39
pengamen anak yang sudah terterah di atas. Bahwasannya “atas keinginan
sendiri untuk mengamen dan orang orang tua sudah mengetahui, berbagai macam pekerjaan dan pendapatan bersih maupun kotor itu semua untuk
kebutuhan ekonomi sehari-hari. ” Inilah yang mengacu pada motif individu
untuk melakukan tindakan ekonomi.
C. FAKTOR SOSIAL PENGAMEN ANAK DI WISATA KOTA TUA
JAKARTA
Dalam penelitian ini penulis lebih memfokuskan pada pada perilaku sosial pengamen anak di Kota Tua Jakarta, sebagai sesuatu yang bisa diamati secara
nyata. Menurut Alport bahwa perilaku merupakan hasil belajar yang diperoleh melalui pengalaman dan interaksi yang terus-menerus dengan lingkungan.
Dengan seringnya berinteraksi dengan lingkungan, akan menjadikan seseorang untuk dapat menentukan sikap karena disadari atau tidak, perilaku tersebut
tercipta karena pengalaman yang dialaminya. Sikap juga merupakan penafsiran dan tingkah laku yang mungkin menjadi indikator yang sempurna, atau bahkan
tidak memadai. Jalaluddin Rahmat, 2001: 201
Fenomena kemunculan pengamen di Indonesia khususnya di Kota Jakarta semakin terlihat, di Indonesia fenomena merebaknya pengamen merupakan
permasalahan sosial yang komplek. Hidup menjadi pengamen memang bukan merupakan pilihan yang menyenangkan, karena mereka berada dalam kondisi
yang tidak mempunyai masa depan yang jelas, dan keberadaan mereka tidak jarang menjadi masalah bagi banyak pihak, keluarga, dan masyarakat. Selain
itu keadaan atau kondisi ekonomi keluarga yang lemah, yang diperparah
40
dengan keadaan krisis ekonomi yang melanda negeri ini, turut berperan menjadikan mereka pengamen.
Pengamen bagaimanapun telah menjadi fenomena yang menuntut perhatian kita semua. Secara psikologis mereka adalah anak-anak jalanan yang
pada taraf tertentu belum mempunyai bentukan mental emosional yang kokoh, sementara pada saat yang sama mereka harus bergelut dengan dunia jalanan
yang keras dan cenderung berpengaruh negatif bagi perkembangan dan pembentukan kepribadiannya. Aspek psikologis ini berdampak kuat pada aspek
sosial. Dari fenomena sosial yang terjadi, maka terlihat bagaimana perilaku yang ditunjuk kan oleh para pengamen dalam menghadapi setiap fenomena
sosial yang terjadi disekitarnya. Jadi pola perilaku pengamen jalanan dipengaruhi oleh perilaku dalam bentuk sikap yang berasal dari keadaan
lingkungan alam dan lingkungan sosial atau keadaan dari dalam dan ransangan dari luar.
Dimana labilitas emosi dan mental mereka yang ditunjang dengan penampilan yang kumuh, banyak tato, celana sobek yang disengaja, dan
berpenampilan seperti preman, masyarakat akan memberikan stigma bahwa pekerjaan mengamen yang dilakukan anak jalanan itu merupakan modus
belaka, dan mempunyai motif atau tujuan lain, seperti mencopet. Oleh karena itu, perilaku tersebut dipandang sebagai wibawa negatif oleh sebagian besar
masyarakat terhadap para pengamen yang diidentikan dengan membuat onar, anak-anak kumuh, suka mencuri, sampah masyarakat yang harus diasingkan.
Pada taraf tertentu stigma masyarakat yang seperti ini justru akan memicu
41
perasaan alienatif mereka yang pada gilirannya akan melahirkan kepribadian introvet, cenderung sukar mengendalikan diri dan sosial. Padahal tak dapat
dipungkiri bahwa mereka adalah generasi penerus bangsa untuk masa mendatang.
Namun pada kenyataannya, perilaku para pengamen tidak semuanya berperilaku negatif. Dari hasil observasi dan wawancara di lapangan, perilaku
asertif masih dimiliki oleh para pengamen. Perilaku asertif merupakan perilaku yang positif karena tidak merugikan orang lain dan juga tidak merugikan diri
sendiri. Karena pengamen jalanan yang ada di Kota Tua Jakarta tidak semuanya berperilaku kasar terhadap masyarakat dalam menjalankan
aktivitasnya ketika pengamen jalanan tersebut tidak diberikan imbalan oleh masyarakat. Bahkan masyarakat yang ada di Kota Tua merasa terhibur atas
penampilan pengamen tersebut, Karena penampilan mereka hanya semata-mata untuk mempengaruhi
respon masyarakat untuk memberikan imbalan dan masyarakat mengatakan tidak merasa terganggu dengan keberadaan pengamen yang tujuannya benar-
benar untuk mencari nafkah di jalanan, selama mereka bertingkah laku yang baik sopan, tidak maksa-maksa dan ramah. Bahkan masyarakat merasa
simpatik dengan keadaan kehidupan pengamen yang berkeliaran di jalanan dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya. Sebagaimana yang diungkap
kan oleh BAM selaku karyawan tetap di Kota Tua Jakarta: “Menurut saya mereka baik, karena saya lihat langsung kadang saya lagi
duduk didatangi oleh pengamen dan mereka sopan, baik dan menyanyikan lagu
42
yang enak didengar maka saya kasih uang sekedarnya, jikalau pengamen anak prilaku sosialnya tidak menyenangkan maupun memaksa-maksa maka saya
akan tangani langsung dan memberi peringatan secara tegas, karena saya ingin mewujudkan Kota Tua ini enak merasa nyaman bagi para pengunjung maupun
bagi para turis lainnya. Dan saya gak merasa terganggu, selama mereka mengamen tidak berbuat onar maka para pengunjung pun merasa senang
terhibur ada juga sich yang kurang menyenangkan. ” Hasil wawancara pribadi
dengan bapak BAM pada tanggal 27 April 2015. Jadi, pada dasarnya mereka yang bekerja sebagai pengamen bukan hanya
karena ingin menyalurkan hobi atau bakat akan menyanyi akan tetapi dapat juga dilihat dari tindakan mereka yang cenderung sebagian besar suka
memaksa terhadap pengujung hal ini tidak terjadi pada Pengunjung Kota Tua, karena pengamen yang ada di Kota Tua memiliki perilaku yang baik dan tidak
maksa-maksa ketika tidak diberikan uang. Perilaku pengamen sangat beraneka macam, tidak semua diantara mereka memiliki prilaku yang negatif, tetapi ada
juga hal positif dari mereka, yaitu: pandai membaca peluang, tahan bekerja keras, memiliki solidaritas yang tinggi dengan sesama teman, mudah membuat
keterampilan, bersikap terbuka dan saling percaya.
D. PRILAKU SOSIAL PENGAMEN ANAK DI LINGKUNGAN
WISATA KOTA TUA JAKARTA
Perilaku sosial adalah perbuatan atau perilaku manusia untuk mencapai tujuan subjekif dirinya. Misalnya: sejak kecil manusia sudah melakukan
tindakan sosial, antara lain membagi makanan dengan temannya, dan memberi
43
sesuatu kepada pengemis. Tindakan sosial manusia diperoleh melalui proses belajar dan proses pengalaman dari orang lain.Jika tindakan sosial itu dianggap
baik, maka manusia akan melakukan tindakan yang sama. Jika tindakan sosial itu baik dan bermanfaat bagi orang lain, makin lama tindakan sosial tersebut
dapat dianggap sebagai suatu kebisaaan yang harus dilakukan oleh seluruh anggota kelompok sosial.
Perilaku sosial
dapat dibedakan
menjadi Tiga
tipe www.mediaindonesiaonline.com diunduh pada tanggal 28 Juli 2015. Ketiga
tipe perilaku itu diuraikan seperti berikut:
1. Bersifat Rasional Instrumental
Perilaku sosial yang bersifat rasional adalah tindakan sosial yang dilakukan dengan pertimbangan dan pilihan secara sadar masuk akal. Artinya
tindakan sosial itu sudah dipertimbangkan masak-masak tujuan dan cara yang digunakan untuk mencapai tujuan tersebut. Contohnya: MA memutuskan
pengamen daripada memilih melanjutkan sekolahnya di tingkat dasar. Alasannya karena MA ingin membantu perekonomian orang tua dan
membiayai sekolah adik-adiknya.
2. Berorientasi Nilai
Perilaku sosial yang berorientasi nilai dilakukan dengan memperhitungkan manfaat, sedangkan tujuan yang ingin dicapai tidak terlalu dipertimbangkan.
Perilaku ini menyangkut kriteria baik dan benar menurut penilaian masyarakat. Bagi perilaku sosial ini yang penting adalah kesesuaian tindakan dengan nilai-
nilai dasar yang berlaku dalam kehidupan masyarakat. Contohnya: tidak pernah