sosial, serta sebagai cadangan untuk pengembangan Ruang Terbuka Hijau RTH kota dalam pembangunan kota jangka panjang Purnomohadi, 1987.
Perbedaan yang nyata dengan unsur terbuka hijau yang lain adalah bahwa tegakan pepohonan dan semak belukar dalam hutan dikelola sesuai dengan sifat
hutan, yaitu tidak berdiri sendiri, hingga satu kelompok tegakan dengan yang lainnya terjadi dalam suatu komunitas yang sesuai atau, paling tidak, mirip dengan
ekosistem hutan alami. Namun sesuai dengan nilai-nilai urbanity maka ada keterbatasan dalam pembentukan hutan kota tersebut seirama dengan
perkembangan kota yang terjadi serta berbagai aspek kehidupan yang menyangkut kehidupan penduduk kota. Tanaman yang ada harus asosiatif, dimana akan
terdapat saling interaksi dalam mencapai suatu keseimbangan. Oleh karena itu perlu ditentukan berapa jenis minimum vegetasi yang tumbuh, baru dapat disebut
sebagai hutan kota. Tanaman dalam pot tidak dapat dikatakan hutan kota, karena jika tidak ada manusia, tanaman pot itu akan mati. Hutan kota harus berinteraksi
langsung dengan lingkungannya, yaitu tanah, air, dan air tanah.
2.5. Pengelolaan Hutan Kota
Program hutan kota adalah kegiatan khusus kehutanan yang bertujuan mengelola vegetasi kayu pohon bagi kepentingan kesejahteraan fisiologis, sosial
dan ekonomi masyarakat perkotaan. Tercakup dalam rumusan tersebut ialah program komperhensif untuk mendidik penduduk kota tentang peranan vegetasi
berkayu pohon di dalam lingkungan perkotaan. Dalam pengertian yang lebih luas lagi, program tersebut merupakan sistem pengelolaan dan kegunaan yang
mencakup daerah-daerah perkotaan, silvikultur, dan produksi kayu serat Society of American Foresters, 1974.
Hutan kota memerlukan suatu pengelolaan yang tertib agar keberadaan dan fungsinya terpelihara sepanjang masa. Pengelolaan hutan kota melibatkan 3 tiga
unsur, yaitu individu, masyarakat, dan pemerintah kota. Pemerintah dalam hal ini Dinas Pertamanan Kota atau Dinas Kehutanan, harus membuat perencanaan hutan
kota untuk lahan yang tersedia di lahan milik pemerintah maupun lahan milik masyarakat atau individu. Setiap unit lahan yang berada pada suatu hutan kota
harus dibuatkan perencanaannya oleh pemerintah, kemudian jika lahan itu milik
masyarakat, pelaksanaannya diserahkan kepada masyarakat, dan jika lahan milik individu, maka pelaksanaannya dilaksanakan oleh individu dengan bimbingan
teknis dari pemerintah agar dapat terlaksana secara benar Fakuara, 1986. Menurut Grey dan Deneke 1978 ada tiga macam kegiatan dalam
pengelolaan hutan kota, yaitu: 1. Penanaman
Penanaman harus mempunyai prioritas tertinggi, terutama setelah kegiatan penebangan pohon-pohon yang sudah tua mati. Kegiatan penanaman ini harus
memperhatikan komposisi jenis, lokasi, dan desain. 2. Pemeliharaan
Pemeliharaan hutan kota dapat didefinisikan sebagai penerapan kebutuhan- kebutuhan praktis bagi kesehatan yang layak, kekuatan, dan sesuai dengan
lingkungan perkotaan. Kegiatan pemeliharaan meliputi pengendalian pertumbuhan, perusakan, serta serangga dan penyakit.
3. Pembersihan Kegiatan pembersihan meliputi penyingkiran pohon-pohon yang mati dan
membahayakan baik secara fisik berupa posisi yang tidak menguntungkan, maupun karena merupakan sumber penyakit, serta pohon-pohon yang terlalu
berdesakan. Dalam studi kajian perencanaan aspek yang diteliti meliputi: lokasi, fungsi
dan pemanfaatan, aspek teknik silvikultur,arsitektur lansekap, sarana dan prasarana, teknik pengelolaan lingkungan. Bahan informasi yang dibutuhkan
dalam studi meliputi: 1 Data fisik letak, wilayah, tanah, iklim, dan lain-lain; 2 Sosial ekonomi aktivitas di wilayah bersangkutan dan kondisinya; 3
Keadaan lingkungan lokasi dan sekitarnya; 4 Rencana pembangunan wilayah RUTR, RTK, RTH; serta 5 Bahan-bahan penunjang lainnya Dahlan,1992.
Hasil studi berupa Rencana Pembangunan Hutan Kota terdiri dari tiga bagian Dahlan, 1992, yakni:
1. Rencana jangka panjang, yang memuat gambaran tentang hutan kota yang dibangun, serta target dan tahapan pelaksanaannya.
2. Rencana detail yang memuat desain fisik atau rancang bangun untuk masing- masing komponen fisik hutan kota yang hendak dibangun, serta tata letaknya.
3. Rencana tahun pertama kegiatan, meliputi rencana fisik dan biayanya.
Sumber: Fakultas Kehutanan IPB dalam Dahlan, 1992
Gambar 2 Organisasi pengelolaan hutan kota
Organisasi pembangunan dan pengelolaan hutan kota sangat bergantung kepada perangkat yang ada dan keperluannya. Sistem pengorganisasian
pembangunan dan pengelolaan hutan kota dapat dilihat pada Gambar 2. Walikota atau Bupati sebagai kepala wilayah bertanggung jawab atas pembangunan dan
pengembangan hutan kota di wilayahnya. Bidang perencanaan pengendalian dipegang oleh Bappeda Tingkat II yang dibantu oleh tim pembina yang terdiri dari
Penanggung Jawab
• Kepala Wilayah Walikota Bupati
Pelaksana
• Dinas Tata Kota • Dinas Pertamanan
• Dinas Perkebunan • Dinas Kehutanan
• Perusahaan Negara
• Swasta • Perorangan
Pembina • Bapedalda
Dibantu oleh: • Kanwil
Dephut • Kanwil
Deptan • Kanwil
Depkes • Kanwil Dep.
PU • Instansi
Agraria • BKLH
Perencanaan
• Bappeda • Bapedalda
Kanwil Departemen Kehutanan, Kanwil Departemen Pertanian dan Perkebunan, Kanwil Departemen Pekerjaan Umum, Kanwil Departemen Kesehatan, Biro
Kependudukan dan Lingkungan Hidup, dan yang lainnya menurut kebutuhan masing-masing kota dan daerah. Untuk pelaksanaannya dapat ditunjuk dinas-dinas
yang berada di wilayahnya. Pengelolaan hutan kota pada areal yang dibebani hak milik diserahkan
kepada pemiliknya, namun dalam pelaksanaannya harus memperhatikan petunjuk dari bidang perencanaan dan pengendalian. Guna memperlancar pelaksanannya
perlu dipikirkan jasa atau imbalan apa yang dapat diberikan oleh pemerintah kepada yang bersangkutan.
2.6. Pengertian Air