23
Batavia seluas 139 hektar tetapi kemudian diperluas menjadi 846 hektar dimana termasuk Pelabuhan Sunda Kelapa, Pasar Ikan, Pecinan Glodok.
Tanah tempat Museum Bahari berdiri pada waktu galangan ini mulai beroperasi masih merupakan rawa-rawa dan empang. Tentang Kali Besar ini,
hingga awal abad ke-18 merupakan daerah elit Batavia. Di sekitar kawasan ini juga dibangun rumah Koppel yang dikenal kini sebagai Toko Merah
dikarenakan balok, kusen dan papan dinding di dalamnya di cat merah. Willard A.
Hanna dalam bukunya “Hikayat Jakarta” mencatat, bahwa kejadian itu diawali oleh gempa bumi yang begitu dahsyat. Malam tanggal 4-5
November 1699, yang menyebabkan kerusakan besar pada gedung-gedung dan mengacaukan persediaan air dan memporak-porandakan sistem pengaliran air
di seluruh daerah. Pada abad ke-18, orang-orang kaya memang mampu meninggalkan rumah mereka di Jalan Pangeran Jayakarta dan pindah ke
selatan, ke kawasan Jalan Gajah Mada dan Lapangan Banteng sekarang. Penanggulangan keadaan buruk itu baru dilaksanakan waktu pemerintahan
Marsekal Daendels pada zaman Perancis tahun 1809. Operasi yang dilanjutkan oleh para Insinyur yang cakap, berhasil menormalkan arus sungai tersebut.
Sementara itu, pada 09 Mei 1821 Bataviasche Courant melaporkan, bahwa 158 orang meninggal akibat kolera di Kota dan tiga hari kemudian 733 korban lagi
di seluruh wilayah Batavia. Tragedi ini menjadi akhir kisah Oud Batavia dan menjadi
awal pembentukan
Nieuw Batavia
Batavia Baru
di tanah Weltevreden kini sekitar Gambir dan Monas.
24
VOC hanya bertahan hingga 1799 pada tahun ini VOC dibubarkan karena hutang dan korupsi besar-besaran sehingga mengalami kebangkrutan. VOC
dikenal oleh masyarakat pribumi sebagai Kompeni.Setelah itu pemerintahan Nederlansche India Hindia Belanda diambil alih langsung oleh Kerajaan
Belanda. Di bawah penguasaan langsung dari Kerajaan Belanda, pada pertengahan abad ke-19, kawasan Nieuw Batavia ini berkembang pesat.
Banyak bangunan-bangunan berarsitektur indah menghiasi kawasan ini. Pada 1942 tentara Jepang berhasil mengambil alih kekuasaan kerajaan Belanda atas
Batavia dan mengganti namanya menjadi Jakarta begitu pun pelabuhan Batavia digantinya menjadi pelabuhan Jakarta Dinas Kebudayaan dan Permuseuman,
2003:97. Pada periode ini banyak bangunan peninggalan Belanda yang diratakan dengan tanah. Jepang berkuasa tidak lebih dari tiga tahun, tepat pada
pada 17 Agustus 1945, Hindia Belanda diproklamasikan rakyat Indonesia dan Jakarta namanya diabadikan sebagai Ibu Kota dari Republik Indonesia.
Kota Batavia didirikan di sebuah wilayah dulunya bernama Jayakarta 1527-1619.VOC menamai kota baru itu sebagai Batavia dengan pusat
kotanya tepat berada disekitar Taman Fatahillah sekarang. Dari sinilah VOC mengendalikan semua kegiatan perdagangan, militer, dan politiknya selama
menguasai Nusantara. Dengan latar belakang sejarah yang begitu panjang, maka sangat layak jika
kemudian daerah bekas kekuasaan berbagai kerajaan dan negara itu kita sebut sebagai Kota Tua. Sebagai Kota yang tua lama, sudah tentu banyak
25
menyimpan bangunan-bangunan tua sisa peninggalan para pendahulu yang bernilai sejarah, arsitektur dan arkelologis dari beberapa zaman yang berbeda.
Kota Tua Jakarta merupakan pusat perdagangan bagi benua Asia pada zaman Hindia Belanda yang sekarang terkenal sebagai objek wisata bersejarah.
Benda Cagar Budaya seperti yang dimaksud di dalam undang-undang adalah benda buatan manusia, bergerak atau tidak bergerak, yang merupakan kesatuan
atau kelompok, atau bagian-bagiannya, atau sisanya, yang berusia sekurang- kurangnya 50 tahun, atau mewakili masa gaya yang khas dan mewakili masa
gaya sekurang-kurangnya 50 tahun, serta dianggap mempunyai nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan. Semua benda cagar budaya,
yang terdapat di wilayah hukum Republik Indonesia, dikuasai oleh negara. Di kawasan Kota Tua Jakarta terdapat bebeberapa bangunan tua cagar
budaya seperti Pelabuhan Sunda Kelapa, Taman Fatahillah, Kawasan Glodok sebagai perkampungan orang-orang Cina di Batavia, Kawasan Pusat Bisnis
Kota Tua, Gereja Sion, area bekas Gudang VOC Sisi Barat Westijzsche Pakhuiszen yang kini Museum Bahari, Menara Syahbandar, Pasar Ikan,
Galangan VOC, Masjid Luar Batang, gedung Stasiun Beos Bangunannya sekarang dilindungi berdasarkan SK Gubenur DKI No. 475 tahun 1993,
Museum Seni Rupa dan Keramik, Museum Sejarah Jakarta, Museum Wayang, Gedung Kantor Pos, Café Batavia, Jembatan Kota Intan, Toko Merah dan
Museum Bank Mandiri. Unit Pengelola Kawasan Kota Tua Jakarta, 2014: 15- 23
26
B. Pengamen di Kota Tua Jakarta
Pada dasarnya pengamen mempunyai ikatan kuat antara pengamen dan masyarakat disekitarnya, sehingga dapat mengakibatkan kondisi sosial
komunitas pengamen terjalin dengan baik dan interaksi mereka dengan yang lainnya berjalan dengan baik, seperti halnya anak-anak yang lain. Bahkan
mereka mempunyai kepedulian yang tinggi kalau ada temannya yang mengalami kesusahan. yaitu saling membantu dan saling memotivasi agar
mereka bisa bangkit dari kesuhannya tersebut. Selanjutnya, hubungan sosial antara pengamen dengan orang tua, pada
umumnya baik. Mereka sebagian besar kembali ke orang tua setelah melakukan aktifitas di jalanan. Relasi sosial antara anak dan orang tua ini
tampaknya cukup baik. Hal ini dicermati dari penuturan anak jalanan, di mana sebagian besar dari mereka merasa bangga dengan orang tuanya. Penilaian
anak jalanan terhadap orang tuanya, bahwa orang tua sebagai pekerja keras dan sayang kepada mereka.
Data mengenai populasi pengamen di Kota Tua Jakarta, merupakan aspek yang sangat penting dalam mencermati permasalahan pengamen. Di mana dari
hasil penelitian di lapangan menunjukkan bahwa jumlah pengamen Kota Tua Jakarta sebanyak 8 anak yang terdiri dari 5 anak laki-laki dan 3 anak
perempuan. Untuk lebih jelasnya bisa dilihat dalam tabel berikut ini:
27
Tabel II.D.1. Profil Informan Pengamen di Kota Tua Jakarta No
Nama Inisial Jenis Kelamin Usia
Pendidikan
1 AD
Laki-Laki 9
Tidak Tamat Sekolah 2
BA Laki-Laki
9 Tidak Tamat Sekolah
3 MA
Laki-Laki 13
Tidak Tamat Sekolah 4
DI Perempuan
11 Tidak Tamat Sekolah
5 AJ
Laki-Laki 12
Tidak Tamat Sekolah 6
UD Laki-Laki
10 Tidak Tamat Sekolah
7 IN
Perempuan 11
Tidak Sekolah 8
IR Perempuan
11 Tidak Sekolah
Tabel 1 menggambarkan bahwa jumlah pengamen di Kota Tua Jakarta sebanyak 8 anak, yaitu 5 anak laki-laki dan 3 anak perempuan. Selanjutnya,
dilihat dari tingkat pendidikan ialah mayoritas tidak tamat sekolah SD dan tidak sekolah. Selanjutnya, selain sebagai pengamen jalanan, mereka
membantu orang tuanya untuk berdagang dan membantu pekerjaan rumah, seperti memasak, mengepel dan menngurus saudaranya.
28
BAB III TEMUAN DAN ANALISIS
Dalam bab ini penulis akan menjelaskan berdasarkan temuan lapangan terkait dengan fenomena pengamen anak di lingkungan wisata Kota Tua
Jakarta. Mencakup faktor-faktor yang mempengaruhi anak-anak mengamen serta perilaku sosial pengamen anak di lingkungan wisata Kota Tua Jakarta.
A. PENGAMEN ANAK DI LINGKUNGAN WISATA KOTA TUA
JAKARTA
Pada dasarnya tidak ada definisi khusus mengenai pengamen anak, seperti penelitian yang pernah dilakukan oleh Baruddin 2006, Yuliarti 2012, Riyadi
2011, Fitriadi 2011, dan Sumartono 2013 terkait dengan definisi anak jalanan. Namun secara umum anak jalanan atau pengamen anak mempunyai
ciri-ciri sebagai berikut yaitu; berada di tempat umum seperti jalanan, pertokoan, tempat hiburan atau wisata selama 4 sampai 24 jam; berpendidikan
rendah kebanyakan putus sekolah dan sedikit sekali yang menamatkan SD berasal dari keluarga yang tidak mampu kebanyakan kaum urban, beberapa
diantaranya tidak diketahui jelas keluarganya dan melakukan aktifitas ekonomi melakukan pekerjaan pada sektor informal Nusa putra, 1996: 112.
Pada kasus ini, pengamen anak memiliki ciri aktivitas mengamen yang berada di tempat wisata Kota Tua Jakarta. Seperti pada ciri umumnya
pengamen anak, waktu atau lamanya pengamen anak di Kota Tua Jakarta terbilang sangat lama, hampir separuh waktu hari mereka habiskan di tempat
29
wisata Kota Tua Jakarta untuk mengamen, seperti apa yang diungkapkan oleh IR:
‘’Sendirian berdua sama ade saya, sekitar 4-15 jam saya ngamen disini karena saya gak sekolah’’ hasil wawancara tanggal 14 Maret 2015.
Hal senada juga dipertegas oleh AD: ‘’Mengamen kadang berdua, kadang sendiri, kadang berama-ramai, sekitar
12 jam bang gue ngamen disini, kadang gue pindah-pindah ketempat lain sampe gue tidur di jalanan, yach bisa 24 jam lah bang gue di jalanan, gue jadi
pengamen karena mengamen karena keluarga gue kurang mampu, sekolah aja gak sampe lulus SD’’. hasil wawancara tanggal 14 Maret 2015.
Biasanya para pengamen mulai turun ke jalan sejak pagi hingga malam hari, merupakan bukti waktu yang digunakan oleh para pengamen anak dalam
menjalankan rutinitas kegiatan mengamen di lingkungan wisata Kota Tua Jakarta, Selain itu, yang menjadikan alasan para pengamen anak di Kota Tua
Jakarta melakukan tindakan mengamen yang cukup lama karena para pengamen anak ini “gak sekolah.”
Dengan sebab tidak bersekolah ini, menjadi sebuah pilihan para pengamen anak untuk menghabiskan waktu di lingkungan wisata Kota Tua Jakarta
sebagai seorang pengamen anak, karena secara naluriah tindakan perorangan mengarah pada suatu tujuan dan tujuan ini ditentukan oleh nilai atau pilihan
George Ritzer. 2007:110. Meskipun ada dorongan-dorongan tertentu yang mengarahkan perseorangan bertindak, namun perilaku pengamen anak ini
berbeda dengan anak-anak pada umumnya yang banyak menghabiskan
30
waktunya di tempat sekolah, tempat hiburan, dan sebagainya Didin Saripudin. 2010:41.
Realitas yang ada di lapangan, pengamen anak di lingkungan wisata Kota Tua Jakarta memiliki keunikan tersendiri dalam menjalankan aktivitas
mengamen-nya, hal ini ditunjukkan dengan ragam alat dan cara yang digunakan para pengamen anak sebagai salah satu pendukung dalam
menjalankan aksi mengamen. Seperti yang diungkapkan oleh informan yang bernama IN:
‘’Saya mengamen kemauan sendiri memakai alat musik yaitu salon supaya simple dan gampang untuk mengamen, kadang saya mengamen berdua sama
teman saya bang’’. hasil wawancara dengan Indah tanggal 14 Maret 2015.
Adanya ragam cara yang dilakukan para pengamen anak dalam mengamen dengan menggunakan “salon, gitar, dan radio tipe” merupakan strategi yang
dilakukan para pengamen anak agar dapat menarik perhatian dan minat para pengunjung wisata Kota Tua Jakarta untuk bersimpati mendengarakan dan
memberikan uang yang sesuai dengan harapan para pengamen anak tersebut. Strategi yang dilakukan para pengamen anak ini merupakan pilihan rasionalitas
dalam pertukaran ekonomi, dimana para pengamen anak yang lebih suka mengamen dengan strategi
menggunakan “gitar” lebih banyak mendapatkan uang dari pada dengan strategi menggunakan “salon atau radio tape”.
Selanjutnya, pengamen yang mempunyai kegiatan ekonomi sebagai pekerja di jalan atau disebut juga dengan children on the street, namun masih
mempunyai hubungan yang kuat dengan orang tua mereka. Sebagian