren Hidayatullah Desa Bandar Labuhan, Kecamatan Tanjung Morawa, Kabupaten Deli Serdang)” guna memperoleh gelar sarjana sosial di Departemen Sosiologi Universitas Sumatera Utara.

Dalam proses penulisan skripsi ini, penulis tentu menemukan berbagai hambatan dan tantangan. Namun, berkat rahmat dari Allah SWT dan dukungan dari semua pihak akhirnya penulis mampu menyelesaikan skripsi ini dengan maksimal.

Terimakasih dan limpahan doa penulis persembahkan kepada Ibunda dan Ayahanda tercinta yang selama ini telah memberikan limpahan kasih sayang yang sangat berharga kepda penulis. Terimakasih juga penulis ucapkan kepada Ibu Lina Sudarwati selaku pembimbing skripsi yang telah dengan sabar memberikan bimbingan yang sangat berarti demi selesainya skripsi ini dengan baik.

Pada kesempatan ini penulis juga mengucapkan terimakasih kepada:

1. Bapak Prof. Dr. Dr. Syahril Pasaribu, D.T.M&H., MSc. (C.T.M), Sp.A.(K) selaku Rektor Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Prof. Dr. Badaruddin, M.Si selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara.

3. Ibu Dra. Rosmiani, MA selaku selaku Dosen Wali penulis.

4. Bapak.Ibu Dosen pengajar di Departemen Sosiologi yang telah memberikan ilmunya yang sangat bermanfaat.

5. Bapak/Ibu tim penguji skripsi.

6. Kepada Pondok Pesantren Hidayatullah Medan pada khususnya yang telah menjadi bagian dari proses penelitian dan pengambilan data.

7. Teman-teman di UKMI As-Siyasah FISIP USU

8. Teman-temen sosiologi angkatan 2009, perjuangan kita akan menjadi memori indah dan pelajaran yang tak terlupakan.

9. Rekan-rekan mahasiswa Departemen Sosiologi serta seluruh rekan-rekan di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara.


(4)

Mudah-mudahan jasa-jasa semuanya yang telah diberikan kepada penulis dapat menjadi pahala yang berharga dan menuai hasil dari apa yang telah diberikan. Semoga kebaikan akan selalu bersama dengan kita semua.

Penulis menyadari skripsi ini jauh dari sempurna, untuk itu penulis mengharapkan kritik dan saran dari para pembaca sekalian. Semoga skripsi ini bermanfaat dan dapat menambah wawasan keilmuan bagi pembaca sekalian. Atas perhatiannya penulis mengucapkan terimakasih.

Medan, 13 september 2013

Penulis


(5)

DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Perumusan Masalah ... 12

1.3 Tujuan Penelitian ... 13

1.4 Manfaat Penelitian ... 13

1.6. Definisi Konsep ... 14

BAB II KAJIAN PUSTAKA ... 16

2.1 Pemberdayaan Masyarakat dalam Prespektif Sosiologis ... 16

2.2 Pondok Pesantren sebagai Lembaga Pendidikan tertua di Indonesia ... 18

2.3 Konsep Pemberdayaan yang Berbasis Santri ... 26

2.4 Potensi Sosial Ekonomi Pondok Pesantren ... 28

2.6 Potret Pemberdayaan dan Kemandirian Sosial Ekonomi Pesantren ... 33

2.7 Metode Pendidikan Islam dalam Prespektif Sosiologis ... 36

2.8 Teori Clifford Geertz tentang Santri ... 40

BAB III METODE PENELITIAN ... 41

3.1 Jenis Penelitian ... 41

3.2 Lokasi Penelitian ... 41


(6)

3.4 Teknik Pengumpulan Data ... 42

3.5 Interpretasi Data ... 44

3.6 Jadwal Pelaksanaan ... 44

BAB III DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN DAN INTERPRETASI DATA 46 4.1 Deskripsi Lokasi Penelitian ... 46

4.2 Profil Informan ... 59

4.3 Temuan dan Interpretasi Data ... 73

4.3.1. Tipe Kelembagaan Pesantren Hidayatullah Medan ... 73

4.3.2. Metode Pemberdayaan yang Berbasis Santri di Pesantren Hidayatullah Medan ... 76

4.3.3. Faktor Pendorong Program Pemberdayaan Santri ... 92

4.3.4.. Faktor Penghambat Program Pemberdayaan Santri ... 101

4.3.5. Bentuk-Bentuk Program Pemberdayaan Santri ... 106

4.3.6. Manfaat Program Pemberdayaan Santri ... 114

BAB V PENUTUP ... 120

5.1 Kesimpulan ... 120

5.2 Saran... 121


(7)

ABSTRAK

Pondok pesantren merupakan lembaga pendidikan Islam tradisional khas Indonesia yang mampu eksis hingga saat ini. Pondok pesantren terbukti merupakan lembaga pendidikan yang unik, mandiri, dan syarat dengan kultur lokal sejak 500 tahun yang lalu. Model pendidikan barat yang diadopsi pemerintah sebagai pendidikan formal di Indonesia telah memberikan tantangan dan warna terhadap perkembangan pondok pesantren. Pesantren pun menyikapi tantangan tersebut dengan cara yang berbeda-beda, di sisi lain pesantren dituntut untuk mampu mempertahankan idealismenya sekaligus memenuhi tuntutan pragmatis dari masyarakat. Penelitian ini berlatar belakang dari melihat Pesantren Hidayatullah Medan sebagai lembaga pendidikan yang tumbuh berbasiskan pemberdayaan santri dan berkomitmen untuk menjadi pesantren yang mandiri serta beridealisme Islam. Pesantren ini dilihat memiliki metode tersendiri untuk melakukan adaptasi antara tuntutan pragmatis dengan idealisme pesantren sehingga pesantren bisa mandiri secara sosial ekonomi.

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui metode pemberdayaan yang berbasis santri, faktor pendorong dan penghambatnya, serta bentuk-bentuk program dan manfaatnya. Penelitian ini memaparkan mengenai metode-metode pemberdayaan santri yang dilaksanakan oleh Pesantren Hidayatullah Medan, kemudian melihat bagaimana faktor pendorong dan penghambatnya, serta apa saja bentuk-bentuk program dan manfaatnya. Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian deskriptif dengan menggunakan metode penelitian kualitatif. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan cara observasi, wawancara mendalam, dan studi kepustakaan.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pesantren Hidayatullah Medan sebagai lembaga pendidikan Islam menerapkan tiga ranah pendidikan yaitu faqahah

(kedalaman pemahaman), thabiah (perangan, watak, karakter), dan kafaah

(kecakapan operasional). Untuk memenuhi tiga tuntutan yaitu tuntutan pendidikan, tuntutan untuk mengurangi beban operasional pesantren, dan tuntutan dakwah maka Pesantren Hidayatullah Medan melakukan beberapa metode pemberdayaan berbasis santri di antaranya sebagai berikut: 1) dibentuknya Dewan Santri sebagai penggerak program pengkaryaan; 2) Wadah Apresiasi Potensi Santri (WAPOSI); 3) pengabdian alumni; 4) menerapkan kurikulum khas yang didesain agar mendukung program pengkaryaan; 5) kepemimpinan demokratis dan kordinasi secara buttom up. Namun, program tersebut memiliki beberapa hambatan yaitu Sumber Daya Manusia (SDM) yang kurang memahami usaha yang bernilai ekonomi tinggi, cenderung mengelola usaha tradisional; fasilitas berteknologi dan dana yang terbatas; serta manajemen program pengkaryaan yang kurang efektif. Hidayatullah Medan telah berhasil menjadi pesantren yang mandiri, namun terjadi penurunan saat melakukan akselerasi pembangunan dengan dukungan dana dari luar. Pesantren Hidayatullah Medan diharapkan memperbaiki sisi manajemen program dan melakukan adaptasi kreatif yang tepat dengan tetap memperhatikan keseimbangan setiap tuntutan.


(8)

BAB I PENDAHULUAN

1.2. Latar Belakang

Konsep pemberdayaan saat ini semakin banyak diterapkan di masyarakat. Pemberdayaan dinilai sebagai solusi dari sistem pembangunan top-down yang hanya menyisakan ketergantungan kepada pihak lain. Setiawan (2011: 28) menjelaskan pengertian pemberdayaan mengandung dua unsur; (1) to give ability or enable to, yaitu upaya meningkatkan kemampuan masyarakat melalui pelaksanaan berbagai kebijakan dan program-program pembangunan agar kondisi kehidupan masyarakat mencapai tingkat kemampuan yang diharapkan; (2) to give power or authority to, yakni memberi kekuasaan, mengalihkan kekuasaan, atau mendelegasikan otoritas kepada masyarakat agar masyarakat memiliki kemandirian dalam pengambilan keputusan dalam rangka pembangunan diri dan lingkungannya secara mandiri.

Dalam konteks seperti itu, kemandirian diartikan sebagai; (1) kemandirian material, yaitu kemampuan produktif guna memenuhi kebutuhan materi dasar serta cadangan dan mekanisme untuk dapat bertahan waktu krisis; (2) kemandirian intelektual, yaitu pembentukan dasar pengetahuan otonom oleh masyarakat yang memungkinkan mereka menanggulangi bentuk-bentuk dominasi lebih halus yang muncul di luar kontrol pengetahuan; (3) kemandirian ketetalaksanaan, yaitu kemampuan otonomi dalam membina diri dan menjalani serta mengelola kegiatan kolektif agar terjadi perubahan dalam suatu kehidupan (World Bank dalam Pedoman Pemberdayaan Masyarakat Desa, Dirjen PMD Depdagri, 2010: 139-141)

Setiawan (2011: 30) mengatakan bahwa konsep pemberdayaan mulai menjadi diskursus pembangunan, ketika orang mulai mempertanyakan pembangunan. Di Eropa, wacana pemberdayaan muncul ketika industrialisasi menciptakan masyarakat penguasa faktor produksi dan masyarakat pekerja yang dikuasai. Di negara-negara sedang berkembang, wacana pemberdayaan muncul ketika pembangunan menimbulkan disinteraksi sosial, kesenjangan ekonomi,


(9)

degradasi sumber daya alam, dan alienasi masyarakat dari faktor-faktor produksi oleh penguasa.

Berdasarkan pemahaman umum pemberdayaan dan kemandirian di atas, maka pondok pesantren adalah salah satu lembaga pendidikan di Indonesia yang telah sejak lama menerapkan pemberdayaan. Salah satu ciri khusus pesantren menurut Armando (2005: 296) adalah “kehidupan mandiri dan sederhana para santri”. Hingga kini banyak penelitian yang membuktikan bahwa pesantren merupakan lembaga pendidikan yang mandiri dan khas Indonesia. Sejak kurang lebih 500 tahun yang lalu, lembaga pesantren tersebut telah mengalami banyak perubahan dan memainkan berbagai macam peran dalam masyarakat Indonesia. Nurcholis Majid (dalam Yasmadi, 2005: 121) berobsesi menciptakan pondok pesantren menjadi suatu sistem pendidikan yang memiliki keterpaduan antara unsur ke-Islaman, ke-Indonesiaan, dan keilmuan guna mewujudkan masyarakat madani.

Proses pendidikan dan pembangunan tidak dapat dipisahkan, pendidikan harus diperhatikan guna tercapainya tujuan pembangunan nasional. Namun pemerintah belum memiliki master plan jangka panjang yang tepat untuk mencapai tujuan pendidikan seperti yang tercantum dalam jabaran UUD 1945 tentang pendidikan yang dituangkan dalam Undang-Undang No. 20, Tahun 2003. Pasal 3 menyebutkan, "Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab."

Fungsi pendidikan seperti yang tercantum dalam UU di atas masih belum tercapai karena pada faktanya pendidikan hari ini cenderung hanya mencetak peserta didik untuk dapat diterima di dunia kerja, secara kasarnya dapat dikatakan “pendidikan hanya mencetak robot-robot pekerja untuk memenuhi kebutuhan industri”. Bahkan ketika sebagian lembaga pendidikan negeri tak mampu menghasilkan lulusannya untuk diterima di dunia kerja, maka bermunculanlah lembaga-lembaga pendidikan swasta yang menjamin peserta didiknya dapat


(10)

diterima di dunia kerja. Kampus negeri seperti Universtas Sumatera Utara misalnya, juga pernah menggukana moto “USU for Industry” yang mana moto USU ini pernah menjadi topik-topik diskusi utama di kalangan mahasiswa USU yang mempertanyakan esensi dari motto tersebut.

Jika dilihat dari dari UU di atas, maka tujuan pendidikan intinya adalah pembentukan karakter, membentuk karakter peserta didik menjadi berkarakter kabangsaan, bukan untuk menjadikannya sebagai “robot pekerja” industri. Dari segi kurikulum pun, para pendidik dibingungkan dengan seringnya berganti kurikulum, bahkan menjadi kebiasaan “ganti menteri = ganti kurikulum” seperti pada akhir 2012 ini sedang marak dibahas tentang Kurikulum 2013 yang saat ini sedang dilakukan uji publik di lima tempat.

Karena tidak ada master plan pendidikan Indonesia, saat ini pendidikan terombang-ambing tak tentu arah, Undang-Undang yang terus-terusan diperbaharui seolah-olah sebagai ajang “coba-coba” Menteri Pendidikan. Pemerintah yang mencoba membuat Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI) juga akhirnya dibubarkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK) karena dianggap lalai menjalankan amanat UUD 1945, RSBI memunculkan sikap diskriminasi dalam pendidikan.

Pendidikan formal di Indonesia banyak mengadopsi sistem pendidikan modern Belanda pada masa penjajahan dahulu. Sementara, ketika itu di Indonesia sudah memiliki sistem pendidikan lokal yaitu pondok pesantren yang hingga kini tetap eksis dalam dunia pendidikan Indonesia. Dawam Rahadrjo (1988) berpendapat bahwa pondok pesantren telah menstabilkan pembangunan di Indonesia di tegah maraknya pemuda berpendidikan formal yang berurbanisasi ke perkotaan. Sementara itu, para santri tetap bertahan dengan usaha kecilnya di pedesaan seperti usaha tambak ikan, kerajinan, dan pertanian di Jawa.

Pesantren, dalam perkembangannya, telah menjadi pusat kegiatan masyarakat dalam bidang pendidikan, sosial, kesehatan, dan pelatihan keterampilan melalui teknologi tepat guna. Pesantren sebagai lembaga pendidikan tradisional dianggap efektif dalam menjalankan program pemberdayaan, khususnya bagi komunitas pesantren itu sendiri. Hal ini disebabkan oleh interaksi


(11)

yang intens antar santri dan antara santri dengan kiainya melalui sistem pendidikan dan aktivitas keseharian yang sering dilalui bersama. Bahkan, Riani (2005) menyebutkan bahwa pesantren di pedesaan merupakan lembaga yang cukup potensial dalam mengembangkan kapital sosial para anggota di dalamnya. (Tasbichah, 2011: 3)

Penelitian Dhofier (1985:20 dalam Wals 2002: 13) mencatat pertumbuhan jumlah santri di Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur dari tahun 1942 ke tahun 1978 meningkat kurang lebih empat kali lipat. Sementara, data pemerintah Belanda tahun 1885 (dalam Huda, 2003: 90) khusus di tanah Jawa terdapat 14.929 pondok pesantren, dan data Kementerian Agama pada pertengahan 2011 terdapat 25.000 pondok pesantren dengan jumlah santri secara keseluruhan adalah 3,6 juta orang. Meskipun terjadi modernisasi di bidang pendidikan, jumlah santri pondok pesantren yang dianggap masih tradisional itu terus bertambah, hal ini menunjukkan bahwa minat masyarakat untuk menuntut ilmu di pesantren masih tinggi. Menurut Dawam Rahardjo (1988) hal ini disebabkan karena kultur masyarakat petani di pedesaan yang cenderung masih tradisional dan religius sehingga berimbas pada pemilihan lembaga pendidikan pesantren untuk anak-anaknya.

Dalam wawancara dengan ANTARA News – 20 Desember 2009, almarhum Gus Dur berstatemen bahwa: ―Sumbangsih yang telah diberikan pesantren bagi bangsa ini telah sangat besar. Karena itu pesantren perlu mendapatkan perhatian, agar perannya dalam mengisi pembangunan semakin dirasakan masyarakat. Dan

statemen akan besarnya kontribusi pesantren ini memang sudah menjadi persepsi jamak di beragam kalangan, serta secara yuridis telah dipayungi oleh pemerintah lewat Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, dan Peraturan Pemerintah No. 55 Tahun 2007 tentang Pendidikan Agama dan Keagamaan. April 2012)

Para santri yang berguru pada kiai umumnya berasal dari desa di sekitar pesantren. Mereka ada yang tinggal menetap di pesantren (santri Mukim) dan ada pula yang tidak menetap (santri kalong). Mereka kebanyakan hidup mandiri


(12)

sesuai dukungan yang tersedia untuk menopang kehidupan mereka. Bagi yang mempunyai keterbatasan keuangan, mereka ada yang bekerja menggarap lahan yang dimiliki oleh para kiai atau teman mereka sesama santri. Keterlibatan para santri dalam membantu kiai termasuk untuk menggarap lahan pertanian terutama diarahkan untuk mendapatkan kerelaan dan berkah dari kiai.

Di tengah perubahan ke arah kapitalisasi pendidikan, saat ini masih ada sebagian pesantren yang bertahan untuk mandiri tanpa bergantung kepada uang pembayaran dari santri maupun bantuan pemerintah. Di Pondok Pesantren Syafi’iyah Al-Falah Bungbulang Garut santri tidak dikenakan biaya SPP dan uang bangunan, santri hanya perlu membawa bekal untuk kebutuhan pribadinya seperti makanan dan pakaian. Di Pondok pesantren Asem Desa Sinarjaya Garut, santri juga tidak dikenakan SPP. Sambil belajar, mereka dilibatkan dalam berbagai kegiatan sosial ekonomi yang dapat menopang kebutuhan selama nyantri. Jadi, santri tidak hanya belajar kitab, tapi santri juga melakukan banyak hal karena santri yang mondok memiliki waktu selama 24 jam di lingkungan pondok pesantren.

Pesantren Nurul Iman adalah salah satu pesantren di Bogor, Pesantren ini memiliki jenjang pendidikan formal mulai dari PAUD, SD, SMP, SMA, sampai PT. Adapun jumlah santri secara keseluruhan sekitar 19.000 orang. Uniknya, para santri tersebut dapat mengenyam pendidikan dengan gratis di pesantren ini tanpa dikenai biaya sedikit pun. Selain mendapatkan pendidikan formal, para santri juga dilatih dengan berbagai keterampilan seperti kursus bahasa, kursus komputer, kursus menjahit, pelatihan pertanian, pemanfaatan sampah-sampah menjadi bahan bangunan, peternakan ikan dan kegiatan wirausaha lainnya. (Tasbichah, 2011: 2)

Contoh lain adalah di Pondok Pesantren Miftahulhuda Al-Musri’. Andriani (2008: 135) menjelaskan bahwa di sana mengembangkan kelembagaan pada beberapa bidang diantaranya pada bidang sosial keagamaan dan ekonomi. Pada bidang sosial keagamaan, kelembagaan yang dikembangkan adalah pengajian-pengajian dengan strategi penyebaran santri ke pelosok desa maupun mengadakan pengajian di lingkungan pesantren. Sedangkan pada bidang ekonomi, kelembagaan yang dikembangkan adalah unit simpan pinjam dengan strategi melalui kerjasama dengan pihak luar dalam hal ini pesantren memiliki kerjasama


(13)

dengan Bank Syariah Mandiri untuk lebih memperlancar pengadaan kredit lunak untuk masyarakat.

Penelitian Faozan (2006) menyimpulkan bahwa pondok pesantren yang didiami oleh santri yang jumlahnya cukup banyak merupakan konsumen yang positif dan didukung oleh masyarakat sekitarnya. Artinya, santri dan masyarakat sekeliling pada dasarnya adalah konsumen yang kebutuhannya dapat dicukupi secara ekonomi oleh pesantren itu sendiri. Jadi, pesantren hakikatnya bisa mandiri untuk menjadi pusat kelembagaan ekonomi, bagi warganya di dalam pesantren dan di luar pesantren.

Adapun kebutuhan kebutuhan pokok atau dasar dari komunitas pondok pesantren (kiai, keluaraga kiai, ustadz dan santri). Menurut Marsono (1995 dalam Arifin, 2008: 7) kebutuhan pokok tersebut mencakup kebutuhan akan pangan, sandang, papan, layanan kesehatan, pendidikan, penyediaan air bersih dan sanitasi.

Sebagai satu kesatuan tempat pemukiman, pondok pesantren juga membutuhkan: (a) prasarana lingkungan seperti jalan, saluran air limbah dan saluran hujan; (b) utilitas umum seperti jaringan listrik, gas, air bersih, telepon, pembuangan sampah dan pemadam kebakaran; dan (c) fasilitas sosial yang merupakan kelengkapan lingkungan seperti layanan kesehatan, pelayanan umum, olah raga, lapangan terbuka dan fasilitas umum lainnya.

Menurut Andriani (2008: 19) pada saat ini banyak pesantren yang telah maju dalam bidang ekonomi, mereka memiliki lembaga keuangan yang disebut sebagai Kopontren (Koperasi Pondok Pesantren). Lembaga ini telah dikelola dengan baik sehingga dapat mendorong kemajuan ekonomi pesantren dan masyarakat sekitar.

Kemajuan sosial ekonomi sebuah pesantren tidak terlepas dari peran santri. Kiai dan ustadz memiliki kekuasaan yang bersifat kharismatik yang mampu mengendalikan santri dalam melakukan kegiatan sosial ekonomi. Dalam mengurus usaha pertanian pesantren, kiai sekedar mencontohkan dan membimbing, untuk selanjutnya akan ditangani oleh para santri, bahkan


(14)

pembagian kerjanya pun biasanya diatur oleh organisasi santri (Dewan Santri yang dipimpin oleh seorang santri senior/mudabbir).

Hasil penelitian Tasbichah (2011) menunjukkan bahwa semakin lama santri tinggal di pesantren maka tingkat partisipasinya dalam program pertanian pesantren semakin tinggi. Jadi, santri senior lebih berdaya, santri junior biasanya sebagai pelaksana program sementara santri senior berada dalam tataran manajemen program.

Tantangan yang dihadapi pondok pesantren semakin hari semakin besar, kompleks dan mendesak, sebagai akibat semakin meningkatnya kebutuhan pembangunan dan kemajuan pengetahuan dan teknologi. Tantangan ini menyebabkan terjadinya pergeseran-pergeseran nilai di pesantren, baik nilai yang menyangkut sumber belajar maupun nilai yang menyangkut pengelolaan pendidikan, pergeseran sistem dan metode belajar, serta pergeseran pengembangan fungsi kelembagaan pesantren itu sendiri (Anas, 2012: 95-96)

Problem mendasar mengenai eksistensi pesantren dewasa ini adalah bagaimana dapat menjalankan misi utamanya dalam konteks sekarang ini. Menurut Nurcholis Majid pesantren mengalami kesenjangan antara dunia pesantren dengan realitas abad-20 dewasa ini ( Rahardjo dalam Azhari, 2004: 2). Dalam bukunya yang lain, Rahardjo (1988) menjelaskan bahwa tantangan yang dihadapi pesantren adalah pengaruh model pendidikan Barat. Model pendidikan warisan kolonial ini dijadikan pendidikan formal dan wajib oleh pemerintah Indonesia pasca kemerdekaan, bahkan belakangan muncul program wajib belajar sembilan tahun. hal ini berpengaruh pada pesantren yang mau tidak mau harus memasukkan pendidikan formal ke dalam pendidikan pondok pesantren. Dalam tantangan yang dihadapi ini, pesantren cenderung bersifat konservatif dan tradisional.

Dalam semakin hegemoninya sistem pasar (kapitalisme global), ekskalasi pesantren mengalami penurunan. Akibatnya pesantren mengalami dalam beberapa hal disfungsi sosial atau pesantren belum bisa mengimbangi perkembangan zaman (Isnaini, 2012: 3). Huda (2003: 25) melihat secara garis besar persoalan pesantren adalah (1) kurikulum pendidikan yang mencakup literatur, model kepengajaran


(15)

dan pengembangannya; (2) sarana prasarana, seperti perpustakaan, laboratorium, internet, lapangan olah raga, dan tempat makan; (3) wahana pengembangan seperti organisasi, majalah, musyawarah, seminar, dan bedah buku; dan (4) wahana aktualisasi diri di tengah-tengah masyarakat, seperti tabligh dan khotib.

Guna mengikuti modernisasi, banyak kebutuhan sosial ekonomi baru yang harus dipenuhi misalnya kebutuhan laboratorium komputer, buku-buku, ruang kelas, LCD projector, klinik kesehatan, mesin percetakan, dan pegawai pesantren. Kini berkembang pesantren modern di mana santri tinggal di pondok (boarding)

dengan fasilitas pendukung yang serba modern. Hal ini menyebabkan biaya operasional pesantren modern lebih mahal dari pada pendidikan di sekolah formal pada umumnya. Oleh Karena itu pesantren modern biasanya memungut uang pangkal dan SPP yang mahal dari santrinya seperti di pesantren Al-Zaitun dan Al Kausar.

Murid membayar mahal untuk bisa bersekolah di Al-Zaytun. Untuk semua tingkatan, orang tua siswa dan mahasiswa harus membayar USD 3.500 (sekitar Rp29 juta). Biaya sebesar itu digunakan untuk membayar biaya pendidikan dan biaya-biaya lain selama tinggal di pondok selama masa belajar.

Pesantren modern lain yang biayanya relatif mahal adalah Islamic Boarding School Al Kausar di kaki Gunung Salak Sukabumi Jaba Barat. Begitu diterima di sekolah ini, orang tua harus siap-siap membayar mahal. Biaya masuk yang harus dibayar mencapai Rp42,5 juta per siswa. Hampir setengah dari biaya masuk Fakultas Kedokteran UNHAS dan UMI yang mencapai Rp125 juta. Biaya masuk itu belum termasuk uang pendaftaran Rp600 ribu, uang tahunan Rp3,5 juta, dan uang bulanan Rp4,250 juta WIB)

Ditjen Pendis Departemen Agama membagi pesantren ke dalam tiga kategori, pertama Salafiyah (tradisional), kedua, pesantren Ashriyah (modern), dan ketiga, pesantren kombinasi (perpaduan antara tradisional dan modern). Di Kabupaten Deli Serdang Sumatera Utara terdapat 14 Pondok Pesantren yang


(16)

terdiri dari: 4 pesantren modern, 4 pesantren tradisional, dan 6 pesantren kombinasi.

Dari kategori di atas, Ditjen Pendis Departemen Agama menggolongkan Pesantren Hidayatullah termasuk ke dalam kategori pesantren modern. Adapun ciri-ciri pesantren Modern adalah sebagai berikut:

1. Penekanan pada bahasa Arab percakapan

2. Memakai buku-buku literatur bahasa Arab kontemporer (bukan klasik/kitab kuning)

3. Memiliki sekolah formal di bawah kurikulum Diknas dan/atau Kemenag dari SD/MI MTS/SMP MA/SMA maupun sekolah tinggi.

4. Tidak lagi memakai sistem pengajian tradisional seperti sorogan, wetonan, dan

bandongan.

Jika mengacu pada ciri-ciri di atas jelas bahwa Pesantren Hidayatullah Medan merupakan pondok pesantren modern karena berdasarkan data awal yang diperoleh yaitu sebagai berikut:

1. Memakai buku-buku/literatur bahasa Arab kontemporer, di sana tidak lagi digunakan kitab kuning klasik. Bahkan lebih banyak menggunakan buku-buku umum namun dalam penyampaiannya dikemas secara islami. 2. Memiliki sekolah formal yaitu Madrasah Tsanawiyah dan Madrasah

Aliyah di mana pendidikan formal mendapatkan porsi lebih banyak yaitu sekitar 70 %. Santri masuk kelas mulai pukul 08.00 dan baru selesai pada pukul 15.00, barulah pada sore harinya ada kegiatan ekstrakurikuler, sementara pada malam hari ada pendidikan agama dan belajar mandiri.

3. Tidak lagi dikenal sistem pengajian tradisional seperti sorogan, wetonan, dan bandongan. Pembelajaran dilakukan di kelas, kecuali saat ada materi ceramah umum dari kiai atau ketika dalam keadaan tertentu. Pada pra observasi para santri belajar matematika bersama guru di masjid karena kondisi kelas sedang panas di siang hari.

Berbeda dengan kebanyakan pesantren modern lainnya yang mengenakan tarif mahal kepada santrinya, Pesantren Hidayatullah Medan justru menampung


(17)

santri yang kurang mampu. Awal kehadiran Pondok Pesantren Hidayatullah di Medan, bermula dari rumah kontrakan di Jln. Karya III Helvetia. Selama satu tahun pengurus menjalin silaturrahim dengan kaum muslimin akhirnya pindah kontrakan di Jln. Bilal Ujung Gg. Arimbi selama dua tahun, bersamaan dengan itulah mendapatkan tanah wakaf di Kec. Pancur Batu dan dimanfaatkan selama 1,5 tahun. Tetapi karena permasalahan klaim pihak ahli waris akhirnya wakaf tidak berlanjut. Namun demikian pada akhirnya Pondok Pesantren Hidayatullah mendapatkan ganti tanah wakaf di Desa Bandar Labuhan, Kec. Tanjung Morawa dengan luas 2,3 Ha. (sekarang sudah berkembang mencapai 7 Ha).

Pondok Pesantren Hidayatullah Medan saat ini terletak di Desa Bandar Labuhan, Kecamatan Tanjung Morawa, Kabupaten Deli Serdang Sumatera Utara, didirikan pada tanggal 18 September 1993. Mulanya lokasi ini berupa semak belukar jauh dari rumah penduduk. Tanah ini diberikan oleh Badan Kenadziran Wakaf Departemen Agama Deli Serdang dan diserahkan pengelolaannya kepada Pondok Pesantren Hidayatullah Medan dengan asumsi bahwa Pondok Pesantren Hidayatullah harus memberikan pendidikan gratis bagi anak-anak kurang mampu (dhu'afa).

Di sinilah santri pondok pesantren Hidayatullah mula-mula ditempa dan dibina untuk terus membangun fasilitas pondok hingga sekarang. Berkat kerja keras para santri, lokasi yang tadinya semak belukar pelan-pelan diubah menjadi kampus yang asri (Islamic Green Village), mulanya di awali oleh sembilan orang santri. Mereka tidur di bawah pohon besar, kemudian membangun gubuk darurat beratapkan daun pisang, pelan-pelan kini berubah menjadi semi permanen dan satu dua sudah mulai dibangun permanen. Dari hal di atas lah penulis melihat pola pendidikan dan pemberdayaan Pesantren Hidayatullah Medan yang unik, selain itu Pesantren Hidayatulah Medan masih baru berdiri (tahun 1993) jika dibandingkan dengan pesantren lainnya yang sudah berpuluh-puluh tahun.

Saat ini Pesantren Hidayatullah Medan sudah tampak perkembangannya. Menurut keterangan Ust. Chaiul Anam (Pimpinan Pesantren), dahulu pesantren ini dibuka di semak belukar, di tengah hutan yang jauh dari pemukiman penduduk. Para Kader mulanya datang ke hutan dan tinggal di bawah pohon besar. Pada akhir tahun 2010 peneliti mengadakan beberapa acara di pesantren ini,


(18)

ketika itu belum ada akses jalan aspal ke pesantren sehingga perjalanan menuju ke sana harus melewati jalanan tanah yang terjal dan panjang. Baru pada tahun 2012 ketika peneliti kembali ke sana kondisinya sudah berbeda, sudah dibangun beberapa gedung baru dan jalan aspal yang menghubungkan Pesantren Hidayatullah Medan dengan dunia luar.

Ust. Chairul Anam juga mengatakan bahwa di sekitar Pesantren Hidayatullah Medan sudah mulai bermunculan pemukiman penduduk. Satu demi satu rumah penduduk di bangun di dekat area pesantren, hingga saat ini sudah tumbuh menjadi sebuah perkampungan walaupun rumah-rumahnya masih sedikit. Tapi dengan munculnya akses jalan aspal ke pesantren, dapat dipastikan daerah sekitar pesantren akan berkembang pesat. Dalam hal ini pemukiman penduduk tumbuh bermula dari keberadaan pesantren yang membuka lokasi di tengah semak belukar tidak berpenduduk.

Pesantren Hidayatullah memiliki visi menjadi lembaga pendidikan yang maju dalam menegakkan kalimah tauhid dalam rangka mewujudkan peradaban Islam, dan salah satu misi pendirian pesantren Hidayatullah Medan adalah

menyelenggarakan pendidikan gratis bagi kaum dhuafa, yatim piatu dan terlantar. Dalam mewujudkan visi dan misinya inilah Pesantren Hidayatullah Medan melakukan upaya-upaya agar santri yang semuanya berasal dari keluarga kurang mampu tersebut dapat mengenyam pendidikan di pesantren ini.

Meskipun merupakan cabang dari Balikpapan, Pesantren Hidayatullah Medan tidak mendapat bantuan dana dari pusat, para pendiri berusaha dari nol

untuk mendirikan pesantren ini. Saat ini Hidayatullah Medan memiliki 400 santri yang tingkat pendidikan formalnya Madrasah Tsanawiyah (setara SMP) dan Madrasah Aliyah (Setara SMA). Pesantren Hidayatullah Medan sudah memiliki sarana dan prasarana yang cukup memadai, dan semua sarana tersebut dibangun secara mandiri oleh santri. Saat penulis melakukan observasi awal, kondisi kelas puteri sedang dalam tahap penyelesaian dan di sebelahnya para santri sedang bergotong-royong membangun ruang kelas puteri karena santri puteri selama ini masih belajar di mushola atau di bawah pohon.


(19)

Untuk memenuhi seluruh kebutuhan Pesantren, dibutuhkan dana lebih dari Rp52 juta/bulan. Sementara, Pesantren Hidayatullah Medan belum memiliki perencanaan pendanaan tahunan maupun bulanan yang jelas dan terperinci. Pemasukan keuangan belum menentu dan jauh dari cukup secara hitungan matematis, dana BOS dan sumbangan masyarakat yang hanya sekitar Rp8jt/bulan belum mencukupi. Pernah juga terjadi masa-masa sulit dimana pemasukan sangat minim, sementara pengeluaran untuk uang makan santri saja seharusnya Rp300.000,-/bulan per orang, belum termasuk biaya kebutuhan lainnya yang juga dipenuhi oleh pesantren. Namun pihak pesantren menilai bahwa akan selalu ada pertolongan dari Allah swt sehingga mereka masih mampu bertahan dan berkembang.

Karena santri hanya membayar murah atau bahkan gratis, maka sebagai gantinya untuk memenuhi kebutuhan pesantren, santri dikaryakan. Dengan dikordinasikan oleh Dewan Santri (organisasi santri), hampir seluruh operasional pesantren dilakukan oleh santri. Dengan demikian Pesantren Hidayatullah Medan mempunyai peran yang cukup signifikan dalam upaya pemberdayaan santrinya.

Berdasarkan fenomena di atas, dan mengacu pada beberapa hasil penelitian lainnya diantaranya Studi Potensi Ekonomi dan Kebutuhan Pondok Pesantren Se Karesidenan Kedu Jawa Tengah (Arifin: 2008), Pondok Pesantren dan Pemberdayaan Ekonomi (Faozan: 2006), Pemberdayaan Pesantren Menuju Kemandirian dan Profesionalisme Santri dengan Metode Dauroh Kebudayaan

(Malik, 2005), dan Hubungan Kapital Sosial dengan Tingkat Partisipasi Santri Dalam Program Pertanian Pesantren (Kasus: Pesantren Al-Ashriyyah Nurul Iman, Kecamatan Parung, Kabupaten Bogor, Jawa Barat) (Tasbichah: 2011), maka analisis terhadap pemberdayaan santri dalam upaya meningkatkan kemandirian pesantren di Pondok Pesantren Hidayatullah Medan dipandang menarik untuk diteliti mengingat dalam tumbuh kembangnya Pesantren Hidayatullah Medan tidak terlepas dari peran serta santri.

1.2. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas perumusan masalah yang akan diteliti adalah sebagai berikut:


(20)

1. Bagaimana metode pemberdayaan yang berbasis santri di Pesantren Hidayatullah Medan?

2. Apa saja faktor pendorong dan penghambatnya? 3. Apa saja bentuk programnya?

1.3. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Menganalisis metode pemberdayaan yang berbasis santri di Pesantren Hidayatullah Medan

2. Menganalisis faktor pendorong dan penghambat program tersebut. 3. Menganalisis bentuk-bentuk programnya.

1.4. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat penelitian ini adalah : 1.4.1. Manfaat Teoritis

Untuk menambah referensi hasil penelitian yang juga dijadikan sebagai bahan rujukan untuk penelitian bagi mahasiswa sosiologi selanjutnya, serta diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran dan memperluas cakrawala pengetahuan sosiologi pendidikan.

1.4.2. Manfaat Praktis

a. Peneliti ingin mengkaji lebih jauh mengenai metode pemberdayaan berbasis santri di Pesantren Hidayatullah Medan, faktor pendorong dan penghambat program tersebut, serta bentuk-bentuk programnya.

b. Menjadi sumbangan pemikiran terhadap pemerintah dalam program penyelenggaraan pendidikan Islam dan menentukan kebijakan di bidang pendidikan Islam.

c. Untuk memberikan masukan-masukan kepada pihak-pihak atau lembaga-lembaga yang membutuhkannya khususnya dunia pesantren, serta memberikan kontribusi bagi pesantren dalam meningkatkan kemandirian sosial ekonominya.


(21)

1.5.Definisi Konsep

2. Pemberdayaan dan Pengkaryaan

Suatu usaha untuk melakukan penyadaran, pengapasitasan, dan pendayaan terhadap santri yang akan diberdayakan. Dalam hal ini peneliti melihat bahwa bahwa para santri memiliki peran yang sangat penting dalam mewujudkan kemandirian sosial ekonomi Pesantren Hidayatullah Medan. Sebagaimana dikatakan Faozan (2006: 3) bahwa sasaran akhir dari pemberdayaan ekonomi pondok pesantren adalah kemandirian pesantren. Di Pesantren Hidayatullah Medan pemberdayaan disebut juga sebagai “pengkaryaan” artinya mengkaryakan para santri pada berbagai hal di pesantren agar pesantren dapat menjalankan fungsinya dan dapat terus berkembang dengan melibatkan para santri dalam mencapainya.

3. Pengabdian

Pengabdian di Pesantren Hidayatullah Medan merupakan kewajiban bagi seluruh santri yang telah lulus dari kelas III Madrasah Aliyah, pengabdian tersebut dilakukan selama satu tahun setelah kelulusan, adapun aktivitas alumni selama pengabdian adalah membantu para ustadz dan guru untuk mengelola pesantren.

4. Alumni

Yang dimaksud dengan alumni di Pesantren Hidayatullah Medan ada dua macam, yang pertama adalah alumni yang telah lulus dari pesantren Hidayatullah Medan dan sedang menjalankan tugasnya untuk berdakwah di masyarakat. Kedua, Alumni yang baru lulus secara pendidikan formal (Madrasah Aliyah) namun belum dinyatakan lulus oleh pesantren karena masih harus menimba ilmu di pesantren, melakukan pengabdian, dan mengamalkan ilmunya bersama dengan program-program pesantren Hdiayatullah Medan.

5. Kemandirian Sosial Ekonomi

Merupakan suatu kondisi dimana pondok pesantren memiliki kesadaran dan kemampuan untuk memenuhi kebutuhan sosial ekonominya. Menurut Malik (2005: 61) Kemandirian adalah hasrat untuk mengerjakan segala sesuatu bagi diri sendiri yang diwujudkan dalam aspek kreativitas dan kemampuan mencipta.


(22)

Sebagaimana menurut World Bank bahwa kemandirian dapat mencakup material, intelektual, dan ketatalaksanaan. Adapun kebutuhan ada yang bersifat pokok (1995 dalam Arifin, 2008: 7) yang mencakup kebutuhan akan pangan, sandang, papan, layanan kesehatan, pendidikan, penyediaan air bersih dan sanitasi. Ada pula kebutuhan yang bersifat sekunder.

6. Pesantren

Merupakan lembaga pendidikan agama Islam, lembaga pesantren disebut juga “surau” (Sumatera Barat), “dayah” (Aceh). Dan “pondok” (Jawa dan daerah lain) (Armando, 2005: 296). Menurut Nurcholis Majid (dalam Yasmadi, 2005: 63) pesantren itu terdiri dari lima elemen pokok yaitu: kiai, santri, masjid, pondok, dan pengajaran kitab-kitab Islam klasik. Dalam hal ini penelitian dilakukan di Pondok Pesantren Hidayatullah Medan yang merupakan pesantren modern.

7. Santri

Santri adalah sebutan bagi murid yang mengikuti pendidikan di pondok pesantren. Panggilan Santri Pondok X artinya ia pernah/lulus dari Pondok Pesantren X. Panggilan Santri Kiai KH artinya ia pernah diajar oleh Kiai KH.

Umumnya, sebutan santri Kiai juga berarti ia pernah menjadi anak asuh, anak didik, kadang-kadang mengabdi (biasanya di rumah kediaman) kiai yang bersangkutan. Dalam penelitian ini yang termasuk ke dalam santri adalah santri yang masih aktif secara pendidikan formal dan yang sedang menjalankan program pengabdian di Pesantren Hidayatullah Medan.

8. Kiai, Ustadz, dan Guru

Di Pesantren Hidayatullah Medan terdapat perbedaan pada ketiga konsep tersebut walaupun ketiganya memiliki peran utama sebagai pengajar. Kiai merupakan pimpinan utama Pondok Pesantren, kiai dipandang memiliki ilmu agama yang lebih tinggi. Kiai biasanya hanya memberikan ceramah-ceramah umum dan melakukan manajemen pesantren. Ustadz merupakan pengajar dibidang keagamaan seperti mengajar Alquran dan Sejarah Kebudayaan Islam. Adapun Guru bertugas mengajarkan ilmu-ilmu umum, kebanyakan guru bukan berasal dari kalangan pesantren, tetapi berasal dari lulusan pendidikan umum.


(23)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1. Pemberdayaan Masyarakat dalam Prespektif Sosiologis

Konsep pemberdayaan dalam wacana pembangunan masyarakat selalu dihubungkan dengan konsep mandiri, partisipasi, jaringan kerja, dan keadilan. Pada dasarnya pemberdayaan diletakkan pada kekuatan tingkat individu dan sosial. Menurut Rappaport (1987) dalam Hikmat (2001) pemberdayaan diartikan sebagai pemahaman secara psikologis pengaruh kontrol individu terhadap keadaan sosial, kekuatan politik, dan hak-haknya menurut undang-undang. Masih dalam Hikmat (2001), McArdle (1989) mengartikan pemberdayaan sebagai proses pengambilan keputusan oleh orang-orang yang selalu konsekuen melaksanakan keputusan tersebut. Orang-orang yang telah mencapai tujuan kolektif diberdayakan melalui usaha mereka sendiri dan akumulasi pengetahuan, keterampilan serta sumber lainnya dalam rangka mencapai tujuan mereka tanpa bergantung pada pertolongan dari hubungan eksternal. Namun demikian, McArdle mengimplikasikan hal tersebut bukan untuk mencapai tujuan, melainkan makna pentingnya proses pengambilan keputusan. (Andriani, 2008: 19)

Aziz (2005) mengemukakan konsep pendekatan sosio kultural dalam pemberdayaan. Menurutnya pendekatan sosio kultural adalah salah satu pendekatan yang dilakukan sebagai upaya melakukan upaya perubahan ke arah yang lebih baik, yaitu terciptanya keadilan dan kesejahteraan sosial bagi masyarakat dengan memperhatikan berbagai aspek yang mempengaruhinya. Di samping pendekatan sosio kultural ini, sering kali perubahan itu dilakukan dengan menggunakan pendekatan struktural, yaitu pendekatan dari atas ke bawah.

Aspek-aspek yang mempengaruhi kehidupan sosial masyarakat itu adalah agama, budaya, pendidikan, adat istiadat, ekonomi, politik, hukum dan lain sebagainya. Aspek-aspek itulah yang dalam proses perubahan sosial sering disebut dengan dimensi sosio kultural. Di antara berbagai aspek tersebut setiap komunitas memiliki aspek yang dominan yang mempengaruhinya hal ini disebabkan oleh sistem nilai yang dipegang oleh masing-masing masyarakat.


(24)

Misalnya pada masyarakat perkotaan yang paling berpengaruh adalah dimensi ekonomi dan pendidikan, sedangkan pada masyarakat desa biasanya adalah adat istiadat atau budaya setempat dan agama. Sedangkan pada masyarakat santri nilai yang paling dominan berpengaruh adalah agama.

Dalam studi-studi tentang perubahan sosial, konsep “pemberdayaan” (empowerment) merupakan anti-thesis dari konsep “pembangunan” (development). Konsep pembangunan lebih mencerminkan hadirnya model perencanaan dan implementasi kebijakan yang bersifat top-down. sedangkan “pemberdayaan” lebih bersifat buttom-up, berbasis kepentingan konkret masyarakat. (Aziz, 2005: 133-134)

Menurut Setiawan (2011: 27) tujuan pemberdayaan adalah mencari langkah berkelanjutan untuk meningkatkan kapasitas masyarakat tak berdaya sehingga mereka memiliki kemampuan otonom mengelola seluruh potensi sumber daya yang dimilikinya. Dalam konteks pemberdayaan, sekurang-kurangnya dilakukan melalui tiga aspek:

Pertama, menciptakan suasana atau iklim yang memungkinkan

berkembangnya potensi yang dimiliki oleh masyarakat, sebab setiap masyarakat memiliki potensi yang dapat dikembangkan. Untuk itu, pemberdayaan dilakukan untuk mendorong, memotivasi, dan membangkitkan kesadaran potensi sumber daya yang dimilikinya dan mengembangkannya secara produktif.

Kedua, memperkuat potensi atau daya yang dimiliki masyarakat. Hal ini dilakukan dengan memberi masukan berupa bantuan dana, pembangunan prasarana dan sarana pendukung, baik fisik maupun sosial, serta mengembangkan kelembagaan pendanaan, penelitian dan pemasaran di daerah, serta dengan memberikan kemudahan akses dan berbagai peluang yang akan membantu masyarakat semakin berdaya.

Ketiga, melindungi masyarakat melalui pemihakan kepada masyarakat yang lemah untuk mencegah persaingan yang tidak seimbang antara masyarakat yang berdaya dengan masyarakat yang kurang atau paling tidak berdaya melalui program yang bersifat pemberian yang dalam pelaksanaannya harus diarahkan


(25)

pada pemberdayaan masyarakat, bukan membuat masyarakat bergantung, karena pada dasarnya setiap apa yang dinikmati harus dihasilkan atas usaha sendiri. (World Bank dalam Pedoman Pemberdayaan Masyarakat Desa, Dirjen PMD Depdagri, 2010_ 143-144)

Menurut Azis (2005) ada beberapa tahapan yang seharusnya dilalui dalam melakukan pemberdayaan antara lain:

1. Membantu masyarakat dalam menentukan masalahnya.

2. Melakukan analisa atau kajian terhadap permasalahan tersebut secara mandiri (partisipatif).

3. Menentukan skala prioritas masalah, dalam arti memilah dan memilih masalah yang paling mendesak untuk diselesaikan.

4. Mencari cara penyelesaian masalah yang sedang dihadapi, antara lain dengan pendekatan sosio kultural yang ada dalam masyarakat.

5. Melaksanakan tindakan nyata untuk menyelesaikan masalah yang sedang dihadapi.

6. Mengevaluasi seluruh rangkaian dan proses pemberdayaan itu untuk dinilai sejauh mana keberhasilan dan kegagalannya.

Pemberdayaan bersifat buttom-up, masyarakat merupakan subjek yang paling tahu tentang kebutuhannya, sehingga kurang tepat bila pemberdayaan dilakukan dengan melaksanakan program-program dari atas (pemerintah). Aktor perubahan itu harus berasal dari masyarakat itu sendiri. Pihak luar hanya berfungsi sebagai fasilitator dan motivator dalam perubahan dan pemberdayaan tersebut.

2.2. Pondok Pesantren Sebagai Lembaga Pendidikan Tertua di Indonesia Menurut Mahmud dalam Suwito (2005: 312) pondok pesantren merupakan rangkaian kata yang terdiri dari “pondok” dan “pesantren”. Kata pondok (kamar, gubuk, kamar kecil) yang dipakai dalam bahasa Indonesia dengan menekankan kesederhanaan bangunannya. “funduk” yang berarti ruang tempat tidur, wisma atau hotel sederhana. Karena pondok (tradisional umumnya) memang merupakan tempat penampungan sederhana bagi para pelajar yang jauh dari tempat asalnya.


(26)

Nurcholis Majid (Dalam Yasmadi, 2005: 63) menjelaskan tentang asal kata “santri” yang terdiri dari dua pendapat. Pertama, pendapat yang mengatakan bahwa “santri” berasal dari perkataan “sastri”, sebuah kata dari bahasa sansekerta yang artinya melek huruf. Kedua, pendapat yang mengatakan bahwa perkataan santri sesungguhnya berasal dari bahasa Jawa, dari kata “cantik”, berarti seseorang yang selalu mengikuti seorang guru kemana guru ini pergi menetap.

Dhofier (dalam Yasmadi, 2005: 63) megatakan bahwa pesantren adalah sistem pendidikan Islam tradisional yang terdiri dari lima elemen pokok yaitu: kiai, santri, masjid, pondok, dan pengajaran kitab-kitab Islam klasik. Kelima elemen tersebut merupakan ciri khusus yang dimiliki pesantren dan membedakan pendidikan pondok pesantren dengan lembaga pendidikan dalam bentuk lain.

Hal senada mengenai ketradisionalan pesantren disampaikan oleh Sadjoko, pesantren adalah lembaga pendidikan dan pengajaran agama Islam, umumnya dengan cara non klasikal (weton, sorogan, dan lain-lain) di mana seorang kiai mengajarkan ilmu agama Islam kepada santri berdasarkan kitab-kitab yang ditulis dalam bahasa arab oleh ulama-ulama arab abad pertengahan, dan biasanya santri tinggal di asrama. (Isnaini :6)

Berdasarkan pendapat para ahli di atas, pesantren memiliki ciri “tradisional” yang di dalamnya ada kultur unik dan khas pesantren. Pengertian “tradisional “ dalam batasan ini menunjuk bahwa lembaga ini hidup sejak ratusan tahun (sekitar 500 tahun) yang lalu telah menjadi bagian yang mendalam dari sistem kehidupan sebagian umat Islam di Indonesia yang merupakan golongan mayoritas bangsa Indonesia. Telah mengalami perubahan dari masa ke masa sesuai dengan perjalanan hidup umat, bukan “tradisional‘ dalam arti tetap tanpa mengalami penyesuaian.

Sedangkan secara terminologi Dawam Rahardjo memberikan pengertian pesantren sebagai sebuah lembaga pendidikan dan penyiaran agama Islam, itulah identitas pesantren pada awal perkembangannya. Sekarang setelah terjadi banyak perubahan di masyarakat, sebagai akibat pengaruhnya, definisi di atas tidak lagi memadai, walaupun pada intinya nanti pesantren tetap berada pada fungsinya


(27)

yang asli, yang selalu dipelihara di tengah-tengah perubahan yang deras. Bahkan karena menyadari arus perubahan yang kerap kali tak terkendali itulah, pihak luar justru melihat keunikannya sebagai wilayah sosial yang mengandung kekuatan resistensi terhadap dampak modernisasi. (Isnaini: 39)

Pesantren merupakan lembaga pendidikan Islam khas Indonesia yang tumbuh berkembang sejak masa-masa awal kedatangan agama Islam ke Indonesia. Asal-usul pesantren tidak bisa dipisahkan dari sejarah pengaruh Walisongo abad 15-16 di Jawa. Pesantren untuk pertama kalinya berdiri pada zaman Wali Songo, tepatnya pada masa Syekh Maulana Malik Ibrahim. Sejalan dengan berkembangnya agama Islam di Indonesia, pesantren mengalami perkembangan yang sangat pesat, khususnya pada masa kejayaan kerajaan Islam di Jawa dan Madura. Pada masa penjajahan, pesantren tetap berfungsi sebagai lembaga pendidikan Islam yang mendidik kaum pribumi, meskipun mendapat tantangan dari pemerintah kolonial melalui berbagai kebijakannya karena dianggap sebagai sekolah liar. Pasca proklamasi kemerdekaan, pesantren semakin berkembang bukan hanya di pelosok-pelosok desa, tetapi juga di kota-kota besar.

Sebagaimana yang telah disinggung di atas, pesantren adalah lembaga pendidikan Islam tertua yang merupakan produk kearifan lokal Indonesia. Ia merupakan sumber inspirasi yang tidak pernah kering bagi para pecinta ilmu dan peneliti yang berupaya mengurai anatominya dari berbagai dimensi. Sebagai lembaga pendidikan yang telah lama berurat berakar di negeri ini, pesantren diakui memiliki andil yang sangat besar terhadap perjalanan sejarah bangsa. Pesantren tidak hanya melahirkan tokoh-tokoh nasional yang paling berpengaruh di negeri ini tetapi juga diakui telah berhasil membentuk watak tersendiri, di mana bangsa Indonesia yang mayoritas beragama Islam selama ini dikenal sebagai bangsa yang akomodatif dan penuh tenggang rasa.

Menurut Zamakhsary Dhofier, dalam bukunya “Tradition and Change in Indonesian Islamic Education,” mengatakan penilaian tentang keberhasilan pesantren sebagai pendidikan alternatif salah satunya terletak pada kemampuannya menyumbangkan pembangunan mental spiritual melalui pemberian ruang yang cukup untuk emotionalization of religious feeling yang diekspresikan secara intelektual.


(28)

Dalam prespektif sosiologis, lembaga pendidikan pesantren dapat dilihat sebagai salah satu agen sosialisasi. Sosialisasi mengacu pada proses belajar seorang individu yang akan mengubah dari seseorang yang tidak tahu tentang diri dan lingkungannya menjadi lebih tahu dan memahami. Sosialisasi merupakan proses di mana seseorang menghayati norma-norma kelompoknya, sehingga timbullah diri yang unik, karena pada awal kehidupan tidak ditemukan apa yang disebut dengan diri. Berdasarkan jenisnya, sosialisasi dibagi menjadi dua, yaitu sosialisasi primer (di dalam keluarga) dan sosialisasi sekunder (di dalam masyarakat).

Menurut Goffman kedua proses tersebut berlangsung dalam institusi total, yaitu tempat tinggal dan tempat bekerja. Dalam kedua institusi tersebut, terdapat sejumlah individu dalam situasi yang sama, terpisah dari masyarakat luas dalam jangka waktu kurun tertentu, bersama-sama menjalani hidup yang terkukung, dan diatur secara formal. Dalam istilah Berger dan Luckmann, dikenal dengan

resosialisasi dan desosialisasi. Dalam proses resosialisasi, seseorang diberi suatu identitas diri yang baru. Sedangkan dalam proses desosialisasi, seseorang mengalami pencabutan identitas diri yang lama.

Institusi dikatakan total, ketika institusi ini membatasi ruang gerak orang-orang di dalamnya pada tiap kesempatan. Mereka tidak bisa melepaskan diri, menghasilkan dan mereproduksi kenormalan didalam institusi sesungguhnya

abnormal itu hanya nampak dari luar (Deleuze, 1988). Seperti itulah, institusitotal sebagai organisasi yang mengatur keseluruhan kehidupan anggotanya. Ciri-ciri institusi total menurut Goffman (1961) antara lain dikendalikan oleh kekuasan (hegemoni) dan memiliki hierarki yang jelas. Contohnya, sekolah asrama yang masih menganut paham pengajaran kuno (disiplin tinggi), kamp konsentrasi, barak militer, institusi pendidikan kedinasan, penjara, pusatrehabilitasi (termasuk di dalamnya rumah sakit jiwa), biara, institusi pemerintah,dan lainnya.

Pondok pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam memiliki kriteria institusi total yang dikatakan oleh Goffman terutama pesatren yang masih menerapkan sistem tradisional. Menurut Goffman tampilan institusi total dapat dideskripsikan ke dalam beberapa tingkatan, yaitu: pertama, semua aspek-aspek kehidupan dilakukan di tempat yang sama dan dalam pengawasan tunggal yang


(29)

sama. Kedua, masing-masing anggota melakukan aktivitas yang sama dan cenderung memiliki pemikiran yang sama. Ketiga, seluruh rangkaian kehidupan sehari-hari terjadwal secara ketat, dalam keseluruhan urutan yang diawasi oleh sistem/organisasi dan pengawas formal. Keempat, berbagai aktivitas dipaksa dan diarahkan bersama-sama ke dalam rencana tunggal untuk memenuhi tujuan pimpinan institusi. Secara umum pondok pesantren memiliki tampilan yang sesuai dengan institusi total di atas.

Pesantren juga sebagai simpul budaya, sebagai contoh, di Jawa ada seni Robana dengan berzanji dengan berbahasa Arab yang akrab dengan warga pesantren. Iringan musiknya lebih dekat ke lenggam Jawa dengan iringan lenggam Jawa yang mengacu kekerajaan Demak dan Timur Tengah. Di kampung sekitar pesantren juga berkembang Laras Madya yang berisi syair-syair nasehat dan tuntunan budi pekerti Rosulullah dalam bahsa Jawa dengan oringan musik yang lebih dekat dengan lenggam Jawa. Di lingkaran yang lebih luar lagi adalah Rodad, berisi kisah-kisah heroik dari sejarah Islam yang dimainkan para pemuda dengan pakaian warna-warni dengan peluit sebagai alat pemberi aba-aba.

Dalam pesantren juga terdapat istilah religio feodalism atau feodalisme berbaju keagamaan, karena adanya perilaku menghormat kepada kiai sebagai pemegang otoritas di lingkaran itu. Penghormatan itu juga sampai pada keluarganya. Penghormatan itu sebenarnya sebagai bentuk kepercayaan dan mandat agar kiai dan keluarganya tetap teguh dalam mengemban amanah sebagai moderator dinamika nilali-nilai kultural disekelilingnya. Dengan demikian, tudingan akan adanya religio feodalism merupakan penilaian dari luar yang kurang teliti atas mandat masyarakat kepada kiai pesantren sebagai pemuka pendapat.

Dilihat dari perkembangannya, perkembangan pondok pesantren saat ini dapat dibagi menjadi empat kelompok. Pertama, pesantren yang tetap konsisten seperti pesantren zaman dulu, disebut ”salafi”. Kedua, pesantren yang memadukan sistem lama dengan sistem pendidikan sekolah, disebut pesantren “modern”. Ketiga, pesantren yang sebenarnya hanya sekolah biasa tetapi siswanya diasramakan 24 jam. Keempat, pesantren yang tidak mengajarkan ilmu


(30)

agama, karena semangat keagamaan sudah dimasukkan dalam kurikulum sekolah dan kehidupan sehari-hari di asrama. Namun, apapun bentuknya, dinamika pesantren selalu dilandasi oleh interaksi sosial, interaksi keagamaan, dan interaksi edukatif khas, baik internal maupun eksternal (Miftahul. 2010: 25). Sementara, Ditjen Pendis Departemen Agama membagi pesantren ke dalam tiga kategori, pertama Salafiyah (tradisional), kedua, pesantren Ashriyah (modern), dan ketiga, pesantren kombinasi (perpaduan antara tradisional dan modern).

Pesantren sebagai suatu lembaga keagamaan, lembaga pendidikan, sekaligus lembaga budaya yang bercorak tradisional masih banyak dijumpai di Indonesia. Namun dalam perkembangan lembaga pesantren saat ini tidak hanya mengajarkan kitab klasik dan agama, akan tetapi pesantren mengajarkan ilmu umum dan keterampilan. Bahkan di Pondok Pesantren Hidayatullah Medan tidak terdapat pembelajaran kitab-kitab kuning klasik, namun ciri khas pesantren lainnya masih melekat. Dalam pengkategorian oleh Departemen Agama pun Pesantren Hidayatullah Medan digolongkan ke dalam Pesantren Modern.

Dalam Ensiklopedi Islam ciri-ciri pesantren dibedakan menjadi dua macam yaitu ciri khusus dan ciri umum. Ciri khususnya yaitu: (1) hubungan yang akrab antara santri dan kiai, (2) kepatuhan dan ketaatan santri kepada kiai, (3) kehidupan mandiri dan sederhana para santri, (4) semangat gotong-royong dalam suasana penuh persaudaraan, dan (5) kehidupan disiplin dan tirakat para santri.

Agar dapat melaksanakan tugas pendidikan dengan baik, biasanya sebuah pesantren memiliki sarana fisik yang minimal terdiri dari sarana dasar, yaitu masjid atau langgar sebagai pusat kegiatan, rumah tempat tinggal kiai dan keluarganya, pondok tempat tinggal para santri, dan ruang belajar.

Sedangkan ciri umumnya yaitu pesantren memiliki lima elemen pokok yang merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dan berada pada suatu kompleks tersendiri. Lima elemen itu adalah sebagai berikut.

(1) Pondok. Dalam tradisi pesantren, pondok merupakan asrama tempat para santri tinggal bersama dan belajar di bawah bimbingan kiai. Pada umumnya kompleks pesantren dikelilingi pagar sebagai pembatas yang memisahkannya dengan masyarakat umum di sekelilingnya. Tetapi ada pula pesantren yang tidak berbatas.


(31)

Bangunan pondok pada tiap pesantren berbeda-beda, baik kualitas maupun kelengkapannya. Ada pesantren yang didirikan atas biaya kiainya, kegotong-royongan para santri, sumbangan warga masyarakat, atau sumbangan pemerintah. Namun dalam tradisi pesantren ada kesamaan yang umum yaitu kiai yang memimpin pesantren biasanya memiliki kewenangan dan kekuasaan mutlak atas pembangunan dan pengelolaan pondok.

Setiap pesantren memiliki kemampuan yang berbeda-beda dalam membangun pondok yang sangat diperlukan para santrinya, karena kebanyakan mereka datang dari tempat jauh untuk menggali ilmu dari kiai dan menetap di sana dalam waktu yang lama. Jika dalam sebuah pesantren terdapat santri laki-laki dan perempuan, pondok kediaman mereka dipisahkan. Ada pondok khusus bagi laki-laki dan ada pondok khusus bagi perempuan. Tempatnya dibuat berjauhan dan biasanya kedua kelompok ini dipisahkan oleh rumah keluarga kiai, masjid, atau oleh ruang belajar.

(2) Masjid. Dalam struktur pesantren, masjid merupakan unsur dasar yang harus dimiliki pesantren karena merupakan tempat utama yang ideal untuk mendidik dan melatih para santri, khususnya dalam mengerjakan tata cara ibadah. Pengajaran kitab Islam klasik, dan kegiatan kemasyarakatan. Masjid pesantren biasanya dibangun dekat rumah kediaman kiai dan berada di tengah kompleks pesantren.

(3) Pengajaran kitab klasik. Dalam tradisi pesantren, pengajaran kitab Islam klasik lazimnya memakai metode berikut. (a) metode sorogan. Metode

sorogan adalah bentuk belajar mengajar dengan cara kiai hanya menghadapi seorang santri atau sekelompok kecil santri yang masih dalam tingkat dasar. Tata caranya adalah seorang santri menyodorkan sebuah kitab di hadapan kiai, kemudian kiai membacakan beberapa bagian dari kitab itu, lalu murid mengulangi bacaannya di bawah tuntunan kiai sampai santri benar-benar dapat membacanya dengan baik. Santri yang telah menguasai materi pelajarannya akan ditambahkan materi baru, sedangkan yang belum harus mengulanginya lagi. (b) Metode

wetonan dan bandongan. Metode wetonan dan bandongan adalah metode mengajar dengan sistem ceramah. Kiai membaca kitab di hadapan kelompok santri tingkat lanjut dalam jumlah besar pada waktu-waktu tertentu, seperti


(32)

sesudah shalat berjamaah Subuh atau Isya. Di daerah Jawa Barat metode ini dikenal dengan istilah bandongan. Dalam metode ini kiai biasanya membacakan, menerjemahkan, lalu menjelaskan kalimat yang sulit dari suatu kitab, dan para santri menyimak bacaan kiai sambil membuat catatan penjelasan di pinggiran kitabnya. Di daerah luar Jawa metode ini disebut halaqah (Ar.), yakni murid mengelilingi guru yang membahas kitab. (c) Metode Musyawarah. Metode musyawarah adalah sistem belajar dalam bentuk seminar untuk membahas setiap masalah yang berhubungan dengan santri di tingkat tinggi. Metode ini menekankan keaktifan pada pihak santri, yaitu santri harus aktif mempelajari dan mengkaji sendiri buku yang telah ditentukan kiainya. Kiai hanya menyerahkan dan memberi bimbingan seperlunya.

(4) Santri. Jumlah santri dalam sebuah pondok pesantren biasanya dijadikan tolok ukur atas maju mundurnya suatu pesantren. Semakin banyak santrinya, pesantren dinilai semakin maju. Santri ada dua macam, yaitu santri

mukim dan santri kalong. Santri mukim adalah santri yang selama menuntut ilmu tinggal dalam pondok yang disediakan pesantren. Adapun santri kalong adalah santri yang tinggal di luar kompleks pesantren, baik di rumah sendiri maupun di rumah penduduk di sekitar lokasi pesantren.

(5) Kiai. Secara kebahasaan, kiai antara lain berarti “orang yang dipandang alim (pandai) di bidang agama Islam” atau” orang yang memiliki ilmu gaib”. Dalam masyarakat Jawa, kiai sebagai orang yang dianggap menguasai ilmu agama Islam biasanya mengelola dan mengasuh pondok pesantren. Kiai merupakan pilar utama sebuah pesantren, dan kepemimpinannya atas pesantren sangat menentukan, sehingga hidup matinya pesantren banyak ditentukan oleh faktor kiainya.

Dalam perjalanan sejarah Indonesia, pesantren telah memainkan peranan yang besar dalam usaha memperkuat iman, meningkatkan ketakwaan dan membina akhlak mulia, mengembangkan swadaya masyarakat Indonesia, dan ikut mencerdaskan kehidupan bangsa melalui pendidikan informal dan formal yang diselenggarakannya. Secara informal lembaga pesantren di Indonesia telah berfungsi sebagai lingkungan komunitas yang membentuk watak dan kepribadian santri. Pesantren juga telah melaksanakan pendidikan keterampilan melalui kursus


(33)

untuk membekali dan membantu kemandirian para santri dalam kehidupan masa depannya sebagai muslim yang juga dai dan pembina masyarakatnya.

Secara keseluruhan, pesantren selalu dijadikan contoh dan panutan oleh masyarakat dalam segala hal yang dilakukan atau dianjurkan untuk dilaksanakan masyarakat. Keberadaan pesantren di Indonesia telah berperan menjadi potensi yang sangat besar dalam pengembangan masyarakat, terutama masyarakat muslim lapisan menengah ke bawah. Sebagai contohnya adalah Pondok Pesantren Al-Munawwir, Krapyak dan Pesantren Modern IMMIM.

2.3. Konsep Pemberdayaan yang Berbasis Santri

Pesantren sebagai sebuah “institusi budaya” yang lahir atas prakarsa dan inisiatif (tokoh) masyarakat dan bersifat otonom, sejak awal berdirinya merupakan potensi strategis yang ada di tengah kehidupan masyarakat. Kendati kebanyakan pesantren memposisikan dirinya (hanya) sebagai institusi pendidikan dan keagamaan, namun sejak tahun 1970-an beberapa pesantren telah berupaya melakukan reposisi dalam menyikapi berbagai persoalan masyarakat, seperti ekonomi, sosial, dan politik (Aziz, dalam Halim, 2005: 207). Hingga kini pesantren terus berkembang di tengah-tengah masyarakat. Pesantren memiliki cara yang beragam untuk beradaptasi di tengah-tengah perubahan sosial ekonomi yang terjadi.

Pesantren selama ini telah terbukti tangguh menghadapi berbagai tantangan karena kuatnya nilai ajaran agama yang menjadi pijakan dan prinsip kemandirian. Dalam hal pengembangan ekonomi adalah bisa memiliki jiwa dan semangat kewirausahaan (entrepreneurship) yang menjadi signifikan dan strategis bagi pengembangan perekonomian. Pesantren dengan demikian telah menjadi dan selalu menjadi “pelopor” atau pioneer pembangunan (ekonomi) ummat di Indonesia. (Aziz, dalam Halim: 218-219)

Terkait dengan “kemandirian” pesantren seperti dijelaskan di atas, tentu sangat erat kaitannya dengan adanya “pemberdayaan” di pondok pesantren itu sendiri. Menurut Malik (2005: 34) pemberdayaan masyarakat (pesantren) adalah


(34)

serangkaian proses dalam upaya meningkatkan kemampuan masyarakat dalam mencapai kemakmuran dan kesejahteraan. Proses ini dilakukan dengan memfasilitasi masyarakat agara mampu:

1. Menganalisis situasi kehidupan dan segala permasalahan yang dihadapi

2. Mencari pemecahan masalah berdasarkan kemampuan dan keterbatasan yang dimiliki.

3. Membangun usaha dengan segala kemampuan dan sumber daya yang dimiliki. 4. Membangun sistem untuk mengakses sumber daya yang diperlukan.

Pendekatan pemberdayaan masyarakat ini akan mengantarkan masyarakat (pesantren) dalam proses untuk mampu menganalisa masalah dan peluang yang ada, serta mencari jalan keluar sesuai sumber daya yang mereka miliki. Selanjutnya mereka sendiri yang membuat keputusan, rencana, implementasi, serta evaluasi efektifitas kegiatan yang dilakukan. Input utama program ini adalah pengembangan sumber daya manusia, peningkatan pengetahuan dan keterampilan, pengurangan sumber daya dari pihak luar, (baik pemerintah ataupun Lembaga Swadaya Masyarakat).

Untuk itulah perlu dibuat garis petunjuk mengenai prinsip dasar pemberdayaan masyarakat di antaranya adalah:

1. Mengutamakan masyarakat, terutama santri, pengasuh atau lembaga ekonomi pondok pesantren.

2. Menciptakan hubungan kerja sama antara masyarakat dan lembaga-lembaga pengembang.

3. Memobilisasi dan optimalisasi penggunaan sumber daya lokal secara keberlanjutan.

4. Mengurangi ketergantungan masyarakat terhadap sistem luar.

5. Membagi kekuasaan dan tanggung jawab masyarakat dalam mengurus persoalannya sendiri.

6. Meningkatkan tingkat keberlanjutan program kemandirian masyarakat.

Gambar 2.1. Bagan Daur Manfaat Program Duroh/Pelatihan (Malik, 2005: 35)


(35)

2.3.1. Potensi Sosial Ekonomi Pondok Pesantren

Berdasarkan Gambar 1.5.2. di atas, maka perlulah untuk mengidentifikasi atau menginventarisasi potensi pondok pesantren sebelum akhirnya melihat lebih jauh proses pemberdayaan yang ada di pondok pesantren.

Aziz (dalam Halim, 2005: 223) memaparkan tiga pilar utama pondok pesantren yaitu kiai-ulama, santri, dan pendidikan sebagai sebuah magnet yang sangat potensial menjadi sumber ekonomi bagi eksistensi dan pengembangan pondok pesantren tersebut. Dalam sumber yang lain, Faozan (2006) juga memaparkan hal yang sama seperti Aziz.

1) Kiai-ulama

Keunikan sekaligus magnet pondok pesantren adalah figur kiai pemimpin pondok pesantren. Andai dalam lingkungan pondok pesantren tersebut terdapat beberapa kiai-ulama, maka keberadaan mereka haruslah tetap mengikuti ritme kiai-ulama sepuh di lingkungan pondok pesantren tersebut.

Dalam masalah ini, muncul faktor yang sangat penting sekaligus sebagai syarat dalam tradisi Islam, yaitu seorang kiai-ulama adalah pemegang ilmu-ilmu doktrinal. Tugas ini tidak dapat dilimpahkan kepada masyarakat umum karena berhubungan dengan kepercayaan bahwa ulama merupakan pewaris nabi. Bila

Hasil program

Investarisi potensi

kemandirian

Proses pemberdayaan Masyarakat


(36)

demikian, bagaimana keunikan kepemimpinan kiai-ulama pondok pesantren ini dapat dipandang sebagai potensi pondok pesantren yang bernilai ekonomis?

Menurut Halim (2005: 299) setidaknya ada tiga jawaban yang dapat diberikan.

Pertama, dengan “menjual” figur kiai-ulama karena kedalaman ilmunya. Artinya, figur seorang kiai-ulama pondok pesantren merupakan magnet (daya tarik) yang luar biasa bagi calon santri, wali santri, dan masyarakat untuk berburu ilmu. Kedalaman ilmu sang kiai-ulama inilah sesungguhnya awal potensi ekonomi itu terbangun.

Hal ini tidak bertujuan untuk konglomerasi ilmu agama, atau mencari keuntungan dari ilmu agama. Tetapi sudah selayaknya orang-orang yang berilmu diberi penghargaan meski tidak selalu berupa materi karena hal itu untuk kemaslahatan pondok pesantren juga.

Kedua, pada umumnya, seorang kiai-ulama adalah tokoh panutan masyarakat dan pemerintah. Ketokohan seorang kiai-ulama ini memunculkan sebuah kepercayaan, dan dari kepercayaan melahirkan akses. Dari sinilah jalur-jalur komunikasi, baik dalam kerangka ekonomis, politis, maupun yang lainnya terbangun dengan sendirinya. Persoalannya bagaimana mengemas kepercayaan yang telah menjadi aset itu dengan moralitas agama? Dalam konteks inilah Kiai-ulama pondok pesantren diuji.

Ketiga, pada umumnya, seorang kiai-ulama, sebelum membangun sebuah pondok pesantren, telah mandiri secara ekonomi, misalnya sebagai petani, pedagang, dan sebagainya. Pada beberapa Ponpes para santri bahkan belajar bertani dan berdagang kepada sang kiai-ulama. Kiai-ulama semacam ini sering menjadi tumpuan keuangan pondok pesantren.

Ini berarti sejak awal kiai-ulama telah mempersiapkan diri secara sungguh-sungguh, tidak hanya dari aspek mental, tetapi juga sosial dan ekonomi. Jiwa dan semangat entrepreneurship inilah yang mendasari kemandirian perekonomian ponpes. Apabila aset dan jiwa entrepreneurship ini dipadukan, maka hasilnya dapat dijadikan dasar membangun tatanan ekonomi pondok pesantren. Ketiga potensi ekonomi kiai-ulama ini apabila diskemakan, dapat tergambar sebagai berikut.


(37)

(Halim, 2005: 226)

2) Santri-Murid

Di lingkungan pesantren terdapat santri dengan berbagai latar belakang kehidupan sosial, ekonomi, dan suku bangsa. Namun keragamaan tersebut relatif dapat disatukan sebagai kesatuan komunitas karena memegang prinsip agama, ideologi, nilai moral, dan tradisi keagamaan yang sama. Komunitas pesantren ini menunjukan kesantrian mereka, sehingga membentuk semacam tradisi yang khas dan hanya dipahami oleh komunitasnya sendiri. (Anas, 2012: 14)

Kehidupan pondok pesantren memberikan beberapa manfaat antara lain: interaksi antara murid dengan guru bisa berjalan secara intensif, memudahkan kontrol terhadap kegiatan murid, pergesekan sesama murid yang memiliki kepentingan sama dalam mencari ilmu, menimbulkan stimulasi atau rangsangan belajar, dan memberi kesempatan yang baik bagi pembiasaan sesuatu. (Hadori, 2010: 92)

Analisis potensi individu santri adalah hal yang perlu dilakukan, para santri tersebut sering mempunyai potensi/bakat bawaan, seperti kemampuan membaca Alquran, kaligrafi, pertukangan, dan sebagainya. Bakat bawaan ini sudah seharusnya selalu dipupuk dan dikembangkan. Karena itulah, ada baiknya bila


(38)

dalam pondok pesantren diterapkan penelusuran potensi/bakat dan minat santri, kemudian dibina dan dilatih.

Dengan demikian, dalam pondok tersebut perlu juga dikembangkan Wadah Apresiasi Potensi Santri (WAPOSI), wadah semacam ini, mungkin sudah ada di beberapa pondok pesantren, tinggal bagaimana mengaturnya supaya produktif. Perlu juga ditambahkan, penggalian potensi diri santri-murid ini merambah pada potensi-potensi, semisal politisi, advokasi, jurnalistik, dan seterusnya. Karenanya, untuk ke depan wajah pondok pesantren menjadi semakin kaya ragam dan warna. (Halim, 2005: 227)

Hadori (2010) mengatakan bahwa santri haruslah menjadi pribadi yang profesional dan berdaya guna. Masih dalam Hadori (2010: 89), Dhofier mengatakan bahwa santri profesional merupakan komitmen santri yang belajar keilmuan Islam dan umum di pondok pesantren untuk menguasai berbagai keahlian baik ilmu agama maupun umum sebagai bekal hidup di masyarakat nantinya. Sehingga mampu menghadapi persaingan hidup di era yang serba global ini.

Gambar 2.3. Potensi Diri Santri

(Halim, 2005: 227)

Ada beberapa alternatif yang dapat diupayakan oleh pondok pesantren dalam mencetak santrinya, diantaranya adalah: (1) prinsip kehidupan pondok modern, (2) manajemen organisasi yang rapi, (3) sistem pendidikan dan


(39)

pengajaran, (4) kurikulum pondok modern, (5) memberikan berbagai keterampilan bagi santri. (Qomar dalam Hadori, 2010: 91)

3) Pendidikan

Salah satu keunikan pondok pesantren terletak pada sistem pendidikannya yang integral. Lalu bagaimana halnya dengan potensi ekonomi dari pendidikan pesantren ini. Sebagaimana lazimnya pendidikan, di dalamnya pasti ada murid-siswa, guru, sarana, dan prasarana. Dari sisi murid-siswa misalnya, sudah barang tentu dikenai kewajiban membayar syahriah. Untuk kelancaran proses pembelajaran, diperlukan seperangkat buku, kitab, dan alat-alat tulis. Dari sini bisa dikembangkan salah satu unit usaha pondok pesantren yang menyediakan sarana belajar tersebut, semisal toko buku atau kitab, alat tulis, dan foto kofi, belum lagi dari sisi kebutuhan sehari-hari seperti makan minum, air, telepon, asrama, pakaian, dan sebagainya. (Faozan, 2006: 8)


(40)

Gambar 2.4. Potensi Ekonomi Pendidikan Pondok Pesantren

(Halim, 2005: 230)

Apabila ketiga pilar utama ini terpenuhi, pondok pesantren telah memenuhi tiga fungsi utamanya, yaitu: Pertama, sebagai pusat pengkaderan pemikir-pemikir agama (center of excellence). Kedua, sebagai lembaga yang mencetak sumber daya manusia (human resource). Ketiga, sebagai lembaga yang melakukan pemberdayaan pada masyarakat (agent of development). (Faozan, 2006: 9)

2.3.2. Potret Pemberdayaan dan Kemandirian Sosial Ekonomi Pesantren

Dari pemaparan di atas, jelas bahwa pesantren adalah salah satu institusi sosial yang mempunyai potensi ekonomi cukup besar dan sampai saat ini masih belum dimaksimalkan. Hal tersebut terjadi di kebanyakan pesantren seperti hasil penelitian Arifin (2008: 9) di wilayah Kedu. Oleh karena itu penguatan ekonomi pondok pesantren diyakini dapat mempengaruhi ekonomi masyarakat sekitarnya,


(41)

baik di sekitar pondok pesantren maupun di wilayah yang lebih luas lagi di mana pondok pesantren tersebut berada.

Berdasarkan data lapangan yang diperoleh Arifin (2008: 9) usaha ekonomi yang dilakukan pesantren umumnya menyangkut empat hal pokok, yaitu: (a). Pertanian; (b). Peternakan; (c). Koperasi Pesantren; dan (d). Kerajinan.

Keempat usaha yang dilakukan oleh pesantren tersebut, bervariasi antara satu pesantren dengan yang lainnya, tergantung pada luas lahan yang dimiliki dan besar jumlah santri yang ada. Demikian pula mengenai jenis produk pertanian yang dihasilkan juga bervariasi. Namun secara umum produk pertanian yang dihasilkan antara lain meliputi: padi, ketela, sayuran, kedelai, dan jagung. Namun hasil pertanian maupun peternakan pesantren secara umum tidak begitu banyak.

Dilihat dari segi sarana dan prasarana pesantren, maka kelayakan sarana dan prasarana pesantren dapat mengacu pada UU Nomor 4 tahun 1992 tentang perumahan dan permukiman, khususnya Pasal 1 Ayat 5 dan 6. Dalam ketentuan tersebut mencakup dua hal persyaratan kelayakan bagi sebuah pemukiman (pesantren), yaitu prasarana lingkungan dan sarana lingkungan.

Persyaratan pokok, yaitu prasarana lingkungan yang menunjang berfungsinya lingkungan pesantren seperti asrama santri, masjid, musholla, dapur, dan kamar mandi merupakan kebutuhan vital dari keberlangsungan pesantren yang harus ada. Namun, kuantitas dan kualitas dari jenis-jenis prasarana tersebut, dari masing-masing pesantren berbeda-bebeda. hal itu tidak terlepas dari kemampuan pesantren masing-masing dalam pengadaannya. Berdasarkan studi lapangan yang dilakukan oleh Arifin (2008: 13) rata-rata ketersediaan prasarana lingkungan pesantren, seperti tersebut di atas sudah memadai.

Sementara dari sisi sosial kemasyarakatan, pesantren pesantren turut mengembangkan masyarakat sekitar baik dari sisi spriritualitas keagamaan dengan program pembinaan agama terhadap masyarakat, maupun sisi sosial ekonomi seperti hasil penelitian Muchsin (2009) tentang pemberdayaan masyarakat sekitar hutan yang dilakukan oleh pondok pesantren. Dorongan ibadah dalam upaya pemberdayaan masyarakat merupakan dasar bagi para santri dalam kegiatan


(42)

pemberdayaan masyarakat. Para santri ini mewakili kiai dengan tanggung jawab yang tinggi terhadap keberhasilan suatu kegiatan.

Namun demikian, dalam pemberdayaan santri yang sudah mengakar sejak lama tersebut tidak terdapat kelemahan dan kendala. Adapun jika mengacu pada hasil penelitian Malik (2011: 30), masalah terkait pemberdayaan yang dihadapi oleh pondok pesantren di Indonesia pada umumnya adalah sebagai berikut:

1. Kultur di dalam pondok yang sudah terlanjur terekam para calon santri bahwa nyantri di pondok pesantren ya belajar ilmu-ilmu agama.

2. Sumber Daya Manusia pengelola pondok pesantren terhadap usaha bisnis yang benilai ekonomi tinggi sangat terbatas. Cenderung hanya mengelola usaha-usaha tradisional.

3. Fasilitas dan peralatan yang berteknologi terbatas. 4. Dana yang terbatas.

Sementara menurut Suhartini (dalam Halim, 2005: 234), jika mengacu pada peran dan fungsi pondok pesantren dalam usahanya membangun sosial ekonomi umat, setidaknya ada tiga problem mendasar yang harus disadari bersama dan segera dicari solusinya. Ketiga problem tersebut yaitu: Sumber Daya Manusia (SDM), kelembagaan, dan terobosan/inovasi dan networking pondok pesantren yang masih kurang.

Dalam bagian lain, Malik (2011: 30) mengatakan adapun manfaat yang dapat diperoleh dari kegiatan pemberdayaan santri diantaranya:

1. Para santri akan lebih mandiri dan lebih percaya diri, hal ini dikarenakan selain memiliki ilmu agama yang akan disampaikan (dakwahkan) kepada masyarakat, para alumni ini juga mempunyai bekal untuk memenuhi kebutuhan dunia (ekonomi) secara mandiri atau kebutuhan ekonomi tidak lagi menggantungkan kepada orang lain.

2. Pondok pesantren akan lebih mandiri dan cepat berkembang karena sumber dana yang selama ini hanya mengandalkan dari para santri dan para donatur, sekarang mempunyai sumber dana baru.


(43)

3. Pondok pesantren akan lebih mendapat kepercayaan dari masyarakat, sehingga dengan demikian akan meningkatkan minat orang tua untuk mendaftarkan anak-anaknya ke pondok pensantren.

2.4. Metode Pendidikan Islam dalam Prespektif Sosiologis

Menurut Durkheim (dalam Maliki, 2008: 92) pendidikan adalah satu kesatuan utuh dari masyarakat secara keseluruhan. Pendidikan sebagai dasar masyarakat menentukan proses alokasi dan distribusi sumber-sumber perubahan. Pendidikan juga dipandang sebagai institusi yang berfungsi sebagai “baby-setting”, yang bertugas agar warga masyarakat tidak ada yang memiliki perilaku menyimpang, misalnya menjadi anak jalanan, pengangguran, dan berprilaku

social deviant lainnya. Guna mengemas pendidikan agar memiliki peran seperti itu harus ditetapkan prioritas yang tepat. Kebijakan penetapan prioritasnya dilakukan berdasar meritokrasi. Semua pada prinsipnya memiliki kesempatan yang sama dalam pengembangan kompetensi, namun prinsip meritokrasi harus diperhatikan. Pendidikan harus bisa memaksimalkan bakat siswa. Pendidikan juga harus didekatkan kepada masyarakat luas.

Dalam sejarah Islam pendidikan sudah berkembang sejak masa Rosulullah. Pendidikan pada masa Rasulullah (661-632 M) dapat dibedakan menjadi dua periode: periode Makkah dan Madinah. Pada periode pertama sistem pendidikan Islam lebih bertumpu kepada nabi. Bahkan tidak ada yang mempunyai kewenangan untuk memberikan atau menentukan materi-materi pendidikan, selain nabi. Nabi melakukan pendidikan secara sembunyi-sembunyi terutama kepada keluarganya, kemudian setelah turun perintah, barulah dengan berpidato di tempat-tempat yang ramai dikunjungi orang. Sedangkan materinya hanya berkisar pada ayat-ayat Alquran sejumlah 93 surat dan petunjuk-petunjuknya.

Pada periode Madinah, usaha pendidikan nabi yang pertama adalah mendirikan “institusi” masjid. Secara umum, materi pendidikan berkisar pada empat bidang: keagamaan, akhlak, kesehatan jasmani, dan pengetahuan yang bersifat kemasyarakatan. Usaha pendidikan lain yaitu dengan memberikan bebas


(44)

bersyarat kepada tawanan perang Badar, tawanan perang dibebaskan jika berhasil mengajari baca tulis sepuluh orang anak kaum muslim sampai bisa.

Berikutnya pada masa Khulafa Alrasyidin (632-661 M) sistem pendidikan dilakukan secara mandiri, tidak dikelola oleh pemerintah, kecuali pada masa khalifah Umar ibn Khattab yang turut campur dalam menambahkan kurikulum di lembaga khuttab. Para sahabat yang memiliki pengetahuan keagamaan membuka majelis pendidikan masing-masing. Menurut Mahmud Yunus, ketika peserta didik selesai mengikuti pendidikan di khuttab mereka melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih “tinggi”, yakni di masjid.

Pada masa dinasti Umayyah (661-750 M) hampir sama dengan masa Khulafa Alrasyidin, tidak ada perkembangan berarti dan hampir tidak ada kebijakan pemerintah di bidang pendidikan. Kemudian pada masa dinasti Abbasiyah (750-1258 M) ada tujuh jenis lembaga pendidikan yang telah berdiri yaitu (a) lembaga pendidikan dasar, (b) lembaga pendidikan masjid, (c) kedai pedagang kitab, (d) tempat tinggal para sarjana, (e) sanggar seni dan sastra, (f) perpustakaan, dan (g) lembaga pendidikan sekolah. Semua institusi itu memiliki karakteristik tersendiri dan kajiannya masing-masing.

Dengan demikian, menurut Suwendi (2004), pendidikan Islam memiliki karakteristiknya masing-masing pada setiap periodisasi, karakteristik itu agaknya dipengaruhi oleh tujuan pendidikan pada masanya. Pada masa nabi hingga Bani Umayyah, misalnya, terlihat adanya tujuan pendidikan untuk keagamaan an sich.

Sedangkan pada masa Abbasiyah yang wilayah kekuasaan Islamnya semakin jauh dan problematika serta perkembangan peradabannya yang cukup tinggi, tujuan pendidikannya tidak hanya sekedar untuk keagamaan semata, tetapi juga tampaknya memiliki kepentingan lain, seperti kepentingan ekonomi dan kepentingan kelompoknya.

Dalam perkembangannya, juga telah muncul beberapa tokoh ahli pendidikan Islam yang konsep-konsep pendidikannya berupa buku-buku secara utuh atau menjadi bagian dari tulisan lain seperti Ibn. Khaldun (1405 M) yang menuangkan pemikiran kependidikannya dalam Mukadimah; al-Nawawi ( 1278


(1)

DAFTAR PUSTAKA

Armando, Nina M. at all. 2005. Ensiklopedi Islam (Edisi Baru). Jilid 8. Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve.

Azra, Azyumardi. 2001. Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru. Jakarta: Penerbit Kalimah.

Aziz, Moh. 2005. Model-model Pemberdayaan. Jakarta: LKiS Pelangi Aksara.

Budiman, Arief. 2000. Teori Pembangunan Dunia Ketiga. Jakarta: Gramedia.

Bungin, Burhan. 2007. Penelitian Kualitatif. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.

Halim A., et all. 2005. Manajemen Pesantren. Yogyakarta: Pustaka Pesantren.

Huda, Saiful, et. all. 2003. Mengagas Pesantren Masa depan; Geliat Santri Untuk Indonesia baru. Yogyakarta: Qirtas.

Ife, Jim. 2008. Community Development ( Alternatif Pengembangan Masyarakat di Era

Globalisasi).Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Kusnadi. 2006. Filosopi Pemberdayaan Masyarakat Pesisir. Bandung: Humaniora.

Malik, Jamaludin (ed). 2005. Pemberdayaan Pesantren Menuju Kemandirian dan Profesionalisme Santri dengan Metode Dauroh Kebudayaan. Jakarta: Pustaka Pesantren.

Maliki, Zainudin. 2008. Sosiologi Pendidikan. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.

Moleong, Lexy. 2006. Metode penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya.


(2)

Pip Jones. 2009. Pengantar Teori-Teori Sosial; dari Teori Fungsionalism hingga Post-modernism. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Qomar, Mujamil. 2005. Pesantren Dari Transformasi Metodologi Menuju Demokratisasi Institusi. Jakarta: Erlangga.

Rahardjo, Dawam M (ed). 1988. Pesantren dan Pembaharuan. Jakarta: LP3ES.

Setiawan, Danny. 2011. Pemberdayaan Masyarakat Desa. Wajah Desa Kita. Bandung: Pusat Kajian Pemberdayaan Desa.

So, Alvin Y. 1990. Perubahan Sosial dan pembangunan. Honolulu: LP3ES.

Sunarto. Kamanto. 2004. Pengantar Sosiologi (edisi revisi). Jakarta: Lembaga Penerbitan Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.

Suwendi. 2004. Sejarah dan Pemikiran Pendidikan Islam. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.

Suwito, dkk. 2005. Sejarah Sosial Pendidikan Islam. Edisi pertama, cetakan ke-2. Jakarta: kencana pernada media group.

Tim Penyusun IAIN Syarif Hidayatullah.1992. Ensiklopedia Islam Indonesia. Jakarta: Djambatan.

Wahid, Abdurrahman. 2001. Menggerakkan Tradisi: Esai-Esai Pesantren. Yogyakarta: LkiS.

Wahid, Marzuki et. all. 2001. Pesantren Masa Depan Wacana Pemberdayaan dan Transformasi Pesantren. Yogyakarta: Pustaka Hidayah.

Yasmadi. 2005. Moderenisasi Pesantren (Edisi Revisi). Jakarta: Quantum Teaching.


(3)

Anas, Ali. 2012. Peran pesantren dalam Pemberdayaan Masyarakat. (Online)

Andriani, Dini. 2008. Pengembangan Kelembagaan Pesantren sebagai Upaya Pengembangan Masyarakat (Studi Kasus Pondok Pesantren Miftahulhuda Al-Musri’ Desa Kertajaya Kecamatan Ciranjang Kabupaten Cianjur, Jawa Barat). Skripsi (S1) Tidak Diterbitkan. Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat Fakultas Ekologi Manusia Institut Pertanian Bogor.

Anonim. Revitalisasi Peran Pesantren (Pesantren sebagai “Pabrik” Visioner Penyiapan Alumni/Mahasiswa Indonesia Timur-Tengah yang Berkompetensi dan Berdaya-saing),

(http://www.dikti.go.id/index.php?option=com_docman&task =doc download&gid=305&Itemid=163 diakses 5 Mei 2012)

Arifin, Saru, D. Agus Harijito, Suparwoko. 2008. Studi Potensi Ekonomi dan Kebutuhan Pondok Pesantren Se Karesidenan Kedu Jawa Tengah. Jurnal

Penelitian & Pengabdian. (Online

Agustus 2012)

Azhari, Tengku. 2004. Lembaga Pendidikan Islam dan Internet (Studi pada Pondok Pesantren Darul Arafah, Desa Lau Bakeri, Kecamatan Kutalimbaru Deli Serdang Sumatera Utara). Skripsi (S1) Tidak Diterbitkan. Departemen Sosiologi Universitas Sumatera Utara.

Faozan, Ahmad. 2006. Pondok Pesantren dan Pemberdayaan Ekonomi. Ibda’ Jurnal Studi Islam dan Budaya Purwokerto: Pc3M STAIN Purwokerto. 4(1): 88-102.

Hadori. 2010. Pengembangan Sistem Pendidikan Pondok Pesantren dalam Mencetak Santri Profesional (Studi Kasus di Pondok Pesantren An-Nur II Al-Murtaldo Buluwang, Malang). Skripsi (S1) Tidak Diterbitkan. Program


(4)

Studi Pendidikan Islam Jurusan Pendidikan Agama Islam Fakultas Tarbiyah Universitas Islam Negeri (UIN) Maulana Malik Ibrahim Malang.

Huda, Miftahul. 2009. Fundraising Wakaf dan Kemandirian Pesantren (Strategi Nazhir Wakaf Pesantren dalam Menggalang Sumber Daya Wakaf). Makalah disajikan dalam The 9th Annual Conference on Islamic Studies (ACIS), Surakarta. 2-5 November 2009.

Hutomo, Mardi Yatmo. 2010. Pemberdayaan Masyarakat dalam Bidang Ekonomi: Tinjauan Teoritik dan Implementasi. (online)

Isnaini, Muhammad. Tanpa Tahun. Pendidikan Islam dalam Konteks Pasar dan Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat (Studi Peran Pesantren Salafiyah dan Moderen di Indonesia). Jurnal Pembangunan Manusia, (Online) (http://www.balitbangdasumsel .net

Malik, Abdul, et. all. Mei 2011. Peningkatan Kemandirian Santri dan Pondok Pesantren Nurul Falah Muhammadiyah Melalui Penerapan Pengelolaan Usaha Teknologi Pertania. Jurnal Dedikasi. 8: 29-36.

/data/download/3bab1.pdf diakses 5 Mei 2012)

Muchsin, M. Bashori, Yuli Andi Gani, dan M. Irfan Islamy. April 2009. Upaya Pondok Pesantren dalam Pemberdayaan Masyarakat Sekitar Hutan. Wacana. 12(2): 1-26

Slamet, Margono. 2012. Pemberdayaan Sumberdaya Manusia adalah Kunci Penting untuk Meraih Mutu Organisasi. (online) Diakses 14 September 2012)

Shodiq, Moh. Ja’far. 2007. Peranan Pembelajaran Kitab Kuning terhadap Akhlak Santri di Pondok Pesantren Miftahul Huda Mojosari Kepanjen Malang. Skripsi (S1) Tidak Dierbitkan. Jurusan Pendidikan Agama Islam Fakultas Tarbiyah Universitas Islam Negeri (UIN) Malang.

Tasbichah, Ummi. 2011. Hubungan Kapital Sosial dengan Tingkat Partisipasi Santri Dalam Program Pertanian Pesantren (Kasus: Pesantren


(5)

Al-Ashriyyah Nurul Iman, Kecamatan Parung, Kabupaten Bogor, Jawa Barat). Skripsi (S1) Tidak Diterbitkan. Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat Fakultas Ekologi Manusia Institut Pertanian Bogor.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional

Walsh, Mayra. 2002. Pondok Pesantren dan Ajaran Golongan Islam Ekstrim (Studi Kasus di Pondok Pesantren Modern Putri ‘Darur Ridwan’ Parangharjo, Banyuwangi), (Studi Lapangan) Tidak Diterbitkan. ACICIS Program. Fakultas Ilmu Sosial Dan Politik Universitas Muhammadiyah Malang.

Sumber lainnya:

Baitul Maal Hidayatullah (online). Ternak Untuk Kemandirian Pesantren.

Fajar News (Online), 8 Januari 2011. Biayanya Relatif Mahal, Diminati Orang Berduit Asal Sulsel. http://news.fajar.co.id diakses 1 Mei 2012 pukul 15.00 WIB.

Hilmi dan Agung. 12 Mei 2011. Mengunjungi Pesantren Al-Zaytun bersama Menag, Ketika gencar dituduh Markas NII. Radar Lampung (Online).

April 2012 pukul 20.56 WIB.

Syafaat, Ibnu. Jumlah Santri di Indonesia Terus Bertambah. 21 Juli 2011


(6)

Manajemen Pembiayaan Pendidikan pada Pesantren, (http://repository.upi.edu /operator/upload/t_adp__019482_chapter1.pdf, diakses 17 Mei 2013)