Kajian Spasial Kebutuhan Hutan Kota Berbasis Hidrologi di Kota Ambon

(1)

KAJIAN SPASIAL KEBUTUHAN HUTAN KOTA

BERBASIS HIDROLOGI DI KOTA AMBON

CHRISTY CECILIA VERONICA SUHENDY

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2009


(2)

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Kajian Spasial Kebutuhan Hutan Kota Berbasis Hidrologi di Kota Ambon adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, September 2009

Christy C V Suhendy

NRP 052070061


(3)

CHRISTY C V SUHENDY. Spatial Analysis Hydrology Based for Urban Forest Needs in Ambon City. Under supervision of I NENGAH SURATI JAYA and ENDES N DAHLAN.

This study describes a spatial analysis of urban forest using surface water storage capability approach. The main objective of this study is to estimate the urban forest using surface water in Ambon City. The additional objective is to provide spatial and tabular information on urban forest development plan that might be required either by governmental or non governmental agencies. This research was conducted within 5 districts of Ambon City from February 2009 to April 2009 in Ambon. The variables considered in this approach are population, livestock and industry. Data were collected through observation, literature study and interviews with relevant stakeholders. Those data were processed and analyzed using GIS to provide information on total water needs, total water supplies, capacity of urban forest to absorb water, as well as minimum extent of urban forest required.


(4)

CHRISTY C V SUHENDY. Kajian Spasial Kebutuhan Hutan Kota Berbasis Hidrologi di Kota Ambon. Dibimbing oleh I NENGAH SURATI JAYA dan ENDES N DAHLAN.

Air merupakan kebutuhan dasar bagi seluruh makhluk hidup. Tumbuhan berperan penting dalam proses pengaturan air. Di daerah perkotaan dengan segala perkembangannya, keberadaan air sangat diperlukan, namun pembangunan wilayah kota justru membuat lahan bervegetasi untuk penyerapan air semakin sempit. Pengembangan hutan kota merupakan rancangan ideal untuk pemenuhan kebutuhan ruang terbuka hijau di wilayah kota, terutama untuk fungsi peresapan air yang nantinya akan meningkatkan pasokan air tanah. Penelitian ini ditujukan untuk mengestimasi kebutuhan luas hutan kota di Kota Ambon khususnya untuk penyediaan air, dan untuk memberikan informasi bagi suatu perencanaan pengembangan RTH. Penelitian dilaksanakan mulai bulan Februari 2009 – April 2009 di Kota Ambon. Pengumpulan data dilakukan melalui observasi, wawancara dengan instansi terkait dan masyarakat, serta studi pustaka. Data yang dibutuhkan antara lain: jumlah dan laju pertumbuhan penduduk, industri dan ternak, potensi air tanah, kapasitas suplai air PDAM,dan data-data spasial berupa peta tutupan lahan, peta administrasi, dan peta jenis tanah. Keseluruhan data tersebut diolah dan dianalisis sehingga diperoleh informasi kebutuhan air total, suplai air total, kapasitas hutan kota dalam menyerap air, serta luas hutan kota optimal. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kebutuhan hutan kota selalu meningkat dari tahun ke tahun. Perkiraan kebutuhan hutan kota di Kota Ambon untuk tahun 2010 yaitu 20.286.93 ha, tahun 2015 sebesar 22.691,32 ha, tahun 2020 sebesar 25.398 ha, dan tahun 2025 sebesar 28.444,93 ha. Titik keseimbangan antara kebutuhan dan ketersediaan hutan kota terdapat di pertengahan tahun 2012. Pada tahun tersebut diperkirakan jumlah penduduk Kota Ambon akan mencapai309.065 jiwa dengan kebutuhan air sebesar 15.623.991 m3/tahun.


(5)

©

Hak Cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2009

Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya tulis dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB


(6)

(7)

CHRISTY CECILIA VERONICA SUHENDY

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Magister Sains pada

Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2009


(8)

Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, yang telah

memberikan rahmat dan karunia-Nya sehingga tesis ini dapat diselesaikan.

Tesis ini disusun dalam rangka memenuhi salah satu syarat untuk

menyelesaikan program Magister Sains di Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian

Bogor. Tema dari penelitian ini dikaji berdasarkan berbagai pertimbangan khususnya

aspek lingkungan di Kota Ambon.

Penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada Prof. Dr. Ir. I Nengah

Surati Jaya, M. Agr. selaku ketua komisi pembimbing dan kepada Dr. Ir. Endes N.

Dahlan, M.S. selaku anggota komisi pembimbing yang telah membimbing dan

memberikan masukan yang sangat berarti selama proses penulisan tesis ini. Penulis

juga menyampaikan ucapan terima kasih kepada berbagai pihak yang telah membantu

dalam penulisan tesis ini.

Semoga tesis ini dapat bermanfaat bagi pembaca dalam memperluas wacana

dan pengetahuan mengenai hutan kota terutama yang berbasis hidrologi.

Bogor, Agustus 2009


(9)

Penulis dilahirkan di Ambon, Maluku pada tanggal 21 Desember 1977 dari ayah Charles Suhendy dan ibu Charlotte Pattinama. Penulis merupakan putri pertama dari tiga bersaudara.

Pada tahun 1995 penulis menyelesaikan pendidikan lanjutan tingkat atas di SMA Negeri 1 Ambon, dan pada tahun yang sama melanjutkan pendidikan tingkat sarjana di Jurusan Kehutanan, Fakultas Pertanian Universitas Pattimura Ambon dan lulus pada tahun 2000.

Pada tahun 2007 penulis diterima di Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan pada Program Pascasarjana IPB. Beasiswa pendidikan pascasarjana diperoleh dari Departemen Pendidikan Tinggi Republik Indonesia.

Penulis bekerja sebagai dosen di Jurusan Kehutanan, Fakultas Pertanian Unpatti sejak tahun 2005 sampai sekarang.


(10)

Halaman

DAFTAR TABEL ……….. xiii

DAFTAR GAMBAR ……….. xiv

DAFTAR LAMPIRAN ……….. xvi

I PENDAHULUAN ……….. 1

1.1. Latar Belakang ……….. 1

1.2. Kerangka Pemikiran ………. 4

1.3. Perumusan Masalah ……….. 4

1.4. Tujuan Penelitian ……….. 5

1.5. Manfaat Penelitian ……… 5

II TINJAUAN PUSTAKA ……… 6

2.1. Pengertian Kota ………. 6

2.2. Pengaruh Perkembangan Kota Terhadap Lingkungan ….. 6

2.3. Perlunya Pengembangan Hutan Kota ……… 7

2.4. Pengertian Hutan Kota ……….. 8

2.5. Pengelolaan Hutan Kota ……… 9

2.6. Pengertian Air ……… 12

2.7. Siklus Air ……….. 12

2.8. Kebutuhan Sumberdaya Air ……….. 13

2.8.1. Kebutuhan Air Domestik ……… 13

2.8.2. Kebutuhan Air Industri ………... 14

2.8.3. Kebutuhan Air Ternak ……… 15

2.9. Pengelolaan Vegetasi dan Hasil Air ……….. 15

2.10. Ruang Terbuka Hijau Untuk Peresapan Air ……….. 17

2.11. Ketersediaan Air ……… 17

III METODE PENELITIAN ………... 19

3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian ………... 19

3.2. Data, Perangkat Lunak, dan Perangkat Keras ……….. 19


(11)

3.2.2. Data Sekunder ………. 19

3.2.3. Perangkat Lunak dan Keras ……… 25

3.3. Metode Penelitian ………. 25

3.3.1. Analisis Data Kebutuhan Luas RTH Untuk Ketersediaan Air Kota Ambon ... 26

3.3.1.1. Kebutuhan Air Total ... 27

3.3.1.2. Suplai Air Total ... 28

3.3.1.3. Penentuan Nilai Kemampuan Hutan Dalam Menyimpan Air ... 28

3.3.2. Analisis Spasial Hutan Kota ... 33

3.3.3. Analisis Data Program Pemerintah dan Preferensi Masyarakat Terhadap Prioritas Pengembangan RTH 33 3.3.3.1. Program Pemerintah ... 33

3.3.3.2. Pendapat Masyarakat ... 34

IV KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN ... 35

4.1. Letak Geografis dan Wilayah Administrasi ... 35

4.2. Kondisi Fisik Dasar ... 35

4.2.1. Topografi ... 35

4.2.2. Geologi dan Tanah ... 36

4.2.3. Iklim ... 37

4.2.4. Hidrologi ... 37

4.2.4.1. Air Permukaan ... 37

4.2.4.2. Air Tanah ... 38

4.2.4.3. Air Bersih ... 39

4.2.5. Penggunaan Lahan ... 39

4.3. Kependudukan ... 40

4.4. Industri dan Perdagangan ... 40

4.5. Peternakan ... 41

4.6. Perkembangan Kota ... 41

4.7. Ruang Terbuka Hijau ... 42

4.7.1. Kawasan Hutan Lindung ... 42

4.7.2. Jalur Hijau ... 43


(12)

4.7.4. Lapangan Olah Raga ... 45

4.7.5. Taman Kota Lainnya ... 45

V. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 47

5.1. Luas Hutan Kota Berbasis Hidrologi dan Analisis Spasial Hutan Kota……… 47

5.1.1. Kebutuhan Air ... 47

5.1.1.1. Kebutuhan Air Domestik ... 47

5.1.1.2. Kebutuhan Air Industri ... 51

5.1.1.3. Kebutuhan Air Ternak ... 53

5.1.1.4. Kebutuhan Air Total Kota Ambon ... 56

5.1.2. Suplai Air Kota Ambon ... 56

5.1.2.1. Suplai Air Tanah ... 56

5.1.2.2. Suplai Air PDAM dan DSA ... 57

5.1.2.3. Suplai Air Simpanan Permukaan (SAtotal) dan Kemampuan Lahan Menyimpan Air (Slahan) ……… 58

5.1.3. Selisih Kebutuhan dan Ketersedian Air Bersih …….. 59

5.1.4. Perkiraan Luas Hutan Kota yang Dibutuhkan Kota Ambon ... 60

5.2. Program Pemerintah dan Pendapat Masyarakat ... 69

5.2.1. Program Pemerintah ... 69

5.2.2. Pendapat Masyarakat ... 73

5.2.2.1. Identitas dan Latar Belakang Responden .. 73

5.2.2.2. Persepsi Masyarakat Tentang Jenis, Bentuk dan Tipe Hutan Kota... 73

5.2.2.3. Persepsi Masyarakat Tentang Pengelolaan Hutan Kota ... 75

VI SIMPULAN DAN SARAN ... 78

6.1. Simpulan ... 78

6.2. Saran ... 78


(13)

Halaman

1 Perubahan penggunan lahan Kota Ambon tahun 1980 – 1995 ………. 2

2 Konsumsi air bersih per kapita per hari masyarakat Indonesia ………. 14

3 Klasifikasi industri ……… 14

4 Kebutuhan air industri berdasarkan beberapa proses industri ………... 15

5 Konsumsi air pada beberapa jenis ternak per ekor per hari ………….. 15

6 Data yang digunakan …...……….. 20

7 Bilangan Kurva (CN) untuk berbagai penutup tanah dengan kondisi kandungan air tanah sebelumnya: kondisi II, dan Ia = 0,2 S ………… 31

8 Jumlah dan laju pertumbuhan penduduk Kota Ambon tahun 2000-2007……… 40

9 Jumlah dan jenis industri di Kota Ambon menurut Kecamatan tahun 2007 ………... 41

10 Jumlah dan jenis ternak di Kota Ambon menurut Kecamatan tahun 2007 ……… 41

11 Standar kebutuhan air rumah tangga berdasarkan jenis kota dan jumlah penduduk ………... 48

12 Jumlah dan kebutuhan air penduduk Kota Ambon tahun 2007 ……… 49

13 Rata-rata laju pertumbuhan penduduk Kota Ambon tahun 2003 – 2007 ………... 50

14 Jumlah dan persentase kegiatan industri di Kota Ambon menurut kategori tahun 2004 – 2007……… 51

15 Jumlah dan kebutuhan air ternak berdasarkan jenisnya di Kota Ambon ... 53

16 Estimasi kebutuhan air Kota Ambon tahun 2010, 2015, 2020, dan 2025 ………... 56

17 Suplai Air Tanah Kota Ambon ………. 57

18 Suplai Air PDAM Kota Ambon ……… 57

19 Suplai Air DSA Kota Ambon ………... 58

20 Kebutuhan dan ketersediaan air bersih Kota Ambon ... 59

21 Identitas dan latar belakang responden ………. 73

22 Pendapat responden kepada pemerintah tentang bentuk perhatian terhadap hutan kota ………... 77


(14)

Halaman

1 Bagan alir kerangka pemikiran ………. 4

2 Organisasi pengelolaan hutan kota ……… 11

3 Citra IKONOS Kota Ambon ... 19

4 Peta administrasi Kota Ambon ……….. 21

5 Peta jenis tanah Kota Ambon ……… 22

6 Peta penggunaan lahan Kota Ambon tahun 2008 ………. 23

7 Peta pola sungai Kota Ambon ………... 24

8 Kawasan Hutan Lindung Gunung Nona ... 44

9 Pattimura Park ... 44

10 TMP Kapahaha ... 44

11 Taman Australia (Australian Cemetery War Park) ... 44

12 Sebaran penduduk dan kebutuhan air di Kota Ambon tahun 2007 ….. 49

13 Perkiraan jumlah penduduk dan kebutuhan air tiap kecamatan di Kota Ambon tahun 2010, 2015, 2020, dan 2025 ………... 50

14 Peta Sebaran Jumlah dan Kebutuhan Air Industri di Kota Ambon Tahun 2007 ………... 52

15 Perkiraan pertambahan jumlah dan kebutuhan air industri per kecamatan di Kota Ambon Tahun 2010, 2015, 2020, dan 2025 ……... 53

16 Sebaran Hewan Ternak di Kota Ambon Tahun 2007 ... 54

17 Peta Sebaran Kebutuhan Air Untuk Ternak di Kota Ambon Tahun 2007 ………... 55

18 Grafik Perkiraan Jumlah Ternak Per Kecamatan di Kota Ambon Tahun 2010, 2015, 2020, dan 2025 ………... 56

19 Kebutuhan dan ketersediaan air bersih kota Ambon …... 59

20 Estimasi kebutuhan luas hutan kota untuk ketersediaan air di Kota Ambon tahun 2010, 2015, 2020, dan 2025 ………... 60

21 Estimasi luas RTH di Kota Ambon tahun 2010, 2015, 2020, dan 2025 61 22 Estimasi kebutuhan dan ketersediaan hutan kota di Kota Ambon ….... 61

23 Peta buffer sungai Kota Ambon tahun 2008 ………... 63

24 Peta topografi Kota Ambon ……….. 64

25 Peta estimasi luas minimum kebutuhan hutan kota Kota Ambon tahun 2010 ………. 65


(15)

26 Peta estimasi luas minimum kebutuhan hutan kota Kota Ambon

tahun 2015 ………... 66

27 Peta estimasi luas minimum kebutuhan hutan kota Kota Ambon

tahun 2020 ………... 67

28 Peta estimasi luas minimum kebutuhan hutan kota Kota Ambon

tahun 2025 ………... 68

29 Peta rencana ruang terbuka hijau Kota Ambon ………... 72 30 Jenis tutupan pekarangan rumah responden ………... 74 31 Fungsitanaman yang diinginkan masyarakat untuk ditanami di


(16)

Halaman

1 Jumlah dan kebutuhan air domestiktahun 2007, serta proyeksi jumlah penduduk dan kebutuhan air domestik tahun 2010, 2015, 2020, dan

2025 ……….. 82

2 Perkiraan jumlah dan kebutuhan air industri tahun 2010, 2015, 2020,

dan 2025 ……… 85

3 Nilai CN untuk tiap tutupan lahan dan jenis tanah serta hasil Slahan dan


(17)

1.1. Latar Belakang

Perubahan penggunaan lahan dari kawasan bervegetasi menjadi kawasan terbangun dapat mengakibatkan keseimbangan ekologi kota terganggu, salah satunya terhadap kebutuhan penduduk kota akan air. Pembangunan yang dilaksanakan pada hakekatnya bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, oleh karena itu dalam melaksanakan pembangunan, berbagai sumberdaya didayagunakan secara terintegrasi dan terencana.

Kota Ambon sebagai ibukota Propinsi Maluku juga sedang menghadapi proses pembangunan dengan segala permasalahannya. Dalam beberapa tahun terakhir ini pembangunan pemukiman, perdagangan, pariwisata, pendidikan, dan sektor-sektor lainnya di Kota Ambon telah mengalami pertumbuhan yang relatif pesat dibandingkan dengan kawasan lain disekitarnya. Pembangunan tersebut di satu sisi membutuhkan ketersediaan sumberdaya alam seperti lahan dan air, sementara di sisi lain Kota Ambon yang terletak di pulau Ambon merupakan pulau yang relatif kecil dan memiliki ketersediaan sumberdaya lahan dan air yang terbatas baik dalam jumlah maupun sebarannya (Dahuri et al., 1996). Kedua sisi ini tentu saja sering menimbulkan konflik dalam pemanfaatannya, yang berakhir dalam bentuk banyaknya perubahan (konversi) penggunaan lahan.

Konversi penggunaan lahan sangat berkaitan erat dengan kualitas hidrologi. Rona alamiah yang dicirikan oleh keberadaan hutan dan ragam pepohonan beserta lapisan humus (pelapukan dan jasad renik) menentukan potensi dan keberlanjutan sumberdaya air. Tumbuhan sangat bergantung pada air, karena air merupakan salah satu elemen yang diperlukan tumbuhan untuk melakukan fotosintesis. Selain membutuhkan air, tumbuhan juga merupakan agen penting dalam proses hidrologi.

Mulyana et al. (2007) menyatakan bahwa, hutan sudah sejak lama diyakini sebagai regulator air yang baik, yang mampu menyimpan air pada musim hujan dan mengeluarkannya di musim kering. Dalam konsevasi tanah dan air, vegertasi berfungsi antara lain untuk melindungi terhadap daya rusak butir-butir hujan yang


(18)

jatuh, melindungi tanah terhadap daya rusak air yang mengalir di permukaan tanah, serta memperbaiki kapasitas infiltrasi tanah dan penahan air yang langsung mempengaruhi besarnya aliran permukaan (Arsyad, 2006).

Sebagian air hujan yang sampai di lapisan permukaan tanah akan diabsorbsi oleh humus, sebagian besar lainnya akan berinfiltrasi dan terus meresap lebih dalam lagi melalui proses perkolasi. Aliran perkolasi itu akhirnya akan mencapai lapisan batuan (aquifer) membentuk persediaan atau kandungan air tanah (ground water) (Kartasapoetra et al., 1991). Aliran air perkolasi juga dapat mengisi sumber mata air, yang akan keluar jika terjadi pertemuan antara lapisan air

impermeable dengan permukaan tanah.

Banyaknya konversi lahan yang memperluas permukaan kedap air menyebabkan berkurangnya infiltrasi, menurunnya pasokan air tanah, dan meningkatkan limpasan permukaan (Asdak, 1995). Dampak lain dari konversi lahan adalah meningkatnya pengambilan air tanah yang melebihi daya dukung. Dalam Rencana Induk Kota Ambon tahun 1984, antara lain disebutkan bahwa sesuai dengan fungsi kota, maka pertumbuhan Kota Ambon hingga tahun 2004 lebih diarahkan pada pengembangan tempat tinggal penduduk, tempat usaha dan bekerja, pusat pendidikan tinggi, pemerintahan dan perdagangan. Salah satu kriteria untuk mendukung arahan tersebut adalah tercukupinya ketersediaan air baku.

Tabel 1 Perubahan pengunaan lahan Kota Ambon tahun 1980 - 1995

Data Jenis Penggunaan Lahan

Luas Penggunaan Lahan (ha)

1980 1985 1990 1995

Eksistin g

Pemukiman 437.65 603.61 862.29 1157.41

Tegalan 600.40 587.48 546.52 493.84

Kebun Campur 1385.72 1288.20 1177.52 1066.08

Perkebunan 193.28 193.28 193.28 193.28

Alang-alang 1123.88 1068.92 963.36 835.60 Hutan Belukar 635.44 634.88 633.40 630.16

Hingga kini perubahan atau pergeseran fungsi ruang hidrologi di kawasan Kotamadya Ambon terus berlangsung (BPN, 1980 dan BPN, 1990). Berdasarkan hasil evaluasi terhadap penggunaan yang ada di lima wilayah DAS, tercatat bahwa selama tahun 1980 sampai dengan tahun 1995, pergeseran penggunaan lahan


(19)

untuk pemukiman terjadi sebesar +16,45%, tegalan -2,43%, perkebunan -0,21%, kebun campur -7,30%, hutan -0,12%, dan alang-alang -6,59% (Tabel 1).

Keterbatasan pelayanan distribusi air bersih oleh Perusahaan Daerah Air Minum setempat sampai dangan tahun 1996 hanya mampu melayani sekitar 28% (9.803 m3/hari) dari total kebutuhan air bersih sebesar 35.014 m3/hari telah mendorong masyarakat untuk memanfaatkan sumberdaya air tanah sebagai andalan utama dalam memenuhi 72% (25.210 m3/hari) kebutuhan air untuk rumah tangga maupun usaha mereka. Hal ini menyebabkan berkurangnya jumlah air tanah yang ditunjukkan melalui turunnya permukaan air tanah statis sebesar 0,5 - 1,0 meter per tahun dalam kurun waktu 1980 - 1989 (Direktorat Geologi Tata Lingkungan, Bandung, 1989).

Kecepatan pemanfaatan (outflow) dan pengisian kembali (inflow) terhadap air bawah tanah yang tidak seimbang selain mengakibatkan kelangkaan air, juga berpeluang terhadap terjadinya intrusi air laut ke dalam air tanah terutama pada kawasan pesisir. Kota Ambon yang terletak di bagian Selatan Pulau Ambon merupakan pulau yang relatif kecil dan memiliki ketersediaan air bawah tanah yang sangat terbatas. Hasil survey Dinas Pertambangan Propinsi Maluku tahun 1991 menunjukkan bahwa luas daerah tangkapan air di wilayah ini sekitar 1.975 ha. Dengan curah hujan rata-rata tahunan sebesar 2.991 mm per tahun serta tingkat kelulusan rata-rata curah hujan untuk menjadi air tanah sebesar 10,93%, maka dapat diperkirakan jumlah air hujan yang masuk menjadi air tanah sebesar 6.493.812,4 m3 per tahun. Jika jumlah ini dibandingkan dengan tingkat kebutuhan air per tahun untuk wilayah Kota Ambon, maka dapat dipastikan bahwa peluang terjadinya kelangkaan air dan intrusi air laut di wilayah ini sangat besar.

Salah satu cara untuk meningkatkan suplai air adalah dengan membangun hutan kota yang berfungsi sebagai areal resapan. Ruang terbuka hijau (RTH) merupakan areal berupa ruang terbuka yang bervegetasi, berada di kawasan perkotaan yang mempunyai fungsi perlindungan, pemanfaatan, dan pelestarian lingkungan hidup. RTH dapat berbentuk hutan kota, taman kota, taman pemakaman umum, lapangan olahraga, jalur hijau jalan raya, bantaran sungai dan kawasan pertanian. Salah satu fungsi RTH adalah untuk ketersediaan air.


(20)

Berdasarkan latar belakang sebagaimana telah diuraikan, maka perlu dilakukan suatu penelitian untuk mengetahui kebutuhan hutan kota untuk memenuhi kebutuhan air di Kota Ambon, Maluku.

1.2. Kerangka Pemikiran

Gambar 1 Bagan alir kerangka pemikiran

1.3. Perumusan Masalah

Terbatasnya ketersediaan lahan di satu sisi serta tuntutan kebutuhan pembangunan kawasan Kota Ambon di sisi lain telah menyebabkan perubahan atau pergeseran terhadap penggunaan lahan yang ada, dan menunjukkan indikasi terjadinya dampak negatif terhadap keseimbangan air yang ada. Jika pelaksanaan pembangunan di kawasan ini terus meningkat tanpa mempertimbangkan

Kota sebagai pusat aktivitas manusia

Pembangunan yang terus meningkat

Meningkatnya jumlah penduduk

Perlunya suatu pengelolaan lingkungan hidup perkotaan

Berkurangnya lahan bervegetasi untuk

menyerap air Terjadinya alih

fungsi lahan

Fasilitas dan sarana prasarana kota

Perencanaan pembangunan hutan kota

Penerapan konsep hutan kota


(21)

pengelolaan yang baik terhadap ruang hidrologi yang ada, maka dikhawatirkan akan berdampak serius terhadap kelestarian lingkungan hidrologi, yang pada akhirnya akan mempengaruhi keberlanjutan dari pembangunan itu sendiri.

Beberapa permasalahan yang memerlukan kajian penelitian dalam rangka pengembangan ruang terbuka hijau yang berfungsi untuk penyediaan air di Kota Ambon, yaitu:

1. Apakah hutan kota yang ada di Kota Ambon telah dapat mencukupi kebutuhan kota, baik untuk masa sekarang maupun untuk beberapa tahun yang akan datang?

2. Berapa luas minimal hutan kota yang diperlukan untuk ketersediaan air bagi masyarakat Kota Ambon?

1.4. Tujuan Penelitian

Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk mengestimasi kebutuhan luas hutan kota di Kota Ambon khususnya untuk penyediaan air. Tujuan khusus penelitian adalah mengidentifikasi keseimbangan kebutuhan hutan kota untuk penyediaan air di Kota Ambon dalam suatu kurun waktu tertentu.

1.5. Manfaat Penelitian

Diharapkan penelitian ini dapat bermanfaat sebagai:

1. Suatu landasan dan acuan bagi para perencana dan pembuat kebijakan pembangunan kota, dalam hal ini Pemerintah Kota Ambon, dalam merencanakan pengembangan hutan kota untuk ketersediaan air di Kota Ambon.

2. Acuan bagi penelitian-penelitian selanjutnya tentang hutan kota khususnya di Kota Ambon.


(22)

2.1. Pengertian Kota

Kota merupakan suatu kesatuan yang tertutup dan merupakan pusat aktivitas ekonomi, sosial, politik, dan kebudayaan, terletak pada posisi geografis tertentu dan merupakan otak dari daerah sekelilingnya (Richarson, 1977 dalam Affandi, 1994). Kota adalah suatu permukiman dengan kepadatan penduduk yang lebih besar dari kepadatan penduduk nasional, dengan struktur mata pencaharian non agraris dan tata guna yang beraneka serta kerapatan pembangunan yang tinggi. Kota juga merupakan suatu kebulatan tatanan dari lingkungan sistem fisik, biologi, sosial dan ekonomi yang saling berintegrasi secara sederhana. Soeriaatmaja (1977) mengemukakan bahwa kota merupakan suatu sistem yang sifatnya sementara dan sewaktu-waktu sulit untuk dikontrol.

Kota dipandang sebagai suatu kesatuan yang tertutup dan merupakan pusat aktivitas ekonomi, sosial, politik dan kebudayaan serta mempunyai otoritas tertentu dalam suatu Negara, terletak pada posisi geografis tetap dan merupakan pusat dari daerah sekitarnya. Kota dapat dipelajari melalui berbagai fungsinya yang terorganisir dalam skala waktu dan ruang yang tertentu dalam alam. Kota yang baik merupakan suatu kesatuan organis yang diterapkan sesuai dengan keadaan kondisi teknologi dan cita-cita serta didasarkan pada masa lalu dan berorientasi masa depan. Kota pada akhirnya akan mati atau mundur apabila tidak merupakan suatu organisasi yang dapat berfungsi dan berkembang serta dapat menyediakan kebutuhan sumberdaya alam seperti air minum, listrik, sarana transportasi, sistem pembuangan sampah serta regenerasi kota bagi kesejahteraan penduduknya.

2.2. Pengaruh Perkembangan Kota terhadap Lingkungan

Perkembangan kota yang semakin pesat ditandai dengan semakin meningkatnya aktivitas manusia, seperti pengolahan lahan, permukiman, perindustrian, dan sebagainya, menyebabkan kualitas lingkungan hidup diperkotaan cenderung menurun. Menurunnya kualitas lingkungan merupakan


(23)

perubahan lingkungan yang menyebabkan terganggunya kenyamanan penduduk perkotaan (Tarsoen, 1991 dalam Affandi, 1994).

2.3. Perlunya Pengembangan Hutan Kota

Adanya berbagai kegiatan di perkotaan yang memberikan limbah dalam bentuk padat, cair, gas maupun debu yang mencemarkan udara menyebabkan kualitas lingkungan hidup di kota semakin lama semakin menurun. Pembangunan jalan dan pemukiman yang memberikan dampak penurunan kemampuan tanah untuk menyerap dan menampung air, transportasi yang memberikan gas karbondioksida, sulfurdioksida, serta kebisingan suara. Untuk memperbaiki mutu lingkungan hidup di kota dapat secara efektif dan efisien dilakukan melalui pengembangan hutan kota.

Adapun faktor-faktor dasar lingkungan alami dalam wilayah perkotaan yang harus diperhatikan (Purnomohadi, 1987), antara lain yaitu:

1. Kualitas udara yang sangat dipengaruhi oleh pola lalu lintas kota, adanya ruang terbuka yang relatif luas sehingga memungkinkan adanya sirkulasi udara bagi setiap kelompok bangunan. Aliran udara berupa hembusan angin akan melindungi kualitas udara.

2. Perlunya pengelolaan air, terutama air permukaan pada daerah-daerah penampungan air, sungai, kanal, waduk dan rawa dalam suatu sistem, termasuk penyediaan air bersih, penampungan air buangan yang kemudian dapat diproses melalui instalasi pemurnian air buangan.

3. Pengelolaan limbah padat di tempat yang khusus dan harus dipertimbangkan pula yang dapat menjadi sumber bahan mentah dari buangan-buangan tadi. 4. Diharapkan terciptanya derajat kebisingan yang serendah mungkin dengan

mengenali faktor yang mempengaruhinya seperti lalu lintas, kepadatan penduduk serta penumpukan fasilitas kota.

5. Adanya kehidupan alami dalam habitat ciptaan maupun alami bagi berbagai satwa yang tidak berbahaya.

6. Adanya berbagai fasilitas umum seperti peninggalan sejarah kejayaan kota, energi listrik, sarana kesehatan, pendidikan, transportasi, perdagangan, peristirahatan, rekreasi, dan sebagainya.


(24)

2.4. Pengertian Hutan Kota

Definisi hutan kota menurut Sekretariat Jendral Departemen Kehutanan bekerjasama dengan Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor (1987) adalah lapangan yang ditumbuhi vegetasi berkayu di wilayah perkotaan yang memberikan manfaat lingkungan sebesar-besarnya kepada penduduk kota dalam kegunaan-kegunaan proteksi, rekreasi dan kegunaan khusus.

Menurut Suwardi (1987) hutan kota adalah suatu hutan yang keberadaannya ada di dalam kota, di sekitar pinggiran kota atau di dalam daerah-daerah pusat pemukiman yang berkembang karena proses urbanisasi. Hutan kota merupakan cabang khusus dari hutan yang pengelolaannya melalui pendekatan multi disiplin dan dikembangkan secara intensif di dalam daerah perkotaan untuk keuntungan dan kepentingan warga lota.

Hutan kota merupakan suatu cara pendekatan dan penerapan salah satu atau beberapa fungsi hutan dalam kelompok vegetasi di perkotaan untuk mencapai tujuan proteksi, rekreasi, estetika, dan kegunaan khusus lainnya bagi kepentingan penduduk perkotaan. Oleh karena itu, hutan kota tidak hanya berarti hutan (menurut Undang-undang Pokok Kehutanan, UUPK No. 5 Tahun 1967) yaitu lapangan yang ditumbuhi pohon-pohon yang secara keseluruhan merupakan persekutuan hidup dengan alam lingkungannya dan mempunyai luas areal minimal 0,25 Ha berada di kota, tetapi juga dapat tersusun dari komponen hutan dan kelompok vegetasi lainnya yang berada di kota seperti taman, jalur hijau, serta kebun dan pekarangan (Fakuara, 1987).

Haeruman (1987) mengemukakan bahwa hutan kota juga terletak jauh di luar batas kota, sepanjang interaksi yang intensif antara penduduk sebuah kota dengan hutan tersebut berlangsung terus-menerus. Ekosistem hutan kota dapat dibangun sedemikian sehingga secara ekologis sesuai dengan lingkungan perkotaan, artinya terdiri dari tegakan yang belapis-lapis dimana masing-masing fungsinya meniru hutan alami. Pemeliharaan relatif sedikit dibandingkan misalnya dengan lapangan olahraga dan taman-taman umum dengan skala luas yang sama.

Secara rinci komposisi tegakan dalam hutan kota dijabarkan secara teknis sesuai dengan fungsinya, antara lain: biologis, estetis, rekreatif, ekologis, fisis,


(25)

sosial, serta sebagai cadangan untuk pengembangan Ruang Terbuka Hijau (RTH) kota dalam pembangunan kota jangka panjang (Purnomohadi, 1987).

Perbedaan yang nyata dengan unsur terbuka hijau yang lain adalah bahwa tegakan pepohonan dan semak belukar dalam hutan dikelola sesuai dengan sifat hutan, yaitu tidak berdiri sendiri, hingga satu kelompok tegakan dengan yang lainnya terjadi dalam suatu komunitas yang sesuai atau, paling tidak, mirip dengan ekosistem hutan alami. Namun sesuai dengan nilai-nilai "urbanity" maka ada keterbatasan dalam pembentukan hutan kota tersebut seirama dengan perkembangan kota yang terjadi serta berbagai aspek kehidupan yang menyangkut kehidupan penduduk kota. Tanaman yang ada harus asosiatif, dimana akan terdapat saling interaksi dalam mencapai suatu keseimbangan. Oleh karena itu perlu ditentukan berapa jenis minimum vegetasi yang tumbuh, baru dapat disebut sebagai hutan kota. Tanaman dalam pot tidak dapat dikatakan hutan kota, karena jika tidak ada manusia, tanaman pot itu akan mati. Hutan kota harus berinteraksi langsung dengan lingkungannya, yaitu tanah, air, dan air tanah.

2.5. Pengelolaan Hutan Kota

Program hutan kota adalah kegiatan khusus kehutanan yang bertujuan mengelola vegetasi kayu (pohon) bagi kepentingan kesejahteraan fisiologis, sosial dan ekonomi masyarakat perkotaan. Tercakup dalam rumusan tersebut ialah program komperhensif untuk mendidik penduduk kota tentang peranan vegetasi berkayu (pohon) di dalam lingkungan perkotaan. Dalam pengertian yang lebih luas lagi, program tersebut merupakan sistem pengelolaan dan kegunaan yang mencakup daerah-daerah perkotaan, silvikultur, dan produksi kayu serat (Society of American Foresters, 1974).

Hutan kota memerlukan suatu pengelolaan yang tertib agar keberadaan dan fungsinya terpelihara sepanjang masa. Pengelolaan hutan kota melibatkan 3 (tiga) unsur, yaitu individu, masyarakat, dan pemerintah kota. Pemerintah dalam hal ini Dinas Pertamanan Kota atau Dinas Kehutanan, harus membuat perencanaan hutan kota untuk lahan yang tersedia di lahan milik pemerintah maupun lahan milik masyarakat atau individu. Setiap unit lahan yang berada pada suatu hutan kota harus dibuatkan perencanaannya oleh pemerintah, kemudian jika lahan itu milik


(26)

masyarakat, pelaksanaannya diserahkan kepada masyarakat, dan jika lahan milik individu, maka pelaksanaannya dilaksanakan oleh individu dengan bimbingan teknis dari pemerintah agar dapat terlaksana secara benar (Fakuara, 1986).

Menurut Grey dan Deneke (1978) ada tiga macam kegiatan dalam pengelolaan hutan kota, yaitu:

1. Penanaman

Penanaman harus mempunyai prioritas tertinggi, terutama setelah kegiatan penebangan pohon-pohon yang sudah tua / mati. Kegiatan penanaman ini harus memperhatikan komposisi jenis, lokasi, dan desain.

2. Pemeliharaan

Pemeliharaan hutan kota dapat didefinisikan sebagai penerapan kebutuhan-kebutuhan praktis bagi kesehatan yang layak, kekuatan, dan sesuai dengan lingkungan perkotaan. Kegiatan pemeliharaan meliputi pengendalian pertumbuhan, perusakan, serta serangga dan penyakit.

3. Pembersihan

Kegiatan pembersihan meliputi penyingkiran pohon-pohon yang mati dan membahayakan baik secara fisik berupa posisi yang tidak menguntungkan, maupun karena merupakan sumber penyakit, serta pohon-pohon yang terlalu berdesakan.

Dalam studi kajian perencanaan aspek yang diteliti meliputi: lokasi, fungsi dan pemanfaatan, aspek teknik silvikultur,arsitektur lansekap, sarana dan prasarana, teknik pengelolaan lingkungan. Bahan informasi yang dibutuhkan dalam studi meliputi: (1) Data fisik (letak, wilayah, tanah, iklim, dan lain-lain); (2) Sosial ekonomi (aktivitas di wilayah bersangkutan dan kondisinya); (3) Keadaan lingkungan (lokasi dan sekitarnya); (4) Rencana pembangunan wilayah (RUTR, RTK, RTH); serta (5) Bahan-bahan penunjang lainnya (Dahlan,1992).

Hasil studi berupa Rencana Pembangunan Hutan Kota terdiri dari tiga bagian (Dahlan, 1992), yakni:

1. Rencana jangka panjang, yang memuat gambaran tentang hutan kota yang dibangun, serta target dan tahapan pelaksanaannya.

2. Rencana detail yang memuat desain fisik atau rancang bangun untuk masing-masing komponen fisik hutan kota yang hendak dibangun, serta tata letaknya.


(27)

3. Rencana tahun pertama kegiatan, meliputi rencana fisik dan biayanya.

Sumber: Fakultas Kehutanan IPB (dalam Dahlan, 1992)

Gambar 2 Organisasi pengelolaan hutan kota

Organisasi pembangunan dan pengelolaan hutan kota sangat bergantung kepada perangkat yang ada dan keperluannya. Sistem pengorganisasian pembangunan dan pengelolaan hutan kota dapat dilihat pada Gambar 2. Walikota atau Bupati sebagai kepala wilayah bertanggung jawab atas pembangunan dan pengembangan hutan kota di wilayahnya. Bidang perencanaan pengendalian dipegang oleh Bappeda Tingkat II yang dibantu oleh tim pembina yang terdiri dari

Penanggung Jawab

• Kepala Wilayah (Walikota / Bupati)

Pelaksana

• Dinas Tata Kota • Dinas Pertamanan • Dinas Perkebunan • Dinas Kehutanan • Perusahaan

Negara • Swasta • Perorangan

Pembina

• Bapedalda Dibantu oleh:

• Kanwil Dephut • Kanwil Deptan • Kanwil Depkes • Kanwil Dep.

PU • Instansi

Agraria • BKLH

Perencanaan

• Bappeda • Bapedalda


(28)

Kanwil Departemen Kehutanan, Kanwil Departemen Pertanian dan Perkebunan, Kanwil Departemen Pekerjaan Umum, Kanwil Departemen Kesehatan, Biro Kependudukan dan Lingkungan Hidup, dan yang lainnya menurut kebutuhan masing-masing kota dan daerah. Untuk pelaksanaannya dapat ditunjuk dinas-dinas yang berada di wilayahnya.

Pengelolaan hutan kota pada areal yang dibebani hak milik diserahkan kepada pemiliknya, namun dalam pelaksanaannya harus memperhatikan petunjuk dari bidang perencanaan dan pengendalian. Guna memperlancar pelaksanannya perlu dipikirkan jasa atau imbalan apa yang dapat diberikan oleh pemerintah kepada yang bersangkutan.

2.6. Pengertian Air

Air merupakan suatu elemen dalam lanskap. Air dipandang sebagai tapak untuk tanaman dan jalan dengan median jalan, rumah institusi, resor hotel, dan usaha komersial lainnya. Air berguna bagi manusia untuk memenuhi kebutuhan hidupnya seperti untuk mandi, makan, minum, mencuci, irigasi, industri, dan lainnya. Air juga sangat penting sebagai moderator iklim dunia. Uap air di atmosfer dan bentuk kondensasinya (awan) memantulkan dan menyerap bagian radiasi matahari yang masuk pada siang hari, dan membersihkan aliran energi yang terus menerus ke permukaan dalam bentuk radiasi gelombang panjang (Lee, 1988 dalam Yullyarty, 2004).

Banyaknya volume air yang mengalir di permukaan bumi sehingga tidak terserap oleh saluran-saluran baik alami maupun buatan yang ada akan mengakibatkan banjir. Fenomena banjir banyak menimpa daerah perkotaan (urban). Daerah perkotaan memiliki karakteristik yang khas, dimana lebih dari 30% permukaannya merupakan permukaan kedap air (atap bangunan, jalan, jembatan, perkerasan dan lainnya).

2.7. Siklus Air

Siklus air atau siklus hidrologi merupakan konsep dasar tentang keseimbangan air secara global dan juga menunjukkan semua hal yang


(29)

berhubungan dengan air. Secara skematik, siklus hidrologi dapat dijelaskan sebagai berikut (Asdak, 1995):

1. Presipitasi, merupakan curah hujan, yaitu jatuhnya air ke permukaan tanah. Presipitasi terjadi akibat naiknya uap air di atmosfir hingga mencapai suhu dingin dan terkondensasi.

2. Intersepsi, yaitu tertahannya air hujan oleh tajuk vegetasi sebelum mencapai permukaan tanah, untuk selanjutnya diuapkan kembali atau diserap oleh vegetasi tersebut.

3. Evaporasi, merupakan penguapan air dari permukaan air, tanah dan bentuk permukaan vegetasi oleh proses fisik. Unsur utama yang penting adalah energi matahari dan air.

4. Transpirasi, merupakan penguapan air dan cabang tanaman melalui pori-pori daun karena proses biologi. Sedangkan total air yang dikembalikan lagi ke atmosfer dari permukaan tanah, badan air dan vegetasi karena faktor iklim dan fisiologis vegetasi disebut Evapotranspirasi.

5. Infiltrasi, merupakan proses penetrasi air ke dalam tanah akibat gaya kapiler atau gerakan arah vertikal. Sedangkan air yang tidak terserap akan tertampung sementara dalam cekungan permukaan tanah, yang selanjutnya mengalir ke tempat yang lebih rendah, lalu masuk ke sungai.

2.8. Kebutuhan Sumberdaya Air 2.8.1.Kebutuhan air domestik

Kebutuhan air setiap individu berbeda-beda, hal ini tergantung pada beberapa faktor, diantaranya adalah strata sosial, tingkat pendidikan, kebiasaan penduduk, dan letak geografis. Menurut Puslitbang LIPI, kebutuhan dasar air tiap individu digunakan untuk memenuhi keperluan minum, masak, mandi, dan mencuci. Kebutuhan air pada suatu daerah tergantung pada jumlah penduduk dan konsumsi per kapita, sehingga perkembangan penduduk di suatu wilayah tertentu sangat menentukan tingkat kebutuhan air di masa mendatang (Pawitan, 1994 dalam Adriyanto, 2007). Tabel 2 memuat hasil survey konsumsi rata-rata air bersih di Indonesia.


(30)

Tabel 2 Konsumsi air bersih per kapita per hari masyarakat Indonesia

Keperluan Konsumsi

(liter/orang/hari) Presentase (%)

Mandi, cuci, kakus 12 8,7

Minum 2 1,4

Masak 10,7 7,7

Cuci pakaian 31,4 22,7

Kebersihan rumah 11,8 8,5

Taman 21,1 15,2

Cuci kendaraan 16,2 11,7

Wudlu 21,7 15,7

Lain-lain 11,6 8,4

TOTAL 138,5 100

Sumber: Gupta (1989) dalam Adriyanto (2007)

2.8.2.Kebutuhan air industri

Kegiatan industri dalam prosesnya membutuhkan air untuk membantu kelangsungan proses produksi maupun kebutuhan domestik karyawannya. Penggunaan air untuk industri diantaranya sebagai bahan mentah, pendingin, penggelontor kotoran, serta penggunaan lainnya (Sugiarto, 1995). Untuk menentukan jumlah air yang dibutuhkan, industri terlebih dahulu harus diklasifikasikan. Klasifikasi Industri menurut dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3 Klasifikasi industri

Jumlah Tenaga Kerja Klasifikasi Industri

1 - 4 orang Rumah Tangga

5 - 19 orang Kecil

20 - 99 orang Sedang

> 100 orang Besar

Sumber: Pedoman Konstruksi dan Bangunan, Dep. PU, 2005.

Besarnya kebutuhan air industri dapat diperkirakan dengan menggunakan standar kebutuhan air industri. Kebutuhan air industri ini berdasarkan pada proses atau jenis industri yang ada pada wilayah kawasan industri yang ada dan jumlah pekerja yang bekerja pada industri tersebut. Besarnya standar kebutuhan industri adalah sebagai berikut:


(31)

Tabel 4 Kebutuhan air industri berdasarkan beberapa proses industri

Jenis Industri Jenis Proses Industri Kebutuhan Air (liter/hari)

Industri rumah tangga Belum ada, rekomendasi dapat disesuaikan dengan kebutuhan air rumah tangga.

Industri kecil

Industri sedang Minuman ringan 1.600 - 11.200

Industri es 18.000 - 67.000

Kecap 12.000 - 97.000

Industri besar Minuman ringan 65.000 – 7.800.000

Industri pembekuan ikan

225.000 – 1.350.000 dan biota perairan lainnya

Industri tekstil Proses pengolahan tekstil 400 – 700 liter/kapita/hari Sumber: Pedoman Konstruksi dan Bangunan, Dep. PU, 2005.

Untuk pekerja industri, kebutuhan air merupakan kebutuhan air domestik yang telah disesuaikan dengan kebutuhan pekerja pabrik. Adapun kebutuhan air tersebut adalah 60 liter/pekerja/hari.

2.8.3.Kebutuhan air ternak

Kebutuhan air ternak merupakan tingkat kebutuhan air yang diperlukan untuk pengoperasian peternakan, yang meliputi pemberian air minum untuk ternak, tempat makan ternak, dan kebutuhan lainnya (Purwanto, 2006). Kebutuhan air untuk ternak berdasarkan jenisnya dapat dilihat pada Tabel 5:

Tabel 5 Konsumsi air pada beberapa jenis ternak per ekor per hari

Jenis Ternak Intake air (liter/ekor/hari)

Sapi, Kerbau, Kuda 40

Domba dan Kambing 5

Babi 6

Unggas (Ayam, Itik, dll) 0,6

Sumber:Technical Report National Water Policy, 1992.

2.9. Pengelolaan Vegetasi dan Hasil Air

Pada dasarnya tujuan yang ingin dicapai dengan melakukan pengelolaan vegetasi atau tataguna lahan adalah agar daerah aliran sungai secara keseluruhan dapat berperan atau memberikan manfaat sebesar-besarnya secara lestari bagi manusia didalam memenuhi kebutuhan hidup serta kesejahteraannya (Dahuri et al., 1996), sehingga selain dapat menampung perkembangan dan dinamika


(32)

kegiatan ekonomi masyarakat setempat, maka pengelolaan tersebut diharapkan dapat mengantisipasi permasalahan yang mungkin terjadi.

Kegiatan tataguna lahan yang bersifat merubah tipe atau jenis penutup lahan, seringkali dapat memperbesar atau memperkecil hasil air. Perubahan dari satu jenis vegetasi ke jenis vegetasi lainnya adalah umum dalam suatu pengelolaan sumberdaya alam. Penebangan hutan, peladangan berpindah, atau perubahan tataguna lahan hutan menjadi areal perkebunan, padang rumput atau pemukiman adalah contoh kegiatan yang sering dijumpai pada wilayah yang sedang bertumbuh. Terjadinya perubahan tataguna lahan dan jenis vegetasi tersebut dalam skala besar dan bersifat permanen akan dapat mempengaruhi ketersediaan air.

Kebanyakan persoalan sumberdaya air berkaitan dengan waktu dan penyebaran aliran air. Kekeringan dan banjir adalah dua contoh klasik yang kontras tentang perilaku aliran air sebagai akibat perubahan kondisi tataguna lahan dan faktor meteorologi, terutama curah hujan. Hasil penelitian jangka panjang yang telah dilakukan di berbagai penjuru dunia menunjukkan bahwa pengaruh tataguna lahan dan aktivitas lain terhadap perilaku aliran air dapat terjadi dengan cara (Hibbert, 1983; Bosch and Hewlett, 1982 dalam Asdak, 1995): (1) Penggantian atau konversi vegetasi dengan transpirasi atau intersepsi tahunan tinggi menjadi vegetasi dengan transpirasi atau intersepsi rendah dapat meningkatkan volume aliran air dan mempercepat waktu yang diperlukan untuk mencapai debit puncak. Mekanisme peningkatan volume aliran air ini terjadi ketika hujan turun, kelembaban tanah awal cenderung meningkat dan karenanya daya tampung air dalam tanah menjadi berkurang.

(2) Kegiatan yang bersifat memadatkan tanah seperti penggembalaan yang intensif, pembuatan jalan dan bangunan lainnya, dan penebangan hutan. Kegiatan-keiatan tersebut dalam batas tertentu dapat meningkatkan volume dan waktu berlangsungnya air limpasan, dan dengan demikian memperbesar debit puncak. Kegiatan yang bersifat memacu infiltrasi diharapkan dapat memberikan pengaruh sebaliknya.


(33)

2.10. Ruang Terbuka Hijau Untuk Peresapan Air

Ruang terbuka hijau kota sedikit banyak dapat mengatasi masalah limpasan air hujn. Ruang terbuka hijau memiliki derajat kerembesan tanah yang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan jenis permukaan lainnya. Permukaan tanah yang tertutup oleh tanaman memiliki kapasitas infiltrasi yang tinggi. Hal ini disebabkan tanah yang tertutup oleh tanaman memiliki rongga-rongga tanah atau jalur-jalur yang lebar sehingga air mudah masuk, dan udara mudah keluar (Thohir, 1991 dalam Muis, 2005).

Rongga tersebut terbentuk selama bertahun-tahun dari pembusukan akar tanaman maupun pergerakan hewan dalam tanah yang ikut hidup dalam ekosistem bersama pepohonan yang tumbuh di ruang terbuka hijau. Sering ketika hujan deras terjadi, saluran drainase dan sungai mendapatkan beban air limpasan yang terlampau tinggi sehingga melampaui ambang kapasitasnya. Debit air pada saluran drainase dan sungai pada umumnya dipengaruhi oleh 3 komponen utama, yaitu intensitas hujan, keadaan permukaan tanah, dan luas daerah pengaliran.

Berfungsinya RTH sebagai peresapan air ke dalam tanah dipengaruhi oleh sifat-sifat hujan, sifat fisik kawasan dan pengelolaannya. Pengalihan fungsi lahan di perkotaan cenderung ke arah penutupan tanah dengan bahan-bahan semen yang tidak tembus air (impervious), sehingga mengakibatkan terganggunya keseimbangan hidrologi. Hidrologi kota seringkali menjadi masalah yang pelik bagi ahli hidrologi, karena urbanisasi meningkatkan luasan permukaan yang tertutup semen, paving, aspal, sehingga air hujan tercegah untuk masuk ke dalam tanah dan menjadi limpasan permukaan (Urbanos, 1992).

2.11. Ketersediaan Air

Air merupakan kebutuhan dasar bagi kehidupan seluruh makhluk hidup di dunia. Untuk memenuhi standar kehidupan manusia secara sehat, manusia membutuhkan air bersih. Dengan makin meningkatnya jumlah penduduk serta laju pertumbuhannya, semakin naik pula laju pemanfaatan sumber-sumber air. Ketersediaan air yang terjangkau dan berkelanjutan menjadi bagian terpenting bagi setiap individu.


(34)

Kebutuhan manusia akan sumberdaya air menjadi sangat nyata bila dikaitkan dengan empat hal, yaitu pertambahan penduduk, pertumbuhan pangan, peningkatan industrialisasi dan perlindungan ekosistem terhadap teknologi. Diketahui bahwa jumlah air di bumi tetap, perubahannya hanya mengikuti siklus hidrologi yang berputar sepanjang masa. Padahal penduduk dunia selalu bertambah dan kehidupannya semakin maju, sehingga keperluan air semakin bertambah banyak (Soerjani dkk, 1987).

Sugiharto (1983) menyatakan bahwa untuk mencukupi kebutuhan air sehari-hari adalah sejalan dengan tingkat kemajuan masyarakat. Selain jumlahnya yang cukup, air untuk keperluan rumah tangga juga harus memenuhi syarat kesehatan. Hal ini karena selain air dapat dicemari oleh zat-zat yang bersifat racun, juga merupakan media dari berbagai kuman penyakit.

Air minum yang juga disebut air bersih adalah salah satu kebutuhan utama manusia. Manusia memerlukan air untuk berbagai keperluan seperti MCK, produksi pangan, sandang dan papan. Air yang digunakan untuk rumah tangga harus memenuhi syarat kesehatan. Namun sampai dengan tahun 2000, berdasarkan data Departemen Pemukiman dan Prasarana Wilayah, baru sekitar 19% penduduk Indonesia, dimana 39%nya adalah penduduk perkotaan, yang dapat menikmati air bersih dengan sistem perpipaan. Sedangkan di daerah pedesaan, berdasarkan sumber yang sama, hanya sekitar 5% yang menggunakan sistem perpipaan, dan sisanya sebesar 47% penduduk desa menggunakan air yang bersumber dari sumur gali dan sumber air yang tidak terlindungi (Parahita, 2005 dalam Muis, 2005).


(35)

3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan di Kota Ambon, Propinsi Maluku selama 3 bulan, mulai Februari 2009 hingga Mei 2009.

Gambar 3 Citra KONOS Kota Ambon

3.2. Data, Perangkat Lunak, dan Perangkat Keras 3.2.1. Data Primer

Data primer dalam penelitian ini diperoleh dari hasil wawancara dengan pihak-pihak terkait yang terlibat dalam pengelolaan hutan kota di Kota Ambon, seperti BAPPEDA Kota Ambon, Dinas Kehutanan, Dinas Tata Ruang, serta Dinas Kebersihan dan Pertamanan Kota Ambon. Selain itu data primer juga akan diperoleh dari hasil wawancara masyarakat.

3.2.2.Data Sekunder

Data sekunder yang digunakan dalam penelitian ini adalah Citra IKONOS Kota Ambon, peta administrasi Kota Ambon, peta tata guna lahan Kota Ambon, peta sungai Kota Ambon, jumlah dan laju pertumbuhan penduduk Kota Ambon,


(36)

kondisi biofisik dan klimatologis Kota Ambon, Rencana Umum Tata Ruang (RUTR) dan Rencana Ruang Terbuka Hijau (RRTH) Kota Ambon dari data instansi terkait. Data, sumber data dan analisis data yang digunakan pada penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 6.

Tabel 6 Data yang digunakan Jenis

Kegiatan

Jenis Data Sumber Analisis

Pengumpulan Data

Jumlah penduduk BPS Kota Ambon 2004, 2005, 2006, 2007, 2008.

KA domestik

Jumlah ternak KA ternak

Jumlah industri KA industri

Suplai air PDAM dan

DSA Kota Ambon

Suplai air yang tersedia

Kondisi Fisik BAPPEDA Kota Ambon 2008 Kemampuan lahan untuk menyimpan air Jenis Tanah Topografi Penggunaan Lahan Peta BAPPEDA Kota Ambon 2008 Spasial Jenis Tanah Penggunaan Lahan Administratif Observasi Lapangan

Keadaan eksisting RTH

Wawancara

Program Pemerintah Instansi terkait Deskriptif Rencana

pengembangan wilayah Kota Ambon

Rencana pembangunan hutan kota di Kota Ambon

Jenis vegetasi yang ada di taman kota

Keadaan RTH di Kota Ambon

Persepsi Masyarakat Masyarakat Deskriptif

Manfaat hutan kota


(37)

21


(38)

22


(39)

23


(40)

24


(41)

3.2.3.Perangkat Lunak dan Keras

Perangkat lunak yang digunakan untuk pengolahan data berupa ARC View GIS Versi 3.2 untuk analisis data citra, pengolahan database dan produksi peta, Sementara itu, perangkat keras yang digunakan yaitu satu set komputer (monitor,

CPU, keyboard, mouse, CD), digital camera, printer dan scanner.

3.3. Metode Penelitian

Penelitian ini dibatasi sampai pada penentuan luas kebutuhan RTH berdasarkan ketersediaan air dan preferensi masyarakat Kota Ambon. Tahapan penelitian ini terdiri dari beberapa kegiatan, yaitu:

1. Inventarisasi

Tahap inventarisasi berupa pengumpulan data yang diperlukan untuk kebutuhan luas RTH di Kota Ambon. Data yang dikumpulkan terdiri dari data primer, yang diperlukan dalam proses analisis kebutuhan RTH, dan data sekunder yang merupakan pendukung untuk pembuatan konsep pengusulan pengambilan kebijakan oleh Pemerintah Daerah.

Pengumpulan data yang dilakukan dalam bentuk deskripsi dan peta yang dibutuhkan untuk penentuan luas RTH dan ketersediaan air nantinya. Data tersebut diperoleh dengan beberapa cara, yaitu:

a. Studi Pustaka

Studi pustaka berupa pengambilan informasi yang diperlukan mengenai keadaan umum lokasi penelitian, keberadaan RTH dan rencana pengembangan areal. Informasi tersebut diperoleh dari instansi-instansi terkait, seperti BAPPEDA Kota Ambon, Dinas Kebersihan dan Pertamananan Kota Ambon, Biro Pusat Statistik, Dinas Bina Marga, Dinas Pengairan, Perusahaan Daerah Air Minum (PT. PDAM (Persero)) Kota Ambon, dan lainnya.

b. Wawancara

Wawancara dilakukan dengan pihak Pemda Kota Ambon, BAPPEDA, Dinas Lingkungan Hidup, Dinas Kebersihan dan Pertamanan, swasta, dan tokoh masyarakat, di wilayah Kota Ambon.


(42)

Mencatat keadaan lokasi tapak melalui data dari instansi-instansi terkait yang telah diperoleh.

Data yang dibutuhkan dan dikumpulkan terdiri dari data spasial berupa peta, dan data lainnya, yaitu data mengenai kondisi umum dan administrasi Kota Ambon, keadaan fisik dan biofisik, keadaan ekonomi, sosial, budaya, serta data lainnya yang mendukung penelitian ini.

2. Tinjauan Tapak

Kegiatan survey langsung ke lapangan dengan tujuan melihat secara langsung kondisi RTH saat ini (existing condition) berupa jenis vegetasi, luas RTH, sumber air, dan intensitas pemeliharaannya.

3. Analisis

Analisis data merupakan tahap proses pemanfaatan potensi sumberdaya alam dan sumberdaya manusia sebagai upaya penyelesaian permasalahan yang terjadi di Kota Ambon. Analisis yang dilakukan adalah menentukan luas RTH berdasarkan ketersediaan air, serta menilai preferensi masyarakat terhadap pengembangan pembangunan RTH di Kota Ambon.

Analisis tersebut diuraikan dengan beberapa pendekatan rumus dan metode sebagai berikut:

3.3.1. Analisis data kebutuhan luas RTH untuk ketersediaan air Kota Ambon Untuk menganalisis peningkatan ketersediaan air bersih di wilayah Kota Ambon dilakukan dengan menggunakan pendekatan metode Fahutan IPB (1987) yang telah disesuaikan dengan tujuan penelitian, yaitu:

z

P

PAM

c

r

K

P

La

=

0

.

(

1

+

)

a ...(3-1)

Keterangan:

La : Luas RTH yang diperlukan untuk mencukupi kebutuhan air (ha)

P0 : Jumlah penduduk kota pada tahun ke 0 (jiwa)

K : Konsumsi air per kapita (liter/hari)

r : Laju kebutuhan air bersih; sama dengan laju pertambahan penduduk (%) c : Faktor pengendali; upaya Pemda menurunkan laju pertambahan penduduk

(%)

PAM : Kapasitas supply perusahaan air minum (m3/tahun) Pa : Potensi air tanah (m3/tahun)


(43)

z : Kemampuan RTH menyimpan air (m3/ha/tahun) Persaman (3-1) tersebut dapat disederhanakan menjadi :

lahan total total

S

SA

KA

La

=

...(3-2)

Keterangan:

KAtotal : Kebutuhan air total (m3/tahun)

SAtotal : Suplai air total (m3/tahun)

Shutan : Kemampuan lahan untuk menyimpan air (m3/ha/tahun) 3.3.1.1. Kebutuhan Air Total

Kebutuhan air total diperoleh dengan cara menjumlahkan seluruh kebutuhan air untuk kebutuhan domestik, industri, dan ternak. Persamaan yang dapat digunakan adalah:

KAtotal = KAdomestik + KAindustri + KAternak ...(3-3)

Untuk persamaan (3-3), dapat dibuat persamaan untuk menghitung kebutuhan air masing-masing variabel, yaitu:

a. Kebutuhan air domestik. Jumlah kebutuhan air setiap individu bervariasi, yang dipengaruhi oleh faktor usia, agama, dan tingkat kesejahteraan, tapi dalam penelitian ini faktor-faktor tersebut tidak diperhitungkan. Persamaan untuk menghitung kebutuhan air domestik adalah:

KAdomestik = 365 hari (Nt(138,5/1000)) ...(3-4)

Dimana:

Nt = Np(1+r)t ...(3-5) Keterangan :

Nt : Jumlah penduduk pada tahun ke t (jiwa)

Np : Jumlah penduduk pada tahun dasar hitungan (jiwa) r : Laju pertumbuhan penduduk

t : Selisih tahun antara tahun proyeksi dengan tahun dasar hitungan

b. Kebutuhan air industri.

KAindustri = 365 hari(Nind x Uind) ...(3-6)

Dimana:

Nind : Jumlah industri (unit)


(44)

c. Kebutuhan air ternak.

KAternak = 365 hari (Nternak x Uternak) ...(3-7) 3.3.1.2. Suplai Air Total

Pada penelitian ini diasumsikan bahwa suplai air hanya berasal dari wilayah Kota Ambon, dan tidak menerima dari daerah lain. Suplai air total merupakan jumlah dari suplai air PDAM, suplai air tanah, dan suplai air simpanan permukaan.

SAtotal = PAM – (Pa + SP)

...(3-8)

3.3.1.3. Penentuan Nilai Kemampuan Hutan Dalam Menyimpan Air

Hujan (P) merupakan aliran masuk dari atmosfer ke permukaan bumi yang dapat mengisi badan air permukaan, seperti waduk, sungai, dan danau, atau meresap menjdi air tanah (ground water). Setiap tipe tutupan lahan memiliki kapasitas penyerapan yang berbeda, yang juga dipengaruhi oleh kondisi tanahnya.

Arsyad (2006) menyatakan bahwa, prediksi jumlah volume aliran permukaan (Q) akan berguna dalam menentukan volume simpanan air. Salah satu metode untuk menentukan kapasitas hutan dalam menyimpan air adalah metode Dinas Konservasi Tanah Amerika Serikat atau yang dikenal dengan metode SCS (Soil Conservation Service). Kerangka pemikiran metode tersebut adalah:

• Volume aliran permukaan (Q) besarnya tergantung pada curah hujan (P) dan volume simpanan yang tersedia untuk menahan air (S). Penahan (retensi) aktual (F) adalah perbedaan antara curah hujan dan aliran permukaan. Selanjutnya, suatu volume air hujan pada permulaan hujan, yang disebut abstraksi awal (Ia) tidak akan menjadi aliran permukaan. SCS mengasumsikan

hubungan curah hujan dan aliran permukaan dalam persamaan:

a I P

Q S

F

= ...(3-9)

• Retensi aktual (F) dengan memperhitungkan abstraksi aktual awal (Ia) adalah:

F = (P – Ia) – Q ...(3-10)


(45)

a a I P Q S Q I P − = − − ) ( ...(3-11) Yang selanjutnya dapat diubah menjadi:

S I P I P Q a a + − − = ) ( ) ( 2 ...(3-12) • Abstraksi awal (Ia) merupakan air hujan yang tidak akan menjadi aliran

permukaan, tergantung pada penggunaan tanah, perlakuan, dan kondisi hidrologi, dan kandungan air tanah sebelumnya. Nilai Ia ternyata dapat diduga

dengan baik menggunakan persamaan:

Ia = 0,2 S ...(3-13)

Penelitian yang dilakukan sejak persamaan (3-13) dikembangkan menunjukkan bahwa persamaan (3-13) mungkin tidak dapat digunakan untuk semua keadaan, akan tetapi masih dapat digunakan sampai penelitian yang lebih koperhensif dikembangkan. Dengan mensubtitusi persamaan (3-13) ke dalam persamaan (3-12), diperoleh persamaan berikut:

) 8 , 0 ( ) 2 , 0 ( 2 S P S P Q + −

= ...(3-14)

Dari penelitian empirik, diperoleh bahwa nilai S dapat diduga dengan menggunakan persamaan: 254 25400 − ⎥⎦ ⎤ ⎢⎣ ⎡ = CN S ...(3-15)

Dimana CN merupakan bilangan kurva (curve number) yang nilainya berkisar antara 1 – 100.

Nilai CN ditentukan untuk setiap jenis tutupan lahan pada suatu kelompok hidrologi tanah. Untuk suatu kawasan yang terdiri dari beberapa kelompok hidrologi tanah, maka nilai CN ditentukan dengan metode rata-rata berbobot. Prinsip dasar metode tersebut adalah menghitung nilai rata-rata secara proporsional, dimana setiap variasi berkontribusi sebanding dengan bobotnya. Dalam perhitungan nilai CN, menggunakan bobot setiap variasi tanah, sehingga diperoleh persamaan:


(46)

W m,i = Am,i / Ai ...(3-17)

Dimana:

CN i : Nilai CN rata-rata berbobot untuk tipe tutupan lahan i

W m,i : Perbandingan luas tipe tanah m dengan luas total areal tutupan lahan i

CN m,i : Nilai CN pada tipe tanah m pada areal tutupan lahan i

A m,i : Luas tipe tanah m pada areal tutupan lahan i (ha)

A i : Luas total areal tutupan lahan i (ha)

Menurut Arsyad (2006), tipe tanah, penggunaan tanah, dan kondisi hidrologi penutup tanah adalah sifat-sifat daerah aliran yang mempunyai pengaruh paling penting dalam menduga volume aliran permukaan.

a. Klasifikasi kelompok tanah

Soil Conservation Service (SCS) telah mengembangkan sistem klasifikasi tanah berdasarkan sifat tanah yang mengelompokkan tanah ke dalam empat kelompok hidrologi (McQueen, 1982 dalam Lokolo, 2002):

Kelompok A : Dalam keadaan basah, tanah ini memiliki tingkat infiltrasi relatif tinggi, sehingga potensi air limpasan di permukaan menjadi sangat kecil. Susunan tanah ini biasanya terdiri dari pasir dan kerikil yang memiliki tingkat kelulusan air sangat baik. Kemampuan mentransmisi air ke dalam tanah yang besar ditunjukkan melalui tingkat infiltrasi tanah diatas 0,3 inci/jam.

Kelompok B : Dalam keadaan basah tanah ini memiliki tingkat infiltrasi sedang, atau lebih kecil jika dibandingkan kelompok A. Biasanya terdiri dari tanah bertekstur kasar yang memiliki tingkat kelulusan air baik dengan potensi untuk melimpaskan air permukaan sedang. Kemampuan mentransmisi air kedalam tanah ditunjukkan melalui tingkat infiltrasi yang berkisar antara 0,15 - 0,20 inci/jam.

Kelompok C : Dalam keadaan basah tanah ini memiliki tingkat infiltrasi rendah, atau lebih kecil jika dibandingkan dengan kelompok B. Pada umumnya berupa tanah yang memiliki tekstur halus dengan potensi untuk melimpaskan air di permukaan cukup


(47)

baik. Kemampuan mentransmisi ke dalam tanah yang rendah diperlihatkan melalui tingkat infiltrasi yang berkisar antara 0,05 – 0,15 inci/jam.

Kelompok D : Potensi tanah ini untuk melimpaskan air sangat besar, hal ini dapat ditunjukkan dengan sangat rendahnya tingkat infiltrasi jika dibandingkan dengan kelompok A, B, dan C. Pada umumnya berupa tanah lempung atau tanah liat yang memiliki tekstur sangat rapat dan tinggi muka air tanah yang permanen, sehingga kemampuan untuk mentransmisi air ke dalam tanah menjadi sangat rendah.

b. Kandungan air tanah sebelumnya

Kandungan air tanah sebelumnya mempengaruhi volume dan laju aliran permukaan. Mengingat pentingnya pengaruh faktor ini, maka SCS menyusun tiga kondisi kandungan air sebelumnya, yakni:

Kondisi I : Tanah dalam keadaan kering, tetapi tidak sampai pada titik layu, telah / pernah ditanami dengan hasil memuaskan. Kondisi II : Keadaan rata-rata.

Kondisi III : Hujan lebat atau ringan dan temperatur rendah, tanah jenuh air.

c. Matriks penentuan CN

Penentuan nilai CN dapat dilihat pada Tabel 7.

Tabel 7 Bilangan Kurva (CN) untuk berbagai penutup tanah dengan kondisi kandungan air tanah sebelumnya : Kondisi II, dan Ia = 0,2 S.

No. Penggunaan Tanah / Perlakuan / Kondisi Hidrologi

Kelompok Hidrologi Tanah

A B C D

1

Pemukiman Luas Kapling Persentase

kedap air

< 500 m2 65 77 85 90 92

1000 m2 38 61 75 83 87

1300 m2 30 57 72 81 86

2000 m2 25 54 70 80 85

4000 m2 20 51 68 79 84

2 Tempat parkir di aspal, atap, jalan aspal,

dll 98 98 98 98

3 Jalan umum


(48)

Tabel 7 (lanjutan)

No. Penggunaan Tanah / Perlakuan / Kondisi Hidrologi

Kelompok Hidrologi Tanah

A B C D

3 - Kerikil 76 98 89 91

- Tanah 72 85 87 89

4 Daerah perdagangan dan pertokoan 89 92 94 95

5 Daerah industri 81 88 91 93

6

Tempat terbuka, padang rumput yang dipelihara, taman, lapangan golf, kuburan, dan lain-lain:

- Kondisi baik: 75% atau lebih tertutup

rumput 39 61 74 80

- Kondisi sedang: 50-75% tertutup rumput 49 69 79 84 7 Tanah kosong Menurut lereng 77 86 91 94

8 Tanaman

Semusim

Menurut lereng Buruk 72 81 88 91 Menurut lereng Baik 67 78 85 89 Menurut kontur Buruk 70 79 84 88 Menurut kontur Baik 65 75 82 86 Kontur & teras Buruk 66 74 80 82 Kontur & teras Baik 62 71 78 81

9 Padi-padian

Menurut lereng Buruk 65 76 84 88 Menurut lereng Baik 63 75 83 87 Menurut kontur Buruk 63 74 82 85 Menurut kontur Baik 61 73 81 84 Kontur & teras Buruk 61 72 79 82 Kontur & teras Baik 59 70 78 81

10

Leguminosa ditanam rapat atau pergiliran tanaman

Menurut lereng Buruk 66 77 85 89 Menurut lereng Baik 58 72 81 85 Menurut kontur Buruk 64 75 83 85 Menurut kontur Baik 55 69 78 83 Kontur & teras Buruk 63 73 80 83 Kontur & teras Baik 51 67 76 80

11 Padang rumput penggembalaan

Menurut lereng Buruk 68 79 86 89 Menurut lereng Sedang 49 69 79 84 Menurut lereng Baik 39 61 74 80 Menurut kontur Buruk 47 67 81 88 Menurut kontur Sedang 25 59 75 83 Menurut kontur Baik 6 35 70 79

12 Padang rumput Baik 30 58 71 78

13 Hutan

Buruk 45 66 77 83

Sedang 36 60 73 79

Baik 25 55 70 77

14 Perumahan


(49)

Sumber: Soil Conservation Service (1973) dalam Arsyad (2006) 3.3.2. Analisis Spasial Hutan Kota

Pengolahan data spasial dilakukan dengan menggunakan software ArcView GIS 3.2. Untuk permodelan spasial pengembangan hutan kota diperlukan data tabular berupa jumlah penduduk, jumlah industri dan jumlah ternak, selain itu diperlukan data spasial berupa peta administrasi kecamatan, peta tutupan lahan, peta sungai, peta jalan, peta tanah dan citra IKONOS.

Kelas-kelas penutupan lahan dalam penelitian ini diklasifikasikan menjadi beberapa kelas, sesuai dengan penutupan lahan yang terdapat di Kota Ambon. Selanjutnya peta tutupan lahan akan di overlay dengan peta tanah, yang akan menghasilkan kelas tutupan lahan berdasarkan jenis tanah. Dari hasil tersebut dapat diketahui nilai kurva (curve number) yang selanjutnya akan digunakan untuk menghitung kemampuan lahan untuk menyimpan air (Slahan). Nilai dari

Slahan ini nantinya akan digunakan untuk menghitung kebutuhan luas hutan kota

berdasarkan kebutuhan air.

3.3.3. Analisis data proram Pemerintah dan preferensi masyarakat terhadap prioritas pengembangan RTH

3.3.3.1. Program Pemerintah

Wawancara terhadap instansi terkait akan dilakukan dengan pihak BAPPEDA Kota Ambon, Dinas Kehutanan, Dinas Tata Ruang, serta Dinas Kebersihan dan Pertamanan Kota Ambon untuk memperoleh informasi mengenai keadaan hutan kota di Kota Ambon, dan juga bagaimana perhatian Pemerintah Daerah terhadap hutan kota tersebut. Selain itu pengumpulan data juga dilakukan melalui laporan-laporan yang diperoleh dari instansi-instansi tersebut.

Informasi yang ingin diperoleh dari hasil wawancara dan laporan-laporan dari instansi terkait tersebut diantaranya mengenai:

1. Rencana pengembangan wilayah Kota Ambon 2. Rencana pengembangan hutan kota di Kota Ambon 3. Jenis vegetasi yang ada di Hutan Kota Ambon 4. Keadaan Hutan Kota Ambon.


(50)

3.3.3.2. Pendapat Masyarakat

Untuk mengetahui pendapat dan perhatian masyarakat terhadap keberadaan dan pengembangan hutan kota di Kota Ambon, maka dilakukan wawancara terhadap masyarakat yang pemilihan respondennya dilakukan dengan cara Purpossive Random Sampling, dimana jumlah responden ditetapkan dari 5 kecamatan, dipilih 5 kelurahan secara acak sehingga domisili responden berada pada 25 wilayah administrasi kelurahan. Dari 25 kelurahan tersebut kemudian diambil 5 orang responden, sehingga responden masyarakat berjumlah 125 orang responden. Pemilihan kecamatan didasarkan pada: kepadatan penduduk, daerah terbangun, dan ruang terbuka hijau.

Data yang diperoleh dari hasil wawancara masyarakat akan dianalisis secara deskriptif.

4. Sintesis

Sintesis adalah tahap mengajukan program kebutuhan luas RTH berdasarkan ketersediaan air, serta pengusulan prioritas utama dan alternatif berdasarkan preferensi masyarakat terhadap pembangunan di Kota Ambon.

5. Rekomendasi Kebutuhan RTH Kota Ambon

Langkah terakhir adalah pembuatan rekomendasi luas RTH berdasarkan ketersediaan air dengan pertimbangan kriteria kebutuhan RTH dan preferensi masyarakat serta diselaraskan dengan tujuan dan Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Ambon.


(51)

4.1. Letak Geografis dan Wilayah Administrasi

Letak Kota Ambon berada sebagian di dalam wilayah Pulau Ambon. Secara geografis Kota Ambon berada pada 3o – 4o Lintang Selatan dan 128o – 129o Bujur Timur, dimana pada bagian utara berbatasan dengan petuanan Desa Hitu, Hila dan Kaitetu (Kecamatan Leihitu Kabupaten Maluku Tengah), sebelah Timur berbatasan dengan petuanan Desa Suli (Kecamatan Salahutu, Kabupaten Maluku Tengah), sebelah Barat berbatasan dengan petuanan Desa Hatu (Kecamatan Leihitu, Kabupaten Maluku Tengah), dan sebelah Selatan berbatasan dengan Laut Banda.

Kota Ambon mencakup wilayah seluas 377 Km2 dengan luas wilayah daratan 359,45 Km2 yang membujur di sepanjang pantai mengelilingi perairan Teluk Ambon dan Teluk Dalam.

Secara administratif, Kota Ambon terdapat di Provinsi Maluku, berdasarkan Peraturan Daerah Kota Ambon Nomor 2 Tahun 2006, terdiri dari 5 (lima) Kecamatan, yaitu Kecamatan Nusaniwe, Kecamatan Sirimau, Kacamatan Leitimur Selatan, Kecamatan Teluk Ambon Baguala, dan Kecamatan Teluk Ambon yang meliputi 20 Kelurahan dan 30 desa.

4.2. Kondisi Fisik Dasar 4.2.1. Topografi

Kota Ambon mempunyai wilayah yang sebagian besar terdiri dari daerah berbukit yang berlereng terjal dengan kemiringan di atas 20% seluas kurang lebih 186,9 Km2 atau 73%, dan daerah datar dengan kemiringan sekitar 10% seluas kira-kira 55 Km2 atau 17% dari luas seluruh wilayah daratannya. Kondisi topografi Kota Ambon dikelompokkan dalam 7 lokasi, yaitu:

° Pusat Kota dan sekitarnya (sebagian petuanan Desa Amahusu sampai Desa Latta) dengan areal ketinggian 0 – 50 m dan kemiringan 3,36o seluas 13,5 Km2 atau 5,44%.

° Rumah Tiga dan sekitarya dengan areal ketinggian 0 – 50 m dan kemiringan 3,19o seluas 4,5 Km2 atau 5,57%.


(52)

° Passo dan sekitarnya dengan areal ketinggian 0 – 50 m dan kemiringan 3,3o seluas 14,75 Km2 atau 4,74%.

° Laha dan sekitarnya dengan areal ketinggian 0 – 50 m dan kemiringan 3,93o seluas 4,25 Km2 atau 6,18%.

° Hutumuri dan sekitarnya dengan areal ketinggian 0 – 50 m dan kemiringan 6,16o seluas 4,25 Km2 atau 9,70%.

° Kilang dan sekitarnya dengan areal ketinggian 0 – 50 . dan kemiringan 5,66o seluas 3,5 Km2 atau 9,91%, sedangkan untuk ketinggian 5 – 250 m dengan kemiringan 6,56o seluas 3,25 Km2 atau 10,3%.

° Latuhalat dan sekitarnya dengan areal ketinggian 0 – 50 m dan kemiringan 5,4o seluas 4 Km2 atau 8,57%.

Di Kota Ambon terdapat 10 gunung, dan yang tertinggi adalah Gunung Nona, yaitu 600 m diatas permukaan laut, serta dialiri oleh 15 buah sungai, dan sungai yang terpanjang adalah Sungai Sikula (Way Sikula), yaitu sepanjang 15,5 Km.

4.2.2. Geologi dan Tanah

Berdasarkan peta Geologi dan Topografi Pulau Ambon oleh Veerbek dan Van Bos yang dibuat tahun 1898, jazirah Leitimur tersusun oleh dua bahan induk, yaitu Alluvium dengan luas 61,55 Ha atau 30,87% dari luas jasirah Leitimur, dan Koralkalk dengan luas 10,10 Ha atau 5,06%.

Di jasirah Leitimur terdapat dua bahan asal, yaitu Alluvial dan Denudasional yang terbagi menjadi dataran alluvial, perbukitan denudasional terkikis kecil, perbukitan denudasional terkikis sedang, dan perbukitan denudasional terkikis kuat.

Dataran alluvial merupakan bentuk lahan yang terdapat diantara daerah pantai dan daerah perbukitan.Formasi alluvium dan batu gamping merupakan bahan induk yang menyusun daerah ini dengan asosiasi jenis tanah serperti alluvial, regosol, rensina, podsolik, dan brunizem.

Perbukitan denudasional merupakan bentuk lahan yang paling luas di jasirah Leitimur, yaitu 2589 Ha atau 90,33% yang tersebar di daerah berombak seperti berbukit, Bentuk lahan ini dipengaruhi oleh proses geomorfologi seperti gerakan dalam perut bumi.


(53)

4.2.3. Iklim

Iklim di Kota Ambon adalah iklim laut tropis dan iklim musim, karena letak Pulau Ambon yang dikelilingi oleh laut. Oleh karena itu iklim disini sangat dipengaruhi oleh lautan dan berlangsung bersamaan dengan iklim musim di daerah ini, yaitu musim Barat atau Utara, dan musim Timur atau Tenggara. Kedua musim ini dikelilingi oleh musim pancaroba yang merupakan musim transisi dari kedua musim tersebut.

Musim Barat pada umumnya berlangsung dari bulan Desember sampai dengan bulan Maret, sedangkan bulan April adalah masa transisi ke musim Timur. Musim Timur berlangsung dari bulan Mei sampai dengan bulan Oktober disusul oleh masa pancaroba pada bulan November yang merupakan transisi ke musim Barat.

Berdasarkan data curah hujan, maka dalam tahun 2001 – 2005, curah hujan tertinggi terjadi pada tahun 2001 yaitu sebesar 3.674 mm dengan 208 hari hujan. Mengacu pada rata-rata curah hujan bulanan dalam 5 tahun terakhir, maka bulan basah (musim hujan) dengan curah hujan di atas 200 mm terjadi pada bulan April hingga Juli seiring dengan berlangsungnya Musim Timur, sedangkan bulan kering (musim panas) dengan curah hujan dibawah 200 mm terjadi dari bulan Oktober hingga Februari seiiring dengan berlangsungnya Musim Barat.

Sementara itu berdasarkan data Stasiun Meteorologi Ambon tahun 2001 – 2005, maka rata-rata temperatur di Kota Ambon adalah 26,6oC dengan kisaran suhu minimum adalah 23,8oC dan suhu maksimum 30,4oC; rata-rata kelembaban nisbi sekitar 76,6%; rata-rata lama penyinaran matahari adaah 53,6% dan rata-rata tekanan udara adalah 76,6 MB. Kecepatan angin rata-rata 3 knot dan terbanyak bertiup dari arah Barat Laut dan Tenggara, dengan kecepatan terbesar adalah 20 knot.

4.2.4. Hidrologi 4.2.4.1.Air Permukaan

Di Kota Ambon terdapat cukup banyak sungai yang mengalir dari pegunungan-pegunungan di tengah Pulau Ambon menuju ke arah perairan laut di sekeliling pulau namun kebanyakan sungai-sungai tersebut tidak terlalu besar, sehingga tidak semua sungai tercatat memiliki nama.


(1)

81

Urbanos BR. 1992. Handbook of Hidrology, In Hydrologic Design for Urban

Drainage and Flood Central, (Eds David R Maidment), McGraw Hill. New

York. Hal 28-47.

Yullyarty AH. 2004. Kajian Ruang Terbuka Hijau DKI Jakarta Untuk

Meningkatkan Ketersediaan Air Dalam Tanah. Skripsi. Jurusan Budidaya

Pertanian. Fakultas Pertanian IPB. Bogor.


(2)

Lampiran 1

Jumlah dan kebutuhan air domestik

tahun 2007, serta proyeksi jumlah penduduk dan kebutuhan air domestik tahun 2010,

2015, 2020, dan 2025

Proyeksi Jumlah Penduduk (jiwa) dan Kebutuhan Air (m3/thn)

Kecamatan Kelurahan/Desa 2007 2010 2015 2020 2025

Jumlah KA Jumlah KA Jumlah KA Jumlah KA Jumlah KA

Nusaniwe

Desa Latuhalat 8.409 425.096

9.079 458.989

10.318 521.588

11.725 592.724

13.324 673.562

Desa Seilale 1.222 61.775

1.319 66.700

1.499 75.797

1.704 86.135

1.936 97.882

Desa Nusaniwe 2.842 143.670

3.069 155.125

3.487 176.282

3.963 200.324

4.503 227.645

Desa Amahusu 4.424 223.644

4.777 241.475

5.428 274.409

6.169 311.834

7.010 354.363

Kelurahan Nusaniwe 6.159 311.353

6.650 336.177

7.557 382.026

8.588 434.128

9.759 493.337

Kelurahan Benteng 13.467 680.791

14.541 735.070

16.524 835.322

18.777 949.246

21.338 1.078.708

Kelurahan Wainitu 7.436 375.908

8.029 405.879

9.124 461.235

10.368 524.140

11.782 595.625

Kelurahan Kudamati 16.429 830.527

17.739 896.745

20.158 1.019.047

22.907 1.158.028

26.032 1.315.965

Desa Urimessing 6.139 310.342

6.628 335.085

7.532 380.786

8.560 432.719

9.727 491.735

Kelurahan Mangga Dua 3.769 190.532

4.070 205.723

4.625 233.781

5.255 265.665

5.972 301.897

Kelurahan Urimessing 1.886 95.342

2.036 102.944

2.314 116.983

2.630 132.938

2.988 151.069

Kelurahan Waihaong 5.768 291.587

6.228 314.835

7.077 357.773

8.042 406.568

9.139 462.018

Kelurahan Silale 4.810 243.158

5.194 262.544

5.902 298.351

6.707 339.042

7.621 385.282

SUB-TOTAL 82.760 4.183.725

89.358 4.517.292

101.546 5.133.379

115.395 5.833.491

131.133 6.629.086

Sirimau Desa Soya 7.131 360.490

7.700 389.232

8.750 442.317

9.943 502.642

11.299 571.194

Kelurahan Waihoka 3.654 184.719

3.945 199.446

4.483 226.648

5.095 257.559


(3)

Kelurahan Karang Panjang 6.718 339.612

7.254 366.689

8.243 416.699

9.367 473.531

10.645 538.113

Kelurahan Batu Meja 9.674 489.045

10.445 528.036

11.870 600.052

13.489 681.890

15.328 774.889

Kelurahan Batu Gajah 6.061 306.399

6.544 330.828

7.437 375.947

8.451 427.221

9.604 485.487

Kelurahan Ahusen 3.500 176.934

3.779 191.041

4.294 217.096

4.880 246.704

5.546 280.350

Kelurahan Honipopu 4.470 225.970

4.826 243.986

5.485 277.262

6.233 315.076

7.083 358.048

Kelurahan Uritetu 4.175 211.057

4.508 227.884

5.123 258.964

5.821 294.283

6.615 334.418

Kelurahan Rijali 5.071 256.352

5.475 276.791

6.222 314.540

7.071 357.439

8.035 406.188

Kelurahan Amantelu 5.335 269.698

5.760 291.201

6.546 330.916

7.439 376.047

8.453 427.334

Desa Batu Merah 36.608 1.850.626

39.527 1.998.176

44.918 2.270.695

51.044 2.580.382

58.005 2.932.305

Kelurahan Pandan Kasturi 4.867 246.039

5.255 265.656

5.972 301.887

6.786 343.059

7.712 389.847

Desa Hative Kecil 6.411 324.092

6.922 349.932

7.866 397.657

8.939 451.891

10.158 513.522

Desa Galala 1.335 67.488

1.441 72.868

1.638 82.806

1.861 94.100

2.115 106.934

SUB-TOTAL 105.010 5.308.518

113.382 5.731.765

128.846 6.513.487

146.419 7.401.823

166.388 8.411.314

Teluk Ambon

Desa Laha 3.693 186.690

3.987 201.575

4.531 229.067

5.149 260.308

5.852 295.810

Desa Tawiri 4.709 238.052

5.084 257.032

5.778 292.087

6.566 331.923

7.461 377.191

Desa Hative Besar 5.610 283.600

6.057 306.211

6.883 347.973

7.822 395.431

8.889 449.362

Desa Wayame 4.362 220.510

4.710 238.091

5.352 270.563

6.082 307.464

6.912 349.397

Desa Rumah Tiga 5.191 262.418

5.605 283.341

6.369 321.984

7.238 365.897

8.225 415.800

Kelurahan Tihu 217 10.970

234 11.845

266 13.460

303 15.296

344 17.382

Desa Poka 2.638 133.357

2.848 143.990

3.237 163.628

3.678 185.944

4.180 211.304

Desa Hunuth / Durian Patah 1.570 79.367

1.695 85.695

1.926 97.383

2.189 110.664


(4)

SUB-TOTAL 27.990 1.414.964

30.222 1.527.779

34.343 1.736.144

39.027 1.972.927

44.350 2.242.002

TA Baguala

Desa Waiheru 8.672 438.391

9.363 473.344

10.640 537.901

12.092 611.262

13.741 694.628

Desa Nania 2.544 128.606

2.747 138.859

3.121 157.797

3.547 179.319

4.031 203.775

Desa Negeri Lama 1.349 68.195

1.457 73.633

1.655 83.675

1.881 95.087

2.137 108.055

Desa Passo 18.617 941.136

20.101 1.016.172

22.843 1.154.762

25.958 1.312.253

29.499 1.491.224

Kelurahan Lateri 4.637 234.412

5.007 253.102

5.690 287.621

6.466 326.847

7.347 371.424

Desa Halong 9.995 505.272

10.792 545.557

12.264 619.963

13.936 704.516

15.837 800.601

Desa Latta 1.335 67.488

1.441 72.868

1.638 82.806

1.861 94.100

2.115 106.934

SUB-TOTAL 47.149 2.383.500

50.908 2.573.536

57.851 2.924.525

65.741 3.323.384

74.707 3.776.641

Leitimur Selatan

Desa Naku 690 34.881

745 37.662

847 42.799

962 48.636

1.093 55.269

Desa Kilang 916 46.306

989 49.998

1.124 56.817

1.277 64.566

1.451 73.372

Desa Hukurila 577 29.169

623 31.494

708 35.790

805 40.671

914 46.218

Desa Ema 778 39.330

840 42.466

955 48.257

1.085 54.839

1.233 62.318

Desa Hatalae 961 48.581

1.038 52.454

1.179 59.608

1.340 67.738

1.523 76.976

Desa Hutumuri 3.767 190.431

4.067 205.614

4.622 233.657

5.252 265.524

5.969 301.737

Desa Rutong 770 38.925

831 42.029

945 47.761

1.074 54.275

1.220 61.677

Desa Leahari 604 30.534

652 32.968

741 37.464

842 42.574

957 48.380

SUB-TOTAL 9.063 458.157

9.786 494.686

11.120 562.153

12.637 638.822

14.360 725.947 TOTAL 271.972 13.748.865

293.656 14.845.059

333.706 16.869.689

379.219 19.170.446


(5)

Lampiran 2

Perkiraan jumlah dan kebutuhan air industri tahun 2010, 2015, 2020, dan 2025

Tahun

Sirimau Nusaniwe TA Baguala

RT Kecil Sedang RT Kecil Sedang RT Kecil Sedang

Jumlah KA Jumlah KA Jumlah KA Jumlah KA Jumlah KA Jumlah KA Jumlah KA Jumlah KA Jumlah KA 2010 179 108363 125 59674 10 10687 58 13811 32 21602 6 27655 57 26268 23 6092 0 0 2015 309 194253 215 104702 13 12768 99 25626 55 37200 9 33503 102 49070 39 9815 0 0 2020 439 280143 305 149731 16 14848 140 37441 78 52799 12 39350 147 71871 56 13538 0 0 2025 569 366033 395 194759 19 16929 181 49256 101 68397 15 45197 192 94673 72 17261 0 0

Tahun

Teluk Ambon Leitimur Selatan

RT Kecil Sedang RT Kecil Sedang

Jumlah KA Jumlah KA Jumlah KA Jumlah KA Jumlah KA Jumlah KA

2010 0 0 0 0 0 0 0 0 2 350 0 0

2015 0 0 0 0 0 0 0 0 3 679 0 0

2020 0 0 0 0 0 0 0 0 5 1007 0 0


(6)

Lampiran 3

Nilai CN untuk tiap tutupan lahan dan jenis tanah serta hasil S

lahan

dan nilai SP

Tutupan lahan

Kelompok Hidrologi Tanah

Total CN*

S

lahan

(m3/ha/thn)

S (m3/thn)

A C

Luas CN Luas CN

Bakau -

-

59,26

-

59,26

-

-

-

Daerah perdagangan dan perkotaan

15,97

89,00

425,59

92,00

441,56

91,89

22,41

9.896,59

Daerah

industri

4,12 81,00 31,38 91,00 35,50 89,84 28,73 1.019,74

Permukiman 362,16

57,00

2.004,32

72,00 2.366,47 69,70 110,40 261.248,39

Lapangan

-

39,00 17,39 61,00 17,39 61,00 162,39 2.823,21

Hutan 1.799,03

25,00

10.480,34

70,00

12.279,37 63,41 146,59 1.799.981,60

Jalan 0,19

98,00

43,16

98,00

43,36 98,00 5,18 224,75

Kolam

- - 6,19 - 6,19 - -

-

Tanah kosong

1,89

77,00

238,11

91,00

239,99

90,89

25,46

6.110,08

Makam

8,78 39,00 22,83 74,00 31,60 64,28 141,14 4.460,06

Perkebunan 348,61

25,00

1.764,05

70,00 2.112,66 62,57 151,92 320.946,85

Perkebunan campuran

237,44

25,00

7.110,87 70,00 7.348,32 68,55 116,55 856.478,72

Pertanian lahan kering

230,93

65,00

2.446,52 82,00 2.677,45 80,53 61,40 164.384,16

Rawa

- - 4,14 - 4,14 - -

-

Semak 495,41

68,00

1.354,05

86,00

1.849,46 81,18 58,89 108.916,93

Sungai 0,34

-

48,52

-

48,86

-

-

-

Taman -

39,00

4,52

74,00

4,52

74,00

89,24

402,93