Pengelolaan Filantropi Berbasis Pemberdayaan Masyarakat (Studi Kasus Pada Rumah Zakat Cabang Medan)

(1)

1

PENGELOLAAN FILANTROPI BERBASIS PEMBERDAYAAN

MASYARAKAT

(Studi Kasus Pada Rumah Zakat Cabang Medan)

SKRIPSI

Diajukan untuk melengkapi tugas dan memenuhi syarat mencapai gelar Sarjana Sosial

MARTHA FITRIYANTI SIREGAR

070905006

DEPARTEMEN ANTROPOLOGI

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2011


(2)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

HALAMAN PERSETUJUAN

Nama : Martha Fitriyanti Siregar NIM : 070905006

Departemen : Antropologi

Judul : PENGELOLAAN FILANTROPI BERBASIS

PEMBERDAYAAN MASYARAKAT (Studi Kasus Pada Rumah Zakat Indonesia Cabang Medan)

Medan, April 2011

Pembimbing Skripsi Ketua Departemen

(Dra. Sri Emiyanti, M.Si) (Dr. Fikarwin Zuska) NIP : 19600525 198803 2 002 NIP : 19621220 198903 1 005

Dekan

Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara

(Prof.Dr. Badaruddin, M.Si) NIP : 19680525 199203 1 002


(3)

3

PERNYATAAN ORIGINALITAS

PENGELOLAAN FILANTROPI BERBASIS PEMBERDAYAAN MASYARAKAT (STUDI KASUS PADA RUMAH ZAKAT CABANG

MEDAN)

SKRIPSI

Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam skripsi ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi, dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebut dalam daftar pustaka.

Apabila dikemudian terbukti lain atau tidak seperti yang saya nyatakan di sini, saya bersedia diproses secara hukum dan siap menanggalkan gelar kesarjanaan saya.

Medan, April 2011


(4)

4

ABSTRAK

Martha Fitriyanti Siregar, 2011. Judul Skripsi : Pengelolaan Filantropi Berbasis Pemberdayaan Masyarakat (Studi Kasus Pada Rumah Zakat Cabang Medan). Skripsi ini terdiri dari 6 bab, 145 halaman, dan 17 daftra tabel

Tulisan ini berjudul Pengelolaan Filantropi Berbasis Pemberdayaan Masyarakat (Studi Kasus Pada Rumah Zakat Cabang Medan). Tulisan ini berisi analisis kritis tentang pengelolaan filantropi yang dilakukan Rumah Zakat yang dikembangkan dalam program-program pemberdayaan masyarakat. Penelitian ini dikaji dengan pendekatan kualitatif dan pengumpulan data dilakukan dengan metode observasi partisipasi dan wawancara mendalam menggunakan pedoman wawancara. Hasil penelitian menunjukkan bahwa konteks pemberdayaan masyarakat yang dikembangkan Rumah Zakat belumlah sesuai dengan proses pemberdayaan yang sesungguhnya, yaitu proses pemberdayaan yang membebaskan masyarakat dari kungkungan struktur sosial yang melemahkan kehidupan mereka. Pemberdayaan yang dikembangkan masih berupa program yang meniadakan partisipasi masyarakat.


(5)

5

UCAPAN TERIMA KASIH

Alhamdulillahirabbil’alamin. Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Pengelolaan Filantropi Berbasis

Pemberdayaan Masyarakat (Studi Kasus Pada Rumah Zakat Cabang Medan)” ini dengan baik.

Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih kepada Ibu Dra. Sri Emiyanti, M.Si selaku pembimbing skripsi yang telah banyak memberikan bimbingan, motivasi, arahan, waktu, serta perhatiannya kepada penulis dari mulai penelitian sampai akhirnya penyelesaian skripsi ini. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Abangda Farid Aulia, S.Sos, MSP yang selalu menjadi teman diskusi yang menyenangkan dan selalu memberikan saran dan masukan kepada penulis selama berada di lapangan.

Ibu Dra. Sri Alem Br. Sembiring, M.Si selaku dosen penasehat akademik yang selalu memberikan saran dan motivasi kepada penulis dalam menyelesaikan segala urusan akademis selama masa perkuliahan. Bapak Dr. Fikarwin Zuska, M.Si dan Bapak Drs. Agustrisno, MSP selaku ketua dan sekretaris Departemen Antropologi FISIP USU dan kepada seluruh staf pengajar Departemen Antopologi FISIP USU, serta Kak Nur selaku staf administrasi Departemen Antropologi yang telah banyak memberikan bantuan kepada penulis.


(6)

6 Penulis juga ingin mengucapkan terima kasih kepada Bapak Wahyudi selaku pimpinan Rumah Zakat Cabang Medan yang telah mengizinkan penulis untuk melakukan penelitian dan memfasilitasi penulis selama di lapangan, juga kepada staf Rumah Zakat dan manyarakat desa binaan yang telah banyak memberikan informasi yang sangat penulis butuhkan dalam penyusunan skripsi ini.

Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih kepada Ayahanda Peris Siregar dan Ibunda Lusiana yang telah mencurahkan segala kasih sayang, cinta yang tak terhingga, dan do’a serta dukungan yang tiak pernah terputus kepada penulis, juga kepada saudara-saudara penulis, Sri Roma Yuliarta Siregar, S.Si, Yunianto Schedule Siregar, dan Novia Angelina Siregar, terima kasih atas do’a dan dukungannya.

Secara khusus penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Abangda Fauzi Abdullah atas perhatian, bantuan, dan dukungan moril kepada penulis. Juga kepada sahabat-sahabat terbaik sepanjang masa angkatan 2007, Noona Indri, Kak Hafizah, Rabithah, Azizah, Putri Dewi, Sri Paulina, Risa Febrina, Angelina, Rini Siagian, Anugerah, Edi Surya, dan kawan kawan seperjuangan lainnya yang tidak penulis cantumkan, terima kasih atas bantuannya. Ucapan terima kasih juga penulis hanturkan untuk teman-teman partner belajar angkatan 2005, 2006, dan 2008, serta segala bantuan dari semua pihak yang turut mendukung, dan penulis tidak dapat menyebutkan nama satu persatu, penulis mengucapkan banyak terima kasih.


(7)

7

RIWAYAT HIDUP

Martha Fitriyanti Siregar, akrab dipanggil Martha, lahir pada tanggal 19 Mei 1989 di Bontang, Kalimantan Timur, anak ketiga dari empat bersaudara dari pasangan Peris Siregar dan Lusiana. Saai ini aktif sebagai anggota Unit Kegiatan Mahasiswa Islam Ad-Dakwah USU dan As-Siyasah FISIP USU. Penulis merupakan pengurus INSAN dan pernah menjabat sebagai Ketua Sie Rohani Islam selama satu tahun.

Penulis telah menyelesaikan pendidikan Sekolah Dasar dan Sekolah Menengah Pertama di Perguruan Cikini Kiani Mangkajang, Kalimantan Timur. Penulis melanjutkan pendidikan SMA selama satu tahun di SMA Plus Berau, Kalimantan Timur dan menyelesaikan pendidikan SMA dua tahun berikutnya di SMA Negeri 2 Medan, Sumatera Utara.


(8)

8

KATA PENGANTAR

Sebagian besar tulisan ini berisi kajian analisis yang didasarkan pada pengamatan dan pengalaman penulis mengenai pengelolaan filantropi yang difokuskan kepada program pemberdayaan masyarakat. Secara sistematis, kajian difokuskan pada konsep, kebijakan, dan implementasi pengembangan dan pemberdayaan masyarakat yang dilakukan Rumah Zakat sebagai Lembaga Amil Zakat. Pembahasan konsep tidak terlepas dari konsep-konsep pengembangan masyarakat sebagai sebuah proses dan pemberdayaan yang melibatkan masyarakat sebagai subjek perubahan.

Pengembangan dan pemberdayaan masyarakat akhir-akhir ini menjadi isu yang cukup relevan untuk diperbincangkan seiring dengan menguatnya kesadaran masyarakat untuk mengambil peran secara lebih partisipatif dalam proses pembangunan. Sejalan dengan semangat paradigma pembangunan di era otonomi yang mengakui kesetaraan sector masyarakat dengan sector Negara dan swasta sebagai stakeholders pembangunan, maka aksi-aksi pengembangan dan pemberdayaan masyarakat menjadi signifikan dilakukan. Rumah Zakat sebagai Lembaga Amil Zakat Nasional telah membuktikannya dengan memasukkan agenda pemberdayaan masyarakat sebagai visinya.


(9)

9 Hadirnya tulisan ini diharapkan bisa menjadi teman dialog yang baik bagi para pembaca sekaligus menambah referensi dalam memahami persoalan pengembangan dan pemberdayaan masyarakat. Akhirnya, tak ada gading yang tak retak. Penulis menyadari betul bahwa sebagai sebuah pembacaan, apa yang tertulis dalam tulisan ini masih jauh dari sempurna. Di dalamnya masih banyak kekurangan dan (mungkin) kesalahan. Oleh karena itu, penulis sangat mengharapkan saran, koreksi, dan kritik dari para pembaca yang bersifat membangun demi kesempurnaan skripsi ini nantinya. Demikian pengantar dari penulis. Semoga dapat bermanfaat untuk para pembaca. Amin Ya Rabbal’Alamin.


(10)

10

DAFTAR ISI

HALAMAN PERSETUJUAN HALAMAN PENGESAHAN

Halaman

PERNYATAAN ORIGINALITAS i

ABSTRAK ii

UCAPAN TERIMA KASIH iii

RIWAYAT HIDUP v

KATA PENGANTAR vi

DAFTAR ISI viii

BAB I PENDAHULUAN 1

1.1 Masalah dan Latar Belakang 1

1.2 Tinjauan Pustaka 6

1.3 Perumusan Masalah 25

1.4 Ruang Lingkup 25


(11)

11

1.6 Metode Penelitian 27

1.6.1 Rancangan Penelitian 27

1.6.2 Informan Penelitian 27

1.6.3 Teknik Pengumpulan Data 28

1.6.4 Teknik Analisis Data 30

1.7 Lokasi Penelitian 31

BAB II KONTEKS PENELITIAN 32

2.1 Sejarah Rumah Zakat 32

2.2 Sejarah Rumah Zakat Cabang Medan 42

2.3 Visi dan Misi Rumah Zakat 43

2.3.1 Visi Rumah Zakat 43

2.3.2 Misi Rumah Zakat 44

2.4 Budaya Organisasi Rumah Zakat 45

2.5 Lambang Rumah Zakat 46

2.6 Integrated Community Development (ICD) Rumah Zakat 47 2.7 Struktur Organisasi Rumah Zakat Cabang Medan 50

BAB III PENGELOLAAN FILANTROPI RUMAH ZAKAT 52 CABANG MEDAN

3.1 Penggalangan Dana Rumah Zakat Cabang Medan 57

3.2 Penghimpunan Dana 63

3.3 Pendistribusian Dana 70

3.3.1 Program Senyum Sehat 73


(12)

12

3.3.3 Program Senyum Mandiri 98

BAB IV PEMBERDAYAAN MASYARAKAT YANG 108 DILAKUKAN RUMAH ZAKAT

4.1 Bentuk Pemberian Bantuan Kepada Masyarakat 110 4.2 Pendampingan Masyarakat Binaan 119 4.3 Penentuan Kemandirian Anggota Rumah Zakat 121 4.4 Intervensi Untuk Mencapai Kemandirian Masyarakat 123 4.5 Berakhirnya Bantuan Rumah Zakat 125

BAB V ANALISIS KRITIS TERHADAP PROGRAM 127 PEMBERDAYAAN RUMAH ZAKAT

5.1 Pemberdayaan Masyarakat Sebagai Misi Rumah Zakat 128 5.2 Rumah Zakat Sebagai Organisasi Sentralistik 130 5.3 Program-Program yang Dilakukan Rumah Zakat 133 5.4 Partisipasi Masyarakat dalam Program Rumah Zakat 137

BAB VI PENUTUP 139

6.1 Kesimpulan 139

6.2 Saran 141

DAFTAR PUSTAKA 143


(13)

4

ABSTRAK

Martha Fitriyanti Siregar, 2011. Judul Skripsi : Pengelolaan Filantropi Berbasis Pemberdayaan Masyarakat (Studi Kasus Pada Rumah Zakat Cabang Medan). Skripsi ini terdiri dari 6 bab, 145 halaman, dan 17 daftra tabel

Tulisan ini berjudul Pengelolaan Filantropi Berbasis Pemberdayaan Masyarakat (Studi Kasus Pada Rumah Zakat Cabang Medan). Tulisan ini berisi analisis kritis tentang pengelolaan filantropi yang dilakukan Rumah Zakat yang dikembangkan dalam program-program pemberdayaan masyarakat. Penelitian ini dikaji dengan pendekatan kualitatif dan pengumpulan data dilakukan dengan metode observasi partisipasi dan wawancara mendalam menggunakan pedoman wawancara. Hasil penelitian menunjukkan bahwa konteks pemberdayaan masyarakat yang dikembangkan Rumah Zakat belumlah sesuai dengan proses pemberdayaan yang sesungguhnya, yaitu proses pemberdayaan yang membebaskan masyarakat dari kungkungan struktur sosial yang melemahkan kehidupan mereka. Pemberdayaan yang dikembangkan masih berupa program yang meniadakan partisipasi masyarakat.


(14)

13

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1Masalah dan Latar Belakang

Krisis ekonomi yang melanda Indonesia sejak tahun 1997, tidak saja menyudahi kekuasaan Soeharto dan rezimnya pada pertengahan 1998, tetapi juga menempati Indonesia ke dalam masa-masa sulit. Angka kemiskinan meningkat tajam, pengangguran membengkak, kualitas pendidikan menurun, pelayanan sosial semakin buruk, kekurangan gizi pada balita, kriminalitas meningkat, kerusuhan dan konflik sosial terjadi di beberapa wilayah di tanah air (Bamualim dalam Prihatna, 2005; 13).

Akibat-akibat yang muncul dari krisis ekonomi saat ini sudah merambah dalam berbagai strata masyarakat. Banyak masyarakat yang tidak mampu memenuhi kebutuhan sandang, pangan, dan papan. Persoalan ini membuat negeri


(15)

14 ini semakin sulit keluar dari masalah kemiskinan. Upaya untuk menyelesaikan masalah kemiskinan telah dilakukan pemerintah dengan bebagai program, mulai dari Jaring Pengaman Sosial (JPS), Bantuan Langsung Tunai (BLT), dan Bantuan Operasional Sekolah (BOS). Di samping itu, juga ada Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM), misalnya Program Pengembangan Kecamatan (PPK), program penanggulangan kemiskinan di perkotaan, dan program-program lainnya (Wajdi, 2007; 1).

Namun, berbagai program penanggulangan kemiskinan yang dijalankan pemerintah ini ternyata belum efektif untuk menekan jumlah penduduk miskin. Hal ini terbukti dengan tingginya angka putus sekolah dan buta huruf. Hingga tahun 2006, penderita buta aksara di Jawa Barat misalnya mencapai jumlah 1,5 juta orang. Dari jumlah itu, 23 % diantaranya berada dalam usia produktif antara 15-44 tahun. Belum lagi tingkat pengangguran yanag meningkat. Jumlah pengangguran terbuka tahun 2007 di Indonesia sebanyak 12,7 juta orang. Ditambah lagi kasus gizi buruk yang tinggi, kelaparan dan busung lapar, dan rakyat yang makan nasi aking. Data BPS Propinsi Sumatera Utara menunjukkan peningkatan angka kemiskinan sebesar 15,66 % dibanding tahun 2004. Jumlah masyarakat miskin tahun 2006 sebanyak 1.979.702 orang. Angka ini jauh lebih besar dibanding tahun 2004 sebanyak 1.806.060 orang (Ghopur, 2010; 1).

Kegagalan pemerintah dalam menyejahterakan masyarakat, terutama masyarakat yang berada di lapisan bawah, tidak terlepas dari program-program pembangunan pro-pertumbuhan yang meyakini terjadinya trickle down effect (efek tetesan ke bawah). Hal ini terjadi karena program-program pemerintah yang


(16)

pro-15 pertumbuhan tidak berdampak besar dalam perbaikan kondisi sosial ekonomi masyarakat. Akibat yang ditimbulkan adalah masyarakat miskin tetap miskin, bahkan ada yang bertambah miskin, sedangkan kelompok masyarakat yang kaya bertambah kaya (Zubaedi, 2007; 96).

Dalam kondisi seperti ini, seharusnya negaralah yang paling bertanggung jawab terhadap langgengnya fenomena kemiskinan yang ada sekarang ini. Kegagalan pemerintah dalam memfasilitasi pemenuhan kebutuhan masyarakat perlu mendapatkan perhatian. Aziz (2009; 2) mengatakan di titik inilah, negara sangat membutuhkan “aktor” lain yang bisa membantunya memecahkan masalah kemiskinan. Di sinilah peran filantropi dibutuhkan.

Filantropi telah dikenal di setiap kebudayaan umat manusia sepanjang sejarah. Di Indonesia, tradisi ini telah menjadi kebiasaan masyarakat Indonesia dan dikenal di berbagai etnis dengan bentuk dan nama yang berbeda. Tradisi ini merupakan wujud dari ajaran agama dan nilai-nilai budaya yang sudah mengakar sejak ratusan tahun yang lalu. Setiap agama dan kebudayaan pasti mengajarkan setiap umatnya untuk senantiasa menolong manusia lain yang membutuhkan bantuan. Apalagi dengan situasi krisis moneter yang sampai kini masih terasa dan berbagai bencana alam yang datang silih berganti telah menggairahkan dunia filantropi di Indonesia.

Bantuan yang diberikan dapat berupa bantuan tenaga maupun bantuan materil. Maka dari itu, bermunculan organisasi-organisasi massa dari berbagai etnis dan agama yang bertugas untuk mengumpulkan dana filantropi. Dana yang telah terkumpul kemudian disalurkan kepada orang yang membutuhkan. Di


(17)

16 Indonesia, dana filantropi terbesar diperoleh dari filantropi Islam. Hal ini dikarenakan sebagian besar masyarakat Indonesia adalah kaum muslim. Praktek-praktek filantropi Islam telah berakar kuat dalam bentuk zakat, infak, sedekah, dan wakaf (Aziz, 2009; 3). Khusus untuk filantropi Islam, telah banyak lahir sejumlah organisasi filantropi. Bila dulu kita hanya mengenal Badan Amil Zakat, kini aktivitas itu menjadi terstruktur dalam banyak lembaga yang profesional, misal Dompet Dhuafa (DD), Pos Keadilan peduli Umat (PKPU), Rumah Zakat, Tabung Wakaf, dan sebagainya.

Hasil survei Center for the Study of Religion and Culture (CSRC) UIN Jakarta (2004) menunjukkan bahwa potensi dana filantropi Islam (zakat, infak, dan sedekah) yang terkumpul dalam setahunnya mencapai Rp 19,3 triliun. Namun, dana itu ternyata tidak mampu digunakan untuk mengentaskan kemiskinan. Bahkan, justru menciptakan ketergantungan dan melestarikan kemiskinan itu sendiri. Bahkan asset wakaf yang bernilai 590 trilyun ternyata 80% hanya digunakan untuk masjid dan pekuburan. Masih menurut penelitian CSRC, jumlah dana Rp 19,3 triliun hanya 5-7 persen yang dapat diterima dan dimanfaatkan oleh lembaga-lembaga filantropi modern, dan selebihnya tidak. Setidaknya ada beberapa faktor kenapa dana filantropi Islam itu belum mampu menjawab problem masyarakat. Yang paling utama adalah praktik filantropi Islam di Indonesia masih sangat tradisional. Tradisional dalam artian masih banyaknya dana filantropi yang diberikan secara langsung kepada fakir-miskin, peminta-minta, dan keluarga tak mampu (Sajad, 2009; 1).


(18)

17 Praktik demikian tidak memberdayakan masyarakat dan malah membuat ketergantungan, karena sama saja dengan memberi ikan kepada orang yang lapar, tetapi tidak memberikan kailnya. Dengan kata lain, dana filantropi Islam secara umum masih berorientasi konsumtif, sehingga tidak berfungsi menyelesaikan kemiskinan masyarakat. Oleh karena itu, untuk mengurangi kemiskinan, dana filantropi Islam harus diorientasikan menjadi lebih produktif sehingga mempunyai efek jangka panjang, dan memberdayakan (Sajad, 2009; 1).

Pemberdayaan zakat telah dicontohkan Nabi Muhammad SAW. Beliau pernah memberikan sedekah kepada seorang fakir sebanyak dua dirham, sambil mernberi anjuran agar mempergunakan uang itu satu dirham untuk makan dan satu dirham lagi untuk membeli kampak dan bekerja dengan kampak itu. Lima belas hari kemudian orang ini datang lagi kepada Nabi SAW dan menyampaikan bahwa ia telah bekerja dan berhasil mendapat sepuluh dirham. Dari kisah tersebut dapat dipetik bahwa pemberian sedekah tidak sekadar sampai pada fakir, sunnah Nabi menyarankan agar sedekah dapat membebaskan seorang fakir dari kefakirannya.

Contoh di atas telah banyak menginspirasi berbagai lembaga filantropi Islam untuk melakukan pemberdayaan masyarakat dalam rangka mengelola dana zakat. Misalnya penyaluran dana untuk modal usaha pembuatan home industry, atau usaha lainnya yang telah dilakukan oleh DSNI Amanah. Contoh lain misalnya program pendampingan oleh Masyarakat Mandiri (MM) Dompet Dhuafa. LAZ ini melakukan pendampingan kepada ratusan petani kelapa di Desa Wora-wari, Kec. Kebonagung, Pacitan, Jawa Timur yang menggantungkan hidupnya pada pembuatan gula merah. Melalui pendampingan ini, mereka belajar tentang mutu,


(19)

18 jenis produk kelapa dan juga tentang pengembangan pasar. Pendampingan yang dilakukan oleh MM ini adalah salah satu bentuk cara mengoptimalkan penggunaan dana zakat, infak dan sedekah (Muhammad, 2008; 1).

Salah satu lembaga amil zakat di Indonesia adalah Rumah Zakat. Rumah Zakat merupakan sebuah lembaga swadaya masyarakat yang memfokuskan pada pengelolaan zakat, infak, sedekah, dan wakaf secara lebih profesional dengan menitikberatkan program pendidikan, kesehatan, pembinaan komunitas dan pemberdayaan ekonomi sebagai penyaluran program unggulan. Rumah Zakat telah mengembangkan program-program pemberdayaan masyarakat sebagai bentuk pengelolaan zakat yang lebih produktif dan memberdayakan para mustahik. Oleh karena itu, peneliti tertarik untuk meneliti dan mengetahui lebih dalam mengenai bentuk-bentuk dan proses pemberdayaan masyarakat yang dilakukan Rumah Zakat.

1.2Tinjauan Pustaka

Istilah filantropi (philanthropy) berasal dari bahasa Yunani, philos (cinta) dan anthropos (manusia). Secara harfiah, filantropi adalah konseptualisasi dari praktik memberi (giving), pelayanan (sevices) dan asosiasi (association) secara sukarela untuk membantu pihak lain yang membutuhkan sebagai ekspresi rasa cinta. Secara umum, filantropi didefinisikan sebagai tindakan sukarela untuk kepentingan publik (voluntary action for the public goods) (Prihatna, 2005; 3).

Tradisi filantropi telah dikenal di setiap kebudayaan umat manusia sepanjang sejarah. Di Indonesia, tradisi ini telah menjadi kebiasaan masyarakat


(20)

19 Indonesia dan dikenal di berbagai etnis dengan bentuk dan nama yang berbeda. Tradisi ini merupakan wujud dari ajaran agama dan nilai-nilai budaya yang sudah mengakar sejak ratusan tahun yang lalu.

Setiap agama dan kebudayaan pasti mengajarkan setiap umatnya untuk senantiasa menolong manusia lain yang membutuhkan bantuan. Bantuan yang diberikan dapat berupa bantuan tenaga maupun bantuan materiil. Maka dari itu, bermunculan organisasi-organisasi massa dari berbagai etnis dan agama yang bertugas untuk mengumpulkan dana filantropi. Dana yang telah terkumpul kemudian disalurkan kepada orang yang membutuhkan. Di Indonesia, dana filantropi terbesar diperoleh dari filantropi Islam. Hal ini dikarenakan sebagian besar masyarakat Indonesia adalah kaum muslim. Praktek-praktek filantropi Islam telah berakar kuat dalam bentuk zakat, infak, sedekah, dan wakaf.

Dalam ajaran Islam, zakat, infak, sedekah, dan wakaf mengandung pengertian yang sama dan acap kali digunakan secara bergantian untuk maksud yang sama, yaitu berderma. Dalam surat Al-Maidah ayat 60, yang sering dirujuk sebagai ayat tentang kedermawanan, misalnya, tidak menyebut istilah zakat melainkan sadaqah (sedekah). Namun, dalam kehidupan sehari-hari penggunaan istilah zakat, infak, sedekah, dan wakaf mengandung makna yang khusus dan digunakan secara berbeda (Prihatna, 2005; 6).

Zakat sering diartikan sebagai membelanjakan (mengeluarkan) harta dan sifatnya wajib dipenuhi oleh setiap muslim. Sebagai salah satu rukun Islam, zakat menjadi perwujudan ibadah seseorang kepada Allah SWT sekaligus sebagai perwujudan dari rasa kepedulian sosial. Asnaini (2008;1) mengatakan, seseorang


(21)

20 yanag melaksanakan zakat dapat mempererat hubungannya kepada Allah SWT (hablun min Allah) dan hubungan kepada sesama manusia (hablun min annas). Dengan demikian, inti dari ibadah zakat adalah pengabdian sosial dan pengabdian kepada Allah SWT. Harta yang dikeluarkan para penderma dalam rangka berzakat, tidak berdasarkan kerelaan hati, melainkan berdasarkan perhitungan tertentu. Selain itu, para penerima zakat juga telah ditentukan oleh Islam. Sayyid Muhammad Rasyid Ridha berdasarkan surat at Taubah ayat 60, membagi 8 golongan yang berhak menerima zakat, yaitu :

a. Golongan fakir (fuqarā’), yaitu orang yang tidak memiliki pekerjaan dan tidak mampu mencukupi kebutuhan hidupnya.

b. Golongan miskin (masākīn), yaitu orang yang memiliki pekerjaan namun tidak mampu memenuhi kebutuhan hidupnya.

c. Golongan para pegawai zakat (‘āmilīn), yaitu orang yang bekerja untuk mengatur pemungutan dan pembagian zakat.

d. Golongan orang-orang yang perlu dihibur hatinya (mu’alaffati qulūbuhum), yaitu orang yang memerlukan bantuan materi atau keuangan untuk mendekatkan hatinya kepada Islam.

e. Golongan orang-orang yang terikat hutang (ghārimīn), yaitu orang yang tidak menyanggupi untuk membayar hutang.

f. Golongan orang-orang yang terlantar dalam perjalanan (Ibnu al-sabīl), yaitu orang yang memerlukan batuan ongkos untuk pulang ke daerah asalnya. g. Golongan budak (al-Riqāb), yaitu budak biasa yang dengan jatah zakatnya mereka mampu dimerdekakan.


(22)

21 h. Golongan orang –orang yang berjuang atau berperang (fī sabilillah), yaitu orang –orang yang berjuang di jalan Allah.

Infak merupakan amal ibadah kepada Allah dan amal sosial kemasyarakatan dan kemanusiaan dalam wujud menyerahkan sebagian harta yang dimiliki perseorangan atau suatu badan hukum untuk diberikan kepada seseorang atau badan hukum karena suatu kebutuhan (Djatnika (1986) dalam Kurde, 2005; 18). Infak merujuk kepada pemberian yang bukan zakat, yang kadang kala jumlahnya lebih besar dari zakat. Biasanya infak digunakan untuk kepentingan peningkatan kapasitas sarana, misalnya bantuan untuk masjid, madrasah, pondok pesantren, dan rumah sakit.

Sedekah dalam pengetian umum adalah memberikan harta atau nilainya atau manfaatnya kepada yang berhak atau patut diberi, karena perintah Allah dan RasulNya , baik perintah wajib ataupun perintah sunnah, yang merupakan ibadah kepada Allah dan sekaligus merupakan amal sosial kemasyarakatan dan kemanusiaan (Djatnika (1986) dalam Kurde, 2005; 20). Sedekah biasanya dalam jumlah kecil diserahkan kepada fakir miskin, pengemis, pengamen, dan lain-lain. Berbeda dengan zakat, baik infak maupun sedekah keduanya adalah sunnah.

Sementara itu, wakaf, jika mengacu pada hadist otentik, dapat dikategorikan ke dalam infak. Dengan kata lain, konsep infak mencakup wakaf. Namun, perbedaannya terletak pada kekekalan manfaatnya. Sebagian ulama menekankan pemanfaatan hasil wakaf dengan menjaga kekekalannya. Dalam pengertian hukum Islam wakaf adalah melepas kepemilikan atas harta yang dapat bermanfaat dengan tanpa mengurangi bendanya untuk diserahkan kepada


(23)

22 perorangan atau kelompok agar dimanfaatkan untuk tujuan-tujuan yang tidak bertentangan dengan syari’at. Dalam sejarah perkembangan Islam, wakaf berperan penting dalam mendukung pendirian lembaga-lembaga sosial Islam (Prihatna, 2005; 7).

Pengelolaan filantropi Islam dengan manajemen modern telah dilakukan oleh Dompet Dhu’afa. Berbagai strategi Dompet Dhu’afa dalam menghimpun dana memberi implikasi pada jumlah dana yang cenderung meningkat dari tahun ke tahun. Manajemen organisasi Dompet Dhu’afa yang didukung penerapan manajemen modern dengan sendirinya sudah menerapkan konsep organisasi filantropi modern, mulai dari penghimpunan, pendistribusian, dan target sasaran penerima. Peruntukan dananya tidak diberikan hanya untuk kebutuhan tanggap darurat berjangka pendek, tetapi juga dikonsentrasikan bagi upaya pemberdayaan masyarakat untuk rentang waktu jangka panjang (Helmanita, 2005; 116).

Cerminan aktivitas kedermawanan sosial di bidang keagamaan dapat dilihat dari aktivitas pengelolaan dana filantropi Islam Badan Amil Zakat (BAZ) Propinsi Jawa Barat. BAZ Jabar menggalang dana zakat, infak, dan sedekah (ZIS) dengan cara melakukan kerja sama dengan pihak bank, pengurus Dewan Kesejahteraan Masjid (DKM) setempat, dan kantor kecamatan atau kelurahan. Selain itu, BAZ Jabar juga melakukan sosialisasi melalui berbagai media massa, baik cetak maupun elektronik. Melalui berbagai macam cara tersebut, total dana ZIS yang terkumpul (24 Kabupaten) di Propinsi Jawa Barat pada tahun 2002 adalah sebesar Rp 38.850. 909.788,00 (Al-Makassary, 2005; 70).


(24)

23 Dana filantropi yang telah terkumpul yang berasal dari zakat, infak, sedekah, dan wakaf tersebut kemudian dikelola dan disalurkan kepada para mustahiq berdasarkan 8 golongan yang telah disebutkan di atas. Prihatna (2005;3-4) membagi dua bentuk pengelolaan filantropi berdasarkan sifatnya. Pertama, filantropi berbasis karitas (charity) atau yang lebih dikenal sebagai filantropi tradisional. Praktik filantropi ini pada umumnya pemberian dermawan kepada kaum miskin sehingga lebih bersifat individual. Model pengelolaan seperti ini dirasakan cukup membantu orang-orang miskin yang membutuhkan bantuan, namun justru menimbulkan budaya ‘malas’, budaya ‘meminta-minta’, serta jurang pemisah antara si kaya dan si miskin. Kedua, filantropi yang berkeadilan sosial. Dalam konsep filantropi ini, kemiskinan masyarakat lebih disebabkan oleh ketidakadilan dalam alokasi sumber daya dan akses kekuasaan dalam masyarakat. Dalam praktiknya, filantropi ini diharapkan dapat mendorong perubahan struktur dan kebijakan agar berpihak pada masyarakat yang lemah dan minoritas.

Keberpihakan masyarakat terhadap golongan lemah dan minoritas ini merupakan tujuan yang hendak dicapai dalam pengelolaan filantropi. Keberpihakan ini terwujud di dalam aktivitas-aktivitas filantropi yang dilakukan masyarakat, BAZ, LAZ, dan organisasi massa lainnya yang bergerak dalam bidang charity. Tujuan utamanya adalah membebaskan manusia dari ketidakberdayaan dan kemiskinan.

Kemiskinan saat ini merupakan permasalahan yang sangat penting untuk dipecahkan. Amartya Sen medefinisikan kemiskinan sebagai ketiadaan akses berupa informasi, kesehatan, pendidikan, sandang, pangan, dan papan (Saidiman


(25)

24 dalam Zubaedi, 2007; 128). Menurut definisi yang lebih umum, kemiskinan merupakan permasalahan pembangunan sosial yang terkait dengan berbagai bidang pembangunan lainnya yang ditandai dengan pengangguran, keterbelakangan, dan ketidakberdayaan. kemiskinan terbagi atas dua model: pertama, kemiskinan kronis (chronic poverty) atau disebut juga kemiskinan struktural, karena terjadi secara terus-menerus. Kedua, kemiskinan sementara (transient poverty) yang ditandai dengan menurunnya pendapatan dan kesejahteraan masyarakat secara sementara. Kemiskinan ini biasanya menimpa karena terjadi sebuah gejolak sosial, konflik, perang, atau bencara alam (Zubaedi, 2007; 128).

Kemiskinan di Indonesia adalah masalah yang kronis, kompleks, dan multidimensional, artinya kemiskinan tidak saja melibatkan faktor ekonomi, tetapi juga sosial, budaya, dan politik, sehingga kemiskinan tidak semata terkait dengan kesejahteraan sosial (Prayitno, 2000; 82). Prayitno (2000; 84) juga mengemukakan bahwa dalam memahami kesejahteraan sosial, perlu dipahami juga dimensi-dimensi apa saja yang terkait dengan masalah kemiskinan tersebut. Pertama, yang paling jelas, kemiskinan berdimensi ekonomi atau material. Dimensi ini terkait dengan kebutuhan dasar manusia yang bersifat material, pangan, sandang, perumahan, dan kesehatan. Kedua, kemiskinan berdimensi sosial dan budaya. Masyarakat yang secara ekonomi terus menerus digolongkan miskin akan membentuk suatu pola kebudayaan yang disebut sebagai budaya kemiskinan. Budaya kemiskinan ini dapat terlihat dengan terlembaganya nilai-nilai, dimana ketika nilai tidak dihilangkan, maka kemiskinan ekonomi juga sulit untuk dihilangkan. Ketiga, kemiskinan berdimensi struktural atau politik. Kemiskinan ini


(26)

25 terjadi karena orang miskin tidak memiliki sarana untuk terlibat dalam proses politik dan tidak memiliki kekuatan politik, sehingga selalu menduduki struktur sosial yang paling bawah.

Loekman Soetrisno dalam Prayitno (2000; 81) menyebutkan bahwa ada dua pemikiran dalam melihat substansi kemiskinan di Indonesia. Pemikiran pertama adalah bahwa kemiskinan itu pada dasarnya disebabkan oleh campur tangan yang terlalu luas dari negara dalam kehidupan masyarakat. Pemikiran ini menganggap bahwa orang miskin mampu membangun diri sendiri, apabila pemerintah memberi kebebasan bagi masyarakat untuk mengatur diri sendiri. Karenanya, penekanan dari pemikiran ini adalah upaya empowerment masyarakat. Pemikiran kedua mengatakan bahwa orang menjadi miskin karena tidak memiliki ethos kerja yang tinggi, tidak memiliki jiwa wiraswasta, dan tingkat pendidikannya rendah.

Ketidakberdayaan masyarakat sehingga menjadikannya miskin terkait dengan yang digagas oleh Freire sebagai proses dehumanisasi. Proses dehumanisasi terjadi melalui mekanisme kekerasan, baik yang fisik dan dipaksakan, maupun melalui cara-cara halus, dimana keduanya bersifat struktural dan sistemik. Freire dalam Fakih (2006; 31) menjelaskan proses dehumanisasi dengan menganalisis kesadaran manusia terhadap dirinya sendiri. Freire menggolongkan kesadaran manusia ke dalam tiga golongan, pertama, kesadaran magis, yaitu kesadaran yang lebih mengarahkan penyebab masalah dan ketakberdayaan masyarakat dengan faktor-faktor di luar manusia, baik natural maupun super natural. Masyarakat secara dogmatik menerima suatu pembenaran


(27)

26 tanpa memahami makna. Kedua, kesadaran naïf. Kesadaran ini lebih melihat manusia sebagai akar penyebab masalah masyarakat. Dengan demikian, orang miskin ada karena mereka malas, tidak memiliki jiwa kewirausahaan, atau tidak memiliki jiwa pembangunan. Ketiga, kesadaran kritis. Kesadaran ini lebih melihat sistem dan struktur sebagai sumber masalah masyarakat. Kesadaran ini memberi kesempatan kepada masyarakat untuk mampu mengidentifikasi ketidakadilan dalam sistem dan struktur yang ada, kemudian menganalisis bagaimana sistem dan struktur itu bekerja, serta bagaimana mentransformasikannya. Ketiga kesadaran yang disebutkan Freire ini sangat berpengaruh terhadap perkembangan pemberdayaan masyarakat dalam tingkat akar rumput (grassroot).

Berbagai reaksi mulai bermunculan terhadap lemahnya model pembangunan yang pro-pertumbuhan ekonomi. Para ilmuwan berpandangan bahwa model pembangunan ini telah gagal dalam mengatasi problem kemiskinan, menjaga kelestarian lingkungan, serta memecahkan problem sosial yang mengimpit masyarakat.

Pembangunan pro-pertumbuhan ekonomi mulai dikembangkan di Indonesia setelah secara resmi proklamasi kemerdekaan dibacakan. Untuk mengejar ketertinggalan dengan negara-negara maju, pemerintah Indonesia ketika itu mengadopsi sistem kapitalisme dan strategi modernisasi dalam menentukan kebijakan-kebijakan pembangunan. Pemerintah sangat dipengaruhi oleh teori pertumbuhan ekonomi yang dikembangkan oleh Rostow. Menurut Rostow dalam Zubaedi (2007; 170), semakin besar kemampuan produktif masyarakat, semakin besar kekayaan yang dapat dihimpun, dan lama kelamaan kekayaan itu akan


(28)

27 “menetes ke bawah” (trickle down effect). “Tetesan ke bawah” ini diharapkan akan mencapai lapisan rakyat kecil yang berada di pedesaan maupun daerah yang belum sempat dibangun. Secara teoritis, teori Rostow terlihat menarik. Namun, dalam penerapannya, konsep trickle down effect yang diharapkan dapat meningkatkan kemakmuran masyarakat justru tidak terjadi. Hal yang terjadi adalah bertambahnya kekayaan sekelompok orang yang dekat dengan kekuasaan, serta terjadinya peningkatan angka pengangguran, kemiskinan, serta angka migrasi desa kota (Adi, 2008; 11).

Kritik dan kecaman terhadap pembangunan pro-pertumbuhan ekonomi yang telah dinilai gagal dalam upaya menyejahterakan rakyat mengarahkan munculnya suatu pendekatan dan gerakan baru yang mengarah pada pemberdayaan. Gerakan ini diawali dari paradigma pembangunan yang berpusat pada manusia (people centered development) yang diakui sebagai pembangunan alternatif (Sutoro Eko dalam Zubaedi, 2007; 172). Model pembangunan ini menekankan pentingnya pembangunan berbasis masyarakat, berparadigma bottom-up, dan lokalitas. Selain itu, pembangunan alternatif juga menekankan peran aktif masyarakat yang dapat diimplementasikan di dalam program-program pengembangan masyarakat (Zubaedi, 2007; 176).

Pengembangan masyarakat dilakukan dengan tujuan untuk mengembangkan kemampuan masyarakat bawah dalam mengidentifikasi kebutuhan, mendapatkan sumber daya dalam memenuhi kebutuhan, dan memberdayakan mereka (Susan Kenny dalam Zubaedi, 2007; 16). Proses pengembangan masyarakat tidak berpusat pada birokrasi, melainkan berpusat pada


(29)

28 masyarakat atau komunitasnya sendiri. Pemberian kekuasaan pada inisiatif lokal dan partisipasi masyarakat menjadi kata kunci dalam pengembangan masyarakat (Suparjan dan Suyatno, 2003; 21).

Pengembangan masyarakat adalah upaya mengembangkan sebuah kondisi masyarakat secara berkelanjutan dan aktif berlandaskan prinsip-prinsip keadilan sosial dan saling menghargai melalui program-program pembangunan yang menghubungkan seluruh komponen masyarakat (Zubaedi, 2007; 18). FCDL dalam zubaedi juga menambahkan bahwa :

“pengembangan masyarakat menerjemahkan nilai-nilai keterbukaan, persamaan, pertanggungjawaban, kesempatan, pilihan, partisipasi, saling timbal-balik, dan pembelajaran terus menerus. Inti pengembangan masyarakat adalah mendidik dan membuat anggota masyarakat mampu mengerjakan sesuatu dengan memberikan kekuatan atau sarana yang diperlukan dan memberdayakan mereka”

Dalam kaitannya dengan tradisi filantropi, bantuan-bantuan yang bersifat karitas (charity) memang sangat membantu masyarakat miskin yang membutuhkan bantuan. Namun, hal ini justru menimbulkan masalah-masalah sosial lainnya seperti sikap ketergantungan yang besar orang miskin terhadap bantuan yang diberikan, serta menimbulkan budaya malas bagi orang-orang miskin yang selalu mendapatkan bantuan. Berangkat dari hal ini, para ilmuwan sosial mulai mengembangkan bentuk bantuan yang menghindarkan masyarakat dari budaya malas. Salah satu strategi yang dikembangkan adalah dengan memberikan bantuan dalam wujud modal usaha. Hal ini dilakukan untuk membebaskan masyarakat dari rasa ketergantungan dan memberdayakan masyarakat sebagai upaya membebaskan diri mereka dari kemiskinan.


(30)

29 Makna yang terkandung dalam pengembangan masyarakat pada dasarnya tidak sekadar membantu masyarakat dalam menyelesaikan kesulitan yang mereka hadapi, tetapi juga membentuk kemandirian mereka sehingga mampu menyelesaikan pemasalahan mereka sendiri (Suparjan dan Suyatno, 2003; 22). Salah satu upaya masyarakat dilakukan agar kemandirian masyarakat dapat terwujud adalah dengan cara memberdayakan mereka. Konsep pemberdayaan masyarakat berawal dari pandangan yang menempatkan manusia sebagai subyek dari kehidupannya. Gerakan ini menekankan kepada perlunya power dan keberpihakan kepada kelompok atau masyarakat yang tidak berdaya (Zubaedi, 2007; 95).

Pemberdayaan masyarakat merupakan bentuk pembangunan yang berpusat pada rakyat dan ditujukan untuk membangun kemandirian masyarakat. Konsep pemberdayaan masyarakat pada hakikatnya merupakan suatu proses perencanaan pembangunan dengan memusatkan pada partisipasi, kemampuan, dan masyarakat lokal. Oleh karena itu, masyarakat perlu dilibatkan pada setiap tahap pelaksanaan pembangunan dari perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi program yang mereka lakukan (Suparjan da Suyatno, 2007; 24). Shardlow (1998) dalam Adi (2008; 78) melihat bahwa pemberdayaan pada intinya membahas bagaimana individu, kelompok, atau komunitas berusaha mengawasi kehidupan mereka sendiri dan mengusahakan untuk membentuk masa depan sesuai dengan keinginan mereka.

Isitilah “pemberdayaan” diadopsi dari istilah empowerment, yang lahir sebagai bagian dari perkembangan kebudayaan masyarakat. Proses pemberdayaan mengandung dua kecenderungan, yaitu, pertama, kecenderungan primer, yaitu


(31)

30 pemberdayaan yang menekankan proses memberikan kekuatan, kemampuan, kepada masyarakat agar menjadi lebih berdaya. Kedua, kecenderungan sekunder, yaitu pemberdayaan yang menekankan pada proses mendorong atau memotivasi individu agar mempunyai kemampuan menentukan apa yang menjadi pilihan hidupnya. Kedua kecenderungan ini saling berhubungan karena seringkali agar kecenderungan primer dapat terwujud, maka harus melalui kecenderungan sekunder terlebih dahulu (Sutrisno, 2003; 132-133).

Hal yang perlu kita cermati bersama berkaitan dengan upaya pemberdayaan adalah keberadaannya sebagai suatu program atau suatu proses. Sebagai suatu program, pemberdayaan dilihat dari tahapan-tahapan kegiatan guna mencapai suatu tujuan yang sudah ditentukan jangka waktunya. Pemberdayaan model ini banyak terjadi dengan pembangunan berdasarkan proyek-proyek yang dikembangkan oleh lembaga-lembaga pemerintah. Sementara itu, pemberdayaan yang dilihat sebagai proses merupakan proses yang berkesinambungan sepanjang hidup seseorang (on going process). Hogan (2000) melihat pemberdayaan sebagai on going process, dimana proses pemberdayaan individu sebagai suatu proses yang relatif terus berjalan sepanjang usia manusia. Proses pemberdayaan akan berlangsung selama komunitas itu masih tetap ada dan mau berusaha memberdayakan diri mereka sendiri (Adi, 2008; 83-85).

Pemberdayaan masyarakat sebagai suatau proses dirasakan paling efektif. Pendekatan ini menekankan pentingnya merangsang masyarakat untuk mengidentifikasi keinginan-keinginan dan kebutuhan-kebutuhannya sendiri. Selain itu, pendekatan ini menjadikan masyarakat lebih peduli terhadap permasalahan


(32)

31 mereka dengan memberdayakan potensi yang telah dimiliki. Yakub (1983) menilai bahwa upaya pemberdayaan masyarakat umumnya mencakup dua kegiatan penting. Pertama, berupaya membebaskan dan menyadarkan masyarakat. Kegiatan ini sifatnya subyektif dan memihak kepada masyarakat tertindas (dhuafa’) dalam rangka memfasilitasi mereka dalam proses penyadaran. Kedua, pemberdayaan masyarakat menggerakkan partisipasi dan etos swadaya masyarakat (Zubaedi, 2007; 104-105).

Partisipasi masyarakat mutlak diperlukan dalam proses pemberdayaan masyarakat. Pemberdayaan masyarakat harus selalu melihat partisipasi secara maksimal dengan tujuan setiap orang dalam komunitas dapat secara aktif terlibat. Semakin banyak warga masyarakat yang aktif untuk berpartisipasi, maka semakin ideal kepemilikan komunitas dan proses untuk menjadikannya pengembangan masyarakat dapat terealisasikan (Jim Ife dalam Suparjan dan suyatno, 2003; 42). Adanya partisipasi masyarakat memungkinkan mereka memiliki rasa tanggung jawab terhadap keberlanjutan pembangunan. Dengan pendekatan partisipatif, diharapkan partisipasi, potensi, dan kreativitas masyarakat dapat lebih digali (Suparjan dan Suyatno, 2003; 53).

Dalam perkembangannya, konsep partisipasi masih cenderung diartikan secara salah kaprah. Atas nama partisipasi, pemerintah seringkali meminta rakyat untuk ikut serta dalam proyek pembangunan yang dilaksanakan pemerintah. Rakyat seakan-akan memang harus mendukung atau ikut program-program pemerintah secara gratis dengan alasan proyek-proyek pembangunan itu untuk kepentingan rakyat (Suparjan dan Suyatno, 2003; 55). Berbagai istilah partisipasi


(33)

32 telah digunakan masyarakat dalam berbagai makna umum. Menurut Mikkelsen (2005) dalam Adi (2008; 108), partisipasi yang sesungguhnya pada dasarnya berasal dari masyarakat itu sendiri dan dikelola oleh masyarakat itu sendiri dengan tujuan suatu proses demokrasi. Chambers (2002) dalam Adi (2008; 108) juga menambahkan bahwa istilah partisipasi seringkali digunakan dalam tiga bentuk, yaitu:

1. Partisipasi sebagai label kosmetik (cosmetic label). Partisipasi masyarakat dianggap seperti kosmetik agar proyek yang diusulkan terlihat lebih cantik dengan tujuan mendapat pendanaan dari pihak pemerintah maupun swasta. 2. Partisipasi sebagai praktik mengooptasi (coopting practice). Partisipasi masyarakat digunakan untuk memobilisasi tenaga-tenaga masyarakat lokal dengan tujuan mengurangi pembiayaan proyek. Misalnya pada proyek pembangunan jembatan yang dilakukan pemerintah, masyarakat digunakan sebagai alat untuk membantu proyek tersebut.

3. Partisipasi sebagai proses pemberdayaan (empowering process). Partisipasi masyarakat dimaknai sebagai kemampuan masyarakat lokal untuk menganalisis masalah mereka, cara mengatasinya, pengambilan keputusan, serta melakukan perbaikan terhadap hidup mereka. Dengan demikian, Chambers menggambarkan partisipasi ini memunculkan proses pemberdayaan masyarakat.

Sebagai proses pemberdayaan masyarakat, masyarakat hendaknya perlu dilibatkan dalam tiap proses pengembangan masayarakat, yaitu pertama, identifikasi masalah, dimana masyarakat didampingi bersama dengan fasilitator


(34)

33 mengidentifikasi persoalan, identifikasi peluang, potensi, dan hambatan. Kedua, proses perencanaan, dimana masyarakat menyusun rencana-rencana berdasarkan hasil identifikasi. Ketiga, pelaksanaan proyek pembangunan. Keempat, evaluasi, dimana masyarakat dilibatkan untuk mengevaluasi hasil pembangunan. Kelima, mitigasi, dimana masyarakat dapat terlibat dalam mengukur dan mengurangi dampak negatif pembangunan. Keenam, monitoring, dimana masyarakat mengawasi dan menjaga agar proses pembangunan yang dapat dilakukan dapat berkelanjutan (Eugen C.Erickson (1974) dalam Suparjan dan Suyatno, 2003; 59).

Partisipasi masyarakat yang dilihat sebagai proses pemberdayaan masyarakat juga merupakan unsur penting dalam menciptakan modal sosial dalam masyarakat. Modal sosial juga bernilai penting dalam suatu proses pemberdayaan masyarakat yang menjadi perekat antara kelompok masyarakat yang satu dengan lainnya (Adi, 2008; 308). Hal ini diperkuat oleh argumentasi Francis Fukuyama (1999) yang dikutip oleh Hasbullah (2006; 3) yang mengatakan bahwa modal sosial sangat berperan penting dalam memfungsikan dan memperkuat kehidupan masyarakat saat ini. Modal sosial yang lemah akan mengikis semangat bergotong royong, memperparah kemiskinan, dan menurunkan kesejahteraan masyarakat.

Modal sosial dapat didefinisikan sebagai norma dan aturan yang mengikat warga masyarakat yang berada didalamnya, dan mengatur pola perilaku warganya, juga unsur kepercayaan (trust) dan jaringan (networking) antarwarga masyarakat ataupun kelompok masyarakat (Adi, 2008; 308). Bank Dunia (1999) mendefinisikan modal sosial sebagai berikut:


(35)

34 “Modal sosial sebagai sesuatu yang merujuk ke dimensi institusional, hubungan-hubungan yang tercipta, dan norma-norma yang membentuk kualitas dan kuantitas hubungan sosial dalam masyarakat.”

Prusak (2001) memberikan pengertian modal sosial sebagai :

“Modal sosial sebagai stok dari hubungan yang aktif antar masyarakat setiap pola hubungan yang terjadi diikat oleh kepercayaan (trust), kesalingpengetian (mutual understanding), dan nilai-nilai bersama (shared value) yang mengikat anggota kelompok untuk membuat kemungkinan aksi bersama dapat dilakukan secara efektif dan efisien.”(Hasbullah, 2006; 6) Francis Fukuyama (2003) juga memberikan pengertian mengenai modal sosial:

“segala sesuatu yang membuat masyarakat bersekutu untuk mencapai tujuan bersama atas dasar kebersamaan, dan di dalamnya diikat oleh nilai-nilai dan norma-norma yang tumbuh dan dipatuhi.”(Hasbullah, 2006; 8)

Dari beberapa pengertian modal sosial di atas, maka dapat disimpulkan beberapa unsur pokok yang harus ada dalam membentuk modal sosial. Pertama, partisipasi dalam suatu jaringan. Salah satu kunci keberhasilan sekelompok orang dalam membangun modal sosial terletak bagaimana dirinya atau kelompoknya melibatkan diri atau berpartisipasi dalam suatu jaringan hubungan sosial. Kedua, resiprositas. Di dalam modal sosial, terjadi kegiatan tukar menukar kebaikan antar individu dalam suatu kelompok. Pertukaran semacam ini terbentuk dalam semangat altruism atau keikhlasan. Ketiga, kepercayaan (trust). Unsur ini berarti suatu bentuk keinginan untuk mengambil resiko yang didasari perasaan yakin kepada orang lain bahwa ia akan melakukan apa yang diharapkan dan tidak merugikan orang yang memberikan kepercayaan. Fukuyama (1995; 23) semakin mempertegasnya dengan mengatakan bahwa rasa saling percaya (trust) itu tumbuh dan berakar dari nilai-nilai yang melekat pada budaya suatu kelompok masyarakat.


(36)

35 Trust didefinisikan oleh Fukuyama sebagai harapan-harapan terhadap keteraturan, kejujuran, dan prilaku kooperatif yang muncul dari dalam sebuah komunitas yang didasarkan pada norma-norma yang dianut bersama oleh anggota-anggota komunitas itu. Dari hasil-hasil studi modal sosial yang dilakukan Fukuyama di berbagai negara menunjukkan rasa saling percaya rendah (low-trust) dan rasa saling percaya yang pendek (limited network of trust) cenderung akan memiliki modal sosial yang lemah, dimana pada akhirnya semakin memperlemah eksistensi masyarakat tersebut. Peranan modal sosial dapat merangsang pertumbuhan sektor ekonomi karena tingkat rasa saling percaya yang tinggi dan kerekatan hubungan dalam jaringan yang luas di masyarakat. Keempat, norma sosial. Unsur ini sangat berperan dalam mengawasi perilaku-perilaku yang tumbuh di dalam masyarakat. Aturan kolektif ini biasanya tidak tertulis, tetapi dipahami oleh anggota masyarakat dan menentukan pola tingkah laku yang diharapkan dalam hubungan sosial. Kelima, nilai-nilai. Nilai berperan penting dalam kehidupan manusia. Di dalam setiap kebudayaan, terdapat nilai-nilai tertentu yang mendominasi. Nilai-nilai inilah yang mempengaruhi aturan bertindak masyarakatnya dan aturan-aturan bertingkah laku. Keenam, tindakan yang proaktif. Tindakan ini didasari keinginan masyarakat untuk mencari jalan keluar bagi keterlibatan mereka. Tindakan proaktif ini akan membentuk inisiatif individu yang kemudian menjadi inisiatif kelompok. Inisiatif ini kemudian akan mewujudkan masyarakat yang aktif dan kreatif (Hasbullah, 2006; 9-16).

Lembaga amil zakat (LAZ) merupakan contoh konkret adanya modal sosial di dalam masyarakat. Di dalamnya tercipta unsur-unsur pokok modal sosial, mulai


(37)

36 dari partisipasi individu-individu hingga terbentuk suatu lembaga swadaya masyarakat, altruism atau keikhlasan dari para penderma, kepercayaan mereka terhadap lembaga untuk mengelola dana yang mereka berikan, norma sosial dan nilai-nilai Islam yang mengatur setiap perilaku mereka, hingga tindakan proaktif penyaluran-penyaluran dana dalam bentuk-bentuk yang kreatif. Dengan adanya inisiatif individu-individu yang dikembangkan menjadi inisiatif kelompok inilah yang kemudian menjadi dasar terbentuknya lembaga-lembaga amil zakat.

Salah satu lembaga amil zakat yang ada di kota Medan adalah Rumah Zakat. Lembaga yang dibentuk atas inisiatif Ustadz Abu Sauqi ini memfokuskan pada pengelolaan zakat, infak, sedekah, wakaf, dan juga mengelola dana-dana CSR (Corporate Social Responsibility) perusahaan. Pengelolaan dana filantropi ini dititikberatkan pada program pendidikan, kesehatan, dan pemberdayaan ekonomi sebagai program unggulan.

Berdasarkan temuan-temuan awal, peneliti melihat bahwa Rumah Zakat telah mengembangkan pengelolaan dana filantropi untuk program pemberdayaan masyarakat. Pergeseran tradisi pengelolaan kedermawanan sosial yang selama ini menggunakan pendekatan charity kepada pengelolaan dengan pendekatan pemberdayaan masyarakat tentu saja merupakan salah satu langkah strategis untuk memberantas kemiskinan dan kelaparan sesuai dengan amanah dan tujuan pembangunan milenium atau MDG’S (Millenium Development Goals). Selain itu, pergeseran tradisi ini juga turut menciptakan masyarakat yang kreatif, mandiri, dan partisipatif, sehingga sikap ketergantungan dan budaya malas yang ditimbulkan oleh pemberian bantuan yanag bersifat karitas dapat ditekan seminimal mungkin.


(38)

37 Dalam membedah temuan-temuan data yang terkumpul, peneliti menggunakan teori ilmu sosial kritik dari golongan mahzab Frankfurt yang dikombinasikan dengan konsep pemberdayaan masyarakat sebagai pisau analisis dalam membedah persoalan pengelolaan dana filantropi. Teori sosial, menurut teori kritik, tidak memberikan penilaian benar atau salah dalam melihat suatu realitas sosial, tetapi bertugas memberikan proses penyadaran kritis kepada masyarakat terhadap realitas sosial tersebut. Cita-cita keadilan sosial mustahil terwujud tanpa kesadaran masyarakat yang tertindas. Aksi masyarakat memiliki kesadaran kritis yang bertindak atas kepentingan mereka pada akhirnya akan membawa mereka kepada pembebasan (Fakih, 2001; 94). Hal ini juga disepakati oleh Freire bahwa tugas teori sosial adalah melakukan penyadaran terhadap sistem dan struktur yang menindas serta menghapuskan proses dehumanisasi yang mematikan kemanusiaan (Fakih, 2001; 30).

Teori sosial kritik telah banyak mempengaruhi pandangan, pendekatan, dan praktik perubahan sosial di masyarakat. Pendekatan yang paling dirasakan pengaruhnya adalah pendekatan tidak memandang masyarakat sebagai obyek pembangunan, tetapi meletakkan masyarakat sebagai subyek perubahan sosial dan pembangunan. Pendekatan ini melahirkan metode partisipatori yang juga dianggap sebagai pemberdayaan (empowering) karena sifatnya yang memungkinkan untuk memberdayakan masyarakat sebagai subyek perubahan dan pemecah masalah-masalah mereka sendiri (Fakih, 2001; 97-99).


(39)

38 Adapun yang menjadi rumusan masalah dalam penelitian ini yaitu seperti apa bentuk-bentuk pengelolaan zakat yang dilakukan Rumah Zakat dan bagaimana pengelolaan itu dirumuskan ke dalam proses pengembangan masyarakat di desa binaan.

1.4 Ruang Lingkup

Adapun yang menjadi ruang lingkup penelitian adalah sebagai berikut : 1. Bagaimana bentuk pengelolaan zakat yang dilakukan oleh Rumah Zakat? 2. Sejauh mana pengelolaan filantropi Rumah Zakat dikembangkan dalam konteks pemberdayaan masyarakat?

3. Bagaimana keterlibatan masyarakat terhadap program-program yang dilakukan Rumah Zakat?

1.5 Tujuan dan Manfaat Penelitian - Tujuan Penelitian

Penetapan tujuan penelitian merupakan hal yang sangat penting karena setiap penelitian yang dilakukan haruslah mempunyai tujuan tertentu. Studi ini bertujuan untuk :

1. Menjelaskan lebih terperinci bentuk-bentuk pengelolaan zakat yang dilakukan oleh Rumah Zakat.

2. Mendeskripsikan pengelolaan filantropi yang dilakukan Rumah Zakat yang dikembangkan dalam konteks pemberdayaan masyarakat.


(40)

39 3. Mendeskripsikan keterlibatan masyarakat terhadap program-program yang dilakukan Rumah Zakat.

- Manfaat Penelitian

Setiap penelitian memiliki manfaat yang hendak dicapai agar hasil dari penelitian dapat memberikan sumbangsih bagi pembaca nantinya. Manfaat penelitian ini dapat dirangkum sebagai berikut :

1. Memperkaya informasi bagi masyarakat mengenai bentuk-bentuk pengelolaan zakat yang dilakukan oleh Rumah Zakat.

2. Sebagai bahan masukan kepada para pembaca untuk membantu terselenggaranya program-program filantropi berbasis pemberdayaan masyarakat yang dilakukan Rumah Zakat.

3. Sebagai tambahan literatur bagi para pembaca.

1.6 Metode Penelitian 1.6.1 Rancangan Penelitian

Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif. Metode ini digunakan agar mampu menghasilkan data-data deskriptif mengenai pengelolaan zakat dalam konteks pemberdayaan masyarakat dan keterlibatan masyarakat terhadap program-program yang dilakukan Rumah Zakat. Dengan demikian, eksplorasi data secara mendalam tentang aktivitas pengelolaan zakat dalam konteks pemberdayaan masyarakat bisa terjaring dengan baik.


(41)

40 1.6.2 Informan Penelitian

Untuk menghasilkan data dengan tingkat akurasi yang tinggi mengenai pengelolaan zakat dan program-program Rumah Zakat yang berbasis pemberdayaan masyarakat, maka peneliti seharusnya menggunakan 3 kategori informan kunci. Kategori pertama berasal dari pengurus Rumah Zakat yang bekerja langsung dalam pengelolaan zakat. Dari informan ini, peneliti berharap mendapatkan data yang akurat dan mendalam mengenai bentuk-bentuk pengelolaan zakat, program-program pemberdayaan masyarakat, hingga data mengenai desa-desa binaan Rumah Zakat. Kategori kedua adalah masyarakat yang menerima bantuan zakat (mustahik). Para informan yang berasal dari mustahik akan peneliti peroleh melalui desa-desa binaan Rumah Zakat. Melalui informan ini, peneliti akan memperoleh data-data mengenai keterlibatan mereka terhadap program-program pemberdayaan masyarakat yang dilakukan Rumah Zakat. Selain itu juga, kategori informan ketiga adalah para pemberi zakat (muzakki) yang secara aktif terlibat dalam penyaluran dana-dana filantropi.

Namun, pada kenyataannya di lapangan, peneliti mengalami kesulitan karena minimnya informasi yang diberikan Rumah Zakat mengenai daftar para mustahik dan para donatur Rumah Zakat. Hal ini menyebabkan peneliti kesulitan dalam memilih dan menentukan informan kunci yang cukup representatif. Untuk mensiasati hal tersebut, peneliti melakukan penelitian langsung ke daerah desa binaan dan memilih secara langsung di lapangan


(42)

41

mengenai aktivitas Rumah Zakat. Sedangkan untuk informan kategori ketiga, peneliti tidak dapat mengakses informasi tersebut karena peneliti mengalami kesulitan pada peraturan Rumah Zakat yang harus menyembunyikan identitas para donatur sesuai yang diamanahkan Rumah Zakat pusat dan para donatur itu sendiri. Dengan demikian, peneliti tidak menggunakan informan kategori ketiga.

Peneliti juga menyadari minimnya informasi mengenai informan para akan mempengaruhi proses analisis yang akan peneliti lakukan. Namun, informasi yang peneliti temukan di lapangan dirasakan cukup untuk menggambarkan keadaan Rumah Zakat dan aktivitas-aktivitas pemberdayaan yang dilakukan Rumah Zakat.

1.6.3 Teknik Pengumpulan Data

Data dalam penelitian ini dibedakan atas data kualitatif dan data kuantitatif. Data kualitatif dijadikan data utama, sedangkan data kuantitatif digunakan untuk melengkapi data kualitatif. Pengumpulan data dilakukan dengan mencari data primer dan data sekunder. Data primer merupakan data yang diperoleh dari lapangan melalui observasi dan wawancara mendalam. Sedangkan data sekunder merupakan data yang diperoleh dari kepustakaan, dalam hal ini buku-buku, literatur, jurnal, tesis, laporan penelitian, skripsi, serta bahan-bahan bacaan yang relevan dengan masalah penelitian.

Dalam penelitian ini, pengumpulan data primer dilakukan dengan beberapa teknik, yaitu :


(43)

42 1. Wawancara Mendalam (depth Interview)

Pertanyaan-pertanyaan awal hingga informasi yang dibutuhkan untuk mendeskripsikan kondisi objektif, sangat efektif dengan metode ini. Metode ini juga dapat lebih mendekatkan diri secara emosional dengan informan. Selain itu, data-data otentik dari sudut pandang masyarakat (emic view) juga dapat dimulai dengan wawancara. Menurut Bungin (2007;107) wawancara merupakan proses memperoleh keterangan untuk tujuan penelitian dengan cara tanya jawab, sambil bertatap muka antara pewawancara dengan informan atau orang yang diwawancarai, dengan atau tanpa menggunakan pedoman wawancara, di mana pewawancara dan informan terlibat dalam kehidupan sosial yang relatif lama. Teknik wawancara dilakukan dengan melakukan tanya jawab secara langsung dan terbuka dengan pelaku kegiatan yaitu pengurus Rumah Zakat dan masyarakat binaan. Untuk menjaga terstrukturnya wawancara mendalam, peneliti menggunakan pedoman wawancara (interview guide). Pedoman wawancara yang disusun peneliti sebelum melakukan wawancara ke lapangan bersifat fleksibel. Artinya, bila selama melakukan wawancara peneliti menemukan jawaban-jawaban yang tidak dipahami peneliti, maka peneliti melakukan perubahan-perubahan terhadap pertanyaan yang telah disusun tersebut. Selain menggunakan pedoman wawancara, peneliti juga menggunakan tape recorder untuk mencegah kealpaan data.

2. Observasi Partisipasi

Informasi dan data pada penelitian ini salah satunya didapat dari observasi partisipasi yang dilakukan untuk melihat secara langsung pengelolaan dana


(44)

43 filantropi dan berbagai kegiatannya yang bersentuhan langsung dengan masyarakat. Untuk memperoleh data yang akurat mengenai pengelolaan dana filantropi, peneliti turut serta dalam setiap kegiatan pemberdayaan masyarakat di Rumah Zakat. Selain itu, observasi partisipasi merupakan pilihan yang tepat untuk mendukung akurasi data yang diperoleh dari wawancara.

1.6.4 Teknik Analisis Data.

Dalam menganalisis data-data mengenai pengelolaan dana filantropi serta proses pemberdayaan masyarakat yang dilakukan Rumah Zakat, maka penelitian ini menggunakan metode on going analysis, di mana konsep-konsep serta teori-teori yang dipakai bisa saja berbeda dengan keadaan di lapangan. Setiap informasi baru ditarik inferensi-inferensinya, sehingga inferensi-inferensi tersebut digunakan untuk membangun dan mempertajam pertanyaan-pertanyaan di hari berikutnya. Dalam menggunakan metode ini, analisis dilakukan sambil meneliti atau selama proses pengumpulan data berlangsung.

1.7Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian dalam studi ini adalah di Rumah Zakat Cabang Medan yang terletak di Jl. Setia Budi no. 32 Medan Sunggal dan desa binaan Rumah Zakat di Jl. Balai Desa Medan Sunggal. Lokasi Medan Sunggal dipilih karena di wilayah ini Rumah Zakat telah mendirikan sentra pemberdayaan masyarakat atau Empowering Centre yang terletak di Jl. Balai Desa No. 5 Medan Sunggal. Selain itu, di wilayah ini juga telah mencakup implementasi seluruh program-program Rumah Zakat sehingga memudahkan peneliti memperoleh data.


(45)

44

BAB II

KONTEKS PENELITIAN

2.1 Sejarah Rumah Zakat

Rumah Zakat merupakan salah satu lembaga sosial keagamaan yang memfokuskan pada pengelolaan zakat, infak, sedekah, wakaf, dan juga mengelola dana-dana CSR (Corporate Social Responsibility) perusahaan. Terbentuknya Lembaga Amil Zakat ini merupakan prakarsa dari seorang tokoh da’i muda Bandung bernama Abu Syauqi. Bersama dengan beberapa rekan di kelompok pengajian Majlis Ta'lim Ummul Quro, Ustadz Abu Syauqi membentuk suatu lembaga sosial yang fokus pada pengumpulan dana-dana untuk bantuan kemanusiaan. Pada tanggal 2 Juli 1998, kesepakatan tersebut melahirkan suatu organisasi bernama Dompet Sosial Ummul Quro. Ketika itu, sekretariat Dompet Sosial Ummul Quro bertempat di Jalan Turangga 33 Bandung sekaligus sebagai


(46)

45 tempat pengajian Majlis Ta’lim Ummul Quro. Seiring dengan aktivitas dakwah yang terus mereka lakukan, jamaah pengajian semakin berkembang, sehingga mereka menggunakan Masjid Al Manaar Jl. Puter Bandung sebagai tempat kajian rutin.

Adanya dukungan masyarakat yang terus meluas mendorong Ustadz Abu Syauqi untuk melakukan pengelolaan organisasi ini menjadi lebih baik. Pada tahun 1999, Kantor sekretariat Dompet Sosial Ummul Quro berpindah ke Jalan Dederuk 30 Bandung. Letak sekretariat organisasi ini mendekat ke forum pengajian di Masjid Al Manaar. Hingga tahun 1999, pencapaian donasi yang berhasil dilakukan Dompet Sosial Ummul Quro terkumpul sebanyak 0,8 Milyar rupiah.

Antusiasme masyarakat akan perlunya organisasi kemanusiaan semakin meningkat. Masyarakat memandang misi sosial ini penting untuk diteruskan bahkan untuk kiprah yang lebih luas lagi. Maka, dirintislah program beasiswa pendidikan yatim dan dhuafa, layanan kesehatan, rehabilitasi masyarakat miskin kota, dan lain-lain. Pemekaran Dompet Sosial Ummul Quro mulai dilakukan dengan membuka kantor cabang Yogyakarta pada bulan Mei tahun 2000 di Jalan Veteran 9. Pencapaian donasi selama tahun 2000 meningkat tajam dibandingkan tahun sebelumnya, yaitu terkumpul 2,1 Milyar rupiah. Pada Februari 2001, kantor cabang Dompet Sosial Ummul Quro Jakarta resmi berdiri di Jalan Ekor Kuning Rawamangun, Jakarta Timur. Hingga tahun 2002, penerimaan donasi meningkat menjadi 4,19 Milyar rupiah.


(47)

46 Identitas organisasi Dompet Sosial Ummul Quro sebagai Lembaga Amil Zakat semakin diperkuat. Pada tahun 2003, Dompet Sosial Ummul Quro berubah nama menjadi Rumah Zakat Indonesia Dompet Sosial Ummul Quro seiring dengan turunnya SK Menteri Agama RI No. 157 pada tanggal 18 Maret 2003 yang mensertifikasi organisasi ini sebagai Lembaga Amil Zakat Nasional. Bulan Mei 2003, Rumah Zakat Indonesia Dompet Sosial Ummul Quro hadir di ibukota Jawa Timur, Surabaya. Pada tahun 2003, Perolehan donasi terus meningkat menjadi 6,46 Milyar rupiah.

Pada tahun 2004, ekspansi Rumah Zakat Indonesia Dompet Sosial Ummul Quro mulai melebar ke Sumatera dengan didirikannya kantor cabang Pekanbaru, Riau. Untuk meningkatkan mutu pelayanan, organisasi ini mulai mengembangkan sistem Teknologi Informasi. Hampir seluruh kantor cabang telah tersambung secara online. Pada tahun 2004, Lembaga Amil Zakat ini menguatkan branding lembaga dengan nama Rumah Zakat Indonesia. Kepercayaan masyarakat semakin tumbuh, donasi terkumpul sebanyak Rp 8,92 M.

Memasuki tahun 2005, pertumbuhan cabang Rumah Zakat meningkat pesat. Tsunami Aceh yang terjadi 26 Desember 2004 membuka akses Rumah Zakat Indonesia lebih berperan di Sumatera. Cabang-cabang baru pun dibuka : cabang Aceh, Medan, Padang, Palembang, Batam berdiri. Di Jawa, berdiri pula kantor cabang Semarang, ditambah jaringan kantor cabang pembantu di Bekasi, Bogor, Depok, Jakarta Selatan, Cirebon, Solo. Cabang Pekanbaru juga berekspansi dengan memiliki kantor cabang pembantu Duri dan Dumai. Sistem informasi lembaga sosial ini juga mulai masuk ke jaringan on line, mulai dari transaksi on line,


(48)

47 absensi on line, hingga penggunaan beberapa software keuangan. Penerimaan donasi meningkat tajam khususnya dari bantuan masyarakat untuk program rehabilitasi pasca tsunami Aceh, tercatat Rp 45,26 M donasi terkumpulkan.

Regenerasi puncak pimpinan diestafetkan dari Ustadz Abu Syauqi beralih ke Virda Dimas Ekaputra pada tahun 2006. Peralihan pimpinan ini juga menandakan babak sejarah baru 'Transformation From Traditional Corporate to Professional Corporate' dimulai. Kesadaran berzakat bagi masyarakat terus didorong dengan merilis kampanye “When Zakat Being Lifestyle”. Pada tahun 2006, Rumah Zakat Indonesia Dompet Sosial Ummul Quro menggelar program Gelar Budaya Zakat (GBZ) Menuju Indonesia Sadar Zakat 2008 pertama kali di 6 kota.

Pada tahun berikutnya, pengembangan program semakin disempurnakan termasuk dengan mengganti istilah Departemen Empowering menjadi Direktorat Program. Implementasi program juga mulai difokuskan pada empat induk yaitu EduCare (program pendidikan), HealthCare (program kesehatan), YouthCare (program kepemudaan), dan EcoCare (program pemberdayaan ekonomi). Pengelolaan program-program yang dilakukan dengan konsep terintergrasi dan berkelanjutan berbasis komunitas. ICD (Integrated Community Development) merupakan tempat yang difokuskan untuk penyaluran yang terintegrasi yakni pendidikan, kesehatan, pelatihan kepemudaan, dan pemberdayaan ekonomi secara terpadu berbasis komunitas. Dengan Mustahik Relation Officer (MRO) sebagai SDM pendamping, ICD menjadi pusat penyaluran program sehingga program lebih terukur, dan terkontrol. Di tahun ini pula Rumah Zakat Indonesia melebarkan


(49)

48 layanan program pendidikan dengan menyelenggarakan Sekolah Dasar Juara yang bersifat gratis.

Program komunikasi dan promosi dikembangkan lebih massif melalui televisi. Lembaga amil zakat ini meluncurkan TV Commercial perdana berjudul “Saya Percaya Rumah Zakat” menggandeng endorser Helmy Yahya. Pada tahun yang sama, program Gelar Budaya Zakat (GBZ) Menuju Indonesia Sadar Zakat 2008 kembali digelar, kali ini diselenggarakan di 10 kota. Hasil komunikasi dan focusing program berkorelasi positif terhadap pencapaian donasi hingga terkumpul 50,16 Milyar rupiah.

Keberhasilan Rumah Zakat Indonesia dalam mengumpulkan donasi memunculkan keinginan yang kuat untuk memantapkan program-program pemberdayaan. Dukungan dan kepercayaan masyarakat menguatkan lembaga untuk semakin fokus kepada sebuah rekayasa peradaban besar yang sejak awal telah diimpikan, yakni ”transformasi mustahik ke muzakki”. Wujud nyata usaha lembaga ini adalah dengan meluaskan jaringan pengembangan usaha kecil dan mikro di 18 kota. Tidak hanya itu, Rumah Zakat Indonesia pun menyelenggarakan pelatihan-pelatihan motivasi dan keterampilan dalam wadah Youth Development Center. Pelatihan motivasi ini memegang peranan penting karena karakter, pola pikir, dan sikap yang kontra produktif menyumbangkan andil besar dalam kelanggengan sebuah kemiskinan. Dan yang tidak kalah penting adalah pendampingan masyarakat dilakukan oleh 28 Mustahik Relation Officer (MRO) dengan didukung para relawan.


(50)

49 Selain meningkatkan program-program pendidikan, kesehatan, pelatihan kepemudaan, dan pemberdayaan ekonomi untuk masyarakat, pembelajaran untuk menjadi organisasi yang amanah dan professional terus dilakukan, salah satunya dengan penguatan program-program Human Capital. Rumah Zakat Indonesia melakukan program seperti EAZI (Executive Amil Zakat Indonesia), ADP (Amil Development Program), ACTPRO (Acceleration Program) dan sebagainya sebagai upaya peningkatan kapasitas Rumah Zakat Indonesia. Kegiatan peningkatan kapasitas ini terbukti efektif kompetensi memenuhi tuntutan profesi dan masyarakat. Kepercayaan terus tumbuh, dari pencapaian donasi berhasil terkumpulkan donasi sebesar 71,40 Milyar rupiah. Untuk memberikan edukasi lebih luas kepada masyarakat tentang zakat dan filantropi, Rumah Zakat Indonesia mengadakan road show Gelar Budaya Zakat, tahun ini hadir di 19 kota.

Tahun 2009 bisa disebut sebagai tahun ekspansi mengingat dalam 1 semester langsung dibuka 14 cabang baru sehingga menambah total jumlah jaringan sebanyak 45 kantor.

Tabel 1

Kantor Rumah Zakat Di Indonesia

No Kantor Alamat

1 Pusat Jl. Turangga No 25C Bandung

2 Jakarta - Matraman

Jl. Matraman Raya No. 148 Blok A1 No. 5 Jakarta Timur

3 Jakarta - Thamrin

Basement Floor R.05, Jl. M. H. Thamrin Kav. 3 Jakarta Pusat


(51)

50 4

Jakarta - Rasuna

Rasuna Office ParkNo. LR 02

Apartemen Taman Rasuna Tower dan Jl. HR. Rasuna Said Kuningan Jakarta Selatan

5

Jakarta - Kebon Jeruk

Bussines Park Kebon Jeruk, Jl. Raya Meruya Ilir No. 88 Blok E2 No. 15 Jakarta Barat

6

Jakarta - Kebayoran Baru

Jl. Wijaya I / 22 Kebayoran Baru Jakarta Selatan

7 Jakarta - Harsono

Jl. Harsono RM No. 15 Ragunan Jakarta Selatan

8

Jakarta - Kelapa Gading

Jl. Kelapa Hibrida Raya Blok QJ 9 No. 11 Kelapa Gading

9

Jakarta - Pondok

Indah Jl. Margaguna No. 9 Pondok Indah

10 Jakarta - Ciputat

Taman Rempoa Indah Jl. Delima Raya 1 Ciputat Timur

11 Tangerang

Jl. Beringin Raya No. 144 B Perumnas I Tangerang

12 Bekasi Jl. Veteran No. 110 B Bekasi Selatan

13 Cikarang

Jl. Industri Utara No. 9 Jababeka 2 Cikarang

14 Depok

Ruko Griya Depok Asri Blok I No. 2C

15 Bogor Jl. Pandawa Raya Blok 1B No. 9

16 Cilegon

Jl. Letjend. R. Suprapto (Jl. Raya Anyer) No. 25 G

17 Bandung - Turangga Jl. Turangga No. 33 Bandung 18 Bandung - Dago Jl. Ir. K. Juanda No. 91 Bandung 19 Bandung - Pasteur Jl. Pasirkaliki No. 237 Bandung


(52)

51 20 Bandung - Antapani

Jl. Terusan Jakarta No. 77 Antapani Bandung

21 Cimahi

Jl. Gedung Empat No. E3 Gatot Subroto Cimahi

22 Cirebon Jl. Kartini No. 70 Cirebon 23 Semarang Jl. Dr. Sutomo No. 53 Semarang 24 Yogyakarta Jl. Veteran No. 9 Yogyakarta 25 Solo Jl. Kali Larangan No. 39 Solo 26 Surabaya Jl. Raya Nginden No. 29 Surabaya

27 Malang

Ruko Istana Jl. W. R. Supratman C-3 Kav-19 Malang

28 Sidoarjo Jl. Yos Sudarso No. 92 Sidoarjo

29 Gresek

Jl. Sumatera No. 27A Ruko Gresik Kota Baru

30 Jember Jl. Karimata No. 60A Jember 31 Kediri Jl. Kartini No. 10 Kediri

32 Aceh

Ruko Lamlagang Jl. Sultan Malikul Saleh Lamlagang Aceh

33 Medan - Setiabudi Jl. Setiabudi No. 32 Medan Sunggal

34

Medan - Gatot Subroto

Jl. Gatot Subroto No. 112 Kec. Medan Barat

35 Padang Jl. Diponegoro No. 15 F Kota Padang 36 Palembang Jl. Angkatan 45 No. 3158 Palembang

37 Pekanbaru

Jl. T. Tambusai/Nangka No. 34 D Kel. Jadirejo Kec. Sukajadi

38 Bandar Lampung

Jl. Jendral Sudirman No. 59 Rawa Laut 35127 Bandar Lampung

39 Batam

Komp. Lotus Garden Blok A No. 8 Batam Center


(53)

52 Banjarmasin

41 Pontianak Jl. Irian No. 35 Pontianank Selatan

42 Samarinda

Jl. Kuranji No. 58B Moh Yamin (Depan RRI Segiri) Samarinda

43 Balikpapan

Jl. Komplek Balikpapan Baru Blok D 4 No. 6 Balikpapan

44 Makassar

Jl. A. P. Pettarani Komp. New Zamrud Blok G.2 Makassar 45 Jayapura Jl. Perumnas I No. 25 Wamena

Tahun ini juga menjadi tahun pertama pasca 10 tahun pertama milestone Rumah Zakat Indonesia. Untuk penguatan organisasi Rumah Zakat Indonesia, maka dikokohkanlah organisasi baru pemberdayaan, yaitu : Rumah Sehat Indonesia (pengelola program kesehatan), Rumah Juara Indonesia (pengelola program pendidikan), Rumah Mandiri Indonesia (pengelola program kemandirian ekonomi). Peningkatan jumlah unit layanan terus dilakukan. Hingga akhir tahun telah berdiri 8 Sekolah Juara dan 7 Rumah Bersalin Gratis. Pada pertengahan 2009, Virda Dimas Ekaputra menyerahkan tongkat esafet kepemimpinan kepada Rachmat Ari Kusumanto. Di bawah kepemimpinan CEO baru tersebut, Rumah Zakat berupaya untuk meningkatkan kualitas pelayanan kepada para mitra dan donatur. Caranya adalah dengan terlebih dahulu mengembangkan skill para amil melalui beragam pelatihan hingga studi banding ke lembaga ataupun perusahaan yang ada di luar dan dalam negeri.

Pengelolaan zakat dan filantropi yang semakin baik dan profesional yang dilakukan Rumah Zakat Indonesia mendapat apresiasi dari masyarakat sehingga


(54)

53 mendapatkan sejumlah penghargaan antara lain penghargaan dari Karim Business Consulting yang menempatkan Rumah Zakat Indonesia sebagai LAZNAS (Lembaga Amil Zakat Nasional) Terbaik ke-2 dalam Islamic Social Responsibility (ISR) Award 2009. Penghargaan juga datang dari IMZ (Indonesia Magnificence of Zakat) yang menganugerahi Rumah Zakat Indonesia sebagai The Best Organization in Zakat Development. Pencapaian donasi hingga mencapai 107, 3 Milyar rupiah berhasil dikumpulkan Rumah Zakat indonesia dan menjadikan Rumah Zakat Indonesia sebagai Organisasi Pengelola Zakat terbesar pengumpulan donasinya se-Indonesia.

Tantangan sosial dan ekonomi yang dihadapi Rumah Zakat Indonesia pada tahun 2010 tak lebih mudah dihadapi, meskipun Krisis global tahun 2009 banyak diprediksikan mulai pulih pada tahun ini. Rumah Zakat Indonesia menyikapi hal ini dengan melakukan rangkaian adaptasi dan perubahan menuju organisasi berskala global. Pada tanggal 5 April 2010, Lembaga sosial ini resmi meluncurkan brand baru RUMAH ZAKAT, menggantikan brand sebelumnya RUMAH ZAKAT INDONESIA. Rumah Zakat meyakini bahwa untuk mencapai lebih banyak kebaikan, maka perubahan adalah sebuah keniscayaan. Oleh karena itulah tahun ini Rumah Zakat hadir dengan sebuah identitas baru sebagai bentuk komitmen menyempurnakan diri agar tampil lebih baik dalam melayani bangsa dan menjadi Non Government Organization (NGO) bertaraf global.

Selain meresmikan brand baru, Rumah Zakat juga mengusung tiga brand value baru : Trusted, Progressive dan Humanitarian. organisasi ini juga menajamkan karakter menuju “World Class Socio-Religious Non Governance


(55)

54 Organization (NGO)”. Perubahan pada Rumah Zakat tak hanya sekedar tranformasi bentuk logo serta nama yang semula Rumah Zakat Indonesia, kini menjadi Rumah Zakat. Tapi juga kepada nilai dan budaya kerja yang menjadi semangat di dalam diri setiap amil. Brand baru yang diusung Rumah Zakat saat ini melahirkan wajah baru dari program pemberdayaan masyarakat. Jika sebelumnya ada empat fokus program yakni EduCare, HealthCare, YouthCare, dan EcoCare, maka untuk saat ini keempatnya bertransformasi menjadi Senyum Juara, Senyum Sehat dan Senyum Mandiri.

Berikut ini merupakan program-program yang diusung Rumah Zakat dalam upaya peningkatan pemberdayaan dan pelayanan kepada masyarakat.

Tabel 2

Program-Program Rumah Zakat

Pendekatan Pemberdayaan Nama Program

Dulu Sekarang

HealthCare Senyum Sehat

Rumah Bersalin Gratiis (RBG), Layanan Bersalin Gratis (LBG), Siaga Sehat, Mobil Ambulans/Mobil Jenazah, Operasi Katarak Gratis, AMARA (Armada Sehat Keluarga), Asuransi Keluarga Sehat, Siaga Gizi Balita, Pengantaran Pasien/Jenazah, Khitanan Massal


(56)

55 EduCare Senyum Juara

Sekolah Juara, Beasiswa Juara, Beasiswa Ceria, Kemah Juara, Mobil Juara, Program Pengembangan Potensi Anak (P3A), Lab Juara

Eco Care YouthCare

Senyum Mandiri

Kelompok Usaha Kecil Mandiri (KUKMI), Cake House, Pelatihan Kewirausahaan, Siaga Gizi Nusantara, Water Well, Toilet Sehat Keluarga (TOSKA), Empowering Centre

2.2 Sejarah Rumah Zakat Cabang Medan.

Rumah Zakat cabang Medan resmi berdiri pada bulan Juni tahun 2004. Kantor cabang pertama kali berlokasi di Jalan Kemuning, Setia Budi, Medan. Rumah Zakat cabang Medan merupakan cabang Rumah Zakat pertama yang berdiri di pulau Sumatera. Ketika itu, posisi kepala cabang diamanahkan kepada Abdur Rahman dan masih menggunakan brand Rumah Zakat Indonesia. Maka, dimulailah aksi kemanusiaan Rumah Zakat Indonesia di Medan dengan melakukan pengumpulan dana dan penyaluran dana tersebut kepada orang-orang yang membutuhkan. Rumah Zakat Indonesia mengembangkan program beasiswa pendidikan anak yatim dan dhu’afa, layanan kesehatan, rehabilitasi masyarakat miskin kota, dan lain-lain.

Pada tahun 2005, kantor Rumah Zakat Cabang Medan pindah dari Jalan Kemuning ke daerah Jalan Setia Budi, tepatnya berada di kompleks pertokoan di Simpang Jalan Dr. Mansyur, Medan. Perpindahan kantor ini semakin membuat


(57)

56 Rumah Zakat dikenal masyarakat karena letak kantor yang cukup strategis dan semakin banyak orang yang ingin menjadi relawan Rumah Zakat. Hal ini semakin berdampak positif terhadap pertambahan donasi yang berhasil dikumpulkan Rumah Zakat. Pada tahun 2009, kantor Rumah Zakat berpindah lagi ke Jalan Setia Budi No. 32 Medan Sunggal dan hingga kini eksis sebagai Lembaga Amil Zakat yang bertaraf nasional.

2.3 Visi dan Misi Rumah Zakat 2.3.1 Visi Rumah Zakat

Visi sutau organisasi merupakan hal yang sangat penting dalam menunjang eksistensi organisasi tersebut. Visi merupakan tujuan atau target yang akan di capai sebagai suatu organisasi. Pada tahun 2010, Rumah Zakat hadir dengan sebuah identitas baru sebagai bentuk komitmen menyempurnakan diri agar tampil lebih baik dalam melayani bangsa dan menjadi Non Government Organization (NGO) bertaraf global. Organisasi ini juga menajamkan karakter menuju “World Class Socio-Religious Non Governance Organization (NGO) dengan membawa visi ”Menjadi Lembaga Amil Zakat Bertaraf Internasional Yang Unggul dan Terpercaya”. Hal ini tentu saja akan diwujudkan dengan misi-misi Rumah Zakat yang akan dilakukan untuk mewujudkan visi Rumah Zakat.

2.3.2 Misi Rumah Zakat

1. Membangun kemandirian masyarakat melalui pemberdayaan secara produktif.


(58)

57 Melalui program-program Senyum Mandiri, Rumah Zakat berkomitmen untuk menjadi Lembaga Amil Zakat yang focus kepada upaya-upaya pemberdayaan masyarakat. Dengan tujuan untuk mentransformasikan para mustahik menjadi muzakki, Rumah Zakat juga melakukan pendampingan untuk mempercepat proses pemberdayaan sehingga masyarakat miskin akan semakin produktif.

2. Menyempurnakan kualitas pelayanan masyarakat melalui keunggulan insani. Sebagai Lembaga Amil Zakat, Rumah Zakat senantiasa mengamalkan nilai-nilai keislaman untuk meningkatkan kualitas pelayanannya kepada masyarakat. Rumah Zakat juga mengusung tiga nilai baru yang menjadi ruh

dari perkembangan lembaga, yaitu trusted, progressive, humanitarian.

Trusted merupakan nilai yang akan melandasi usaha-usaha Rumah Zakat secara profesional, transparan dan terpercaya. Progressive berarti terus bergerak dan berani melakukan inovasi dan edukasi untuk memperoleh nilai manfaat yang lebih. Semangat ini menjadi pemicu bagi Rumah Zakat untuk terus melakukan langkah-langkah baru dalam program yang digulirkan. Wujudnya adalah tahun 2010 Rumah Zakat Indonesia mengambil tema baru kampanye program : “Merangkai Senyum Indonesia” yang meliputi 3

rumpun utama program Senyum Juara, Senyum Sehat dan Senyum Mandiri.

Dengan Senyum Juara, Rumah Zakat berusaha menghadirkan senyuman bagi anak-anak asuhnya yang kini mencapai 15.000 orang. Senyum Sehat menghadirkan kebahagiaan bagi masyarakat yang membutuhkan layanan kesehatan gratis dan akhirnya Senyum Mandiri akan menjadi dorongan


(59)

58

sebuah keluarga untuk meraih kemandiriannya. Nilai lain yang menjadi ruh baru Rumah Zakat adalah humanitarian, yaitu semangat untuk memfasilitasi segala usaha kemanusiaan dengan tulus secara universal pada seluruh umat manusia. Harapannya Rumah Zakat menjadi mitra bagi siapapun baik itu perorangan atau perusahaan untuk mewujudkan rasa kemanusiaannya.

2.4 Budaya Organisasi Rumah Zakat

Perubahan pada Rumah Zakat tak hanya sekedar tranformasi bentuk logo serta nama yang semula Rumah Zakat Indonesia, kini menjadi Rumah Zakat. Tapi juga kepada nilai dan budaya kerja yang menjadi semangat di dalam diri setiap amil. Adapun nilai dan budaya organisasi Rumah Zakat tercermin dari nilai-nilai berikut ini :

1. Amanah 2. Profesional 3. Kemudahan 4. Sinergi

5. Ketepatan Penyaluran 6. Kejelasan Laporan

2.5 Lambang Rumah Zakat

Suatu gambar “hati” dengan desain “rumah” di dalamnya merupakan identitas visual Rumah Zakat saat ini. Secara keseluruhan, desain menggambarkan organisasi yang berkomitmen untuk terus member dan berbagi kepada masyarakat. “Hati” juga menggambarkan sifat lembaga yang universal, peduli, aspiratif,


(60)

59 terbuka, dan menjadikan langit sebagai batasannya. Sementara “rumah” memiliki makna sebagai lembaga yang memiliki kontribusi kepada masyarakat, memberdayakan, menyediakan harapan, dan memberikan keterangan.

Gambar 1 Logo Rumah Zakat

Rumah dengan pintunya menjadi perlambangan sebuah organisasi yang terbuka dan memberi kebaikan dari dan untuk masyarakat. Bentuk rumah yang tampak seperti tanda panah mengarah ke atas melambangkan pergerakan organisasi Rumah Zakat yang progresif dan terus membangun kemandirian masyarakat. Sedangkan warna oranye mencerminkan sebuah lembaga yang berpengalaman, mampu terus maju secara alami, evolusioner, berkembang, namun tetap terasa dekat dengan masyarakat.

2.6 Integrated Community Development (ICD) Rumah Zakat

Gerakan Merangkai Senyum Indonesia merupakan serangkaian program yang diperuntukkan untuk keluarga yang tidak mampu. Dengan pendekatan berbasis komunitas, Gerakan Merangkai Senyum Indonesia dilaksanakan di wilayah pemberdayaan terpadu atau Integrated Community Development (ICD) atau lebih dikenal sebagai desa binaan Rumah Zakat. Dengan demikian, proses


(1)

154 lembaga atau badan swasta dan pemerintah. Keempat, membentuk program khusus untuk penggalangan dana kemanusiaan jika terjadi kasus bencana seperti program Aksi Siaga Bencana dan sebagainya.

3. Dalam mendistribusikan dana, Rumah Zakat memfokuskan penyaluran pada tiga induk program yang merupakan rangkaian dari gerakan Merangkai Senyum Indonesia. Gerakan Merangkai Senyum Indonesia mengacu pada masih rendahnya tingkat Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Indonesia. Berdasarkan indikator tersebut, Rumah Zakat berupaya untuk meningkatkan angka harapan hidup, angka melek huruf dan pendidikan dasar, serta meningkatkan angka standar kualitas hidup manusia Indonesia. Upaya tersebut diimplementasikan ke dalam gerakan Merangkai Senyum Indonesia yang meliputi tiga program utama, yaitu Senyum Sehat, Senyum Juara, dan Senyum Mandiri.

4. Dari ketiga induk program yang dilakukan Rumah Zakat, Program Senyum Sehat dan Senyum Juara merupakan program bantuan yang bersifat karitas. Sedangkan Program Senyum Mandiri bersifat produktif.

5. Proses pemberdayaan yang dilakukan Rumah Zakat merupakan pemberdayaan sebagai sebuah program. Rumah Zakat menargetkan kemandirian suatu keluarga dapat dicapai dalam waktu satu tahun. Konsekuensi yang harus dihadapi masyarakat jika dalam tiga tahun tidak juga mandiri adalah dicoret sebagai penerima bantuan dan digantikan oleh member lain.


(2)

155 6. Konsep partisipasi yang diterapkan Rumah Zakat meletakkan masyarakat sebagai objek yang harus diubah. Masyarakat tidak diikutsertakan dalam proses identifikasi masalah, perumusan program, hingga memonitoring program. Masyarakat hanya dilibatkan dalam pelaksanaan program dan dimobilisasi untuk ikut serta dalam program yang telah dibuat.

7. Proses pendampingan yang dilakukan Rumah Zakat lebih banyak diperuntukkan untuk menunjang dan meningkatkan nilai keagamaan para member. Dengan pendampingan, diharapkan para member Rumah Zakat dapat lebih bekerja keras untuk mencapai kemandirian dan lebih dekat kepada Allah SWT.

6.2 Saran

4. Sebagai lembaga sosial keagamaan yang lebih dekat dengan masyarakat miskin, diharapkan Rumah Zakat mampu menciptakan program-program dengan konteks lokal dan mampu berinovasi dengan program baru yang lebih dibutuhkan masyarakat desa binaan.

5. Diharapkan Rumah Zakat dapat berperan sebagai fasilitator, komunikator, dan motivator dalam tugas-tugas pendampingan masyarakat. Sebagai fasilitator, Rumah Zakat berusaha menggali potensi sumber daya manusia, alam, sekaligus mengembangkan kesadaran anggota masyarakat akan kendala maupun permasalahan yang dihadapi. Sebagai komunikator, Rumah Zakat harus mau menerima dan memberi berbagai informasi dari berbagai sumber untuk dijadikan masukan dalam merumuskan, menangani,


(3)

156 dan melaksanakan program. Sebagai motivator, Rumah Zakat memberikan pengarahan dalam menggunakan pendekatan, strategi, dan teknis pelaksanaan program.

6. Sebagai fasilitator pemberdayaan masyarakat, diharapkan pengurus Rumah Zakat membekali diri dengan melakukan pelatihan pemberdayaan masyarakat yang sesungguhnya sehingga tidak salah kaprah dalam memahami konsep pemberdayaan dan tepat sasaran.


(4)

157

DAFTAR PUSTAKA

Adi, Isbandi Rukminto, 2008. Intervensi Komunitas: Pengembangan Masyarakat sebagai Upaya Pemberdayaan mayarakat. Jakarta: Rajawali Press.

Ali, Muhammad Daud. 1988. Sisitem Ekonomi Islam : Zakat dan Wakaf. Jakarta : Penerbit Universitas Indonesia (UI-Press).

Al-Makassary, Ridwan. 2005. BAZ Propinsi Jawa Barat : Eksistensi Yang mulai Pudar? Dalam Chaider S. Bamualim (Editor). Revitalisasi Filantropi Islam : Studi Kasus Lembaga Zakat dan Wakaf di Indonesia. Jakarta : Pusat Bahasa dan Budaya UIN dan The Ford Foundation.

Arief, Muhammad. 2008. Dapatkah Zakat Menyelesaikan Kemiskinan? http://dsniamanah.or.id/web/content/view/99/1/

Asnaini, dalam Zubaedi (Editor), 2008. Zakat Produktif dalam Perspektif Hukum Islam. Yogyakarta: Pustaka Belajar.

Aziz, Sholehuddin A. 2009. Filantropi Islam Berbasis Pemberdayaan Komunitas. http://indonesiafile.com/content/view/1056/79

Fakih, Mansour. 2001. Runtuhnya Teori Pembangunan dan Globalisasi. Yogyakarta ; Insist Press dan Pustaka Pelajar.

Fukuyama, Francis dalam Ruslani (Penerjemah). 2002. Trust : Kebajikan social dan Penciptaan Kemakmuran. Yogyakarta : Qalam.

Ghopur, Abdul. 2010. Indonesia dan Problem Kemiskinan.

Hasbullah, Jousairi. 2006. Social Capital (Menuju Keunggulan Budaya Manusia Indonesia). Jakarta: MR-United Press.

Helmanita, Karlina. 2005. Mengelola Filantropi Islam dengan Manajemen Modern : Pengalaman Dompet Dhu’afa.. Dalam Chaider S. Bamualim (Editor). Revitalisasi Filantropi Islam : Studi Kasus Lembaga Zakat dan Wakaf di Indonesia. Jakarta : Pusat Bahasa dan Budaya UIN dan The Ford Foundation.


(5)

158 Kurde, Nukthoh Arfawie dalam Harul dan arsyid (editor). 2005. Memungut Zakat dan Infak Profesi Oleh Pemerintah Daerah (Bagi Pegawai Negeri dan Pegawai Perusahaan Daerah. Yogyakarta : Pustaka Belajar.

Lubis, Irsyad Husin. 2008. Kiat Penulisan Karya ilmiah (Peringkat Pemula). Makalah disampaikan pada Pelatihan Penulisan Karya Ilmiah Mahasiswa USU. Medan. 25 April 2008

Lubis, Zulkifli. 2008. Modul Pelatihan Metode Penelitian Kualitatif. Makalah disampaikan pada perkuliahan Metode penelitian Antropologi. 2008

Muhammad. 2008. Kelembagaan Filantropi Islam.

Prihatna, Andi Agung. 2005. Filantropi dan Keadilan Sosial di Indonesia. Dalam Chaider S. Bamualim (Editor). Revitalisasi Filantropi Islam : Studi Kasus Lembaga Zakat dan Wakaf di Indonesia. Jakarta : Pusat Bahasa dan Budaya UIN dan The Ford Foundation.

Sairin, Sjafri. 2002. Pengantar Antropologi Ekonomi. Yogyakarta: Pustaka Belajar. Sajad, Abdullah. 2009. Polemik Pengelolaan Zakat.

http://www.csrc.or.id/berita/index.php?detail=20090318224624

Siagian, Albiner. 2008. Bagaimana Menjadi Penulis yang Efektif. Makalah disampaikan pada Pelatihan Penulisan Karya Ilmiah Mahasiswa USU. Medan. 25 April 2008

Suparjan, dan Hempri Suyatno. 2003. Pengembangan Masyarakat: Dari Pembangunan Sampai Pemberdayaan. Yogyakarta: Aditya Media.

Sutrisno, Bambang. 2003. Pemberdayaan Mayarakat dan Pengembangan Ekonomi Kerakyatan. Dalam Bambang Rudito (editor). Akses Peran Serta Masyarakat: Lebih Jauh Memahami Community Development. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.

Usman, Sunyoto. 2004. Pembangunan dan Pemberdayaan Masyarakat. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.

Wajidi, Farid. 2007. Membangun Kemandirian Ekonomi Umat Dengan Zakat. http: www.dompetdhu’afa.com


(6)

159 Zubaedi. 2007. Wacana Pembangunan Alternatif : Ragam Perspektif

Pengembangan dan Pemberdayaan Masyarakat. Yogyakarta : Ar-Ruzz Media.