kredit secara teori dan praktek yang dilaksanakan oleh pihak yang terkait didalamnya.
b. Tujuan Khusus Tujuan penelitian ini secara khusus adalah :
1 Untuk mengetahui faktor-faktor penyebab terjadinya tagihan kartu kredit macet di PT. Bank Mandiri Persero Tbk. Cabang Singaraja.
2 Untuk mengetahui dan menjelaskan bagaimana upaya penyelesaian tagihan kartu kredit macet di PT. Bank Mandiri Persero Tbk. Cabang
Singaraja.
1.6 Manfaat Penelitian
Manfaat yang diperoleh dalam penelitian ini dapat dibedakan menjadi dua,
yaitu :
a. Manfaat Teoritis 1 Memberikan sumbangan ilmu pengetahuan yang jelas tentang
penyelesaian tagihan kartu kredit macet khususnya dalam bidang hukum perbankan serta menambah wawasan pengetahuan Ilmu Hukum.
2 Dijadikan sumber informasi ilimiah guna melakukan pengkajian lebih lanjut dan mendalam tentang penyelesaian tagihan kartu kredit macet,
terutama dalam menghadapi persoalan-persoalan yang mungkin timbul di kemudian hari.
b. Manfaat Praktis 1 Bagi kalangan praktisi dengan hasil penelitian ini diharapkan dapat
memberikan masukan-masukan yang bermanfaat dan berharga dalam melaksanakan tugas-tugas.
2 Bagi masyarakat luas diharapkan dengan hasil penelitian ini akan memberikan kesadaran bahwa perjanjian antara pihak bank dan
pemegang kartu kredit harus dipenuhi dengan tepat waktu agar tidak ada timbulnya masalah antar kedua belah pihak.
1.7 Landasan Teoritis
Perjanjian merupakan dasar hubungan hukum antara nasabah pemegang kartu kredit dengan pihak bank penerbit. Setiap perjanjian secara hukum harus
memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan dalam Pasal 1320 Kitab Undang- Undang Hukum Perdata Burgerlijk Wetboek, Indonesia menganut asas kebebasan
berkontrak yang ditegaskan di dalam pasal 1338 ayat 1 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Burgerlijk Wetboek. Maka setiap perjanjian yang dibuat asal tidak
bertentangan dengan hukum kebiasaan yang berlaku maka perjanjian yang dilakukan oleh para pihak yang terlibat dalam kegiatan kartu kredit akan berlaku
sebagai undang-undang bagi para pihak tersebut, dengan demikian pula, tentunya perikatan dalam buku ketiga berlaku terhadap perjanjian-perjanjian yang berkenaan
dengan kartu kredit, secara mutualis-mutadis.
14
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Burgerlijk Wetboek dan Kitab
14
ibid, h. 301
Undang-Undang Hukum Dagang tidak mengatur secara jelas tentang penggunaan kartu kredit, tetapi terdapat beberapa Undang-Undang yang memberikan landasan
bagi penerbitan dan pengoperasionalan kartu kredit yaitu Kepres No.61 Tahun 1988 tentang
lembaga pembiayaan,
Keputusan Mentri
Keuangan No.1251KMK.0131998 tentang ketentuan dan tata cara pelaksanaan lembaga
pembiayaan, Undang-Undang No.10 Tahun 1998 yang merupakan perubahan dari Undang-Undang No.7 Tahun 1992, dan berbagai peraturan-peraturan lainnya.
Dalam bisnis transaksi kartu kredit baik penggunaan maupun pengoperasionalan kartu kredit, biasanya terdapat dua pihak utama atau pokok yang
saling berkaitan. Penerbit kartu kredit issuer yaitu pihak yang membuat, mengeluarkan, dan mengelola produk kartu plastik sebagai alat pembayaran, yang
berkewajiban memelihara dan memonitor segala aktivitas nomor rekening nasabah tersebut. Biasanya berupa bank atau lembaga keuangan bukan bank financial
institution dan pengelola penggunaan kartu kredit. Pemegang kartu kredit cardholder adalah nasabah atau pihak yang telah memenuhi semua persyaratan
yang telah dikategorikan sehingga berhak memegang dan menggunakan kartu kredit tersebut sebagai alat pembayaran.
Berdasarkan penjelasan diatas maka dapat dihubungkan dengan 3 tiga teori hukum yaitu yang pertama adalah teori efektivitas hukum yaitu untuk
mengetahui apakah hukum itu benar benar diterapkan atau dipatuhi oleh masyarakat maka harus dipenuhi beberapa faktor yaitu, faktor hukumnya sendiri,
faktor penegak hukum, faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum, faktor masyarakat itu sendri, faktor kebudayaan. Kelima faktor tersebut
saling berkaitan erat oleh karena merupakan esensi dari penegakan hukum itu, juga merupakan tolak ukur dari efektivitas hukum. Menurut Soerjono Soekanto, efektif
adalah taraf sejauh mana suatu kelompok dapat mencapai tujuannya. Hukum dapat dikatakan efektif jika terdapat dampak hukum yang positif, pada saat itu hukum
mencapai sasarannya dalam membimbing ataupun merubah perilaku manusia sehingga menjadi perilaku hukum.
15
Teori yang kedua adalah kepastian hukum yang dapat dilihat dari dua sudut, yaitu kepastian dalam hukum itu sendiri dan kepastian karena hukum. “Kepastian
dalam hukum” dimaksudkan bahwa setiap norma hukum itu harus dapat dirumuskan secara pasti karena mengatur secara jelas dan logis. Jelas dalam artian
tidak menimbulkan penafsiran yang berbeda-beda multi-tafsir yang akibatnya akan membawa kepada ketidakpastian hukum dan logis dalam artian ia menjadi
suatu sistem norma dengan norma lain sehingga tidak berbenturan atau menimbulkan konflik norma. Akibatnya akan membawa perilaku patuh atau tidak
patuh terhadap hukum. Sedangkan “kepastian karena hukum” dimaksudkan, bahwa karena hukum itu sendirilah adanya kepastian. Kepastian hukum itu diwujudkan
oleh hukum dengan sifatnya yang hanya membuat suatu aturan hukum yang bersifat umum. Sifat umum dari aturan-aturan hukum membuktikan bahwa hukum tidak
bertujuan untuk mewujudkan keadilan atau kemanfaatan, melainkan semata-mata untuk kepastian.
Teori yang ketiga adalah teori penyelesaian sengketa yang dapat dibagi
15
Soerjono Soekanto, 1988, Efektivitas Hukum dan Penerapan Sanksi, CV. Ramadja Karya, Bandung, h. 80
menjadi dua yaitu penyelesaian melalui badan peradilan litigasi dan penyelesaian di luar badan peradilan non-litigasi. Penyelesaian sengketa secara litigasi
dilakukan melalui badan peradilan. Dapat dikatakan penyelesaian sengketa melalui litigasi ini sebagai penyelesaian sengketa yang memaksa salah satu pihak untuk
menyelesaikan sengketa dengan perantara badan peradilan. Penyelesaian sengketa melalui litigasi tentu harus mengikuti persyaratan-persyaratan dan prosedur-
prosedur formal di badan peradilan dan sebagai akibatnya jangka waktu untuk menyelesaikan suatu sengketa menjadi lebih lama.
16
Penyelesaian di luar badan peradilan non-litigasi yang telah diatur dalam Pasal 70 Undang-Undang No. 30
Tahun 1999 yang mengatur tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Oleh sebab itu penyelesaian sengketa di luar badan peradilan dibagi
menjadi dua yaitu arbritase dan alternatif penyelesaian sengketa. Arbitrase merupakan salah satu bentuk penyelesaian sengketa di luar badan peradilan, dimana
para pihak yang bersengketa mengangkat pihak ketiga arbiter untuk menyelesaikan sengketa mereka. Yang mana keberadaan arbriter harus melalui
persetujuan bersama dari para pihak yang bersengketa. Persetujuan bersama menjadi penting bagi arbiter, karena keberadaannya berkait erat dengan peran
arbiter dalam memberikan keputusan akhir.
17
Alternatif penyelesaian sengketa yang dikenal di Indonesia pada saat ini adalah negosiasi, mediasi, konsilisasi. Negosiasi adalah salah satu strategi
16
Jimmy Joses Sembiring, 2011, Cara Menyelesaikan Sengketa di Luar Pengadilan, Visi Media, Jakarta, h. 9
17
Syahrizal Abbas, 2009, Mediasi Dalam Perspektif Hukum Syariah, Hukum Adat, dan Hukum Nasional, Kencana, Jakarta, h. 15
penyelesaian sengketa yang paling sederhana dan murah, dimana para pihak sepakat untuk menyelesaikan permasalahan mereka melalui proses musyawarah
atau perundingan. Proses ini tidak melibatkan pihak ketiga, karena para pihak atau wakilnya berinisiatif sendiri menyelesaikan sengketa mereka. Para pihak terlibat
secara langsung dalam dialog dan prosesnya.
18
Tetapi kenyataannya, sering juga pihak-pihak yang bersengketa mengalami kegagalan dalam bernegosiasi karena
tidak menguasai teknik bernegosiasi dengan baik. Mediasi adalah salah satu bentuk dari alternatif penyelesaian sengketa di luar badan peradilan. Dijelaskan pada
Peraturan Bank Indonesia Nomor 85PBI2006, maka apabila terjadi sengketa antara nasabah dengan bank, maka penyelesaian atas sengketa tersebut dapat
diselesaikan dengan melalui mediasi. Pasal 1 Angka 5 mendefinisikan mediasi adalah proses penyelesaian sengketa yang melibatkan mediator untuk membantu
para pihak yang bersengketa guna mencapai penyelesaian dalam bentuk kesepakatan sukarela terhadap sebagian ataupun seluruh permasalahan yang
disengketakan. Konsiliasi merupakan lanjutan dari mediasi. Konsiliasi pada dasarnya memiliki karakteristik yang hampir sama dengan mediasi, hanya saja
peran konsiliator lebih aktif daripada mediator. Mediator berubah fungsi menjadi konsiliator. Konsiliator berwenang menyusun dan merumuskan penyelesaian untuk
ditawarkan kepada para pihak. Jika para pihak dapat menyetujui, solusi yang dibuat konsiliator menjadi resolusi. Kesepakatan ini juga bersifat final dan mengikat para
pihak. Dalam hal perjanjian kartu kredit, pemegang kartu kredit sangat besar
18
Ibid, h. 9
kemungkinannya melakukan wanprestasi apabila tidak digunakan dengan bijak yang mana akan menimbulkan masalah bagi pemegang kartu kredit. Oleh karena
itu dalam hal ini, wanprestasi sangat mungkin sehubungan dengan keterbatasan dana pemegang kartu kredit. Yang mana masalah tersebut adalah keterlambatan
pembayaran tagihan kartu kredit yang selanjutnya menimbulkan kemacetan atau yang biasa disebut juga tagihan kartu kredit macet.
1.8 Metode Penelitian