commit to user
Pasal 10 1 Informasi tentang identitas, diagnosis, riwayat penyakit, riwayat
pemeriksaan dan riwayat pengobatan pasien harus dijaga kerahasiaannya oleh dokter, dokter gigi, tenaga kesehatan tertentu, petugas pengelola dan
pimpinan sarana pelayanan kesehatan” Pasal 14
“Pimpinan sarana pelayanan kesehatan bertanggungjawab atas hilang, rusak, pemalsuan, danatau penggunaan oleh orang atau badan yang tidak
berhak terhadap rekam medis”
Bila pasal-pasal tersebut dilanggar maka membuka jalan bagi timbulnya malpraktek medis, baik secara perdata, pidana maupun
administrasi.
6. Upaya Hukum Bagi Pasien Terhadap Malpraktek
Bila terjadi penyimpangan dalam ketentuan pelayanan kesehatan, pasien dapat menuntut haknya yang dilanggar oleh pihak penyedia jasa
kesehatan dalam hal ini rumah sakit dan doktertenaga kesehatan. Doktertenaga kesehatan dan rumah sakit dapat dimintakan tanggung
jawab hukum, apabila melakukan kelalaian atau kesalahan yang menimbulkan kerugian bagi pasien sebagai konsumen. Pasien dapat
menggugat tanggung jawab hukum kedokteran medical liability, dalam hal dokter tersebut berbuat kesalahankelalaian. Dokter tidak dapat
berlindung dengan dalih perbuatan yang tidak sengaja, sebab kesalahankelalaian dokter yang menimbulkan kerugian terhadap pasien
menimbulkan hak bagi pasien untuk menggugat ganti rugi.
a. Upaya Hukum Penyelesaian Sengketa Pasien Sebagai Konsumen
Jasa Pelayanan Medis Ditinjau Dari Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan memberikan perlindungan hukum, baik kepada pasien sebagai
konsumen dan produsen jasa pelayanan kesehatan diantaranya Pasal 53, 54, dan 55 UU No 23 Tahun 1992. Jika terjadi sengketa dalam
pelayanan kesehatan, untuk menyelesaikan perselisihan harus mengacu
commit to user
pada UU No 23 Tahun 1992 dan UUPK serta prosesnya melalui lembaga perdilan, mediasi.
Dalam hal terjadi sengketa antara produsen jasa pelayanan kesehatan dengan konsumen jasa pelayanan, tersedia 2 jalur, yaitu
jalur litigasi dan jalur non litigasi yaitu penyelesaian sengketa melalui peradilan. Proses penyelesaian dari peselisihan atau kelalaian
kesehatan dapat dilakukan di luar pengadilan dan di pengadilan berdasarkan kesepakatan para pihak yang berselisih. Penyelesaian
yang paling sering dilakukan adalah melalui mediasi di luar pengadilan dengan sistem Alternative Dispute Resolution ADR.
Profesi kedokteran banyak berkaitan dengan problema etik yang berpotensi menimbulkan sengketa medik, karena itu dibutuhkan
suatu wadahlembaga yang khusus dapat menjadi penyaring untuk menyelesaikan sengketa antara pemberi jasa kesehatan rumah sakit,
dokter dan tenaga kesehatan dan penerima jasa kesehatan pasien. Salah satu lembaga yang bisa menyelesaikan sengketa adalah
Ombudsman yang melibatkan orang luar, agar peradilan sengketa antara tenaga kesehatan dan rumah sakit dengan pasien dapat
diberlakukan secara adil. Hal yang harus diperhatikan dalam penyelesaian sengketa
model Ombudsman, yaitu: 1 Ombudsman tidak akan mempertimbangkan suatu pengaduan, jika
proses hukum tengah ditempuh; 2 Peran utama Ombudsman sesuai yuridiksinya yaitu mengupayakan
perbaikan pelayanan kepada pihak yang diadukanpelaku usaha; dan
3 Keputusan Ombudsman terbatas pada rekomendasi yang berupa langkah-langkah tertentu yang perlu diambil untuk memperbaiki
perilaku pelaku usaha. Titik Triwulan Tutik, 2010:64-65
commit to user
b. Upaya Hukum Penyelesaian Sengketa Pasien sebagai Konsumen
Jasa Pelayanan Medis Ditinjau dari Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
Sengketa konsumen adalah sengketa berkenaan dengan pelanggaran hak-hak konsumen. Lingkupnya mencakup semua segi
hukum, baik keperdataan, pidana maupun tata usaha negara.
Menurut UUPK, penyelesaian sengketa konsumen memiliki kekhasan. Para pihak yang bersengketa, pihak konsumen dapat
menyelesaikan sengketa itu mengikuti beberapa lingkungan peradilan ataupun memilih jalan penyelesaian di luar pengadilan, yaitu
penyelesaian sengketa melalui peran komisi ombudsman.
1 Penyelesaian Sengketa di Peradilan Umum
Pasal 45 ayat 1 UUPK, menyatakan; “Setiap konsumen yang dirugikan dapat menggugat pelaku
usaha melalui lembaga yang bertugas menyelesaikan sengketa antara konsumen dan pelaku usaha yang berugas menyelesaikan
sengketa antara konsumen dan pelaku usaha melalui lembaga peradilan yang berbeda di lingkungan peradilan umum”.
“Penyelesaian sengketa konsumen dapat ditempuh melalui pengadilan atau di luar pengadilan berdasarkan pilihan sukarela
para pihak yang bersengketa”. Pilihan untuk berperkara di pengadilan atau di luar
pengadilan adalah pilihan sukarela para pihak. Penjelasan Pasal 45 UUPK menyebut adanya kemungkinan perdamaian di antara para
pihak sebelum mereka berperkara di pengadilan atau di luar pengadilan. Kata sukarela diartikan sebagai pilihan para pihak baik
sendiri maupun bersama-sama untuk menempuh jalur penyelesaian di dalam maupun di luar pengadilan, karena upaya perdamaian
gagal atau sejak semula mereka tidak mau menempuh alternatif perdamaian.
Pasal 45 ayat 3 UUPK “Penyelesaian sengketa di luar pengadilan tidak menghilangkan tanggung jawab pidana
sebagaimana diatur dalam undang-undang”.
commit to user
Bukan hanya tanggung jawab pidana yang tetap di buka kesempatannya untuk diperkarakan melainkan juga tanggung
jawab di bidang lainnya seperti administrasi negara. Konsumen yang dirugikan haknya, tidak hanya diwakili oleh jaksa dalam
penuntutan di peradilan umum untuk kasus pidana, tetapi ia sendiri dapat menggugat pihak lain di lingkunagan peradilan tata usaha
negara jika terdapat sengketa administratif di dalamnya. Dalam kasus perdata di lingkungan pengadilan negeri,
konsumen diberi hak mengajukan gugatan, menurut Pasal 46 UUPK:
a. Seorang konsumen yang dirugikan atau ahli waris yang bersangkutan;
b. Sekelompok konsumen yang mempunyai kepentingan yang sama;
c. Lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat yang memenuhi syarat;
d. Pemerintah danatau instansi terkait jika barangjasa yang dikonsumsi mengakibatkan kerugian materi yang besar atau
korban yang tidak sedikit. Seorang konsumen atau ahli warisnya dapat melayangkan
gugatannya kepada Majelis Kode Etik Kedokteran Indonesia MKEKI, pengadilan dan terhadap pihak terkait karena merasa
dirugikan dan diperlakukan tidak manusiawi. Maka dapat menggugat ganti rugi kepada doktertenaga kesehatan dan rumah
sakit karena telah melakukan perbuatan melawan hukum, dengan menimbulkan kerugian di akibatkan oleh kelalaian atau kesalahan
dalam melakukan tindakan medik. Gugatan dapat dilakukan oleh sekelompok konsumen yang
mempunyai kepentingan yang sama. Pasal 46 ayat 1 b UUPK berbunyi:
commit to user
“Undang-undang ini mengakui gugatan kelompok atau class action. Gugatan kelompok atau class action harus diajukan
oleh konsumen yang benar-benar dirugikan atau dapat dibuktikan secara hukum. Salah satu diantaranya adalah adanya bukti
transaksi.”
Klasifikasi ke tiga adalah lembaga swadaya masyarakat, dipakai istilah perlindungan konsumen swadaya masyarakat dan
berkaitan dengan legal standing. Keberadaan LSM ini menurut Pasal 1 angka 9 dan Pasal 44 ayat 1 UUPK harus terdaftar dan
diakui oleh Pemerintah. Terkait dengan gugatan oleh pemerintah, mereka baru akan
menggugat pelaku usaha jika ada kerugian materi yang besar atau korban yang tidak sedikit. Titik Triwulan Tutik, 2010:68
2 Penyelesaian Sengketa di Peradilan Tata Usaha Negara
Pasal 46 ayat 2 menyatakan: “Gugatan yang dilakukan oleh sekelompok konsumen,
LPKSM, dan pemerintah harus diajukan ke pengadilan umum, sementara untuk gugatan yang diajukan konsumen atau ahli
warisnya secara individual tidak ditetapkan lingkungan peradilannya”
Pasal 46 Ayat 2 UUPK terkesan membolehkan gugatan konsumen diajukan ke lingkungan peradilan umum. Hal ini
menghalangi konsumen yang perkaranya menyentuh kompetensi pengadilan tata usaha negara.
Bila konsumen diartikan secara luas, yakni mencakup penerima jasa layanan publik tentu Peradilan Tata Usaha Negara
PTUN patut melayani gugatan tersebut. Dengan syarat sengketa tersebut berawal dari penetapan tertulis, bersifat kongkret, dan
final.
3 Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan
Untuk mengatasi kerumitan proses peradilan, UUPK memberi jalan alternatif dengan menyediakan penyelesaian di luar
pengadilan. Pasal 45 ayat 4 UUPK menyebutkan; “Jika telah dipilih upaya penyelesaian sengketa konsumen di
luar pengadilan, gugatan melalui pengadilan hanya dapat ditempuh
commit to user
jika upaya itu dinyatakan tidak berhasil oleh salah satu pihak atau oleh para pihak yang bersengketa”.
Penyelesaian di pengadilan tetap di buka setelah para pihak gagal menyelesaikan sengketa mereka di luar pengadilan.
Penafsiran yang lebih dalam dari ketentuan pasal tersebut bahwa; 1 penyelesaian di luar pengadilan merupakan upaya perdamaian
di antara para pihak yang bersengketa; dan 2 penyelesaian di luar pengadilan dapat dilakukan melalui suatu badan independen seperti
Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen BPSK. Jika penyelesaian melalui BPSK maka salah satu pihak tidak dapat
menghentikan perkaranya di tengah jalan sebelum BPSK menjatuhkan putusan. Artinya mereka terikat untuk menempuh
proses pemeriksaan sampai saat penjatuhan putusan.
c. Upaya Hukum Penyelesaian Sengketa Pasien Sebagai Konsumen
Jasa Pelayanan Medis Ditinjau Dari Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan
Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan memberikan perlindungan hukum, baik kepada pasien sebagai
konsumen dan dokter. Yang tercantum dalam Pasal 27 dan Pasal 29. Jika terjadi sengketa antara pasien selaku konsumen dan dokter selaku
penyedia jasa kesehatan, menggunakan dasar hukum tersebut. Pasal 27 merumuskan “Tenaga kesehatan berhak mendapatkan
imbalan dan perlindungan hukum dalam melaksanakan tugas sesuai dengan profesinya”
Pasal 29 merumuskan “Dalam hal tenaga kesehatan diduga melakukan kelalaian dalam menjalankan profesinya, kelalian tersebut
harus diselesaikan dahulu melalui mediasi” Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan,
memberikan perlindungan kepada dokter untuk bekerja sesuai standar profesinya, sehingga bila ada pasien yang menuntut dokter karena
malpraktek medis hal tersebut perlu diperiksa lebih lanjut, apakah dokter telah melaksanakan pekerjaan sesuai standar profesinya atau
commit to user
tidak. Bila terbukti dokter bekerja sesuai dengan profesinya, maka tidak dapat dipersalahkan.
Selain memberikan perlindungan, Undang-Undang tersebut juga memberi kesempatan kepada konsumen selaku penerima jasa
kesehatan untuk menyelesaikan sengketa pelayanan medis yang diterimanya melalui mediasi terlebih dahulu jalur non litigasi tetapi
bila melalui mediasi tidak mampu menyelesaikan diperbolehkan menggunakan jalur pengadilan.
B. Ketentuan Yuridis Terjadinya Malpraktek Medis Sesuai Sistem Hukum
Indonesia 1.
Ketentuan Yuridis Malpraktek Medis dalam Hukum Perdata
Malpraktek medis selain dapat dituntut secara pidana juga dapat dituntut secara perdata dalam bentuk pembayaran ganti rugi. Dasar hukum
malpraktek perdata atau sipil adalah transaksi atau kontrak terapeutik antara dokter dengan pasien yaitu hubungan dokter dengan pasien, dimana dokter
bersedia memberikan pengobatan atau perawatan medis kepada pasien dan pasien bersedia membayar sejumlah imbalan kepada dokter. Ketentuan
terkait dengan KUHPerdata adalah Pasal 1366 KUHPerdata.”Setiap orang bertanggung jawab hukum hanya kerugian yang disebabkan perbuatannya,
tetapi juga kerugian yang disebabkan karena kelalaian atau kekurang hati- hatian” Kayus Kayowuan Lewolebah , 2008:185
a. Hubungan Hukum Dokter-Pasien Dalam Kontrak Terapeutik
Pengertian Perikatan tercantum dalam Pasal 1313 jo 1234 KUHPerdata. “Perikatan hukum adalah suatu ikatan antara dua subjek
hukum atau lebih untuk melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu atau memberikan sesuatu yang disebut prestasi”
commit to user
Disamping melahirkan hak dan kewajiban, hubungan dokter dan pasien juga membentuk pertanggungjawaban hukum. Bagi pihak
dokter, prestasi berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu dalam perlakuan medis yang ditujukan bagi kepentingan kesehatan pasien
adalah kewajiban hukum yang sangat mendasar dalam kontrak terapeutik.
Dipandang dari sudut hukum perdata, malpraktek medis terjadi bila perlakuan salah yang dilakukan oleh dokter dalam hubungannya
dengan pemberian pelayanan medis kepada pasien menimbulkan kerugian perdata. Kerugian kesehatan fisik, jiwa, maupun nyawa pasien
akibat salah perlakuan oleh dokter merupakan unsur penting timbulnya malpraktek medis. Dengan timbulnya akibat hukum kerugian perdata
terbentuklah pertanggung jawaban hukum perdata bagi dokter terhadap kerugian yang timbul.
Hubungan hukum dokter dan pasien timbul berdasarkan kesepakatan dan Undang-undang. Perikatan karena kesepakatan
membawa suatu keadaan wanprestasi, sedangkan pelanggaran hukum dokter atas kewajiban hukum dokter karena undang-undang disebut
perbuatan melawan hukum onrechmatigedaad dalam Pasal 1365 KUHPerdata.
Selain pelanggaran hukum karena kesepakatan, dapat pula terjadi pelanggaran kewajiban hukum karena UU yang disebut
Zaakwaarneming. Zaakwaarneming adalah melakukan sesuatu dengan diam-diam dan sukarela bagi kepentingan orang lain tanpa persetujuan
dan sepengetahuannya menimbulkan kewajiban pelaksanaan dengan sebaik-baiknya sehingga melahirkan tanggungjawab terhadap akibat
yang timbul apabila ada kesalahan dalam pelaksanaan sesuatu tersebut Pasal 1354 BW. Adami Chazawi, 2007:43
b. Wanprestasi dalam Malpraktek Medis
Pertanggungjawaban dokter akibat malpraktek medis karena wanprestasi lebih luas dari pertangggungjawaban karena perbuatan
commit to user
melawan hukum. Hal tersebut berdasar Pasal 1236 jo 1239 KUHPerdata, selain penggantian kerugian, pasien juga dapat menuntut
biaya dan bunga. Kerugian yang dituntut pada perbuatan melawan hukum lebih luas dari kerugian akibat wanprestasi. Tuntutan terhadap
kerugian immateriil akibat perbuatan melawan hukum dapat dilakukan, sedangkan wanprestasi tidak.
Hubungan hukum antara dokter dan pasien, dilandasi sikap saling percaya antara kedua belah pihak. Kesembuhan merupakan
tujuan akhir kontrak terapeutik tetapi bukan objek kewajiban dokter yang dapat dituntut oleh pasien. Kewajiban pokok seorang dokter
adalah inspanning, yakni suatu usaha keras dari dokter yang harus dijalankan untuk menyembuhkan kesehatan pasien. Adami Chazawi,
2007:45
Pasien yang tidak sembuh tidak dapat dijadikan alasan wanprestasi bagi dokter selama perlakuan medis yang dilakukan tidak
menyimpang dari standar profesi, karena hubungan hukum pasien dan dokter bukan hubungan yang menuntut pada hasil pelayanan medis,
melainkan kewajiban untuk memberikan perlakuan medis sebaik- baiknya dimana dokter tidak mampu menjamin hasil akhir.
Hasil dari perlakuan penyembuhan, pemulihan, atau pemeliharaan kesehatan pasien tidak menjadi kewajiban hukum bagi
dokter, melainkan suatu kewajiban moral belaka akibatnya bukan sanksi hukum tetapi sanksi moral dan sosial. Sepanjang perlakuan
medis terhadap pasien dilakukan sesuai standar profesi dan standar prosedur operasional meskipun tanpa hasil penyembuhan yang
diharapkan tidak melahirkan malpraktek medis dari sudut hukum. Perlakuan medis dokter yang menyalahi standar profesi maka
dokter dianggap melakukan malpraktek medis. Dengan syarat, tidak sembuh atau lebih parah penyakit dari pasien setelah mendapat
perlakuan medis dari sudut standar profesi. Jika hal tersebut merupakan akibat langsung dari salah perlakuan medis oleh dokter melahirkan
malpraktek medis, pasien berhak menuntut ganti kerugian atas kesalahan perlakuan medis tersebut.
commit to user
Pelayanan medis dengan resiko tinggi wajib dibuat dalam bentuk tertulis untuk dimintakan persetujuan informed consent.
Tujuannya untuk membebaskan risiko hukum bagi timbulnya akibat yang tidak dikehendaki.
Bentuk wanprestasi dokter dalam pelayanan medis yaitu: a Tidak memberikan pelayanan kesehatan sama sekali seperti yang
diperjanjikan; b Memberikan pelayanan kesehatan tidak sebagaimana mestinya,
tidak sesuai kualitas dan kuantitas dengan yang diperjanjikan; c Memberikan pelayanan kesehatan tetapi terlambat tidak tepat
waktu sebagaimana telah diperjanjikan; d Memberikan pelayanan kesehatan lain dari pada yang diperjanjikan
semula. Adami Chazawi, 2007:48-49 Setiap wanprestasi terkandung aspek kerugian bagi pihak lain.
Unsur kerugian terdapat dalam kalimat “penggantian biaya, rugi dan bunga”. Akibat kerugian pasien ini menjadi pangkal penilaian terhadap
ada atau tidaknya malpraktek medis. Setelah terbukti adanya kerugian, kemudian dilihat bagaimana wujud perlakuan medis yang dilakukan
oleh dokter. Wujud kerugian akibat wanprestasi berupa kerugian materiil
yang dapat diukur dengan nilai uang, terutama biaya perawatan, biaya perjalanan dan biaya obat-obatan dengan syarat kerugian ini harus
dapat dibuktikan.
c. Perbuatan Melawan Hukum Dalam Malpraktek Medis
Tercantum dalam bunyi Pasal 1365 KUHPerdata: “Tiap perbuatan melanggar hukum yang membawa kerugian
kepada orang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menimbulkan kerugian itu untuk mengganti kerugian tersebut”.
Dari bunyi pasal tersebut, diartikan bila perlakuan medis dokter menyimpang dari standar profesi dan menimbulkan kerugian pasien
termasuk kategori perbuatan melawan hukum. Kerugian harus benar-
commit to user
benar diakibatkan perlakuan medis yang salah dan harus dapat dibuktikan baik dari sudut ilmu hukum maupun ilmu kedokteran.
Malpraktek medis yang telah masuk lapangan hukum pidana atau menjadi kejahatan sekaligus merupakan perbuatan melawan
hukum yang dapat dituntut pertanggungjawaban perdata terhadap kerugian yang ditimbulkan melalui pasal 1365 jo 1370 dan 1371
KUHPerdata. Indikator malpraktek medis masuk dalam perbuatan melawan hukum, yaitu malpraktek medis telah masuk ke ranah hukum
pidana otomatis termasuk perbuatan melawan hukum. Perbuatan melawan hukum adalah perbuatan aktif maupun pasif
yang dilakukan baik sengaja maupun kealpaan yang bertentangan dengan hak orang lain, dengan kewajiban hukumnya sendiri dengan
nilai-nilai kesusilaan yang harus diindahkan dalam pergaulan masyarakat. Mencakup pula syarat untuk menuntut ganti kerugian oleh
perbuatan melawan hukum yakni harus ada perbuatan dan sifat melawan hukum. Adami Chazawi, 2007:61
Empat syarat yang harus dipenuhi untuk menuntut kerugian adanya perbuatan melawan hukum:
Adanya perbuatan yang termasuk kualifikasi perbuatan melawan hukum;
Adanya kesalahan si pembuat; Adanya akibat kerugian;
Adanya hubungan perbuatan dengan akibat kerugian orang lain.
d. Zaakwaarneming
Pasal 1354 BW merumuskan zaakwaarneming adalah;
“Jika seseorang dengan sukarela mewakili urusan orang lain dengan atau tanpa pengetahuan orang ini, maka ia secara diam-diam
mengikat dirinya untuk meneruskan serta menyelesaikan urusan tersebut hingga orang yang diwakili kepentingannya dapat mengerjakan
sendiri urusan itu“
Mengikatkan diri secara sukarela menurut Undang-Undang berarti ia terbebani kewajiban hukum untuk melaksanakan urusan orang
lain itu dengan sebaik-baiknya. Timbul kewajiban hukum apabila tidak dijalankan sebagaimana mestinya hingga menimbulkan akibat kerugian
bagi orang yang diwakilinya maka ia bertanggungjawab untuk
commit to user
mengganti kerugian, biaya dan bunga. Zaakwaarneming bukanlah penyebab malpraktek medis. Zaakwarneming merupakan salah satu
bentuk perikatan hukum yang timbul karena undang-undang. Berbeda dengan onrechmatigedaad yang melahirkan malpraktek medis,
zaakwaarneming dapat melahirkan malpraktek medis bila terdapat penyimpangan dalam melaksanakan kewajiban hukum dokter dan
menimbulkan kerugian pasien. Adami Chazawi, 2007: 77-78 Apabila pelayanan medis diberikan saat keadaan darurat, dokter
atau rumah sakit memiliki kewajiban untuk berbuat segala sesuatu dengan segera untuk kepentingan menyelamatkan jiwa pasien. Bila
dokter atau rumah sakit tidak memberikan pertolongan dengan alasan tidak ada informed consent dari keluarga sehingga pasien meninggal
maka petugas RS dapat dipersalahkan telah melakukan tindak pidana menurut ketentuan Pasal 531 KUHP dan Rumah Sakit dapat dituntut
ganti rugi. Dalam keadaan emergency, dokter atau rumah sakit dapat
memberikan pelayanan medis tanpa persetujuan. Dokter atau rumah sakit tidak dapat dituntut oleh pasien kecuali tindakan medis yang
dijalankan melanggar standar profesi baik sengaja maupun culpa sehingga merugikan pasien.
2. Ketentuan Yuridis Malpraktek Medis dalam Hukum Pidana