Fenomena keberadaan pengamen anak di lingkungan wisata : Studi kasus pengamen anak di lingkungan wisata Kota Tua Jakarta

(1)

FENOMENA KEBERADAAN PENGAMEN ANAK DI

LINGKUNGAN WISATA; STUDI KASUS PENGAMEN ANAK

DI LINGKUNGAN WISATA KOTA TUA JAKARTA

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Sosial (S.Sos)

Oleh:

Jamal Hilmi

108032200011

PROGRAM STUDI SOSIOLOGI

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA


(2)

(3)

(4)

(5)

(6)

i

ABSTRAKSI

Dalam penelitian skripsi ini penulis berusaha menganalisa tentang Fenomena Keberadaan Pengamen Anak di Lingkungan Wisata Kota Tua Jakarta. Tujuan penelitian ini ialah untuk memperoleh gambaran mengenai perilaku sosial serta keberadaan pengamen anak di Kota Tua Jakarta.

Adapun subjek penelitian ini adalah pengunjung wisata, pengamen anak, dan pengelola wisata Kota Tua Jakarta. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif, dengan menggunakan metode wawancara dan observasi sebagai metode pengumpulan data. Dalam skripsi ini penulis menggambarkan faktor ekonomi, budaya dan faktor sosial, untuk mengetahui perilaku sosial dan keberadaan pengamen anak di lingkungan wisata Kota Tua Jakarta.

Hasil dari penelitian ini menunjukan adanya dua faktor yang mempengaruhi perilaku sosial dan keberadaan pengamen anak di Kota Tua Jakarta yaitu; faktor ekonomi, dan faktor sosial. Faktor ekonomi mengacu pada tindakan mereka untuk mengamen berdasarkan faktor kemiskinan. Dari faktor sosial perilaku pengamen jalanan dipengaruhi oleh perilaku dalam bentuk sikap yang berasal dari keadaan lingkungan alam dan lingkungan sosial atau keadaan dari dalam dan rangsangan dari luar atau ajakan dari teman sebaya.


(7)

ii

KATA PENGATAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadiran Allah SWT yang selalu melimpahkan nikmat, hidaya dan karunia-Nya, sehingga penulis mampu menyelesaikan penulisan skripsi ini. Shalawat dan salam tak lupa kita curahkan kehadirat Nabi Besar kita Muhammad SAW, Keluarga, dan para sahabat yang telah memperjuangkan dan menyebarkan agama islam dari zaman jahiliyah sampai zaman sekarang sehingga kita tetap di berikan keselamatan dan kebahagian.

Pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan ucapkan terima kasih yang setulus-tulusnya dan penghargaa yang setinggi-tingginya, terutama kepada :

1. Prof. Dr. Zulkifli, MA selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Husnul Khitam, M.Si selaku sekretaris jurusan yang telah mendukung dan memotivasi penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

3. Bapak Muhammad Ismail, M.Si selaku dosen pembimbing yang dengan sabar memberi bimbingan, arahan, tenaga, masukan dan kritikan sehingga skripsi ini dapat selesai dengan baik

4. Ayahanda (Alm) Hasan Ishak serta Ibunda tercinta Dede Zubaidah yang selalu senantiasa memberikan suport dan mendoakan penulis. Terima kasih atas segala jerih payah dan pengorbanan yang tak


(8)

iii

terhingga serta senantiasa memberikan dukungan dan semangat tanpa henti-hentinya hingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

5. Kakak Nur Hasanah, Kakak Miskah Rusdianah, Kakak laili Syarifah, Kakak Dina Kamila, Kak Husni Mubarok, Kak Ahmad Zaki yang selalu senantiasa membimbing, mengarahkan, memberikan semangat, dukungan dan memotivasi penulis dalam penulisan skripsi ini.

6. Para Staf dan anggota Unit Pengelola Kota Tua Jakarta yang memberikan kemudahan, membantu dan meluangkan waktunya kepada penulis selama melakukan penelitian, serta semua informan, atas segala informasi yang diberikan Khususnya Ir.M. Kadir Sasmita, MT.

7. Keluarga besar Sosiologi angkatan 2008 dan seluruhnya terutama Abdul Yasir (Cacing) Ahmad Syah, Wahid Manan dan Dian Pertiwi yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu atas dukungan dan motivasi kalian.

8. Sahabat PMII, HMI, yang tidak dapat penulis sebutkan nama-namanya atas segala bantuan, motivasi, dan dukungannya, terima kasih banyak.

9. Kemudian tidak lupa teruntuk kepala suku yang selalu penulis mintai saran dan gagasannya semoga Tuhan memberikan imbalan baik buat anda sekalian, beliau adalah Bapak Nur Kafid , M.Sc,


(9)

iv

Rizq Arby Bawaka, Raden Hamid Kemale, Gus Sholeh Kaffah Mufassir, Uda Majenk, Bos Niko Muhammad serta tidak lupa putra Jepara Raden Kamal Abdul Jalil yang selalu penulis hormati. Bagi instansi atau seseorang yang namanya belum penulis sebut mohon maaf sebelumnya dan semoga skripsi ini bisa bermanfaat bagi seluruh para pembaca

Jakarta, 05 Juli 2015


(10)

v DAFTAR ISI

ABSTRAKSI ... i

KATA PENGANTAR ... ii

DAFTAR ISI... ... v

BAB I PENDAHULUAN A. Pernyatan Masalah... 1

B. Pertanyaan Penelitian... 4

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian... 4

D. Tinjuan Pustaka... 5

E. Kerangka Konsep Dan Kerangka Berfikir... 10

1. Kerangka Konsep... 10

a. Pengamen Jalanan... 10

b. Pengamen Anak... 10

2. Kerangka Berfikir... 13

F. Metode Penelitian... 14

G. Sistematika Penulisan... 18

BAB II GAMBARAN UMUM A. Gambaran Umum Sejarah Kota Tua Jakarta... 19

1. Letak Geografis Kota Tua... 19

2. Sejarah dan Pembentukan Kota Tua... ... 19


(11)

vi BAB III TEMUAN DAN ANALISIS

A. Pengamen Anak di Lingkungan Wisata Kota Tua Jakarta... 28

B. Faktor Ekonomi Pengamen Anak di Wisata Kota Tua... 34

1. Faktor Ekstrinsik... 34

2. Faktor Instrinsik... 35

C. Faktor Sosial Pengamen Anak di Wisata Kota Tua... 39

D. Perilaku Sosial Pengamen Anak di Lingkungan Wisata Kota Tua Jakarta ... 42

1. Bersifat Rasional...43

2. Berorientasi Nilai... 43

3. Tradisional... 44

BAB IVPENUTUP A. Kesimpulan... 45

B. Saran... 46

DAFTAR PUSTAKA... ... vii

LAMPIRAN-LAMPIRAN... ... vi DAFTAR LAMPIRAN

1. Surat penelitian 2. Lembaran Bimbingan 3. Dokumentasi


(12)

DAFTAR LAMPIRAN Lampiran I Wawancara dengan para pengamen

Lampiran II Wawancara dengan staff pengelola Kota Tua Jakarta

Lampiran III Wawancara dengan Kepala satuan pusat informasi pelayanan dan promosi


(13)

DAFTAR TABEL

Tabel II.D.1. Populasi Pengamen di Kota Tua Jakarta... 29


(14)

1 BAB I PENDAHULUAN A. Pernyataan Masalah

Penelitian ini membahas tentang fenomena keberadaan pengamen di lingkungan wisata Kota Tua Jakarta. Secara spesifik skripsi ini mencoba menjelaskan fakor apa yang menyebabkan mereka mengamen di lingkungan wisata Kota Tua Jakarta, serta melihat bagaimana perilaku sosial pengamen anak Kota Tua Jakarta.

Hidup di Kota metropolitan tentu tidak mudah dengan karakteristik masyarakat perkotaan yang bersifat individualistik menyebabkan adanya persaingan satu sama lain dalam memperoleh suatu pekerjaan, sedangkan lapangan kerja yang tersedia tentunya harus disesuaikan dengan keahlian dan keterampilan pendidikan yang cukup. Oleh karena itu, membutuhkan referensi untuk meningkatkan kinerja yang memadai supaya memaksimalkan kualitas maupun kuantitas yang bagus dalam dunia industri, guna mendapatkan suatu pekerjaan yang layak

Akibat itu timbul pekerjaan sektor informal sebagai akibat dari kesulitan menghadapi kehidupan perkotaan. Adanya pekerjaan sektor informal yang dikarenakan kesulitan dalam memperoleh kehidupan di perkotaan, hal itu berimplikasi pada munculnya kegiatan yang marginal maupun terbentuknya sekumpulan komunitas pengamen anak yang terjun ke jalan untuk mencari rezeki dikarenakan faktor ekonomi yang lemah tidak memadai, tidak adanya perlindungan terhadap anak dalam aspek pendidikan, adanya eksploitasi


(15)

2

pekerja anak dan kurangnya perlindungan anak dalam menjalankan kehidupan sosial di Kota (Damsar,2002;149).

Anak adalah harapan masa depan suatu bangsa, tunas yang berpotensi membawa bangsa ke arah yang lebih baik atau bisa juga lebih buruk. Maka dari itu, amat miris rasanya melihat anak-anak yang hidup mengamen di jalanan, bukannya bersekolah. Rasanya lebih menyedihkan dari pada melihat orang dewasa yang melakukan pekerjaan serupa. Banyaknya para pengamen anak di pinggiran Ibu kota untuk bisa bertahan hidup. Hal ini sangat terasa kalau hidup ini adalah penuh dengan perjuangan namun bagaimana dengan tanggungjawab Pemerintah. Apakah hal ini terus akan berjalan sesuai dengan kodrat yang di jalani oleh setiap manusia, jika kita bernasib sama dengan mereka.

Saat ini, permasalahan terkait anak semakin banyak dan beragam. Indikasinya adalah semakin banyaknya anak-anak terlantar dan yatim-piatu yang tidak terurus, pemberdayaan anak-anak yang tidak pada tempatnya, kita semua mengetahui bahwa kehidupan anak-anak seharusnya diisi dengan bermain, belajar, dan bersukaria. Begitu juga dengan permasalahan pengamen anak di perkotaan merupakan suatu hal yang dianggap wajar oleh masyarakat, hal ini merupakan suatu hal yang tidak wajar terjadi. Permasalahan pengamen anak merupakan salah satu dampak dari kurangnya kesadaran dan kepedulian sosial di masyarakat terhadap kondisi anak-anak.

Terbentuknya anak jalanan bervariasi maka kehidupan yang dijalani pun menjadi beragam, faktor utama anak jalanan tumbuh dan berkembang adalah latar belakang kehidupan yang akrab dengan kemiskinan, penganiayaan, dan


(16)

3

hilangnya rasa kasih sayang, sehingga memberatkan jiwa dan membuat berperilaku negatif. Sebagai contoh anak-anak jalanan latar belakang ekonomi keluarganya kurang mampu menyebabkan mereka turun ke jalan untuk mencari tambahan penghasilan keluarganya. Dengan kata lain mereka berusaha menafkahi diri mereka sendiri, bahwa anak-anak jalanan yang lepas dari bimbingan orang tua dan keluarganya pada umumnya, mereka tinggal di luar lingkungan keluarganya dan tinggal bersama-sama dengan teman sebayanya, kemudian membentuk suatu kelompok.

Banyak orang tua yang mempekerjakan anak-anaknya menjadi pengamen anak jalanan. Data dari Susenas (2009) juga memperkirakan 19 %, 13 s/d 15 tahun, sudah tidak bersekolah lagi atau droup out, dikarenakan dengan alasan faktor ekonomi keluarga yang tidak mampu, sehngga mereka menjadi pengamen anak di jalanan.

Kekhawatiran akan perkembangan anak yang bekerja di jalanan dilontarkan oleh praktisi pemberdayaan perempuan dan anak nasional Wardah Hafidz pada diskusi antara Jaringan Fenomena Anak Jalanan yang diselenggarakan oleh Media Konsultan Almadina bersama Forum Komunikasi Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (FKP3A), bahwa Indonesia 15 tahun mendatang akan menjadi bangsa pengemis, karena banyak orang tua yang mengeksploitasi anaknya dengan bekerja sebagai pengamen atau pengemis..( repository. Unand.ac.id)

Dapat dilihat bahwasananya persoalan pengamen anak jalan di Ibu Kota Jakarta, terutama pengamen anak di lingkungan wisata Kota Tua Jakarta sangat


(17)

4

serius sehingga perlu mendapatkan perhatian yang sungguh-sungguh dari semua pihak-pihak yang terkait, baik itu pemerintah pusat maupun daerah dalam menangani pengamen anak dan eksploitasi anak menjadi mengamen, persoalan ini menjadi daya tarik sendiri bagi penulis untuk melakukan litian lebih lanjut, dengan judul “Fenomena Keberadaan Pengamen Anak Di Lingkungan Wisata. Studi Kasus; Pengamen Anak di Lingkungan Wisata

Kota Tua Jakarta”.

B. Pertanyaan Penelitian

Berdasarkan uraian pernyataan masalah diatas, maka pertanyaan penelitian yang akan diteliti adalah:

1. Faktor apa saja yang menyebabkan adanya pengamen anak mengamen di lingkungan wisata Kota Tua?

2. Bagaimana perilaku sosial pengamen anak di lingkungan wisata Kota Tua Jakarta?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian

1. Untuk mengetahui faktor penyebab anak-anak mengamen di lingkungan wisata Kota Tua Jakarta

2. Untuk mengetahui bagaimana perilaku sosial pengamen anak di lingkungan wisata Kota Tua Jakarta.


(18)

5 2. Manfaat Penelitian

1. Penelitian ini memberikan kontribusi bagi pemerintah DKI dalam menggambil kebijakan tentang penanggulangan di tempat wisata terutama masalah pengamen anak.

2. Penelitian ini secara akademis bermanfaat untuk memberi sumbangan bagi sosiologi kemiskinan di daerah perkotaan

D. Tinjauan Pustaka

Sebagai bahan pertimbangan dalam penelitian ini, peneliti fokus melakukan tinjauan beberapa literatur yang terkait sebagai berikut:

1. Laporan penelitian yang dilakukan Baruddin (2006), dengan judul “Perkembangan Medan Menuju Kota Metropolitan dalam Perspektif Sosiologi Perkotaan.” Dalam penelitian ini, Baruddin melihat bahwa perkembangan Kota di suatu Negara berakibat meningkatnya jumlah imigran yang ingin mengadu nasib di kota. Kehadiran imigran ke kota tentu membutuhkan berbagai fasilitas perkotaan seperti, lahan, perumahan, pendidikan, listrik dan pekerjaan. Untuk memenuhi berbagai kebutuhan tersebut pemerintah berupaya membuat berbagai kebijakan dan program pembangunan.

2. Laporan penelitian yang dilakukan Yuliarti (2012), dengan judul “Eksploitasi Anak Jalanan sebagai Pengamen dan Pengemis di Terminal Tidar oleh Keluarga” Metode penelitian menggunakan pendekatan kualitatif, pengumpulan data dilakukan dengan cara observasi,wawancara dan dokumentasi. Hasil penelitian menunjukkan


(19)

6

bahwa anak jalanan di terminal tidar berasal dari keluarga miskin dan pendidikan rendah, anak-anak dieksploitasi menjadi pengamen anak jalanan untuk kepentingan ekonomi.

3. Penelitian Sumartono (2013), tesis dengan judul “Pelanggaran Mengamen, Meminta-Minta dan Memberi Uang Kepada Pengamen, Pengemis dan Anak Jalanan di Kota Madiun” Adapun metode kuantitatif dalam analisinya menggunakan pendekatan deskriptif-evaluasi, dan hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pentingnya perda Nomor 8 tahun 2010 untuk menjaga ketentraman dan ketertiban umum di kota Madiun, namun pelaksanaannya masih kurang efektif dalam menyesaikan masalah pengemis, pengamen dan anak jalanan. 4. Laporan penelitian Riady (2011) yang berjudul “Tindakan Sosial

Anak Jalanan di Kawasan Pantai Losari,” di latar belakangi oleh fenomena anak jalanan dianggap sebagai produk gagal dari pembangunan yang sedang digalak oleh pemerintah kita saat ini. Anak jalanan memilih hidup di jalan terkadang bukan hanya faktor kondisi kesulitan ekonomi namun juga karena mereka menikmati kondisi lingkungan di jalan. Pantai Losari yang merupakan kawasan pariwisata di Kota Makassar, tempat ini selalu ramai dengan pengunjung sore maupun malam hari karena keramaian tempat ini menjadikan lahan bagi para pengamen mencari nafkah dan mendapatkan teman. Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan melakukan survey dan menyebarkan angket atau kuesioner,


(20)

7

wawancara, serta dokumentasi pada saat penelitian di lapangan. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa tindakan mereka pada umumnya didasari pada hasrat ingin menuangkan kreatifitas mereka akan bakat nyanyi lewat pengamen. Sebab pengamen menurut mereka merupakan kegiatan yang menyenangkan bagi mereka karena dengan mengamen mereka bisa menyalurkan hobi dan bakat mereka di bidang seni. 5. Laporan penelitian Fitriadi (2011), dengan judul “Citra Diri

Pengamen Pedesaan.” Metode yang digunakan adalah penelitian deskriptif kualitatif, dalam penelitian tersebut ditemukan bahwa motivasi menjadi seorang pengamen terdiri dari himpitan ekonomi, pengaruh lingkungan konflik internal keluarga atau pelampiasan dan kenakalan remaja. Pembagian kerja pengamen mengenal dua pola yaitu secara individu dan secara berkelompok, pengamen dalam penelitian tersebut mengalami kemiskinan struktur di mana pengamen tidak memiliki sarana untuk terlibat dalam proses politik sehingga menyebabkan mereka berada dalam lapisan paling bawah di pedesaan. Terkait dengan penelitian-penelitian yang telah dilakukan mengenai keberadaan pengamen anak di kota sesuai dengan apa yang tergambarkan di atas, dapat disimpulkan sebagai berikut:

1. Kehadiran imigran untuk mengadu nasib ke kota tentu membutuhkan berbagai fasilitas perkotaan seperti, lahan, perumahan, pendidikan, listrik dan pekerjaan. Untuk memenuhi berbagai kebutuhan tersebut


(21)

8

pemerintah berupaya membuat berbagai kebijakan dan program pembangunan.

2. Anak jalanan di terminal tidar berasal dari keluarga miskin dan pendidikan rendah, anak-anak dieksploitasi menjadi pengamen anak jalanan untuk kepentingan ekonomi sehari-hari.

3. Perda Nomor 8 tahun 2010 untuk mengatasi dan menjaga ketentraman serta ketertiban umum di kota Madiun, namun pelaksanaannya masih kurang efektif dalam menyelesaikan masalah pengemis, pengamen dan anak jalanan.

4. Anak jalanan memilih hidup di jalan terkadang bukan hanya faktor kondisi kesulitan ekonomi namun juga karena mereka menikmati kondisi lingkungan di jalan. Pantai Losari yang merupakan kawasan pariwisata di kota Makassar, pada umumnya didasari pada hasrat ingin menuangkan kreatifitas mereka akan bakat nyanyi lewat mengamen. Sebab pengamen menurut mereka merupakan kegiatan yang menyenangkan bagi mereka karena dengan mengamen mereka bisa menyalurkan hobi dan bakat mereka di bidang seni.

5. Pembagian kerja pengamen mengenal dua pola yaitu secara individu dan secara berkelompok, pengamen dalam penelitian tersebut mengalami kemiskinan struktur di mana pengamen tidak memiliki sarana untuk terlibat dalam proses politik sehingga menyebabkan mereka berada dalam lapisan paling bawah di pedesaan.


(22)

9

Dari apa yang sudah disimpulkan terkait hasil riset yang dilakukan sebelumnya mengenai pengamen anak di Kota. Maka adapun persamaan dan perbedaan peeneliti dengan penelitian sebelumnya adalah bahwa persamaan penelitian sebelumnya melihat pada perkembangan Kota Negara berakibat meningkatnya jumlah imigran yang ingin mengadu nasib di kota. Adapun metode dalam analisisnya menggunakan pendekatan deskriptif, evaluatif, metode penelitian menggunakan pendekatan kualitatif, pengumpulan data dilakukan dengan cara observasi, wawancara dan dokumentasi. Fenomena anak jalanan dianggap sebagai produk gagal dari pembangunan yang sedang digalak oleh pemerintah kita saat ini.

Penelitian ini lebih menekankan pada anak di lingkungan Wisata Kota Tua Jakarta serta melihat bagaimana perilaku sosial pengamen anak di Wisata Kota Tua Jakarta dengan melihat dari aspek sosiologi perkotaan. dengan unit analisisnya yaitu pengamen anak pengunjung Wisata Kota Tua Jakarta, dan Pengelola Wisata Kota Tua Jakarta. Penelitian ini juga menggunakan analisis pendekatan teori pilihan rasional ekonomi. Dengan didasari perbedaan penelitian tersebut penulis tertarik untuk melakukan penelitian ini, guna menambah khazanah ilmiah Sosiologi Perkotaan tentang keberadaan pengamen anak di lingkungan Wisata Kota Tua Jakarta.


(23)

10

E. Kerangka Konsep dan Kerangka Berfikir 1. Kerangka Konsep

a. Pengamen Jalanan

Pengamen sering disebut pula sebagai penyayi jalanan ( Inggris: street singers ), sementara musik-musik yang dimainkan umumnya disebut sebagai musik jalanan. Pengertian anak musik jalanan dengan kata lain penyayi jalanan. Secara terminologi tidaklah sederhana, karena musik jalanan dan penyayi jalanan masing-masing mempunyai disiplin dan pengertian yang spesifik bahkan dapat dikatakan suatu bentuk dari sebuah warna musik yang berkembang di dunia kesenian.

Perkembangan pengamen telah ada sejak abad pertengahan terutama di Eropa bahkan di kota lama London terdapat jalan bersejarah bagi pengamen yang berada di Islinton, London, pada saat itu musik di Eropa berkembang sejalan dengan penyebaran musik keagamaan yang kemudian dalam perkembangannya beberapa pengamen merupakan sebagai salah satu landasan kebudayaan yang berpengaruh dalam kehidupan umat manusia.

b. Pengamen Anak

Pengamen anak dapat dikatakan sebagai anak jalanan, karena mengacu pada anak-anak yang mempunyai kegiatan ekonomi di jalanan (misalnya juga; pengemis, anak punk, pengamen jalananan dan lainnya). Perbedaan pengamen anak dengan pengamen jalanan lebih didasarkan atas usia yang mereka miliki. Perlu dicatat, bahwa yang masuk dalam kategorisasi usia anak berkisar 5-17 tahun yang rentan bekerja di jalanan, sehingga jika sesorang


(24)

11

memiliki usia di atas 17 tahun melakukan tindakan mengamen, maka aktor tersebut di istilahkan dengan sebutan pengamen jalanan.

Ada tiga dimensi konsep diri pada umumnya yang dimiliki oleh pengamen anak, yakni pengetahuan, harapan, dan penilaian atau evaluasi, terlihat sekali subjek menyadari bahwa ia adalah seorang pengamen anak yang tidak mungkin dapat mewujudkan harapan-harapannya seperti sekolah kembali, dan bukan menjadi seorang anak jalanan. Hal ini dapat menimbulkan konsep diri yang mengarah ke konsep diri yang negatif pada diri subjek. Adapun beberapa faktor pembentukan konsep diri diantaranya yaitu; faktor orang tua (keluarga), kawan sebaya, dan masyarakat (Papalia, Olds, dan Feldman, 2004). Faktor pertama adalah orang tua. Hubungan subjek dengan keluarganya tidak begitu erat. Sebelum kedua orang tuanya bercerai, subjek sering mendengar mereka bertengkar dan saling menyalahkan satu sama lainnya, dan mendengar bahwa namanya disebut-sebut sebagai pembawa masalah. Ditinjau dengan teori Baldwin dan Holmes (dalam Calhoun dan Acocella: 1995), orang tua adalah kontak sosial yang paling awal dan yang paling kuat. Akibatnya, orang tua menjadi sangat penting dimata anak. Apa yang dikomunikasikan oleh orang tua pada anak lebih menancap dari pada informasi lain yang diterima anak sepanjang hidupnya.

Bagaimanapun perlakuan orang tua terhadap anak yang menduga bahwa dirinya memang pantas diperlakukan begitu (Le Roux dan Smith,1998). Perasaan nilai dirinya sebagai orang berasal dari nilai yang diberikan orang tua kepada mereka (Coopersmith dalam Calhoun dan Acocella, 1995). Dalam


(25)

12

kasus ini, subjek mengatakan bahwa dirinya sering disebut sebagai pembawa masalah oleh kedua orang tuanya, hal tersebut dapat membentuk konsep diri yang negatif pada diri subjek. Begitu pula dengan perasaan subjek bahwa kedua orang tuanya tidak menyayangi dirinya, hal ini menimbulkan konsep diri yang negatif.

Faktor kedua adalah kawan sebaya, subjek memiliki teman dari berbagai kalangan, ada yang sebagai pengamen, preman, anak kuliahan, bahkan juga yang bekerja di kantoran. Selama ini subjek merasa bahwa teman temannya, baik yang anak jalanan maupun yang orang kantoran dan anak kuliahan, dapat menerima akan keberadaan dirinya, kelompok kawan sebaya anak menempati kedudukan kedua setelah orang tuanya dalam mempengaruhi konsep diri (D’Abreu ,Mullis, dan Cook,1999).

Namun di sisi lain subjek merasa bahwa dirinya tidak ada apa-apanya dan merasa minder jika dibandingkan dengan teman-temannya yang anak kuliahan dan yang bekerja di kantor. Subjek berpikiran bahwa tidak mungkin seorang anak jalanan seperti dirinya dapat berkenalan bahkan sampai berteman dengan orang yang bekerja dikantoran dan yang kuliahan. Hal yang terkait bahwa, yang dikatakan seorang pengamen anak tersebut berbeda status pendidikan maupun realistis maka malu untuk berkenalan kepada orang lain maka tidak ada perbedaan status pendidikan atau tidak ada yang lainya demi memperbanyak pergaulan dan wawasan bagi pengamen anak, oleh karena itu setiap manusia sama diciptakan tidak ada perbedaannya.


(26)

13

Di samping masalah penerimaan atau penolakan, peran yang diukir anak dalam kelompok teman sebayanya mungkin mempunyai pengaruh yang dalam pada pandangan tentang dirinya sendiri (Burns ,1993). Di dalam kasus ini, subjek, yang menyadari bahwa dirinya hanya seorang anak jalanan, merasa interior dengan teman-temannya yang bekerja di kantor dan yang kuliah. Hal ini menunjukkan bahwa subjek memiliki konsep diri yang cenderung mengarah kepada konsep diri yang negatif.

Faktor berikutnya adalah masyarakat. Subjek mengatakan bahwa dirinya pernah dikejar-kejar oleh petugas tantib. Subjek merasa kesal pada para petugas tantib tersebut karena subjek merasa apa yang subjek lakukan adalah semata untuk mencari uang dengan halal dan subjek sempat merasa dirinya dan orang-orang miskin yang hidup di jalanan adalah orang-orang yang tidak diharapkan. Perasaan berbeda dengan orang kebanyakan menyebabkan banyak anak jalanan mengembangkan konsep diri yang negatif (de Moura, 2002). Di dalam kasus subjek, walaupun subjek pernah mengalami kejadian yang membuatnya merasa dihargai dan dianggap sebagai seorang manusia, yakni ketika ada seorang bapak-bapak yang memberikan semua uang kembalian kepadanya.

2. Kerangka Berfikir

Setiap penelitian tentu diperlukan adanya kerangka berfikir sebagai pijakan atau sebagai pedoman dalam menentukan arah dari penelitian, hal ini diperlukan agar penelitian tetap terfokus pada kajian yang akan diteliti. Alur kerangka berfikir pada penelitian ini akan dijelaskan sebagai berikut:


(27)

14

Bagan I.E.1: Skema Kerangka Berfikir

Peneliti mencoba memakai dua faktor ini yaitu faktor ekonomi dan faktor sosial yang nantinya sebagai penunjang terjadinya hubungan antara kerangka berfikir dan temuan data yang nantinya akan dijadikan sebagai acuan untuk menemukan faktor-faktor pendorong terjadinya fenomena pada pengamen anak.

F. Metodologi Penelitian 1. Pendekatan penelitian

Pendekatan penelitian yang digunakan adalah pendekatan kualitatif. pendekatan penelitian ini dapat diartikan sebagai pendekatan penelitian yang dapat menghasilkan data deskriptif mengenai kata-kata lisan maupun tertulis, dan tingkah laku yang dapat diamati secara mendalam dari orang-orang yang diteliti (Lexy J.Moleong.2009:3). Disamping itu, pendekatan penelitian ini juga menekankan pada persoalaan kedalaman data bukan banyaknya data tersebut. Karena data yang didapat akan relevan apabila dalam penelitian data yang didapat dari informan merupakan suatu hal yang memang menjadi problem permasalahan tanpa dibuat-buat atau direkayasa oleh informan. Penelitian ini

FAKTOR EKONOMI  Instrinsik

 Ekstrinsik 

FAKTOR SOSIAL


(28)

15

juga berusaha menerangkan suatu fenomena sosial perkotaan mengenai keberadaan pengamen anak di lingkungan wisata Kota. Fenomena sosial perkotaan menjadi salah satu pokok permasalahan yang sangat menarik untuk dilakukan penelitian.

Sedangkan dalam penelitianya menggunakan metode studi kasus metode studi kasus digunakan karena peneliti ingin menerangkan suatu peristiwa yang sedang terjadi di dalam lingkungan wisata Kota Tua Jakarta khususnya mengenai keberadaan pengamen anak di lingkungan wisata tersebut. Walaupun secara garis besar pokok-pokok problem sosial yang terjadi secara umumnya memiliki kecenderungan yang sama. Namun perlu diingat setiap objek yang diteliti memiliki problem tersendiri. Karena penelitian ini bersifat mendalam, untuk mendapatkan data yang akurat, maka akan membutuhkan waktu yang relatif lama (Burhan Bungin. 2008:69).

2. Subjek Penelitian

Subjek Penelitian ini adalah pengamen anak yang berada di lingkungan wisata Kota Tua Jakarta, informan yang akan diwawancarai sebanyak 8 orang anak pengamen yakni; IR, IN, AD, BA, MA, DI, AJ, UD. Selain itu peneliti juga mewawancarai 5 orang informan pengujung wisata Kota Tua Jakarta yakni; YA, GU, DW, RU, JT, dan terakhir yang menjadi subjek penelitian ialah kepada pengelola tempat wisata Kota Tua Jakarta tersebut, adapun informan yang diwawancarai sebanyak 4 orang yakni: BNP, DE, HE, dan BAM.


(29)

16 3. Jenis data dan sumber data

Adapun jenis data yang digunakan dalam penelitian ini dibagi menjadi dua jenis, yaitu:

a. Data primer, yaitu data yang diperoleh dengan melakukan wawancara dan pegamatan terhadap 17 orang informan termasuk pengamen anak di Kota Tua Jakarta, 8 pengunjung wisata Kota Tua Jakarta 5 orang, unit pengelola Kota Tua Jakarta 4 orang.

b. Data sekunder, yaitu data yang diperoleh dari kajian pustaka dan sebagai penunjang dari data primer seperti, dokumen, artikel, koran, dan sebagainya.

4. Teknik Pengumpulan Data

Data-data yang diambil dari penelitian ini dikumpulkan dengan teknik sebagai berikut:

a. Wawancara

Dengan wawancara mendalam atau bertatap muka secara langsung antara penanya dengan informan yang dilengkapi dengan pedoman wawancara yang sesuai agar mempermudah dalam mengajukan pertanyaan serta eksplorasi. Teknik ini merupakan yang terbaik dalam mendapatkan data pribadi dan dapat dijadikan perlengkap teknik pengumpulan data (Husnainy Usman & Purnomo Setiadi Akbar. 2008:57).

b. Obervasi

merupakan pengumpulan data dengan cara mengamati objek yang sedang diteliti atau yang sedang berlangsung. Observasi digunakan untuk melengkapi


(30)

17

data yang tidak dapat diambil dari teknik wawancara. Teknik ini akan membuat data yang diperoleh dalam sebuah penelitian akan semakin akurat. Observasi yang dilakukan tidak terstuktur dilaksanakan sebelum dan saat penelitian berlangsung (participant Observation), mencatat yang berkaitan dengan objek penelitian, dan penelitian ikut terlibat langsung di lapangan. Observasi akan digunakan untuk mengamati tingkah laku para pengamen dan pengunjung selama melaksanakan aktivitasnya, Obyek pengamatannya adalah ingin mengetahui faktor keberadaan pengamen anak, dan proses menggamen pengamen anak.

c. Dokumentasi

Pengumpulan data-data yang bersangkutan dengan penelitian ini atau sumber-sumber tertulis dari bahan-bahan kepustakaan yang berkaitan dengan objek penelitian yang dimaksud

5. Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilakukan di kota tua, yang berada di Jalan Pintu Besar Utara Gedung Batavia Kelurahan Pinansia Kecamatan Taman Sari, berdekatan dengan Stasiun Jakarta Kota Tua. Di kota Tua itu banyak terdapat pengamen anak dari pagi sampai sore hari, karena memang tempat wisata tersebut memiliki tempat yang sangat strategis serta merupakan tempat wisata yang ramai akan pengunjung dan juga pengamen anak.

Lokasi penelitian yang diambil adalah di area Kota Tua, lokasi ini diambil untuk melihat bagaimana keberadaan pengamen anak di lingkungan Kota Tua Jakarta barat. Pengamen anak di Kota Tua dalam kegiatannya bekerja sebagai


(31)

18

seorang mengamen. Di pilihnya lokasi inilah banyak terdapat pengamen anak-anak yang bekerja mencari uang dalam kegiatan dan aktivitas pekerjaan sebagai mengamen. Adapun penelitian ini dilaksanakan pada bulan Januari 2015 sampai bulan Juli tahun 2015.

G. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan skripsi ini terdiri dari empat bab yang meliputi: Bab I membahas pernyataan masalah, pertanyaan penelitian tujuan dan manfaat penenlitian, tinjuan dan manfaat penelitian, tinjauan pustaka, kerangka berfikir, metodelogi penelitian, dan sistematika penulisan.

Bab II menjelaskan sejarah Kota Tua Jakarta, kondisi pengamen anak di lingkungan Kota Tua Jakarta.

Bab III peneliti memaparkan temuan penelitian dengan menganalisis hasil penelitian dan temuan-temuan di lapangan, mengenai fenomena keberadaan pengamen anak serta prilaku sosial di lingkungan Kota Tua Jakarta.


(32)

19 BAB II

GAMBARAN UMUM A. Sejarah Kota Tua Jakarta

1. Letak Geografis Kota Tua

Jakarta memiliki kawasan yang terkenal yaitu Kawasan Kota Tua jakarta yang identik dengan keindahan Batavia dengan bangunan-bangunan bergaya arsitektur Eropa (Belanda) dengan luas 88 ha atau sekitar 3% dari luas kota Jakarta 650 km2 (6500 ha) (Suratminto, 2012:7).

Kota Tua Jakarta, juga dikenal dengan sebutan Batavia Lama (Oud Batavia), yang merupakan sebuah wilayah kecil di Jakarta, Indonesia. Wilayah khusus Kota Tua Jakarta memiliki luas 1,3 kilometer persegi melintasi Jakarta Utara dan Jakarta Barat (Pinangsia, Taman Sari dan Roa Malaka).

Kota Tua Jakarta juga dijuluki "Permata Asia" dan "Ratu dari Timur" pada abad ke-16 oleh pelayar Eropa, Jakarta Lama dianggap sebagai pusat perdagangan untuk benua Asia karena lokasinya yang strategis dan sumber daya melimpah (https://id.wikipedia.org/wiki/Kota_Tua_Jakarta). Diunduh pada hari minggu 05/07/2015.

2. Sejarah dan Pembentukan Kota Tua

Kota Tua Jakarta terdapat beberapa macam bangunan cagar budaya yang memilik makna berarti suatu nilai bangunan yang terkait masa sejarah historis yang kebetulan memang di kawasan Kota Tua Jakarta ini memiliki nilai kental


(33)

20

nilai sejarah, sejarahnya Kota Tua ini disebut Batavia yang di kenal sebutan Sunda Kelapa berupa menjadi Kota Tua Jakarta, makna tersebut yang menjadikan kawasan ini di Kota Tua Jakarta karena adanya bangunan cagar budaya yang usianya cukup tua dan bangunan itu memilki nilai tertua sesuai dengan sejarahnya, jadi disebut Kota karena jesifikasinya Kota itu dulu Pusat Kota pemerintahan pada masa penjajahan Belanda.

Dalam rangka pengelolaan Kota Tua Jakarta untuk itu diperlukan program penataan pengembangan pelestarikan dan pemanfaatan yang pemakna kawasan sebagai upaya revitalisasi Kawasan Kota Tua Jakarta gunanya adalah ingin memunculkan kembali nilai-nilai sejarah Kota tersebut yang ada dimasa penjajahan Belanda di Indonesia ini, khususnya Ibu Kota Tua Jakarta pada masa lalu, sebagai contoh; Kota Tua ini dulu pernah ada memiliki pelabuhan Sunda Kelapa dan Benteng Kastil Batavia sebagai tern Kota Tua.

Program kerja sesuai dengan tugas dan fungsi bagi pengelola Kota Tua antara lain yaitu, fungsi pengelola Kota Tua Jakarta diatur dalam peraturan Gubenur Propinsi DKI Jakarta No 7 Tahun 2011, hal ini kemudian sertifikasi lebih lanjut kedudukan tugas dan fungsi tersebut atau unit Pengelola Kota Tua tersebut diatur dalam pasal 3 dan pasal 4 di dalam No 7 Tahun 2011, diantaranya kita adalah menyusun suatu rencana anggaran maupun rencana program kegiatan yang terkait akan penataan Kota Tua Jakarta dalam Pemerintah DKI Jakarta dengan tingkatan Wali Kota Jakarta. Kota Tua Batavia dengan Pelabuhan Sunda Kelapa adalah cikal bakal dari kota Jakarta saat ini. Sejarah Kota Tua Jakarta dimulai dari sebuah pelabuhan yang kini dikenal


(34)

21

sebagai Sunda Kelapa atau Kerajaan Tarumanegara (Thomas B. Ataladjar, 2003: 6). Prasasti yang terakhir yang paling banyak memberikan keterangan dan petunjuk mengenai kerajaan Hindu tertua di Pulau Jawa, yaitu Tarumanegara. Prasasti Tugu ditemukan pada tahun 1878 di Kampung Batu Tumbuh, Desa Tugu, Kelurahan Semper, Kecamatan Cilincing, sebelah Tenggara Tanjung Priok, Jakarta Utara. Pada 1910, prasasti ini dipindahkan ke Museum Pusat (Thomas B.Ataladjar, 2003:7). Kini Museum Nasional/Museum Gajah dan replica-nya masih dapat kita saksikan di Museum Sejarah Jakarta atau Museum Fatahillah.

Pada 22 Juni 1527 (Tangal 22 Juni 1527 inilah yang hingga saat ini diperingati sebagai hari jadi Kota Jakarta). Kesultanan Demak, Cirebon dan Banten bersatu dibawah pimpinan Fatahillah menyerbu Sunda Kalapa yang secara cepat berhasil merebut dan menguasai Sunda Kalapa. Bangsawan asal Sumatera sekaligus menantu dari Sultan Trenggono penguasa Demak ini, kemudian mengganti nama Sunda Kalapa yang baru direbutnya itu menjadi pelabuhan “Jayakarta” yang berarti kemenangan sempurna (Alwi Shihab, Maria van Engels 2006).

Sebagaimana yang diungkapkan oleh BNP, salah satu kepala satuan pelaksana pengawasan dan penataan perkembangan.

“Kota Tua itu di dalam wilayahnya terdapat beberapa macam banyaknya bangunan cagar budaya bermakna berarti suatu nilai bangunan yang terkait amat masa sejarah, histori yang kebetulan emang di kawasan Kota Tua Jakarta


(35)

22

ini memiliki nilai kental akan sejarah, sejarahnya Kota Tua ini disebut Kota Tua Batavia yang dikenal dengan sebutan Sunda Kelapa berubah menjadi Kota Batavia dan berubah menjadi Jayakarta berubah menjadi Kota Tua Jakarta, nach makna tersebutlah yang menjadikan kawasan ini disebut Kota Tua Jakarta karena adanya bangunan cagar budaya yang usia dan makna bangunan itu memiliki nilai tertua sesuai dengan sejarahnya jadi disebut kota karena jesifikasinya kota itu dulu pusat kota pemerintahan pada masa penjajahan Belanda” (Hasil wawancara pribadi dengan Bayu Niti Permana pada tanggal 26 Maret 2015).

Fatahillah, kemudian diangkat menjadi Bupati Jayakarta, yang secara hierarkis bertanggungjawab kepada Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati, wali yang berkedudukan di Cirebon. Penguasaan Jayakarta berlangsung dari 1527 hingga 1619 yang berakhir ketika orang-orang Belanda di bawah bendera VOC (Sagimun MD, 1999:59-60). Pimpinan Jan Pieterszoon Coen ( Gubernur Jenderal VOC ke-4 di Belanda, dan pertama di Batavia Hindia Belanda), berhasil menaklukan Jayakarta (Daerah tempat dikuburkannya Pangeran Ahmad Jakarta (penguasa terakhir dari Keraton Jayakarta) itu kini dinamakan dengan Jatinegara Kaum).

Jp. Coen dengan bebasnya menghancurkan keraton dengan seluruh isinya dan mengganti nama Jayakarta menjadi Batavia. Pusat kota Batavia terletak di bekas Balai Kota yang kini menjadi Museum Sejarah Jakarta atau Museum Fatahillah. Bangunan bertingkat dua yang menjadi pusat kota dan pemerintahan VOC se-Asia Tenggara itu diselesaikan pada tahun 1712.


(36)

23

Batavia seluas 139 hektar tetapi kemudian diperluas menjadi 846 hektar dimana termasuk Pelabuhan Sunda Kelapa, Pasar Ikan, Pecinan Glodok.

Tanah tempat Museum Bahari berdiri pada waktu galangan ini mulai beroperasi masih merupakan rawa-rawa dan empang. Tentang Kali Besar ini, hingga awal abad ke-18 merupakan daerah elit Batavia. Di sekitar kawasan ini juga dibangun rumah Koppel yang dikenal kini sebagai Toko Merah dikarenakan balok, kusen dan papan dinding di dalamnya di cat merah.

Willard A. Hanna dalam bukunya “Hikayat Jakarta” mencatat, bahwa kejadian itu diawali oleh gempa bumi yang begitu dahsyat. Malam tanggal 4-5 November 1699, yang menyebabkan kerusakan besar pada gedung-gedung dan mengacaukan persediaan air dan memporak-porandakan sistem pengaliran air di seluruh daerah. Pada abad ke-18, orang-orang kaya memang mampu meninggalkan rumah mereka di Jalan Pangeran Jayakarta dan pindah ke selatan, ke kawasan Jalan Gajah Mada dan Lapangan Banteng sekarang.

Penanggulangan keadaan buruk itu baru dilaksanakan waktu pemerintahan Marsekal Daendels pada zaman Perancis tahun 1809. Operasi yang dilanjutkan oleh para Insinyur yang cakap, berhasil menormalkan arus sungai tersebut. Sementara itu, pada 09 Mei 1821 Bataviasche Courant melaporkan, bahwa 158 orang meninggal akibat kolera di Kota dan tiga hari kemudian 733 korban lagi di seluruh wilayah Batavia. Tragedi ini menjadi akhir kisah Oud Batavia dan menjadi awal pembentukan Nieuw Batavia (Batavia Baru) di tanah Weltevreden (kini sekitar Gambir dan Monas).


(37)

24

VOC hanya bertahan hingga 1799 (pada tahun ini VOC dibubarkan karena hutang dan korupsi besar-besaran sehingga mengalami kebangkrutan. VOC dikenal oleh masyarakat pribumi sebagai Kompeni).Setelah itu pemerintahan Nederlansche India (Hindia Belanda) diambil alih langsung oleh Kerajaan Belanda. Di bawah penguasaan langsung dari Kerajaan Belanda, pada pertengahan abad ke-19, kawasan Nieuw Batavia ini berkembang pesat. Banyak bangunan-bangunan berarsitektur indah menghiasi kawasan ini. Pada 1942 tentara Jepang berhasil mengambil alih kekuasaan kerajaan Belanda atas Batavia dan mengganti namanya menjadi Jakarta begitu pun pelabuhan Batavia digantinya menjadi pelabuhan Jakarta (Dinas Kebudayaan dan Permuseuman, 2003:97). Pada periode ini banyak bangunan peninggalan Belanda yang diratakan dengan tanah. Jepang berkuasa tidak lebih dari tiga tahun, tepat pada pada 17 Agustus 1945, Hindia Belanda diproklamasikan rakyat Indonesia dan Jakarta namanya diabadikan sebagai Ibu Kota dari Republik Indonesia.

Kota Batavia didirikan di sebuah wilayah dulunya bernama Jayakarta (1527-1619).VOC menamai kota baru itu sebagai Batavia dengan pusat kotanya tepat berada disekitar Taman Fatahillah sekarang. Dari sinilah VOC mengendalikan semua kegiatan perdagangan, militer, dan politiknya selama menguasai Nusantara.

Dengan latar belakang sejarah yang begitu panjang, maka sangat layak jika kemudian daerah bekas kekuasaan berbagai kerajaan dan negara itu kita sebut sebagai Kota Tua. Sebagai Kota yang tua (lama), sudah tentu banyak


(38)

25

menyimpan bangunan-bangunan (tua) sisa peninggalan para pendahulu yang bernilai sejarah, arsitektur dan arkelologis dari beberapa zaman yang berbeda.

Kota Tua Jakarta merupakan pusat perdagangan bagi benua Asia pada zaman Hindia Belanda yang sekarang terkenal sebagai objek wisata bersejarah. Benda Cagar Budaya seperti yang dimaksud di dalam undang-undang adalah benda buatan manusia, bergerak atau tidak bergerak, yang merupakan kesatuan atau kelompok, atau bagian-bagiannya, atau sisanya, yang berusia sekurang-kurangnya 50 tahun, atau mewakili masa gaya yang khas dan mewakili masa gaya sekurang-kurangnya 50 tahun, serta dianggap mempunyai nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan. Semua benda cagar budaya, yang terdapat di wilayah hukum Republik Indonesia, dikuasai oleh negara.

Di kawasan Kota Tua Jakarta terdapat bebeberapa bangunan (tua) cagar budaya seperti Pelabuhan Sunda Kelapa, Taman Fatahillah, Kawasan Glodok sebagai perkampungan orang-orang Cina di Batavia, Kawasan Pusat Bisnis Kota Tua, Gereja Sion, area bekas Gudang VOC Sisi Barat (Westijzsche Pakhuiszen) yang kini Museum Bahari, Menara Syahbandar, Pasar Ikan, Galangan VOC, Masjid Luar Batang, gedung Stasiun Beos ( Bangunannya sekarang dilindungi berdasarkan SK Gubenur DKI No. 475 tahun 1993, Museum Seni Rupa dan Keramik, Museum Sejarah Jakarta, Museum Wayang, Gedung Kantor Pos, Café Batavia, Jembatan Kota Intan, Toko Merah dan Museum Bank Mandiri. (Unit Pengelola Kawasan Kota Tua Jakarta, 2014: 15-23)


(39)

26 B. Pengamen di Kota Tua Jakarta

Pada dasarnya pengamen mempunyai ikatan kuat antara pengamen dan masyarakat disekitarnya, sehingga dapat mengakibatkan kondisi sosial komunitas pengamen terjalin dengan baik dan interaksi mereka dengan yang lainnya berjalan dengan baik, seperti halnya anak-anak yang lain. Bahkan mereka mempunyai kepedulian yang tinggi kalau ada temannya yang mengalami kesusahan. yaitu saling membantu dan saling memotivasi agar mereka bisa bangkit dari kesuhannya tersebut.

Selanjutnya, hubungan sosial antara pengamen dengan orang tua, pada umumnya baik. Mereka sebagian besar kembali ke orang tua setelah melakukan aktifitas di jalanan. Relasi sosial antara anak dan orang tua ini tampaknya cukup baik. Hal ini dicermati dari penuturan anak jalanan, di mana sebagian besar dari mereka merasa bangga dengan orang tuanya. Penilaian anak jalanan terhadap orang tuanya, bahwa orang tua sebagai pekerja keras dan sayang kepada mereka.

Data mengenai populasi pengamen di Kota Tua Jakarta, merupakan aspek yang sangat penting dalam mencermati permasalahan pengamen. Di mana dari hasil penelitian di lapangan menunjukkan bahwa jumlah pengamen Kota Tua Jakarta sebanyak 8 anak yang terdiri dari 5 anak laki-laki dan 3 anak perempuan. Untuk lebih jelasnya bisa dilihat dalam tabel berikut ini:


(40)

27

Tabel II.D.1. Profil Informan Pengamen di Kota Tua Jakarta

No Nama (Inisial) Jenis Kelamin Usia Pendidikan

1 (AD) Laki-Laki 9 Tidak Tamat Sekolah

2 (BA) Laki-Laki 9 Tidak Tamat Sekolah

3 (MA) Laki-Laki 13 Tidak Tamat Sekolah 4 (DI) Perempuan 11 Tidak Tamat Sekolah 5 (AJ) Laki-Laki 12 Tidak Tamat Sekolah 6 (UD) Laki-Laki 10 Tidak Tamat Sekolah

7 (IN) Perempuan 11 Tidak Sekolah

8 (IR) Perempuan 11 Tidak Sekolah

Tabel 1 menggambarkan bahwa jumlah pengamen di Kota Tua Jakarta sebanyak 8 anak, yaitu 5 anak laki-laki dan 3 anak perempuan. Selanjutnya, dilihat dari tingkat pendidikan ialah mayoritas tidak tamat sekolah SD dan tidak sekolah. Selanjutnya, selain sebagai pengamen jalanan, mereka membantu orang tuanya untuk berdagang dan membantu pekerjaan rumah, seperti memasak, mengepel dan menngurus saudaranya.


(41)

28 BAB III

TEMUAN DAN ANALISIS

Dalam bab ini penulis akan menjelaskan berdasarkan temuan lapangan terkait dengan fenomena pengamen anak di lingkungan wisata Kota Tua Jakarta. Mencakup faktor-faktor yang mempengaruhi anak-anak mengamen serta perilaku sosial pengamen anak di lingkungan wisata Kota Tua Jakarta.

A. PENGAMEN ANAK DI LINGKUNGAN WISATA KOTA TUA JAKARTA

Pada dasarnya tidak ada definisi khusus mengenai pengamen anak, seperti penelitian yang pernah dilakukan oleh Baruddin (2006), Yuliarti (2012), Riyadi (2011), Fitriadi (2011), dan Sumartono (2013) terkait dengan definisi anak jalanan. Namun secara umum anak jalanan atau pengamen anak mempunyai ciri-ciri sebagai berikut yaitu; berada di tempat umum seperti jalanan, pertokoan, tempat hiburan atau wisata selama 4 sampai 24 jam; berpendidikan rendah kebanyakan putus sekolah dan sedikit sekali yang menamatkan SD berasal dari keluarga yang tidak mampu kebanyakan kaum urban, beberapa diantaranya tidak diketahui jelas keluarganya dan melakukan aktifitas ekonomi melakukan pekerjaan pada sektor informal (Nusa putra, 1996: 112).

Pada kasus ini, pengamen anak memiliki ciri aktivitas mengamen yang berada di tempat wisata Kota Tua Jakarta. Seperti pada ciri umumnya pengamen anak, waktu atau lamanya pengamen anak di Kota Tua Jakarta terbilang sangat lama, hampir separuh waktu hari mereka habiskan di tempat


(42)

29

wisata Kota Tua Jakarta untuk mengamen, seperti apa yang diungkapkan oleh IR:

‘’Sendirian berdua sama ade saya, sekitar 4-15 jam saya ngamen disini karena saya gak sekolah’’ (hasil wawancara tanggal 14 Maret 2015).

Hal senada juga dipertegas oleh AD:

‘’Mengamen kadang berdua, kadang sendiri, kadang berama-ramai, sekitar 12 jam bang gue ngamen disini, kadang gue pindah-pindah ketempat lain sampe gue tidur di jalanan, yach bisa 24 jam lah bang gue di jalanan, gue jadi pengamen karena mengamen karena keluarga gue kurang mampu, sekolah aja gak sampe lulus SD’’. (hasil wawancara tanggal 14 Maret 2015).

Biasanya para pengamen mulai turun ke jalan sejak pagi hingga malam hari, merupakan bukti waktu yang digunakan oleh para pengamen anak dalam menjalankan rutinitas kegiatan mengamen di lingkungan wisata Kota Tua Jakarta, Selain itu, yang menjadikan alasan para pengamen anak di Kota Tua Jakarta melakukan tindakan mengamen yang cukup lama karena para pengamen anak ini “gak sekolah.”

Dengan sebab tidak bersekolah ini, menjadi sebuah pilihan para pengamen anak untuk menghabiskan waktu di lingkungan wisata Kota Tua Jakarta sebagai seorang pengamen anak, karena secara naluriah tindakan perorangan mengarah pada suatu tujuan dan tujuan ini ditentukan oleh nilai atau pilihan (George Ritzer. 2007:110). Meskipun ada dorongan-dorongan tertentu yang mengarahkan perseorangan bertindak, namun perilaku pengamen anak ini berbeda dengan anak-anak pada umumnya yang banyak menghabiskan


(43)

30

waktunya di tempat sekolah, tempat hiburan, dan sebagainya (Didin Saripudin. 2010:41).

Realitas yang ada di lapangan, pengamen anak di lingkungan wisata Kota Tua Jakarta memiliki keunikan tersendiri dalam menjalankan aktivitas mengamen-nya, hal ini ditunjukkan dengan ragam alat dan cara yang digunakan para pengamen anak sebagai salah satu pendukung dalam menjalankan aksi mengamen. Seperti yang diungkapkan oleh informan yang bernama IN:

‘’Saya mengamen kemauan sendiri memakai alat musik yaitu salon supaya simple dan gampang untuk mengamen, kadang saya mengamen berdua sama teman saya bang’’. (hasil wawancara dengan Indah tanggal 14 Maret 2015).

Adanya ragam cara yang dilakukan para pengamen anak dalam mengamen dengan menggunakan “salon, gitar, dan radio tipe” merupakan strategi yang dilakukan para pengamen anak agar dapat menarik perhatian dan minat para pengunjung wisata Kota Tua Jakarta untuk bersimpati mendengarakan dan memberikan uang yang sesuai dengan harapan para pengamen anak tersebut. Strategi yang dilakukan para pengamen anak ini merupakan pilihan rasionalitas dalam pertukaran ekonomi, dimana para pengamen anak yang lebih suka mengamen dengan strategi menggunakan “gitar” lebih banyak mendapatkan uang dari pada dengan strategi menggunakan “salon atau radio tape”.

Selanjutnya, pengamen yang mempunyai kegiatan ekonomi sebagai pekerja di jalan atau disebut juga dengan children on the street, namun masih mempunyai hubungan yang kuat dengan orang tua mereka. Sebagian


(44)

31

penghasilan mereka di jalan diberikan kepada orang tuanya. Fungsi anak jalanan pada kategori ini adalah untuk membantu memperkuat penyangga ekonomi keluarganya karena beban atau tekanan kemiskinan yang mesti ditanggung tidak dapat diselesaikan sendiri oleh kedua orang tuanya dengan cara bekerja sebagai pengamen di jalanan yang dikategorikan kepada jenis pengamen jalanan.

Dalam penelitian ini pengamen anak jalanan Kota Tua memiliki usia yang bervariasi mulai dari yang terkecil yaitu 9 tahun sampai yang paling tua yaitu berumur 14 tahun. Namun demikian, pengamen yang menjadi informan dalam penelitian ini berusia lebih kurang dari 8 tahun. Pendidikan terakhir dari pengamen jalanan yang ada di Kota Tua Jakarta, mayoritas belum tamat SD. Beberapa Pengamen jalanan yang ada di Kota Tua Jakarta, terutama yang peneliti temukan bahwa sebagian besar sudah lebih dari 4 tahun hidup di jalan melakukan aktivitas ngamennya, dari data yang didapatkan dari informan di lapangan, bahkan ada yang selama 5 tahun menjadi seorang pengamen jalanan di Kota Tua Jakarta.

Dengan melihat kecenderungan pengalaman selama “5 tahun” menjadi pengamen di Kota Tua Jakarta, mengidentifikasikan bahwa pengamen anak di lingkungan Kota Tua Jakarta merasa sangat akrab dan menciptakan budaya kebiasan menjadi seorang anak pengamen, demikian dengan apa yang diungkapkan oleh Pardon (1990) bahwa perilaku seseorang dalam melakukan tindakan ekonomi sebagai sebuah pilihan sang aktor disebabkan oleh faktor


(45)

32

budaya (Mulyadi, 2008:23). Di mana kata budaya itu terlihat pada lamanya seorang pengamen anak melakukan aktivitas kegiatan mengamen.

Oleh karena itu, anak jalanan merupakan permasalahan yang kompleks, di mana setiap tahunnya terus mengalami peningkatan. Kerena banyak faktor yang menyebabkan anak-anak terjerumus dalam kehidupan jalanan, seperti: rendahnya ekonomi keluarga atau tekanan kemiskinan, ketidak harmonisan rumah tangga orang tua, dan masalah khusus menyangkut hubungan anak dengan orang tua (Suyanto, 2010: 196). Tidak bisa dipungkiri lagi anak jalanan atau pengamen telah menjadi fenomena yang menuntut perhatian dari semua pihak khususnya Dinas Sosial. Mereka memerlukan perhatian khusus untuk diberikan pengarahan, pelatihan, dan pembinaan terhadap perilaku mereka agar kehidupan ekonomi mereka lebih baik dari pada jadi pengamen yang selama ini mereka jalanin sehari-hari.

Kehadiran pengamen terkadang sangat mengganggu kenyamanan apalagi banyak dari mereka yang memaksa untuk diberi imbalan, ada juga yang menolak jika diberi sejumlah uang yang nilainya terlalu kecil misalnya Rp.1000,- dan meminta jumlah yang lebih besar. Sebagaimana yang YA ungkapkan sebagai pengunjung Kota Tua Jakarta:

‘’Adanya pengamen anak dirasa kurang nyaman dik karena menganggu kenyamanan saya disini dan saya merasa terganggu’’. (Hasil wawancara tanggal 15 Maret 2015).

Keberadaan pengamen di Kota Tua merupakan fenomena yang harus mulai dipandang sebagai masalah serius, terutama dengan semakin banyaknya


(46)

33

permasalahan sosial, ekonomi dan budaya yang mereka hadapi. Salah satu permasalahan sosial yang ada di Indonesia yaitu semakin meningkatnya jumlah masyarakat miskin di negara ini. Hal ini dapat dilihat dengan semakin banyaknya jumlah pengemis atau pengamen jalanan, terutama di Ibu Kota Jakarta. Pengamen jalanan timbul akibat adanya kemiskinan dan kesenjangan pendapatan di kota ini.

Bahkan ada yang menganggap keberadaan pengamen jalanan sering kali dianggap sebagai sampah masyarakat, karena baik pemerintah maupun masyarakat merasa terganggu oleh kehadiran mereka yang lalu lalang di kawasan Kota Tua, perempatan lalu lintas, di pinggir jalan, dan banyak tempat-tempat lain yang seringkali dijadikan tempat-tempat beroperasi. Belakangan ini baik pengamen, pengemis, dan gelandangan semakin banyak berkeliaran di jalanan, terutama di Kota Jakarta dan kota-kota besar lainnya. Pemuda, remaja, pasangan suami-istri, anak-anak, dan perempuan renta semakin menyesaki ruang publik kita. Itulah yang menyebabkan sebagian besar dari kita merasa sangat terganggu dengan keberadaan mereka yang hampir ada dimana-mana membuat kita merasa tidak nyaman.Banyaknya kriminalitas juga sering kali dikaitkan terutama dengan anak-anak jalanan, karena mereka dibeberapa kesempatan terlihat melakukan tindak-tindak kriminalitas seperti pencopetan, perampasan, melakukan tindak kekerasan, penodongan, pelecehan seksual, perkelahian, dan masih banyak kejahatan-kejahatan lain yang rentan dilakukan oleh anak-anak jalanan. Mungkin hal-hal tersebut yang akhirnya membuat pemerintah dan masyarakat menganggap mereka sebagai sampah masyarakat.


(47)

34

Jadi tidak bisa dipungkiri lagi anak jalanan yang melakukan tindakan sebagai pengamen karena semata-semata hanya untuk membantu kebutuhan ekonomi keluarganya yang didasari atas kemauan sendiri (motif instristik) dan juga atas dorongan orang lain yang seperti disuruh orang tuanya dan preman jalanan yang disebut motif ekstrinstik.

B. FAKTOR EKONOMI PENGAMEN ANAK DI WISATA KOTA TUA JAKARTA

1. Faktor Ekstrinsik

Faktor eksternal yang dimaksudkan di sini adalah keadaan yang mendorong seorang menjadi pengamen yang berasal dari luar diri pengamen itu sendiri, yang disebabkan karena pengamen dihadapkan kepada kemiskinan keluarga dan pendidikan sehingga susah untuk mencari pekerjaan dikarenakan tidak memiliki keterampilan yang memadai.

Dari ciri-ciri umum di atas, penulis dapat mengetahui bahwa faktor penyebab utama kehadiran pengamen anak adalah karena faktor kemiskinan, Sehingga keadaan yang menjadikan mereka sebagai pengamen anak dalam kehidupan sehari-harinya, oleh karena itu kehidupan mereka tersebut sangat berbeda dengan kehidupan anak-anak sebaya yang berada di lingkungan keluarga yang harmonis. Pada kenyataannya, tuntutan ekonomi yang menggerakkan setiap orang untuk melakukan apapun. Sebagaimana dari hasil pengamatan dan wawancara penulis ternyata mayoritas pengamen yang ada di Kota Tua Jakarta mempunyai latar belakang sosial ekonomi yang rendah, karena dari hasil wawancara yang dilakukan di lapangan pada pengamen anak,


(48)

35

mayoritas mengungkapkan bahwa menjadi seorang pengamen jalanan, mereka bertujuan untuk memenuhi kebutuhan agar dapat bertahan hidup di samping itu untuk membantu ekonomi keluarga. Berdasarkan hasil penelitian di lapangan, diketahui bahwa pendapatan yang diperoleh dari informan atau pengamen tersebut ternyata cukup beragam, ada yang mendapatkan Rp. 20.000,- sampai Rp. 70.000,- perharinya, ada yang dapat Rp. 50.000,- dan juga ada yang dapat Rp. 100.000,- perharinya. Dari uang tersebut sebagian besar diserahkan kepada orang tua untuk mencukupi kebutuhan keluarga sehari-hari. Hal itu sesuai dengan alasan mereka memilih menjadi pengamen, agar bisa membantu ekonomi keluarga. Sebagaimana yang diungkapkan oleh IR pengamen di Kota Tua.

‘’Saya biasanya dapat Rp. 20.000, kadang-kadang Rp. 70.000 dalam sehari bang. Uang tersebut untuk membantu orang tua saya buat kebutuhan sehari-sehari karena kasihan orang tua gak punya pendapatan yang menentu’’(hasil wawancara tanggal 14 Maret 2015 ).

Selain itu menurut pengakuan mereka, dikarenakan adanya paksaan dari orang tua, diajak temannya serta dipaksa oleh orang lain yang bukan keluarganya (ditipu/diperdaya secara halus ataupun dipaksa dengan kekerasan). 2. Faktor Instrinsik

Faktor yang menyebabkan anak mengamen di jalanan atas kemauan sendiri, baik karena prihatin terhadap kondisi kehidupan orang tua dan keluarganya ataupun karena ingin mendapatkan penghasilan yang dapat memenuhi kebutuhannya.


(49)

36

Pengamen anak melakukan kegiatan setiap hari di Kota Tua Jakarta, atas dasar kemauan sendiri, hal ini sesuai dengan apa yang diungkapkan oleh salah satu pengamen anak yang bernama IR, menyatakan:

‘’Ya saya mengamen atas dasar kemauan sendiri, walau pun ada dorongan dari masalah kebutuhan hidup saya sehari-hari bang’’. (hasil wawancara tanggal 2015).

Alasan menjadi pengamen Kota Tua dikarenakan merasa bosan berada di rumah sepanjang hari seperti yang disampaikan oleh MA, mengaku:

‘’Ya memang kemauan diri saya sendiri merasa nyaman, asyik selama menjalani sebagai mengamen dan untuk membantu perekonomian keluarga, membayar, kebutuhan hidup sehari-hari saja sudah tercukupi bang.’’(Hasil wawncara Tanggal 14 Maret 2015)

Sedangkan AJ memilih sebagai pengamen anak di tempat wisata Kota Tua dikarenakan tuntutan ekonomi dan keluarga, hal ini sesuai dengan apa yang disampaikan oleh Pardon bahwa seseorang melakukan tindakan ekonomi didasarkan dua motif salah satunya motif melihat adanya dari dalam dirinya. (Damsar. 2002:45)

Kemudian tidak jauh berbeda dengan yang disampaikan oleh Irwanto dan R. Pardon dan Mulyadi yang menjelaskan bahwa pekerja anak di latar belakangi oleh: Pertama, teori budaya, menurut teori tersebut bahwa dalam budaya tertentu anak memang diharapkan menimba pengalaman bekerja dari orang dewasa sejak usia muda. Kedua, teori kemiskinan, faktor mendasar terjadinya fenomena pekerja anak adalah kemiskinan. Ketiga, teori ekonomi


(50)

37

bahwa ada perhitungan ekonomis rasional yang melatar belakangi persoalan pekerja anak. Salah satu keberadan pengamen di Kota Tua disebabkan faktor budaya, seperti faktor kebiasaan, seperti kesadaran individu masing-masing untuk membantu perekonomian keluarga dan hobi. Hidup dalam keluarga pengamen, sehingga mengamen menjad hal yang biasa dilakukanya , kebiasaan orang tua mengamen kerap kali dianggap sebagai budaya yang diwariskan kepada anak mereka, bahkan anak mereka dilatih agar terampil menjadi pengamen.

Sehingga tidak jarang anak yang seharusnya mencari ilmu malah sibuk berkeliaran mencari nafkah. Secara psikologi anak jalanan, anak-anak yang telah terbiasa mengais rezeki dari kerasnya jalanan akan lebih keras perwatakannya. Dan mereka yang telah terbiasa memegang uang akan lebih suka mencari uang dari pada bersekolah. Dari sini sudah tertanam didiri mereka bahwa mencari uang akan lebih mudah dengan cara mengamen. Ini tentu dapat dibuktikan, bahwa dalam sehari baik pengemis maupun pengamen dapat meraih pendapatan hingga Rp. 100.000 ,-. Dan karena pekerjaan ini mudah tanpa butuh skill, maka berbondong-bondonglah para pengamen mulai memarakkan budayanya pada anak cucu mereka.

Menjadi pengamen Kota Tua adalah kemauanya sendiri hal itu seperti hasil wawancara dengan informan yang bernama IR menyatakan:

“Biasanya saya mengamen atas kemauan sendirian bang kadang pula saya berdua sama adhe saya, sekitar 4-15 jam saya mengamen di sini karena saya


(51)

38

tidak sekolah karena orang tua saya sudah mengetahui saya mengamen bang’’.(hasil wawncara dengan Irma tanggal 14 Maret 2015).

Sesuai dengan apa yang dinyatakan oleh IR, IN, MA, dan AJ bahwa dirinya melakukan tindakan sebagai seorang pengamen anak karena atas dasar “untuk kebutuhan hidup “membantu perekonomian orang tuanya” inilah sebagai salah satu motif menjadi pengamen anak di lingkungan wisata Kota Tua jelas terlihat bahwa pengamen anak dipengaruhi oleh kondisi lingkungannya seperti keluarga.

Pardon mengungkapkan bahwa seseorang melakukan tindakan ekonomi didasarkan atas faktor ekonomi ekstrinsik yaitu adanya dorongan orang lain, sebagai perilaku seseorang yang diubah oleh kondisi lingkungannya dimana tempat munculnya perilaku, entah iu berupa sosial atau fisik, dipengaruhi oleh perilaku selanjutnya dalam bertindak dan kembali dengan berbagai cara. (George Ritzer. 2007:356). Seperti informan IN yang menyatakan:

“Saya mengamen atas kemauan diri sendiri, dan saya mengamen sendiri kalau saya merasa bosan maka saya ajak teman saya untuk mengamen bareng ma saya, dan teman saya sudah mengetahui bahwa saya mengamen akan tetapi orang tua saya sudah mengetahui, dan rata-rata pendapatan dan berbagai macam pekerjaan yaitu berdagang, pemulung, bekerja di kantor sekitar Rp. 30.000,- sampai Rp. 600.000,- dan pendapatan kotor Rp. 50.000,- sampai Rp. 500.000,-.”(Hasil wawancara tanggal 17 Maret 2015)

Sesuai dengan apa yang dinyatakan oleh IN dan kalangan bahwa dirinya melakukan tindakan sebagai pengamen anak karena atas dasar kalangan


(52)

39

pengamen anak yang sudah terterah di atas. Bahwasannya “atas keinginan sendiri untuk mengamen dan orang orang tua sudah mengetahui, berbagai macam pekerjaan dan pendapatan bersih maupun kotor itu semua untuk kebutuhan ekonomi sehari-hari.” Inilah yang mengacu pada motif individu untuk melakukan tindakan ekonomi.

C. FAKTOR SOSIAL PENGAMEN ANAK DI WISATA KOTA TUA JAKARTA

Dalam penelitian ini penulis lebih memfokuskan pada pada perilaku sosial pengamen anak di Kota Tua Jakarta, sebagai sesuatu yang bisa diamati secara nyata. Menurut Alport bahwa perilaku merupakan hasil belajar yang diperoleh melalui pengalaman dan interaksi yang terus-menerus dengan lingkungan. Dengan seringnya berinteraksi dengan lingkungan, akan menjadikan seseorang untuk dapat menentukan sikap karena disadari atau tidak, perilaku tersebut tercipta karena pengalaman yang dialaminya. Sikap juga merupakan penafsiran dan tingkah laku yang mungkin menjadi indikator yang sempurna, atau bahkan tidak memadai. (Jalaluddin Rahmat, 2001: 201)

Fenomena kemunculan pengamen di Indonesia khususnya di Kota Jakarta semakin terlihat, di Indonesia fenomena merebaknya pengamen merupakan permasalahan sosial yang komplek. Hidup menjadi pengamen memang bukan merupakan pilihan yang menyenangkan, karena mereka berada dalam kondisi yang tidak mempunyai masa depan yang jelas, dan keberadaan mereka tidak jarang menjadi masalah bagi banyak pihak, keluarga, dan masyarakat. Selain itu keadaan atau kondisi ekonomi keluarga yang lemah, yang diperparah


(53)

40

dengan keadaan krisis ekonomi yang melanda negeri ini, turut berperan menjadikan mereka pengamen.

Pengamen bagaimanapun telah menjadi fenomena yang menuntut perhatian kita semua. Secara psikologis mereka adalah anak-anak jalanan yang pada taraf tertentu belum mempunyai bentukan mental emosional yang kokoh, sementara pada saat yang sama mereka harus bergelut dengan dunia jalanan yang keras dan cenderung berpengaruh negatif bagi perkembangan dan pembentukan kepribadiannya. Aspek psikologis ini berdampak kuat pada aspek sosial. Dari fenomena sosial yang terjadi, maka terlihat bagaimana perilaku yang ditunjuk kan oleh para pengamen dalam menghadapi setiap fenomena sosial yang terjadi disekitarnya. Jadi pola perilaku pengamen jalanan dipengaruhi oleh perilaku dalam bentuk sikap yang berasal dari keadaan lingkungan alam dan lingkungan sosial atau keadaan dari dalam dan ransangan dari luar.

Dimana labilitas emosi dan mental mereka yang ditunjang dengan penampilan yang kumuh, banyak tato, celana sobek yang disengaja, dan berpenampilan seperti preman, masyarakat akan memberikan stigma bahwa pekerjaan mengamen yang dilakukan anak jalanan itu merupakan modus belaka, dan mempunyai motif atau tujuan lain, seperti mencopet. Oleh karena itu, perilaku tersebut dipandang sebagai wibawa negatif oleh sebagian besar masyarakat terhadap para pengamen yang diidentikan dengan membuat onar, anak-anak kumuh, suka mencuri, sampah masyarakat yang harus diasingkan. Pada taraf tertentu stigma masyarakat yang seperti ini justru akan memicu


(54)

41

perasaan alienatif mereka yang pada gilirannya akan melahirkan kepribadian introvet, cenderung sukar mengendalikan diri dan sosial. Padahal tak dapat dipungkiri bahwa mereka adalah generasi penerus bangsa untuk masa mendatang.

Namun pada kenyataannya, perilaku para pengamen tidak semuanya berperilaku negatif. Dari hasil observasi dan wawancara di lapangan, perilaku asertif masih dimiliki oleh para pengamen. Perilaku asertif merupakan perilaku yang positif karena tidak merugikan orang lain dan juga tidak merugikan diri sendiri. Karena pengamen jalanan yang ada di Kota Tua Jakarta tidak semuanya berperilaku kasar terhadap masyarakat dalam menjalankan aktivitasnya ketika pengamen jalanan tersebut tidak diberikan imbalan oleh masyarakat. Bahkan masyarakat yang ada di Kota Tua merasa terhibur atas penampilan pengamen tersebut,

Karena penampilan mereka hanya semata-mata untuk mempengaruhi respon masyarakat untuk memberikan imbalan dan masyarakat mengatakan tidak merasa terganggu dengan keberadaan pengamen yang tujuannya benar-benar untuk mencari nafkah di jalanan, selama mereka bertingkah laku yang baik sopan, tidak maksa-maksa dan ramah. Bahkan masyarakat merasa simpatik dengan keadaan kehidupan pengamen yang berkeliaran di jalanan dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya. Sebagaimana yang diungkap kan oleh BAM selaku karyawan tetap di Kota Tua Jakarta:

“Menurut saya mereka baik, karena saya lihat langsung kadang saya lagi duduk didatangi oleh pengamen dan mereka sopan, baik dan menyanyikan lagu


(55)

42

yang enak didengar maka saya kasih uang sekedarnya, jikalau pengamen anak prilaku sosialnya tidak menyenangkan maupun memaksa-maksa maka saya akan tangani langsung dan memberi peringatan secara tegas, karena saya ingin mewujudkan Kota Tua ini enak merasa nyaman bagi para pengunjung maupun bagi para turis lainnya. Dan saya gak merasa terganggu, selama mereka mengamen tidak berbuat onar maka para pengunjung pun merasa senang terhibur ada juga sich yang kurang menyenangkan.” (Hasil wawancara pribadi dengan bapak BAM pada tanggal 27 April 2015).

Jadi, pada dasarnya mereka yang bekerja sebagai pengamen bukan hanya karena ingin menyalurkan hobi atau bakat akan menyanyi akan tetapi dapat juga dilihat dari tindakan mereka yang cenderung sebagian besar suka memaksa terhadap pengujung hal ini tidak terjadi pada Pengunjung Kota Tua, karena pengamen yang ada di Kota Tua memiliki perilaku yang baik dan tidak maksa-maksa ketika tidak diberikan uang. Perilaku pengamen sangat beraneka macam, tidak semua diantara mereka memiliki prilaku yang negatif, tetapi ada juga hal positif dari mereka, yaitu: pandai membaca peluang, tahan bekerja keras, memiliki solidaritas yang tinggi dengan sesama teman, mudah membuat keterampilan, bersikap terbuka dan saling percaya.

D. PRILAKU SOSIAL PENGAMEN ANAK DI LINGKUNGAN WISATA KOTA TUA JAKARTA

Perilaku sosial adalah perbuatan atau perilaku manusia untuk mencapai tujuan subjekif dirinya. Misalnya: sejak kecil manusia sudah melakukan tindakan sosial, antara lain membagi makanan dengan temannya, dan memberi


(56)

43

sesuatu kepada pengemis. Tindakan sosial manusia diperoleh melalui proses belajar dan proses pengalaman dari orang lain.Jika tindakan sosial itu dianggap baik, maka manusia akan melakukan tindakan yang sama. Jika tindakan sosial itu baik dan bermanfaat bagi orang lain, makin lama tindakan sosial tersebut dapat dianggap sebagai suatu kebisaaan yang harus dilakukan oleh seluruh anggota kelompok sosial.

Perilaku sosial dapat dibedakan menjadi Tiga tipe (www.mediaindonesiaonline.com diunduh pada tanggal 28 Juli 2015). Ketiga tipe perilaku itu diuraikan seperti berikut:

1. Bersifat Rasional (Instrumental)

Perilaku sosial yang bersifat rasional adalah tindakan sosial yang dilakukan dengan pertimbangan dan pilihan secara sadar (masuk akal). Artinya tindakan sosial itu sudah dipertimbangkan masak-masak tujuan dan cara yang digunakan untuk mencapai tujuan tersebut. Contohnya: MA memutuskan pengamen daripada memilih melanjutkan sekolahnya di tingkat dasar. Alasannya karena MA ingin membantu perekonomian orang tua dan membiayai sekolah adik-adiknya.

2. Berorientasi Nilai

Perilaku sosial yang berorientasi nilai dilakukan dengan memperhitungkan manfaat, sedangkan tujuan yang ingin dicapai tidak terlalu dipertimbangkan. Perilaku ini menyangkut kriteria baik dan benar menurut penilaian masyarakat. Bagi perilaku sosial ini yang penting adalah kesesuaian tindakan dengan nilai-nilai dasar yang berlaku dalam kehidupan masyarakat. Contohnya: tidak pernah


(57)

44

mempersoalkan mengapa kita harus makan dan minum dengan tangan kanan. Tindakan tersebut kita lakukan karena pandangan masyarakat yang menekankan kalau makan dan minum dengan tangan kanan lebih sopan daripada dengan tangan kiri.

Seperti halnya yang terjadi pada pandangan masyarakat terhadap pengamen anak di wisata Kota Tua Jakarta, yang cenderung memiliki citra negatif, tanpa menilai secara sudut pandang mereka. Sehingga tidak jarang sering terjadi kekeliruan penilain atas mereka.

3. Tradisional

Perilaku sosial tradisional adalah tindakan sosial yang menggunakan pertimbangan kondisi kebisaaan yang telah baku dan ada di masyarakat. Oleh karena itu, tindakan ini cenderung dilakukan tanpa suatu rencana terlebih dahulu, baik tujuan maupun caranya, karena pada dasarnya mengulang dari yang sudah dilakukan.

Contohnya: Kegiatan mengamen di wisata Kota Tua Jakarta sudah terlihat sejak dari dulu kala, sehingga regenarsi yang terjadi pada masa kini tidak menutup kemungkinan adalah sebuah kebiasaan yang telah turun temurun secara generatif yang terjadi pada masyarakat tingkat perekonomian rendah, khususnya yang terjadi di wilayah sekitar wisata Kota Tua Jakarta.


(58)

45 BAB IV PENUTUP A. Kesimpulan

Berdasarkan pada hasil penelitian yang telah diuraikan dalam pembahasan pada bab-bab sebelumnya, maka penulis dapat menyimpulkan sebagai berikut:

1. Keberadaan pengamen anak di lingkungan wisata Kota Tua Jakarta dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu faktor ekonomi dan faktor sosial. Faktor ekonomi mengacu pada tindakan mereka untuk mengamen berdasarkan faktor kemiskinan. Dari faktor sosial perilaku pengamen jalanan dipengaruhi oleh perilaku dalam bentuk sikap yang berasal dari keadaan lingkungan alam dan lingkungan sosial atau keadaan dari dalam dan ransangan dari luar atau ajakan dari teman sebayanya.

2. Bentuk perilaku sosial pengamen anak di lingkungan wisata Kota Tua Jakarta memiliki dua hal, yaitu perilaku negatif dan perilaku positif. Bentuk dari perilaku negatif pengamen anak dilihat dari labilitas emosi dan mental mereka yang ditunjang dengan penampilan yang kumuh, banyak tato, celana sobek yang disengaja, dan berpenampilan seperti preman. Hal ini juga meyinggung pekerjaan pengamen yang dilakukan anak jalanan itu hanya sebagai modus belaka, dan mempunyai motif atau tujuan lain, seperti mencopet. Sedangkan perilaku positif dilihat dari tingkah laku pengamen yang tidak merugikan orang lain dan juga tidak merugikan diri sendiri. Pengamen anak tidak berperilaku kasar terhadap masyarakat dalam menjalankan


(59)

46

aktivitasnya. Karena pada saat mengamen tidak memaksa saat meminta imbalan oleh pengunjung. Bahkan pengunjung yang ada di Kota Tua merasa terhibur atas penampilan pengamen tersebut dan perilaku positif yang lain seperti, pandai membaca peluang, tahan bekerja keras, memiliki solidaritas yang tinggi dengan sesama teman, mudah membuat keterampilan, bersikap terbuka dan saling percaya.

B. Saran

Berdasarkan kesimpulan tersebut diatas maka saran dari penulis diharapkan dapat memberi manfaat adalah:

1. Kepada para orang tua pengamen penulis menyarankan agar lebih memberikan kasih sayang, ketentraman, penerimaan diri bahwa anak jalanan tidak hanya sebagai tulang punggung keluarga atau pencari nafkah utama sehingga orang tua dapat memberikan hak yang sama seperti anak-anak lainnya.

2. Untuk para orang tua diharapkan agar lebih mengarahkan anaknya untuk belajar dengan baik dan terus bersekolah sampai sekolah tingkat tinggi agar nantinya dapat memperbaiki ekonomi keluarga dan mengangkat kehidupan keluarga dari himpitan ekonomi.

3. Kepada Pemerintah Kota khususnya Kota Pemprov Jakarta agar lebih memperhatikan lagi kehidupan pengamen diantaranya dengan program-program bantuan masyarakat kurang mampu, program-program pelatihan dan keterampilan, beasiswa untuk siswa miskin, dan penertiban anak jalanan secara rutin dan berkala, serta mendirikan rumah singgah untuk anak jalanan


(60)

47

khususnya pengamen anak sehingga tidak ada lagi anak-anak yang berkeliaran di jalanan.


(61)

vii

DAFTAR PUSTAKA

Ainul Yakin, Moh. Upaya Penertipan Kerja pada Pengamen oleh Organisasi pengamen Pengasong Lasem (OPPEL) dikecamatan Lasem Kabupaten Rembang. Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga Yogyakart, 2008.

Arikunto, Suharsimi. Prosedur Penelitian. Jakarta: Rhineka Cipta, 2006. Damsar.Sosiologi Ekonomi. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2009.

Echols, John M. dan Shadily, Hassan. Kamus Inggris-Indonesia. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2002.

Evy, Clara. Status Sosial Ekonomi dan Keluarga dalam Menunjang prestasi Belajar Siswa. Depok: Universitas Indonesia, 2000.

Mulyadi Ekonomi Sumber Daya Manusia Dalam Perspektif Pembangunan. Jakarta: Rajawali Pres,2008.

Mustafa. Pendidikan Anak Pada Keluarga Miskin, Studi Kasus pada Keluarga Miskin di Jakarta. Depok: Universitas Indonesia, 2004.

Nas.P.J.M. Kota di Dunia Ketiga. Jakarta: Bhratara Karya Ausara, 1984.

Putra, Nusa. Potret Puram Anak Jalanan. Bandung: Yayasan Akatiga dan Gugus Analisis, 1996.

Rahmat, Jalaluddin. Psikologi Agama. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2007. Robinson, Philip. Sosiologi Pendidikan. Jakarta: Rajawali Press, 1986.

Sringarimbun, Masri dkk.Sosiologi Perkotaan. Jakarta: Universitas Terbuka. Tim Penyusun Panduan Akademik. Panduan Penyusun Proposal dan Penulisan Skripsi. Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2012.

Widodo.Cerdik Menyusun Proposal Penelitian Skripsi, Tesis, dan Disertasi. Jakarta: Magna Script, 2004.


(62)

viii INTERNET:.

Bagus, Tirta Yoa Ida. 2014. “Pengertian, Asas, Tujuan, Dari Wisata Menurut UU No 10 Tahun 2009.“. Kunaroh. Blogspot.com. Diunduh pada 17 Desember 2014. http://kunaroh.blogspot.com

Farhan, Afif. 2013. “Ini Gambaran Kota Tua Jakarta.” Detik.com. Diunduh pada tanggal 21 Januari 2015 http;//travel.detik.com.

Khoirli, Tri hatnanto. 2014. “Mengais Rejeki Akhir Tahun di Wisata Kota Tua“ di uduh pada 12 Januari 20015.http://www.varia.id

Nugroho, Fentiny. 2011. “Target DKI Jakarta Bebas Anak Jalanan Bakal Tercapai.” Berita on-line-kompas.com. Di unduh 16 Desember 2014.http://megapolitan.kompas.com.

(www.mediaindonesiaonline.com diunduh pada tanggal 28 Juli 2015)

JURNAL:

Baruddin. “Perkembangan Medan Menuju Kota Metropolitan.”. Jurnal Hormoni Sosial Vol.1, Fisip USU, 2006.

Fitriadi, Irfan. “Citra Diri Pengamen Pedesaan.” Jurnal Universitas Sebelas Maret Surakarta, 2001.

Wawancara

Irma, Pengamen di Kota Tua Jakarta 14 Maret 2015 Indah, Pengamen di Kota Tua Jakarta 14 Maret 2015 Adiputera¸ pengamen di Kota Tua Jakarta15 Maret 2015

Asnelly Dewita Ali, BA, Kepala Satuan Pelaksana Informasi, Pelayanan Dan Promosi 26 Maret 2015


(1)

6. Apakah bapak/ibu dengan keberadaan pengamen di Kota Tua ini merasa terganggu? Kenap? Saya engak merasa tengganggu, selama mereka mengamen tidak berbuat onar maka para pengunjung pun merasa senang terhibur ada juga sich yang kurang menyenangkan..

7. Sejauh ini menurut pengetahuan bapak/ibu apakah pengamen di Kota Tua ini selalu bertingkah laku yang kurang baik? Selama saya melihat langsung di lapangan para pengamen anak pada baik ko tapi klo di belakang saya kurang tahu juga, jika saya lihat tingkah laku yang aneh-aneh ada maka saya langsung tegor mereka secara tegas ttapi saya tidak mengusir mereka hanya saja kasih peringatan

8. Apakahpengamen anak yang ada di kawasan Kota Tuaini Pernah di razia? Waktu pernah di razia pengamen-pengamen masalah anak atau dewasa kan yang tertangkap kita belum tahu pokoknya razia preman, pengamen belum lama ada razia kaya begal kalau malam kejadian dan banyak ini juga ia pengamen anak yang tertangkap razia mungkin segrombolan bawa musik alat gitar, status mereka pengamen dan pengunjung mungkin jarang pernah bawa-bawa alat gitar disana yang saya liat mungkin ia pengamen kena razia preman, itu belum lama lah antara sebulan atau dua bulan yang lalu.

9. Sejak kapan berdirinya kota tua jakarta? Berdirinya kota tua ini semejak tahun 2006, tahun 2006 tapi itu adalah intestasinya yaitu kami bagi unit pengelola kota tua jakarta, bukan berarti kawasan kota tua jakarta kalau yang di maksud dengan kawasan kota tua jakarta itu berdiri sudah sejak penataan pemerintahan dizaman penjajah belanda sampai sekarang gedung tersebut masih tetep yang lama dan struktur bangunannya tidak ada yang berubah.

10.Mengapa mengambil nama kota tua jakarta? Karena kami terletak di kawasan kota tua Jakarta, tugas dan fungsi kami adalah penata perkembangan di kota tua Jakarta sampai sekarang di kenal oleh masyarakat. apakah ada makna tertentu! Kota Tua Jakarta bermakna berarti suatu nilai bangunan yang terkait amat masa sejarah, histori yang kebetulan emang di kawasan kota tua jakarta ini memiliki nilai kental akan sejarah yang ketal dan memiliki nilai tertua sesuai dengan sejarahnya, sejarahnya kota tua ini disebut kota tua Batavia yang dikenal dengan sebutan sunda kelapa berubah menjadi kota batavia dan berupah menjadi Jayakarta berubah menjadi kota tua Jakarta, nach makna tersebutlah yang menjadikan kawasan ini disebut Kota Tua Jakarta karena adanya bangunan jagar budaya jadi di sebut kota karena jesifikasinya kota itu dulu pusat kota pemerintahan pada masa penjajahan Belanda


(2)

11.Apa tujuan atau motivasi pelestarian kota tua jakarta? Sehingga mencapai suatu program yang disebutkan penataan pengembangan pelestarikan dan pemanfaatan yang pemakna kawasan yang tercetus berjudul rapitalisasi kawasan kotatua jakarta gunanya adalah ingin memunculkan kembali nilai-nilai sejarah tersebut yang ada di masa penjajahan belanda diindonesia ini, khususnya di ibu kota tua ini kita ingin membuka kembali contohnya di kota tua ini dulu pernah ada dari utara itu pelabuhan sunda kelapa dan ada benteng dinamakan kastil Batavia dan ada tren kota tua nach itu poin objek tersebutlah yang lain kita munculkan dan kita kelolah, dan juga berbagai macam poilemik maupun dengan komunal masyarakat, hanya ada masyarakat lokal itu tidak kemungkinan adanya perubahan perkembangan dikota tua ini lah yang kita kelolah, gunanya kita tidak hilangkan maupun tidak menghapus zaman dan kita ingin fokus perkembangan dan memgikuti perkembangan zaman kita akan memunculkan kembali

12.Sejak kapan bapak/ ibu menjabat/ bekerja? Adanya perubahan stuktur baru sesuai dengan pemimpinan bapak gubenur baru kita provinsi DKI jakarta yaitu basuki cahya purnama dari mulai stuktur gubenur hingga berubah hingga menjadi terkait unit kami berubah, nach itu kami menjabat secara pribadi menjabat kepala satuan pelaksana pengawasan dan penataan perkembangan di kota tua ini sejak febuari 2 tahun 2015 13.Apa saja program yang di dirikan terhadap anggotanya? kita sesuai dengan tugas dan

fungsi pengelolah kota tua jakarta di atur dalam peraturan gubenur propinsi DKI jakarta no 7 tahun 20011, hal kemudian sertifikasi lebih lanjut kedudukan tugas dan fungsi tersebut atau unit pengelolah kota tua tersebut di atur dalam pasal 3 dan asal 4 di dalam no 7 tahun 20011, di antaranya kita adalah menyusun suatu rencana anggaran maupun rencana program kegiatan yang terkait akan penataan kota tua jakarta dalam pemerintah DKI jakarta dengan tingkatan wali kota jakarta

14.Dalam pelaksanaan pemberdayaan yang di lakukan UPK ini, apakah bapak/ ibu menemui kendala? Kalo berbicara kendala pasti ada mas salah satunya yang sering kami hadapi seperti kawasan yang kurang terawat, tidak aman, berpolusi, program-programnya masih terpisah antar dinas karena yang masih berada di dua Kotamadya sehingga kepengurusan kami sulit untuk menyusun planning kegiatan.

15.Bagaimana cara mengatasi semua kendala yang di hadapi tersebut? Yaitu kami sebanyak mungkin mengadakan, kerja sama atau mencari profed sistem itu ada tenaga –tenaga ahli yang memiliki kemampuan yang dapat membantu kami dalam berbagai bidang atau pelaksana tersebut, sejujurnya adalah penyebab karena adanya


(3)

kekurangan SDM memang kurang ini sehingga kami memerlukan tenaga ahli sebaiknya, dan kita bentukan tenaga-tenaga ahli akademikan seperti mahasiswa maupun mahasiswi yang ingin siap membantu kami dan sesuai dengan bidang masing-masing maupun kemampuan dan jurusan masing-masing.

16.Bagaimana pendapat bapak tentang seniman musik yang ada di kota tua? cukup baik dan sangat baik kami sangat mendukung akan suatu kegiatan yang diadakan setiap seniman musik ada di kota tua jakarta ini, dan secara langsung maupun tidak langsung ikut turut mengembangkan membantu dalam suatu pengembangan kegiatan yang ada dikota tua jakarta ini, karena untuk mengutamakan suatu potensi objek wisata yang ada di kota tua jakarta dulu adanya suatu daya tarik tertentu contohnya seniman musik yang baru kreaksi aktivitasnya masing-masing, tentu saja tidak keluar dari kolidor seni dan budaya khususnya di kota tua jakarta ini

17.Bagaimana pendapat bapak tentang seniman musik/pengamen anak? Kalau secara persamaan secara pribadi melihatnya itu seharusnya tuch tingkat usia anak2 ini di maksudkan pengamen baik kita sebut yaitu dengan adanya faktor ekonomi berikan kepada suatu rasa mental yaitu sehingga ada anak2 yang ingin memenuhi perekonomian kebutuhan akan suatu mata uang yang ingin, pada intinya secara pribadi jika seusia rata2 sekolah dari tingkat SD, SMP sampai SMA, anak tersebut sudah sekolah akan tetapi sehari2nya beraktivitas sebagai seniman musik atau pengamen

18.Menurut bapak apa yang melatar belakangi mereka mengamen? Adanya faktor ekonomi biasanya ya dan keadaan yang memang linkungan juga ikut berpengaruhi akan mental dari si anak itu berjuang dalam berarti aktivitas tapi berjuang hidup dalam suatu pemikiran harus mencari uang untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarga saya sehari-hari

19.Bagaimana pendapat bapak tentang seorang anak yang mencari uang? Seharusnya orang tua anaknya itu dalam suatu bidang pendidikan, seharusnya mengasuh dan mengasihinya memberi arahan tetap berpendidikan tidak diwajibkan putus sekolah atau mengamen terutama utuk kebutuhan, pada intinya kepada orang tuanya berperan penting 100 persen untuk anaknya dan kemudian anaknya mengikuti langkah maupun yang di lakukan orang tua tersebut, jadi ada tingkat kesadaran pada diri sendiri baru di arahkan tetap harus niat dan pemikirannya kepada anak, karena itu lebih penting di bandingkan kedewasaan seorang anak itu usia 21 tahun nach itu lah usia2 anak yang


(4)

pintar dan berkembang seharusnya kebanyakan kita melihat di kawasan ini anak2 sudah mencari nafkah sendiri

20.Apakah bapak sudah berkeluarga dan mempunyai anak? Ya saya sudah berkeluarga dan mempunyai anak 3 laki & perempuan


(5)

Foto Dokumentasi Penelitian

Pengamen anak Irma (kiri) sedang menjalankan rutinitas saat mengamen di pusat Kota Tua Jakarta.

Pengamen anak Aji (kanan) sedang menjalankan aktivitasnya saat mengamen di Kota Tua Jakarta.

Seniman saat menampilkan aksinya di Kota Tua pada malam minggu.

Penulis (kanan) saat bersama narasumber dalam sesi interview.


(6)

Penulis (kanan) saat interview dengan Kepala Satuan Pelaksana Informasi, Pelayanan dan Promosi.

Penulis (Kiri) saat bersama narasumber.

Penulis (kiri) saat bersama narasumber. Penulis (kanan) saat bersama pengamen dewasa