BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Perkembangan alat pembayaran sangat cepat dan maju. Pada zaman dahulu dikenal suatu sistem pembayaran yang disebut sistem barter pertukaran. Baik
antara barang dengan barang maupun barang dengan jasa atau sebaliknya. Namun akhirnya cara bertransaksi dengan sistem ini mengalami jalan buntu karena tidak
ada kepastian tentang standar dalam sistem barter, dan untuk itu diperlukan kepastian nilai tukar dengan menciptakan satuan nilai tukar yang disebut uang.
Untuk tahap berikutnya diciptakanlah cara transaksi lain dengan mempergunakan uang sebagai alat tukar yaitu kartu kredit. Saat ini, uang masih
menjadi salah satu alat pembayaran utama yang berlaku di masyarakat khususnya transaksi dalam jumlah yang kecil. Namun penggunaan uang mempunyai kendala
dalam efisiensi waktu pembayaran serta ketidakpraktisan mobilitas uang dalam jumlah yang besar. Selain itu mempergunakan uang untuk keperluan transaksi
dalam jumlah besar, dalam segi keamanan berisiko tinggi untuk pembawa uang dari perbuatan orang-orang jahat, seperti pencurian, perampokan, dan pemalsuan uang.
Mengingat semakin besar kualitas maupun kuantitas tindak kriminal pada zaman sekarang. Akibatnya, kegiatan penggunaan uang tunai sebagai alat pembayaran
mulai berkurang. Diperlukan alternatif penggunaan alat tukar yang praktis, efisien dan aman.
Semakin berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi mengakibatkan
terjadinya perubahan gaya hidup dalam kehidupan bermasyarakat. Teknologi telah mampu mengubah pola pikir masyarakat dan ditemukanlah cara baru untuk
mengadakan transaksi dengan banyak kelebihan yang dimilikinya. Menurut Dahlan Siamat keuntungan-keuntungan yang didapat pemegang kartu kredit dari
penggunaan kartu kredit adalah, lebih aman dan praktis, karena tidak perlu membawa uang tunai dalam jumlah besar; keluasan, karena kartu kredit telah
diterima sebagai alat pembayaran di seluruh kota di seluruh dunia; sistem pembayaran yang fleksibel; pembayaran atas tagihan dapat diangsur credit card
atau beberapa waktu charge card; program merchandising, yaitu kesempatan membeli barang-barang dengan mengangsur tanpa bunga; bantuan-bantuan
perjalanan terutama ke luar negeri, misalnya referensi, dokter, rumah sakit, dan bantuan hukum; purchase protection plan, yaitu asuransi perlindungan pembelian
barang yang diberikan secara otomatis.
1
Dengan segala kelebihan tersebut cara-cara transaksi pembayaran konvensional kini mulai ditinggalkan dan masyarakat
menggantikannya dengan cara-cara yang lebih praktis dan lebih efisien yaitu salah satunya adalah kartu kredit. Yang mana kartu kredit saat ini adalah salah satu
kebutuhan masyarakat modern sebagai alat pembayaran tunai. Kartu kredit merupakan sejenis kartu yang dibuat dari plastik dengan ukuran standar tertentu
dan berisikan data nomor kartu kredit yang terekam dalam magnetic stripe pada bagian belakang kartu. Pada bagian depan kartu terdapat nama dan nomor
pemegang kartu kredit yang dicetak timbul, juga terdapat tanggal masa berlaku
1
Dahlan Siamat, 2001, Manajemen Lembaga Keuangan, Edisi Ketiga, Fakultas Ekonomi Indonesia, Jakarta, h. 415
kartu kredit tersebut. Nomor pemegang kartu kredit biasanya terdiri dari 12-16 digit dan unik untuk setiap bank dan pemegang kartu kredit.
2
Cikal bakal kartu kredit berawal dari Diners Club. Di tahun 1949 seorang pengusaha bernama Frank McNamara secara tidak sengaja ketinggalan dompet
setelah acara makan malam di sebuah restoran terkenal. Saat tagihan datang, Frank McNamara baru sadar bahwa dompetnya tertinggal. Akibat kejadian ini Frank
McNamara mulai mencari solusi pengganti uang tunai atau dompet yang sering tertinggal. Tahun 1950, Frank McNamara dengan rekannya Ralph Schneider
kembali ke restoran tersebut dan menggunakan sebuah kartu pembayaran yang unik. Yang mana ini adalah cikal bakal kartu kredit yang dikenal hingga saat ini.
Bermula dari Diners Club yang saat itu adalah jenis kartu charge card.
3
Kartu charge adalah kartu kredit dalam arti konsumen bisa menunda pembayaran pada saat bertransaksi atau berbelanja di toko. Pihak Bank yang akan
membayar terlebih dulu kepada toko. Jumlah pengeluaran tidak dibatasi dan di bulan berikutnya bank yang menagih ke konsumen dan konsumen wajib membayar
penuh full. Sejak saat itu 1951 penggunaan kartu Diners Club begitu terkenal di Amerika dan pada tahun yang bersamaan ditemukanlah bahan pembuat kartu
dengan bahan dasar plastik yang membuatnya semakin terkenal. Sebab waktu dulu kartu masih menggunakan bahan dasar kertas. Sedikit berbeda dengan kartu kredit
yang kita kenal sekarang. Dana yang bisa pemegang kartu kredit gunakan untuk
2
Johannes Ibrahim, 2004, Kartu Kredit Dilematis Antara Kontrak dan Kejahatan, PT. Refika Aditama, Bandung, h. 11
3
Sigit Triandaru dan Totok Budisanto, 2006, Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya Edisi 2, Jakarta, h. 256
menarik uang tunai maupun berbelanja terbatas pada limit kredit yang disetujui. Kelebihan dari kartu kredit ini, pemegang kartu kredit tidak harus membayar penuh
full jumlah tagihan yang jatuh tempo. Pemegang kartu kredit boleh mengangsur atau menyicil dengan jumlah minimal tertentu, sisanya termasuk bunga akan
ditagihkan kepada nasabah pada bulan berikutnya. Bentuk kemudahan seperti inilah yang membuat kartu kredit sangat digemari oleh masyarakat. Pemakaian kartu
kredit semakin berkembang melalui perluasan yang dilakukan oleh Bank of America dengan perjanjian lisensi kepada bank-bank lain di seluruh dunia. Kartu
ini kemudian menjadi Visa Card, dan tahun 1966 terbit pula Master Card.
4
Kehadiran kartu kredit di Indonesia diawali oleh Citibank, bank asing terlama yang beroperasi di Indonesia, yaitu sejak 1989. Bank Central Asia lalu
menyusul menerbitkan kartu kredit untuk penggunaan internal nasabah dan Bank Duta menjadi bank lokal pertama yang bekerja sama dengan prinsipal internasional
menerbitkan kartu kredit. Prinsipal kartu kredit yang masuk ke Indonesia adalah Visa, Master,
American Express Amex, Dinners Club International, dan Japan Credit Bureau JCB. Melalui jaringan prinsipal itu, kartu kredit yang dikeluarkan bank bisa
dipakai sebagai alat pembayaran di hampir semua belahan dunia. Sekitar 90 persen kartu kredit yang diterbitkan bank di Indonesia bekerja sama dengan Visa dan
Master Card. Saat ini pemakaian kartu kredit sebagai alat pembayaran tunai sudah semakin luas oleh masyarakat Indonesia karena masyarakat merasakan manfaat
kartu kredit yaitu kepraktisan, rasa nyaman dan aman yang ditimbulkan. Walaupun
4
Ibid
keberadaan kartu kredit tidak dimaksudkan untuk menghapus secara keseluruhan sistem pembayaran yang menggunakan uang tunai ataupun cek, namun untuk
kegiatan pembayaran yang jumlah pembayaran tingkat menengah maka keberadaan kartu kredit sesungguhnya dapat menggeser peranan uang tunai maupun cek.
Peraturan Bank Indonesia Nomor 752PBI2005 sebagaimana diubah dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 108PBI2008 Tentang Penyelenggaraan
Kegiatan Alat Pembayaran Dengan Menggunakan Kartu dalam pasal 1 angka 4, dijelaskan bahwa kartu kredit adalah Alat Pembayaran Dengan Menggunakan
Kartu yang dapat digunakan untuk melakukan pembayaran atas kewajiban yang timbul dari suatu kegiatan ekonomi, termasuk transaksi pembelanjaan danatau
untuk melakukan penarikan tunai dimana kewajiban pembayaran pemegang kartu kredit dipenuhi terlebih dahulu oleh acquirer atau penerbit, dan pemegang kartu
kredit berkewajiban melakukan pelunasan kewajiban pembayaran tersebut pada waktu yang disepakati baik secara sekaligus charge card ataupun secara
angsuran. Berbagai jenis kartu kredit dikeluarkan bank-bank di Indonesia, maka
keberadaan bank pada saat ini sangat mengambil peranan dalam menerbitkan kartu kredit sebab ini adalah salah satu bentuk pelayanan dari bank itu sendiri untuk para
nasabahnya. Penerbitan kartu diawali dengan adanya perjanjian penerbitan kartu kredit
antara bank penerbit dengan nasabah yang mana perjanjian penerbitan kartu kredit ini adalah sebagai perjanjian baku standar, menurut Mariam Darius Badruzaman
perjanjian baku adalah perjanjian yang isinya dibakukan dan dituangkan dalam
bentuk formulir.
5
Pihak bank menyodorkan formulir kepada nasabahnya dan persetujuan nasabah atas segala syarat dan akibat hukum yang dapat muncul
berkaitan dengan penggunaan kartu kredit. Berdasarkan permohonan calon pemegang kartu kredit cardholder yang telah memenuhi persyaratan-persyaratan,
nasabah akan menerima kartu untuk membayar iuran tahunan menurut ketentuan bank sebagai penerbit issuer. Nasabah kemudian dapat menggunakan kartunya
untuk transaksi pada pihak yang menerima pembayaran melalui kartu tersebut merchant.
6
Pengguna kartu kredit disebut nasabah bank. Pasal 1 angka 18 Undang- undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan menyatakan bahwa nasabah
adalah orang yang memperoleh fasilitas kredit atau pembiayaan berdasarkan bank yang dipersamakan dengan itu berdasarkan perjanjian bank dengan nasabah yang
bersangkutan. Bank dan nasabah saling terikat antara satu sama lainnya, yang ditegaskan
di dalam pasal 1313 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Burgerlijk Wetboek. Selain itu, para pihak juga harus saling mematuhi dan melaksanakan perjanjian
yang dibuat dengan baik sesuai dengan apa yang telah diperjuangkan sebelumnya. Perjanjian yang telah dibuat berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang
membuat perjanjian tersebut, seperti apa yang dimuat didalam pasal 1338 ayat 1 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Burgerlijk Wetboek. Namun perlu diingat
5
Mariam Darus
Badrulzaman, 1990,
Perjanjian Baku
Standar Perkembangannya di Indonesia, Alumni, Bandung, h. 22
6
Muhammad Djumhana, 2000, Hukum Perbankan di Indonesia, Citra Adtya Bakti, Bandung, h. 130
bahwa tidak setiap pelaksanaan perjanjian yang dibuat selalu seperti apa yang telah diperjanjikan sebelumnya. Penyebabnya adalah adanya salah satu pihak yang
melakukan wanprestasi atau cidera janji. Maka hendaknya sebelum membuat perjanjian harus mengetahui terlebih dahulu syarat-syarat sahnya perjanjian. Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata Burgerlijk Wetboek Pasal 1320 mengatur syarat- syarat tersebut, yaitu: kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya; kecakapan
untuk membuat suatu perikatan; suatu pokok persoalan tertentu; suatu sebab yang tidak terlarang.
Syarat pertama adalah sepakat. Kesepakatan dalam perjanjian merupakan perwujudan dari kehendak dua atau lebih pihak dalam perjanjian mengenai apa
yang mereka kehendaki untuk dilaksanakan, bagaimana cara melaksanakannya, kapan harus dilaksanakan, dan siapa yang harus melaksanakan.
7
Kesepakatan dalam penerbitan kartu kredit dilakukan oleh pemohon dengan mengisi dan
menanda-tangani aplikasi atau permohonan penerbitan kartu kredit di bank yang bersangkutan. Apabila pemohon dinilai layak maka bank akan menerbitkan kartu
kredit. Pemberitahuan pihak bank yang diterima oleh pemohon merupakan kesepakatan yang terjadi di antara kedua belah pihak.
Syarat kedua adalah kecakapan. Unsur kecakapan dalam penerbitan kartu kredit pada dasarnya setiap orang yang telah dewasa dan sehat pikirannya adalah
cakap menurut hukum. Pada dasarnya yang paling pokok dan mendasar adalah masalah kecakapan untuk bertindak. Setelah seseorang dinyatakan cakap untuk dan
7
Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, 2014, Perikatan yang Lahir dari Perjanjian, Rajawali Pers, Jakarta, h. 95
atas namanya sendiri, baru kemudian dicari tahu apakah orang-perorangan yang cakap bertindak dalam hukum tersebut juga berwenang untuk melakukan perbuatan
hukum tersebut, juga berwenang untuk melakukan suatu tindakan atau perbuatan hukum tertentu.
8
Berdasarkan ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Burgerlijk Wetboek Pasal 1330 ayat 1 menentukan bahwa seseorang baru
dikatakan dewasa jika ia: telah berumur 21 tahun; telah menikah, termasuk mereka yang belum berusia 21 tahun tetapi telah menikah.
Syarat ketiga adalah suatu hal tertentu. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Burgerlijk Wetboek menjelaskan maksud hal tertuntu dengan memberikan
rumusan dalam Pasal 1332 sampai dengan Pasal 1334. Pasal 1332 berbunyi sebagai berikut:
“Hanya barang-barang yang dapat diperdagangkan saja yang dapat menjadi pokok suatu perjanjian”
Pada dasarnya menegaskan bahwa yang dapat menjadi objek dalam perikatan adalah kebendaan yang termasuk dalam lapangan harta kekayaan.
Pasal 1333 yang berbunyi sebagai berikut: “Suatu perjanjian harus mempunyai sebagai pokok pernjanjian berupa suatu
kebendaan yang paling sedikit ditentukan jenisnya. Tidaklah menjadi halangan bahwa jumlah barang tidak tertentu, asal saja jumlah itu kemudian
dapat ditentukan atau dihitung” Secara sepintas dengan rumusan “pokok-pokok perjanjian berupa barang
yang telah ditentukan jenisnya” tersebut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
8
Ibid, h. 127
Burgerlijk Wetboek hanya menekankan pada perikatan untuk memberikan atau menyerahkan sesuatu. Namun demikian rumusan tersebut hendak memberikan
penegasan bahwa apapun jenis perikatannya, baik itu perikatan untuk memberikan sesuatu, berbuat sesuatu, atau untuk tidak berbuat sesuatu pasti melibatkan
keberadaan atua eksistensi dari suatu kebendaan tertentu.
9
Pasal 1334 mengatur mengenai perjanjian yang melahirkan perikatan bersyarat, yang berbunyi sebagai berikut:
“Kebendaan yang baru saja akan ada di kemudian hari dapat menjadi pokok suatu perjanjian. Tetapi tidaklah diperkenankan untuk melepaskan suatu
warisan yang belum terbuka, ataupun untuk meminta diperjanjikan sesuatu hal yang mengenai warisan itu, sekalipun dengan sepakatnya orang yang
nantinya akan meninggalkan warisan yan gmenjadi pokok perjanjian itu; dengan tidak mengurangi ketentuan Pasal-Pasal 169, 176, dan 178.”
Maka kesimpulan yang didapat dari ketiga Pasal tersebut adalah, suatu hal tertentu merupakan objek perjanjian harus berupa suatu hal atau suatu barang atau
benda yang dapat ditentukan jenisnya. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa objek dari penerbitan kartu kredit tidak dikategorikan barang tetapi “suatu hal”,
berupa jasa yang mana dalam konteks penerbitan kartu kredit adalah fasilitas kredit dari pengguna kartu kredit berupa fasilitas pinjaman yang diberikan kepada
pemegang kartu kredit.
10
Syarat keempat adalah suatu sebab yang halal, hal ini diatur dalam Pasal
9
Ibid, h. 155
10
Johannes Ibrahim, Op. cit., h. 47
1335 sampai dengan Pasal 1337 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Burgerlijk Wetboek. Pasal 1335 yang berbunyi sebagai berikut:
“Suatu perjanjian tanpa sebab, atau yang telah dibuat karena sesuatu sebab palsu atau terlarang, tidak mempunyai kekuatan.”
Dijelaskan bahwa yang disebut sebab yang halal adalah:
−
Bukan tanpa sebab;
−
Bukan sebab yang palsu;
−
Bukan sebab yang terlarang.
Pasal 1336 yang berbunyi: “Jika tidak dinyatakan suatu sebab, tetapi ada suatu sebab yang halal,
ataupun jika ada suatu sebab lain, daripada yang dinyatakan, perjanjiannya namun demikian adalah sah.”
Dari rumusan Pasal 1336 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Burgerlijk Wetboek di atas dapat dilihat bahwa pada dasarnya Undang-Undang
tidak pernah mempersoalkan apakah yang menjadi alasan atau dasar dibentuknya suatu perjanjian tertentu, yang ada diantara para pihak. Mungkin saja perjanjian
dibuat berdasarkan alasan yang tidak mutlak sama antara kedua belah pihak yang mengadakan perjanjian tersebut.
11
Dengan membarasi rumusan mengenai sebab yang halal menjadi sebab yang tidak terlarang, Pasal 1337 menyatakan bahwa:
“Suatu sebab adalah terlarang, apabila dilarang oleh undang-undang atau apabila berlawanan dengan kesusilaan atau ketertiban umum.”
Dalam rumusan yang demikian pun sesungguhnya Undang-Undang tidak
11
Kartika Muljadi dan Gunawan Widjaja, Op. cit., h. 162
memberikan batasan mengenai makna sebab yang tidak dilarang. Dan Undang- Undang juga tidak menjelaskan bagaimana alasan atau sebab yang menjadi dasar
pembentukan suatu perjanjian dapat digali atau ditetapkan hingga benar bahwa sebab itu adalah terlarang.
12
Ke empat unsur tersebut selanjutnya, dalam doktrin ilmu hukum yang berkembang, digolongkan ke dalam: dua unsur pokok yang menyangkut subjek
pihak yang mengadakan perjanjian unsur subyektif, dan dua unsur pokok lainnya yang berhubungan langsung dengan obyek perjanjian unsur obyektif.
Unsur subyektif mencakup adanya unsur kesepakatan secara bebas dari para pihak yang berjanji, dan kecakapan dari pihak yang melaksanakan perjanjian. Sedangkan
unsur obyektif meliputi keberadaan dari pokok persoalan yang merupakan obyek yang diperjanjikan, dan causa dari obyek yang berupa prestasi yang disepakati
untuk dilaksanakan tersebut haruslah sesuatu yang tidak terlarang atau diperkenankan menurut hukum. Tidak terpenuhinya salah satu unsur dari ke empat
unsur tersebut menyebabkan cacat dalam perjanjian, dan perjanjian tersebut diancam dengan kebatalan, baik dalam bentuk dapat dibatalkan jika terdapat
pelanggaran terhadap unsur subyektif, maupun batal demi hukum dalam hal tidak terpenuhinya unsur obyektif dengan pengertian bahwa perikatan yang lahir dari
pejanjian tersebut tidak dapat dipaksakan pelaksanaannya.
13
Terpenuhinya syarat-syarat sah perjanjian diatas maka pihak penerbit kartu kredit dapat menerbitkan kartu kredit untuk calon pengguna kartu kredit.
12
Kartika Muljadi dan Gunawan Widjaja, Op. cit., h. 163
13
Kartika Muljadi dan Gunawan Widjaja, Op. cit., h. 94
Pemakaian kartu kredit menunjukkan jumlah transaksi yang meningkat dalam kegiatan transaksi perdagangan atau transaksi pembelian barang dan jasa di
Indonesia. Hal ini dapat dimungkinkan terjadinya masalah-masalah pada penggunaan kartu kredit di antara para pihak yang terlibat. Adapun yang menjadi
kewajiban pemegang kartu kredit adalah membayarkan uang pangkal, uang tahunan, biaya administrasi, bunga, dan denda kepada bank penerbit; mematuhi
batas maksimum pembayaran dengan menggunakan kartu kredit; menandatangani bukti transaksi yang disodorkan oleh penjual; membayar kembali harga pembelian
sesuai dengan tagihan bank penerbit. Terjadinya masalah keterlambatan pembayaran tagihan kartu kredit yang selanjutnya menimbulkan kemacetan atau
yang biasa disebut juga tagihan kartu kredit macet. Kartu kredit yang macet akan menimbulkan masalah bagi pemegang kartu kredit dan bagi pihak bank yang
menerbitkan kartu kredit tersebut. Permasalahan yang timbul pun semakin kompleks, karena kartu kredit tidak sama dengan kredit perbankan lainnya yang
memiliki perjanjian yang lebih mengikat dengan adanya unsur agunan, sehingga dalam memprosesnya kartu kredit membutuhkan perhatian yang lebih. Dalam
prakteknya transaksi pembayaran dengan menggunakan kartu kredit diberikan oleh bank dengan sangat mudah bahkan tanpa melakukan studi lapangan atas kondisi
calon pengguna kartu kredit. Sehingga besar kemungkinannya melakukan wanprestasi apabila tidak digunakan dengan bijak yang mana akan menimbulkan
masalah bagi pemegang kartu kredit. Kartu kredit yang mengalami masalah disebabkan oleh tidak dipenuhinya kewajiban oleh pemegang kartu kredit, pihak
bank selaku penerbit kartu kredit akan melakukan langkah-langkah penyelesaian
dari masalah tersebut. Atas dasar hal diatas yang mendorong penulis untuk menulis skripsi dengan judul “PENYELESAIAN TAGIHAN KARTU KREDIT AKIBAT
PEMEGANG KARTU KREDIT TIDAK MEMENUHI KEWAJIBAN PADA PT. BANK MANDIRI PERSERO TBK CABANG SINGARAJA SEBAGAI BANK
PENERBIT”
1.2 Rumusan Masalah