Alasan memilih judul PENDAHULUAN
Hakekat dakwah adalah menanamkan akidah tauhid dalam konteks hablun minallah dan menegakkan keadilan sosial dalam konteks hablun minannas, yang
action-nya adalah amar makruf nahi mungkar.
5
Di sini, pemahaman tentang amar makruf nahi mungkar dakwah akan terbantu dengan refleksi teologisnya Hassan Hanafi.
“Kendati pun menurut ayat-ayat Al Quran
,” kata Hasan Hanafi, “kita ini merupakan umat yang satu ummatan wahidah, namun sesungguhnya dalam kenyataan obyektif kita dipisahkan menjadi
dua: yaitu umat yang miskin dan umat yang kaya ”.
6
Refleksi keberagamaan seperti yang digambarkan Hasan Hanafi ini, sangat bermanfaat untuk melakukan otokritik. Apakah kesalehan yang kita cari sejatinya
mempunyai dimensi kesejarahan sosial ataukah hanya secara vertikal? Hanya menunjukkan ketaatan ritualistik yang emosional saja, tapi abai terhadap kondisi
kekayaan dan kemiskinan yang semakin timpang? Islamisasi kini memang kian marak, tapi dapatkah ia menjawab permasalahan
akut tentang kemiskinan tersebut? Kemiskinan yang memang menyisihkan mereka yang lemah dan tertindas dari kehidupan sosial, mampukah dakwah Islam
membebaskan “mereka”?
Tapi sayangnya, seperti telaah Sudarto, sekarang dakwah Islam seperti hanya menjadi sebatas konsumsi indra pendengaran, namun tidak pernah menyentuh akar
persoalan yang rentan —orang-orang pinggiran dari pragmentasi sosial—serta sistem
5
M. Masyhur Amin Ed, opp cit h. 187
6
Moeslim Abdurrahman, opp cit, h.157
kemanusiaan universal. Akibatnya, dakwah hanya merespon fenomena yang muncul di permukaan.
7
M. Quraish Syihab pernah mensinyalir, masalahnya terletak pada dangkalnya pemahaman Islam di kalangan masyarakat, akibat dari sentuhan dakwah yang belum
merata dan meluas. Namun, sentuhan dakwah yang belum merata dan meluas sebenarnya bukanlah permasalahan utama yang melingkupi umat. Masalah yang
sebenarnya adalah ketimpangan perspektif keagamaan yang lebih domain terhadap permasalahan syariah fiqh, yang selalu disosialisasikan di tengah-tengah umat oleh
para juru dakwah —baik melalui forum-forum, seperti tabligh akbar, majlis taklim,
talk show, dst, maupun melalui madrasah-madrasah, sekolah-sekolah, pesantren- pesantren, hingga perguruan tinggi-perguruan tinggi
—ketimbang, para juru dakwah tersebut, membongkar dan membahas permasalahan struktural tentang kemiskinan,
penindasan, dan pragmentasi sosial, yang membuat orang-orang miskin, sebetulnya jauh dari agamanya sendiri.
Fiqh yang disosialisasikan tersebut cenderung mengarah pada perspektif yang dangkal, tidak kritis, dan cenderung naif dan fatalistik. Seperti misalnya perspektif
tentang anjuran membangun masjid dengan landasan hadis “Siapa yang membangun masjid di bumi, maka Allah akan membangun
baginya gedung di sorga”, dipahami dengan cara yang sederhana. Dengan anjuran ini, orang berlomba-lomba membangun
7
Sudarto, Wacana Islam Progresif: Reinterpretasi Teks Demi Membebaskan yang Tertindas, yogyakarta: IRCiSoD, 2014, h. 157