tersendiri, sebab mereka dulunya adalah musuh-musuh PKI. Tetapi di lain pihak menurutnya, sangat rentan dengan konflik dan kepentingan.
4
Saat aktif di HMI, ia merasa ada pergulatan pemikiran yang intens melalui diskusi-diskusi di kampus. Moeslim Abdurrahman pernah menjadi ketua HMI cabang
Solo. Pergulatan pemikiran di HMI terus berlanjut sampai ia lulus dari Universitas Muhammadiyah Surakarta tersebut. Selesai S1 Moeslim Abdurrahman melanjutkan
studi pasca-sarjana jurusan Antropologi di University Illinois, Urbana, Champagne, Amerika Serikat, selesai tahun 1996. Selanjutnya ia menempuh studi S3 di kampus
yang sama dengan jurusan yang sama pula, yaitu antropologi. Ia mendapat gelar doctor antropologi pada tahun 1999.
Semasa kuliah di luar negeri inilah pemikirannya mengenai sosiologi politik mulai terbentuk, terutama sosiologi politik Islam. Pada saat menjadi mahasiswa di
luar negeri ia banyak terlibat diskusi dengan para mahasiswa dan tokoh-tokoh pembaru dari Indonesia. Moeslim Abdurrahman termasuk mahasiswa yang menonjol
dan beberapa kali mengundang cendekiawan Muslim Indonesia untuk berceramah di Kampus Urbana, seperti Abdurrahman Wahid, Amien Rais dan Nurcholish Madjid.
5
3. Riwayat Karir
Selesai kuliah di luar negeri, Moeslim menempuh karir di dunia Lembaga Swadaya Masyarakat LSM yang pada waktu itu bergerak di bidang pemberdayaan
komunitas petani di Jawa. Aktivitasnya di LSM mencuatkan namanya. Ia banyak
4
www.maarif-institute.com dibuka pada 1 November 2015 pukul 22.00 WIB
5
www.islamlib.com , dibuka tanggal 10 November 2015 pukul 20.00 WIB
terlibat dalam gerakan pemberdayaan petani. Menurut Moeslim Abdurrahman, perkembangan lembaga swadya masyarakat di Indonesia lahir sebagai reaksi terhadap
proses pembangunan yang dikendalikan oleh pemerintah dengan paradigma modernisasi yang menempatkan rakyat sebagai obyek dan bukan subyek
pembangunan.
6
Lebih lanjut Moeslim Abdurrahman mengatakan bahwa modernisasi adalah paradigma yang berangkat dari asumsi bahwa rakyat adalah bodoh, awam, malas, dan
seterusnya. Oleh sebab itu, mereka harus diubah mentalnya, kecerdasannya, atau pikirannya. Berdasarkan asumsi seperti ini, disusunlah program-program
pembangunan oleh sekelompok elite yang menganggap dirinya —secara sepihak—
modern di tengah masyrakat luas yang dinilainya belum modern.
7
Pembangunan dengan paradigma modernisasi, karena sifatnya yang elitis, menempatkan arus informasi selalu berasal dari atas. Sehingga dalam kehidupan
sosial sehari-hari, masyarakat selalu diminta memperhatikan tuntutan dari atas dalam membangun dan mengacu kepada terwujudnya masyarakat yang modern. Paradigma
modernisasi juga tidak hanya menciptakan model komunikasi dari atas, tapi juga menciptakan suasana kesenjangan mobilitas sosial-ekonomi di kalangan masyarakat.
Karena modernisasi hanya dapat disapa oleh mereka yang mempunyai asset dan akses. Kita tahu, yang memiliki asset dan akses adalah kalangan kelas menengah,
sementara kalangan bawah tidak memiliki sama sekali.
6
Moeslim Abdurrahman, Islam Transformatif, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1997, h. 215
7
Ibid., h. 215
Kalangan LSM mencoba menjelaskan masalah ini dengan melakukan penelitian, menawarkan alternatif melalui analisis sosial transformatif . ini suatu
model komunikasi dua arah, ke atas dan ke bawah yang sifatnya setara, demokratis dan memberikan penghargaan dan saling memberikan manfaat. Suatu pola hubungan
antara manusia yang dilandasi oleh sifat manusiawi. Ketiga masih aktif di LSM, Moeslim Abdurrahman melihat bahwa yang
diperlukan lembaga semacam ini bukan sekedar membuka budaya bisu rakyat dalam arti memberi kesempatan pada setiap orang untuk bicara, tetapi yang lebih penting
dari itu ialah bahwa setiap orang mempunyai hak yang sama dalam memutuskan sesuatu. Inilah yang disebutnya sebagai partisipasi rakyat dalam mengambil
keputusan bersama.
8
Setelah mengetahui visi-misi lembaga swadaya masyarakat, Moeslim Abdurrahman mulai tertarik dan terlibat di dunia LSM. Selanjutnya, ia kemudian
melamar pekerjaan di Pusat Penelitian Ilmu Sosial di bawah bimbingan Dr Alfian almarhum dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia LIPI, dan diterima sebagai
staf peneliti lapangan. Ketika berada di LIPI ini ia masih tetap aktif di LSM sambil melakukan riset emansipatoris dan riset partisipatoris. Di LIPI ia banyak melakukan
penelitian lapangan bersama dengan aktivis seperti Wardah Haidz yang kemudian mendirikan LSM UPC Jakarta, Wiladi Budiharga, Mansour Fakih pendiri LSM
INSIST Yogyakarta dan lain-lain.
8
Ibid., h. 218-219