Analisis kebutuhan hutan kota untuk menjaga ketersediaan air di Kota Sintang

(1)

ANALISIS KEBUTUHAN HUTAN KOTA UNTUK MENJAGA

KETERSEDIAAN AIR DI KOTA SINTANG

AGUS RULIYANSYAH

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2009


(2)

PERN YATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Analisis Kebutuhan Hutan Kota untuk menjaga Ketersediaan Air Di Kota Sintang adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau kutipan dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Agustus 2009

Agus Ruliyansyah


(3)

ABSTRACT

AGUS RULIYANSYAH. The Analyse of Needs of Urban Forest to Keep

Water Supply in Sintang City. Under direction of ALINDA F. M. ZAIN and ENDES N. DAHLAN.

The increasing amount of people in town causes increasing needs of space. The uncontrolled land cover change causes the forests which covered by nature vegetation before, change becomes open area. The effect of that activity is decreased rain intercept area. Water needs for people in Sintang city will be increasing together with the increasing amount of people therefore the water supply should be looked after. To keeps the water supply, the effort which can be done is build the urban forest.

From the Landsat Image interpretation result of Sintang city since 2001-2008, we found that covered land which has a wide descent are forest and open area. Meanwhile, the medley garden, residence and bush are increase. Needs of urban forest based on Permendagri No.01 Year 2007 is about 918 ha, based on

UU No.26 Year 2007 is about 1.376 ha and PP RI No.63 Year 2002 is about 459 ha. Needs of urban forest for 2042 is about 2.184 ha. Potential space to

build urban forest is about 1.516 ha. The result of examination shows that land allocation to keeps the water supply in Sintang City in 2042 is very wide, for that reason the government should repair the infrastructure of water manufacturing and decrease population growth rate start from now thus the pressure of water land usage by society can be reduced.


(4)

RINGKASAN

AGUS RULIYANSYAH. Analisis Kebutuhan Hutan Kota untuk Menjaga Ketersediaan Air di Kota Sintang. Dibimbing oleh ALINDA F. M. ZAIN dan ENDES N. DAHLAN.

Perkembangan Kota Sintang diikuti dengan perubahan penutupan dan penggunaan lahan seperti dibukanya lahan-lahan baru untuk bangunan dan jalan. Ketimpangan dalam pemanfaatan lahan menyebabkan perubahan lahan yang tidak terkendali sehingga kawasan hutan yang semula dilindungi oleh vegetasi alami berubah menjadi kawasan terbuka. Perubahan tata guna lahan tersebut mengubah karakteristik hidrogeografis kawasan tersebut dan secara langsung mengancam tata guna airnya.

Bertambahnya jumlah penduduk juga meningkatkan kebutuhan sumber daya alam seperti kebutuhan air bersih. Air tawar yang bersih sangat diperlukan oleh manusia untuk keperluan minum, masak, mandi, menyiram tanaman, mencuci pakaian, membersihkan rumah dan mobil. Berdasarkan hasil pengukuran kualitas air oleh Bapedalda tahun 2006 pada Sungai Kapuas dan Sungai Melawi yang menjadi sumber air baku PDAM menunjukkan bahwa kualitas air tersebut di atas abang batas yang telah ditetapkan pemerintah tentang Standar Kualitas Air di Perairan Umum.

Total kapasitas produksi dari 121 liter/detik atau setara dengan 3.815.856 m3/tahun. Jangkauan pelayanan PDAM rendah karena baru dapat melayani 30% dari sasaran pengguna air bersih di perkotaan. Belum maksimalnya kapasitas produksi air bersih PDAM Kota Sintang menyebabkan konsumen belum dapat terlayani secara maksimal. Proyeksi kekurangan pasokan air bagi masyarakat Kota Sintang yang dilakukan oleh Bappeda Kota Sintang untuk tahun 2011 sebesar 5.133.668 liter/hari dan pada tahun 2016 menjadi 10.604.180 liter/hari.

Kualitas air yang dihasilkan tidak bagus, jangkauan pelayanan yang masih rendah serta waktu pengaliran air tidak 24 jam menyebabkan banyak pelanggan berhenti berlangganan dengan PDAM. Masyarakat yang tidak terlayani PDAM mengusahakan sendiri dengan membuat sumur bor, kolam, dan memanfaatkan air hujan. Peningkatan penggunaan sumur bor menyebabkan peningkatan penggunaan air tanah.

Menjaga ketersediaan dan meningkatkan air tanah dapat dilakukan dengan cara membangun hutan kota. Hutan kota memilik i derajat kerembesan tanah yang jauh lebih tingg i dibandingkan dengan jenis permukaan lainnya. Menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 63 Tahun 2002 tentang Hutan Kota, disebutkan bahwa Hutan Kota adalah suatu hamparan lahan yang bertumbuhan pohon-pohon yang kompak dan rapat di dalam wilayah Perkotaan, baik pada tanah negara maupun tanah hak, yang ditetapkan sebagai Hutan Kota oleh pejabat yang berwenang.

Untuk mengetahui seberapa luas hutan kota yang diperlukan maka dilakukan penelitian “Analisis Kebutuhan Hutan Kota untuk Menjaga Ketersedian Air Di Kota Sintang” berdasarkan Undang-Undang, Peraturan Pemerintah dan kebutuhan air bersih masyarakat Kota Sintang. Hasil perhitungan tersebut disesuaikan dengan kondisi ruang terbuka hijau yang ada sekarang dan Rencana Detail Tata Ruang Kota sehingga diperoleh luas hutan kota yang dibutuhkan sesungguhnya.


(5)

Dari beberapa uraian di atas maka penelitian ini secara umum bertujuan menentukan luas hutan kota untuk menjaga ketersediaan air di Kota Sintang. Untuk mencapai tujuan umum tersebut maka ada beberapa tujuan khusus lainnya yaitu:

(1). Mengidentifikasi laju perubahan lahan hutan dan lahan terbangun. (2). Mengidentifikasi kebutuhan dan ketersediaan air bersih di Kota Sintang, dan

(3). Mengidentifikasi potensi hutan kota di Kota Sintang.

Hasil interpretasi pada Citra Landsat pada tahun 2001, 2004, 2006 dan 2008 dapat dikatahui bahwa penutupan lahan tahun 2001 didominansi oleh hutan sebesar 39% dari luas wilayah. Selanjutnya berturut-turut: kebun campuran 28% , pemukiman 15% , tubuh air 10% , lahan terbuka 6% dan semak belukar 2%. Sedangkan penutupan lahan untuk tahun 2008 didominasi oleh kebun campuran sebesar 42% dari luas wilayah, diikuti oleh pemukiman 23%, hutan 17% , tubuh air 11%, lahan terbuka 4% dan semak belukar 3%.

Proporsi luas terbangun dari tahun 2001 hingga tahun 2008 menunjukkan

pertambahan yang linier dengan persamaan Y = 1,121x − 229 dengan nilai R2 = 0,989. Sedangkan Proporsi luas hutan dari tahun 2001 hingga tahun 2008

menunjukkan penurunan yang linier dengan persamaan Y = -3,121x + 6283 dengan nilai R2 = 0,947. Berdasarkan persamaan tersebut di ketahui bahwa luas lahan terbangun maksimal (60% dari luas kota) di Kota Sintang akan terjadi pada tahun 2042. Sedangkan luasan hutan akan terus menurun hingga akan tersisa 213 ha pada tahun 2012.

Dari aspek kebijakan diketahui bahwa standar pemerintah tentang luasan Ruang Terbuka Hijau Hutan Kota di Perkotaan tidak tetap. Masing-masing peraturan menetapkan luasan yang berbeda. Berdasarkan PP No. 63 Tahun 2002 didapat luas kebutuhan hutan kota di Kota Sintang adalah 459 ha. Berdasarkan Permendagri No. 01 Tahun 2007 luas kebutuhan hutan kota di Kota Sintang adalah seluas 918 ha. Sedangkan berdasarkan UU No. 26 Tahun 2007, luas Ruang hutan kota untuk Kota Sintang seluas 1.376 ha.

Hasil kajian RTDR Kota Sintang diketahui bahwa Pemerintah Daerah telah memiliki komitmen pengalokasian ruang untuk Ruang Terbuka Hijau dan Hutan Kota. Pada tingkat Rencana Detail Tata Ruang Kota, rencana penanganan lingkungan diwujudkan dengan penyempurnaan fungsi Hutan Kota Baning, mengalokasikan jalur-jalur hijau pada kawasan sempadan sungai, dan kawasan sempadan jalan.

Jumlah penduduk Kota Sintang pada tahun 2007 adalah 50.803 jiwa. Rata-rata pertumbuhan diambil dari kecenderungan pertumbuhan dalam kurun waktu tujuh tahun terakhir (tahun 2001 s.d. 2007) yaitu sebesar 3,8%. Hasil proyeksi jumlah penduduk dan kebutuhan air Kota Sintang dengan mengasumsikan kebutuhan air per orang 262 liter/hari diketahui bahwa kebutuhan air bersih Kota Sintang pada tahun 2009 sebesar 5.205.906 m3. Kebutuhan air akan terus meningkat sehingga pada tahun 2025 mencapai 7.987.591 m3.

Kapasitas produksi PDAM tiga tahun terakhir adalah 3.815.856 m3/tahun dengan rata-rata jumlah produksi tiga tahun terakhir tersebut sebesar 2.349.450 m3/tahun. Sedangkan hasil pengukuran potensi air tanah oleh Direktorat Jenderal Sumber Daya Air Departemen Pekerjaan Umum diketahui bahwa potensi air tanah Kota Sintang sebesar 4.279.288 m3/tahun.

Pada tahun 2001 luas hutan di Kota Sintang sebesar 1.805 ha, dengan kemampuan per hektar hutan dapat menyimpan air sebesar 1.800 m3 maka pada tahun 2001 kemampuan menyimpan air sebesar 3.249.000 m3. Namun pada tahun-tahun berikutnya terjadi penurunan kemampuan menyimpan air akibat dari luas hutan yang berkurang. Pada tahun 2008 kemampuan menyimpan air sebesar 1.416.600 m3.


(6)

Sedangkan mulai pada tahun 2012 luas hutan di Kota Sintang akan tetap karena yang tersisa hanya Hutan Kota Baning saja yaitu seluas 213 ha, sehingga kemampuan menyimpan air juga akan tetap yaitu 383.400 m3.

Pembandingan antara kebutuhan dan ketersediaan air bersih akan mencapai titik keseimbangan pada tahun 2019. Pada tahun tersebut juga merupakan batas maksimal kota dapat menyediakan air bersih untuk 72.618 warganya. Sehingga untuk kebutuhan tahun-tahun berikutnya akan terjadi kekurangan air bersih. Pada tahun 2020 akan terjadi kekurangan air sebesar 106.177 m3. Sedangkan tahun 2025, kekurangan air bersih mencapai 975.453 m3.

Untuk dapat memperkirakan luas kebutuhan hutan kota yang tepat maka juga dipertimbangkan batas maksimal laju pertambahan lahan terbangun di Kota Sintang. Berdasar prediksi luas lahan terbangun yang telah dilakukan dengan persamaan Y = 1,121x − 229 diketahui bahwa luas terbangun akan mencapai puncaknya pada tahun 2042. Pada tahun itu pula diketahui bahwa jumlah penduduk Kota Sintang akan mencapai 114.432 jiwa.

Hasil perhitungan menunjukkan bahwa kebutuhan hutan kota mencapai 1.315 ha atau 30% luas kota pada tahun 2033. Pada tahun 2042 kebutuhan air warga kota mencapai 10.943.132 m3 sehingga untuk menjaga ketersediaan air tersebut, dibutuhan hutan kota seluas 2.184 ha. Untuk memenuhi kebutuhan hutan kota seluas 2.184 ha sangat sulit karena telah mencapai 47% dari luas Kota Sintang.

Potensi lahan yang dapat dimanfaatkan untuk membangun hutan kota di Kota Sintang adalah Hutan Kota Baning yang ditetapkan berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan Republik Indonesia Nomor 405/Kpts-II/99 pada tanggal 14 Juni 1999 mempunyai luas 213 ha dan hutan alami yang belum mempunyai status seluas 574 ha. Pemanfaatkan sempadan sungai diperoleh lahan potensial untuk pembangunan hutan kota seluas 251 ha. Pemanfaatan sempadan jalan diperoleh luasan total hutan kota sebesar 273 ha. Serta luas total lahan bekas penambangan emas yang dapat dimanfaatkan seluas 205 ha. Total keseluruhan lahan yang berpotensi untuk membangun hutan kota yaitu 1.516 ha atau 33% dari luas Kota Sintang.

Selain melakukan penambahan luas hutan kota, pemerintah juga harus melakukan tindakan lainnya seperti usaha menurunkan angka pertambahan penduduk serta melakukan perbaikan pengolahan air bersih sehingga tekanan penduduk terhadap pemanfaatan air tanah dalam jumlah besar dapat dikurangi.

Hutan kota yang akan dibangun di Kota Sintang diarahkan ke hutan kota berstruktur banyak dengan tipe-tipe hutan kota: tipe pemukiman, tipe perlindungan, tipe pengaman, tipe pelestarian plasma nutfah, dan tipe rekreasi dan keindahan. Jenis tanaman dipilih yang mempunyai kemampuan meningkatkan kandungan air tanah. Jenis tanaman tersebut dicirikan dengan sistem perakaran tanaman yang dalam dan menyebar serta menghasilkan banyak serasah yang akan berubah menjadi humus sehingga memperbesar jumlah pori tanah. Serta jenis tanaman yang mempunyai kemampuan evapotranspirasi yang rendah.

Penggunaan jenis tanaman lokal untuk pembangunan hutan kota lebih diutamakan karena jenis tanaman lokal memiliki keuntungan yaitu telah beradaptasi dengan kondisi agroklimat Kota Sintang, penggunaan tanaman lokal juga berarti telah melakukan pelestarian plasma nutfah serta tanaman lokal memiliki ciri khas tersendiri yang dapat dijadikan sebagai ciri khas Kota Sintang.Beberapa jenis tanaman lokal di Kota Sintang adalah: ramin (Gonystilus bancanus sp), jelutung (Diera lawii), resam (Glyhenis linearis), rengas (Gluta renghas sp), medang (Litsea firma sp), mentibu (Dacty locladusstenos), dan pulai (Alstoniaschoolaris).


(7)

© Hak Cipta milik IPB, tahun 2009 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa seizin IPB.


(8)

ANALISIS KEBUTUHAN HUTAN KOTA UNTUK MENJAGA

KETERSEDIAAN AIR DI KOTA SINTANG

AGUS RULIYANSYAH

Tesis

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Mayor Arsitektur Lanskap

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2009


(9)

(10)

(11)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala berkat dan rahmat-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan September 2008 sampai Juni 2009 di Kota Kabupaten Sintang Kalimantan Barat ini adalah hutan kota, dengan judul Analisis Kebutuhan Hutan Kota untuk Menjaga Ketersediaan Air di Kota Sintang.

Penulisan karya ilmiah ini tidak terlepas dari bantuan dan dukungan dari berbagai pihak. O leh sebab itu, pada kesempatan ini penulis menghaturkan rasa terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya kepada Dr. Ir. Alinda Fitriany M. Zain, M.Si selaku ketua komisi pembimbing dan Dr. Ir. Endes N. Dahlan, MS selaku anggota komisi pembimbing atas segala motivasi, arahan dan bimbingan

yang diberikan mulai dari tahap awal hingga penyelesaian tesis ini, serta Dr. Ir. Aris Munandar, MS selaku penguji luar komisi yang telah memberikan

koreksi dan masukan bagi penyempurnaan tesis ini. Disamping itu, penghargaan dan terima kasih penulis haturkan kepada Prof. Dr. Ir. Hadi Susilo Arifin, MS selaku ketua Program Mayor Arsitektur Lanskap IPB, Universitas Tanjungpura Pontianak atas kesempatan yang diberikan kepada penulis untuk melanjutkan pendidikan, Dinas Pendidikan berserta jajarannya atas kesempatan beasiswa yang diberikan kepada penulis, Pemerintah Daerah Kota Sintang yang telah memberikan izin kepada penulis untuk melaksanakan penelitian, rekan-rekan Arsitektur Lanskap angkatan 2007 atas segala do’a, dukungan dan kebersamaannya selama proses belajar hingga selesai, dan pihak-pihak lain yang tidak bisa disebutkan satu-persatu yang telah membantu dalam penyelesaian tesis ini.

Akhirnya ucapkan terima kasih yang setinggi-tingginya juga disampaikan kepada ayahanda, ibunda, dan kedua saudaraku serta seluruh keluarga, atas segala do’a, dukungan, pengertian dan kasih sayangnya.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Agustus 2009


(12)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Pontianak pada tanggal 17 Juni 1980 dari pasangan M. Yani Muhammad dan Rustini. Penulis merupakan putra kedua dari tiga bersaudara. Pendidikan SD hingga SMU diselesaikan di kota kelahiran. Pendidikan sarjana ditempuh pada Jurusan Budidaya Pertanian Fakultas Pertanian Universitas Tanjungpura di Pontianak dan lulus tahun 2004. Pada tahun 2006 penulis diterima sebagai Staf Pengajar di Fakultas Pertanian Universitas Tanjungpura. Kesempatan untuk melanjutkan pendidikan pada Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor diperoleh pada tahun 2007 dan diterima pada Program Mayor Arsitektur Lanskap melalui beasiswa pendidikan dari Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional (BPPS).


(13)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... xiv

DAFTAR GAMBAR ... xv

DAFTAR LAMPIRAN ... xvi

1 PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Perumusan Masalah ... 5

1.3 Tujuan Penelitian ... 5

1.4 Manfaat Penelitian ... 6

1.5 Kebaharuan Penelitian ... 6

2 TINJAUAN PUSTAKA ... 7

2.1 Perubahan Lahan/Penggunaan Lahan Di Kota ... 7

2.2 Deteksi Perubahan Lahan/Penggunaan Lahan... 9

2.3 Hidrologi ... 10

2.3.1 Siklus Hidrologi ... 10

2.3.2 Air Tanah ... 11

2.3.3 Infiltrasi... 12

2.3.4 Konservasi Air ... 13

2.4 Hutan Kota ... 14

2.5 Fungsi Hutan Kota sebagai Pengelola Air Tanah ... 14

3 METODE PEN ELITIAN ... 16

3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian ... 16

3.2 Alat dan Bahan ... 17

3.3 Metode Penelitian ... 18

3.3.1 Inventarisasi ... 19

3.3.2 Analisis Spasial dan Temporal ... 19

3.3.3 Analisis Kebijakan ... 22

3.3.4 Analisis Kebutuhan Hutan Kota berdasarkan Kebutuhan Air 26 3.3.5 Rekomendasi Kebutuhan Hutan Kota di Kota Sintang ... 27

4 KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN ... 28

4.1 Letak dan Luas Wilayah ... 28

4.2 Topografi ... 29

4.3 Geohidroklimatologi ... 29

4.4 Jenis Tanah ... 31


(14)

4.6 Kondisi Eksisting Hutan Kota dan RTH Kota Sintang ... 33

4.6.1 Hutan Kota ... 33

4.6.2 Jalur Sempadan Sungai dan Parit ... 35

4.6.3 Taman Kota ... 36

4.6.4 Taman Pemakaman Umum... 37

4.6.5 Taman Rumah/Perkarangan... 37

5 HASIL DAN PEMBAHASAN ... 38

5.1 Analisis Penutupan Lahan ... 38

5.2 Analisis Standar Kebutuhan Ruang Terbuka Hijau Hutan Kota ... 44

5.3 Analisis Rencana Detail Tata Ruang Kota Sintang ... 46

5.3.1 Penyempurnaan Fungsi Hutan Baning ... 47

5.3.2 Jalur Hijau Sempadan Jalan ... 48

5.3.3 Jalur Hijau Sepanjang Sungai ... 48

5.4 Analisis Ketersediaan Air ... 48

5.4.1 Kebutuhan Air Bersih... 49

5.4.2 Penyediaan Air Bersih... 50

5.4.3 Selisih Kebutuhan dan Ketersediaan Air Bersih ... 55

5.5 Analisis Kebutuhan Hutan Kota Sintang ... 56

5.5.1 Potensi Hutan Kota ... 57

5.5.2 Tipe Hutan Kota ... 65

5.5.3 Jenis Tanaman ... 68

6 KESIMPULAN DAN SARAN ... 70

6.1 Kesimpulan ... 70

6.2 Saran ... 70

DAFTAR PUSTAKA ... 71


(15)

DAFTAR TABEL

Halaman

1. Jenis data yang dibutuhkan untuk penelitian... 17

2. Kebutuhan luas RTH Hutan Kota berdasarkan peraturan dan Undang-Undang ... 25

3. Luas kawasan Kota Sintang ... 28

4. Data iklim Kota Sintang tahun 1998-2007... 30

5. Jumlah penduduk Kota Sintang tahun 2001-2007 ... 32

6. Luas Penutupan Lahan di Kota Sintang tahun 2001, 2004, 2006 dan 2008 ... 39

7. Prediksi luas terbangun di Kota Sintang ... 41

8. Proporsi Kebutuhan Ruang Terbuka Hijau Hutan Kota di Kota Sintang menurut kebijakan pemerintah ... 46

9. Proyeksi kebutuhan air penduduk Kota Sintang hingga Tahun 2020 ... 50

10. Data operasional PDAM Kota Sintang (tahun 2003 s/d 2007) ... 51

11. Kebutuhan dan ketersedian air bersih di Kota Sintang ... 55

12. Kebutuhan hutan kota di Kota Sintang ... 56

13. Potensi hutan kota di Kota Sintang ... 61

14. Strategi pengembangan prasarana dasar perkotaan: Air bersih pada berbagai skala kota di Indonesia... 64


(16)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1. Siklus Hidrologi ... 11

2. Peta administrasi Kota Sintang ... 16

3. Rancang bangun penelitian ... 18

4. Diagram alir pengolahan data penginderaan jauh untuk produksi informasi spasial tutupan lahan ... 21

5. Hutan Baning sebagai hutan kota dan hutan wisata Kota Sintang ... 34

6. Jalur sempadan Sungai Melawi ... 35

7. Jalur sempadan Sungai Kapuas ... 36

8. Taman-taman Kota ... 36

9. Kawasan pemakaman umum Kota Sintang... 37

10. Berbagai kelas penutupan lahan ... 38

11. Grafik luas penutupan lahan di Kota Sintang tahun 2001-2008 ... 39

12. Grafik proporsi luas lahan terbangun di Kota Sintang tahun 2001-2008... 41

13. Grafik proporsi luas hutan di Kota Sintang tahun 2001-2008 ... 42

14. Proses pembukaan lahan hutan dengan proses tebang bakar ... 44

15. Instalasi PDAM ... 51

16. Pembuatan sumur bor ... 52

17. Grafik penurunan kemampuan hutan menyimpan air di Kota Sintang ... 54

18. Grafik kebutuhan dan ketersedian air bersih di Kota Sintang... 55

19. Peta potensi hutan kota di Kota Sintang... 62

20. Hutan kota yang berada di pemukiman ... 65

21. Hutan kota di sempadan sungai... 66


(17)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1. Peta penutupan lahan Kota Sintang tahun 2001... 74

2. Peta penutupan lahan Kota Sintang tahun 2004... 75

3. Peta penutupan lahan Kota Sintang tahun 2006... 76

4. Peta penutupan lahan Kota Sintang tahun 2008... 77

5. Pemakaian air bersih warga Kota Sintang... 78

6. Hasil uji kualitas air Sungai Kapuas dan Sungai Melawi ... 79


(18)

1. PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang

Kota dapat dianggap sebagai suatu organisme hidup yang terus tumbuh dan berkembang dengan tingkat yang berbeda-beda, tuntutan terhadap ruang akan berlangsung terus, sementara ruang/lahan yang tersedia dan sesuai untuk menampung kegiatan perkotaan adalah tetap dan terbatas. Dalam kurun waktu tertentu, terutama jangka panjang, permasalahan kota tersebut dapat menimbulkan persoalan yang kompleks dan akan menyangkut segala aspek, baik bagi kota yang bersangkutan maupun wilayah belakangnya (hinterland). Permasalahan tersebut tidak hanya merupakan permasalahan fisik ruang, tetapi juga menyangkut fungsi dan struktur tata ruang serta fungsi ekologis yang pada akhirnya akan berpengaruh kepada perkembangan kota tersebut selanjutnya.

Kota merupakan konsentrasi penduduk, material, dan energi dalam suatu area geografi yang relatif kecil sebagai fasilitas yang berfungsi sosial. Perkembangan kota sering menurunkan kualitas lingkungan lokal dan regional seperti lanskap alami yang digantikan dengan material antroposentris (Nowak, 2006)

Meningkatnya jumlah penduduk kota menyebabkan meningkatnya kebutuhan ruang untuk permukiman, industri dan perkantoran. Hal ini menyebabkan semakin berkurangnya tutupan vegetasi di wilayah perkotaan. Konversi lahan dan tata ruang yang tidak sesuai peruntukan merupakan awal dari kerusakan lingkungan yang perlu segera ditanggulangi, yaitu dengan upaya pencegahan yang mendasar, sehingga daerah wilayah kota akan tetap menjadi daerah yang nyaman dan sehat.

Pepohonan di kota mempunyai fungsi alami yang dapat meningkatkan kualitas lingkungan dan kesehatan manusia di dalam dan di sekitar area kota. Keuntungan tersebut termasuk perbaikan kualitas udara dan air, konservasi energi, pendingin temperatur udara, dan banyak fungsi lingkungan lainnya serta keuntungan sosial (Nowak, 2006).


(19)

Kota Sintang dengan luas 4.587 hektar sebagai Ibukota Kabupaten Sintang merupakan salah satu kota yang berada di jalur pelayaran Sungai Kapuas. Kota ini dibagi menjadi 3 Bagian Wilayah Kota (BWK) sesuai pembagian akibat aliran Sungai Kapuas dan Sungai Melawi. Secara administrasi, Kota Sintang meliputi tujuh kelurahan, yaitu: Kelurahan Kapuas Kanan Hulu, Kapuas K iri Hilir, Tanjung Puri, Ladang, Kapuas kiri hulu, Kapuas K iri Hilir dan Desa Baning Kota. Kota Sintang mempunyai jumlah penduduk sebanyak 53.151 jiwa. Rata-rata angka pertumbuhan penduduk dari tahun 2000 – 2006 adalah 3,93 % per tahun (BPS, 2007).

Perkembangan Kota Sintang diikuti dengan perubahan penutupan dan penggunaan lahan seperti dibukanya lahan- lahan baru untuk bangunan dan jalan. Ketimpangan dalam pemanfaatan lahan menyebabkan perubahan lahan yang tidak terkendali sehingga kawasan hutan yang semula dilindungi oleh vegetasi alami berubah menjadi kawasan terbuka. Perubahan tata guna lahan tersebut mengubah karakteristik hidrogeografis kawasan tersebut dan secara langsung mengancam tata guna airnya (Sunaryo et al., 2007).

Bertambahnya jumlah penduduk juga meningkatkan kebutuhan sumber daya alam seperti kebutuhan air bersih. Air tawar yang bersih sangat diperlukan oleh manusia untuk keperluan minum, masak, mandi, menyiram tanaman, mencuci pakaian, membersihkan rumah dan mobil. Air bersih diperoleh dari mata air yang letaknya kadang-kadang jauh di luar kota atau hasil dari olahan air sungai. Kesemuanya itu akan memerlukan biaya yang tinggi (Dahlan, 2004).

Sungai Kapuas dan Sungai Melawi yang membagi Kota Sintang menjadi tiga wilayah merupakan sumber bahan baku air bersih yang dikelola oleh PDAM Kota Sintang. Sungai Kapuas mempunyai hulu di Kabupaten Kapuas Hulu dan Sungai Melawi mempunyai hulu di Kabupaten Melawi. Air baku diolah hingga menjadi air bersih, namun karena sumber air baku yang tidak jernih dan proses pengolahan yang tidak sempurna, maka air yang dihasilkan kualitasnya kurang bagus dilihat dari warna dan bahan-bahan yang terkandung di dalamnya.


(20)

Berdasarkan hasil pengukuran kualitas air oleh Bapedalda tahun 2006 pada Sungai Kapuas dan Sungai Melawi menunjukkan bahwa kualitas air tersebut di atas ambang batas yang telah ditetapkan pemerintah tentang Standar Kualitas Air di Perairan Umum (Peraturan Pemerintah No. 20 Tahun 1990) untuk parameter air raksa, BOD, COD dan timbal. Hal ini disebabkan karena telah menurunnya kualitas lingkungan pada ke dua DAS tersebut akibat kegiatan pembukaan hutan (deforestasi) dan penambangan emas liar.

PDAM Kota Sintang memiliki tiga mesin penyedot dan instalasi pengolahan air. Ketiga mesin penyedot air tersebut disesuaikan dengan tiga Bagian Wilayah Kota yang memang dibatasi oleh aliran Sungai Melawi dan Sungai Kapuas. Total kapasitas produksi dari 121 liter/detik atau setara dengan 3.815.856 m3/tahun (Bapeda Kota Sintang, 2008).

Jangkauan pelayanan PDAM yang rendah karena baru dapat melayani 30% dari sasaran pengguna air bersih di perkotaan. Persentase tersebut belum memenuhi standar rata-rata cakupan pelayanan menurut Kepmendagri 47/1999 yaitu 60% (Bapeda Kota Sintang, 2006). Belum maksimalnya kapasitas produksi air bersih PDAM Kota Sintang menyebabkan kosumen belum dapat terlayani secara maksimal.

Sumber air yang digunakan tidak sesuai standar kualitas air menurut PP. No. 20 tahn 1990, jangkauan pelayanan yang masih rendah serta waktu pengaliran air tidak 24 jam menyebabkan banyak pelanggan berhenti berlangganan dengan PDAM. Dari hasil laporan kinerja PDAM Kota Sintang diketahui bahwa pada tahun 2003 terdapat 7.048 sambungan, sedangkan tahun 2007 tersisa 3.028 sambungan. Masyarakat yang tidak terlayani PDAM mengusahakan sendiri dengan membuat sumur bor, kolam dan memanfaatkan air hujan. Peningkatan penggunaan sumur bor menyebabkan peningkatan penggunaan air tanah.

Proyeksi kekurangan pasokan air bagi masyarakat Kota Sintang yang dilakukan oleh Bapeda Kota Sintang (2008) untuk tahun 2011 sebesar 5.133.668 liter/hari dan pada tahun 2016 menjadi 10.604.180 liter/hari. Belum optimalnya layanan kepada masyarakat dan menurunnya produksi air bersih pada musim kemarau menyebabkan sebagian masyarakat mengambil langsung dari sungai, kolam, sumur-sumur bor dan membeli air dari tangki-tangki mobil yang menjual air bersih.


(21)

Menjaga ketersediaan dan meningkatkan air tanah dapat dilakukan dengan cara membangun hutan kota. Hutan Kota memiliki derajat kerembesan tanah yang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan jenis permukaan lainnya. Permukaan tanah yang ditutupi dengan kombinasi pepohonan memiliki kemampuan infiltrasi yang tinggi. Sistem perakaran tanaman dan serasah yang berubah menjadi humus akan memperbesar jumlah pori tanah. Karena humus bersifat lebih higroskopis dengan kemampuan menyerap air yang besar maka kadar air tanah hutan akan meningkat. Jika hujan lebat terjadi, maka air hujan akan turun masuk meresap ke lapisan tanah yang lebih dalam menjadi air infiltrasi dan air tanah serta hanya sedikit yang menjadi air limpasan. Dengan demikian pelestarian hutan pada daerah resapan air dari kota yang bersangkutan akan dapat membantu mengatasi masalah air dengan kualitas yang baik.

Menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 63 Tahun 2002 tentang Hutan Kota, disebutkan bahwa Hutan Kota adalah suatu hamparan lahan yang bertumbuhan pohon-pohon yang kompak dan rapat di dalam wilayah perkotaan, baik pada tanah negara maupun tanah hak, yang ditetapkan sebagai hutan kota oleh pejabat yang berwenang.

Hutan kota merupakan bagian dari ruang terbuka hijau kota. Ruang terbuka hijau kota terdiri dari ruang terbuka hijau non hutan kota dan ruang terbuka hijau hutan kota. Ruang terbuka hijau non hutan kota terdiri dari: hutan, kebun, sawah, semak, dan rumput, sedangkan ruang terbuka hijau hutan kota adalah areal bervegetasi pohon yang sudah dikukuhkan sebagai kawasan hutan kota, untuk selanjutnya disebut hutan kota, sedangkan ruang terbuka non hutan kota disebut ruang terbuka hijau saja (Dahlan, 2007).

Alasan memilih hutan kota antara lain: (1). Mengingat sudah dikukuhkan, maka alih fungsi lahan menjadi agak sulit, (2). Pembangunan hutan kota mempunyai tujuan yang jelas dalam pengelolaan lingkungan, (3). Biomassa daun yang banyak dapat meningkatkan kesejukan dan kenyamanan (Grey dan Deneke, 1978, Robinette 1983 dalam Dahlan, 2007), (4). Hutan kota tidak membutuhkan perawatan yang intensif dibandingkan taman kota. O leh sebab itu, dana yang diperlukan untuk perawatan dan pemeliharaan relatif murah, (5). Merupakan habitat yang baik untuk burung dan satwa liar lainnya (Dahlan, 2007).


(22)

Pendekatan pembangunan hutan kota yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan parsial yakni menyisihkan sebagian dari kota untuk kawasan hutan kota (Dahlan, 2004).

Untuk mengetahui seberapa luas hutan kota yang diperlukan maka dilakukan penelitian “Analisis Kebutuhan Hutan Kota untuk Menjaga Ketersedian Air Di Kota Sintang” berdasarkan Undang-Undang, Peraturan Pemerintah dan kebutuhan air bersih masyarakat Kota Sintang. Hasil perhitungan tersebut disesuaikan dengan kondisi ruang terbuka hijau yang ada sekarang dan Rencana Detail Tata Ruang Kota sehingga diperoleh luas hutan kota yang dibutuhkan sesungguhnya.

1.2 Perumusan Masalah

Penduduk Kota Sintang terus meningkat yang diikuti dengan pembangunan fisik kota seperti pemukiman yang dilengkapi dengan pusat perdagangan dan transportasi umum. Pembangunan fisik tersebut menggusur lanskap alami seperti hutan. Dampak dari kegiatan tersebut menyebabkan berkurangnya daerah tutupan bervegetasi yang berfungsi sebagai daerah tangkapan air.

Kebutuhan air bagi masyarakat Kota Sintang juga akan bertambah seiring dengan meningkatnya jumlah penduduk sehingga ketersediaan air perlu dijaga. Untuk menjaga ketersedian air tersebut dapat dilakukan dengan membangun hutan kota sehingga rumusan permasalahan penelitian ini adalah berapa luas hutan kota yang harus disediakan untuk menjaga ketersedian air bagi masyarakat Kota Sintang.

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan umum penelitian ini adalah menentukan luas hutan kota untuk menjaga ketersediaan air di Kota Sintang. Untuk mencapai tujuan umum tersebut maka ada beberapa tujuan khusus lainnya yaitu:

1. Mengidentifikasi laju perubahan lahan hutan dan lahan terbangun. 2. Menghitung kebutuhan dan ketersediaan air bersih di Kota Sintang 3. Mengidentifikasi potensi hutan kota di Kota Sintang.


(23)

1.4 Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat yaitu, sebagai bahan pertimbangan dalam pengambilan kebijakan bagi pihak pemerintah daerah dalam penyusunan Rencana Tata Ruang Kota Sintang. Kemudian diharapkan dapat menjadi bahan rujukan dan pembanding bagi kota-kota lain yang mengalami permasalahan pembukaan lahan hutan dan ketersediaan air.

1.5 Kebaharuan Penelitian

Penelitian yang pernah dilakukan di Kota Sintang yaitu penentuan luas Ruang Terbuka Hijau menggunakan standar yang ditetapkan Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah dan tidak melakukan analisis perubahan penutupan lahan.

Kebaharuan penelitian ini adalah menentukan kebutuhan luasan hutan kota berdasarkan kebutuhan air masyarakat Kota Sintang, menganalisis perubahan lahan dan memperhitungkan daya dukung jumlah penduduk dan luasan lahan terbangun.


(24)

2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Perubahan Lahan/Penggunaan Lahan di Kota

Adanya aktifitas manusia dalam menjalankan kehidupan ekonomi, sosial dan budaya sehari- hari berdampak pada perubahan penutup/penggunaan lahan. Di perkotaan, perubahan umumnya mempunyai pola yang relatif sama, yaitu bergantinya penggunaan lahan lain menjadi lahan urban. Sawah atau lahan pertanian umumnya berubah menjadi pemukiman, industri atau infrastruktur kota. Pola demikian terjadi karena lahan urban mempunyai nilai sewa lahan (land rent) yang lebih tinggi dibanding penggunaan lahan sebelumnya (Grigg, 1984 dalam Sitorus, 2004).

Penggunaan lahan berhubungan dengan kegiatan manusia pada sebidang lahan, sedangkan penutup lahan lebih merupakan perwujudan fisik obyek-obyek yang menutupi lahan tanpa mempersoalkan kegiatan manusia terhadap obyek-obyek tersebut. Satuan-satuan penutup lahan kadang-kadang juga bersifat penutup lahan alami.

Penelitian yang membahas tentang perubahan penggunaan lahan dan dampaknya terhadap biofisik dan sosial ekonomi telah banyak dilakukan. Penelitian terhadap struktur ekonomi, yang dilakukan Somaji (1994) menyatakan bahwa pada tahun 1984 wilayah industri berperan sebanyak 13,05% dan meningkat menjadi 14,65% pada tahun 1990. N ilai ini dicapai akibat dari kecepatan alih fungsi lahan pertanian menjadi non pertanian selama kurun waktu 1981-1990 sebanyak 0,46%. Penelitian Janudianto (2003) menjelaskan perubahan penggunaan lahan di Sub DAS Ciliwung Hulu didominasi oleh kecenderungan perubahan lahan pertanian (sawah) menjadi lahan pemukiman dan perubahan hutan menjadi lahan perkebunan (kebun teh). Hasil penelitian Heikal (2004) menunjukkan penggunaan lahan di DAS Ciliwung Hulu berpengaruh nyata terhadap peningkatan selisih debit maksimum- minimum sungai. Penurunan luas hutan dan luas sawah meningkatkan selisih debit maksimum- minimum, sedangkan peningkatan luas pemukiman dan kebun campuran meningkatkan selisih debit.


(25)

Perubahan penggunan lahan di suatu wilayah merupakan pencerminan upaya manusia memanfaatkan dan mengelola sumberdaya lahan. Perubahan penggunaan lahan tersebut akan berdampak terhadap manusia dan kondisi lingkungannya. Menurut Suratmo (1982) dampak suatu kegiatan pembangunan dibagi menjadi dampak fisik-kimia seperti dampak terhadap tanah, iklim mikro, pencemaran, dampak terhadap vegetasi, dampak terhadap kesehatan lingkungan dan dampak terhadap sosial ekonomi yang meliputi ciri pemukiman, penduduk, pola lapangan kerja dan pola pemanfaatan sumberdaya alam yang ada.

Pesatnya pembangunan menyebabkan bertambahnya kebutuhan hidup, termasuk kebutuhan akan sumberdaya lahan. Kebutuhan lahan di kawasan perkotaan semakin meningkat sejalan dengan pertumbuhan penduduk dan kegiatan sosial ekonomi yang menyertainya. Peningkatan kebutuhan lahan ini merupakan implikasi dari semakin beragamnya fungsi di kawasan perkotaan seperti pemerintahan, perdagangan dan jasa serta industri yang disebabkan oleh keunggulannya dalam hal ketersediaan fasilitas dan kemudahan aksesibilitas sehingga mampu menarik berbagai kegiatan untuk beraglomerasi.

Perkembangan kota diikuti dengan perubahan penggunaan lahan di perkotaan. Dari area hijau yang alami menjadi area terbangun. Perubahan Penggunaan lahan berimplikasi pada kondisi ekologis (biodiversiti dan sumber daya alami). Perkembangan kota juga didorong faktor ekonomi yang menuntut pemanfaatan secara maksimal sumber daya yang dimiliki.

Berkaitan dengan karakteristik lahan yang terbatas, dinamika perkembangan kegiatan di kawasan perkotaan ini menimbulkan persaingan antar penggunaan lahan yang mengarah pada terjadinya perubahan penggunaan lahan dengan intensitas yang semakin tinggi. Akibat yang ditimbulkan oleh perkembangan kota adalah adanya kecenderungan pergeseran fungsi- fungsi kota ke daerah pinggiran kota (urban fringe) yang disebut dengan proses perembetan kenampakan fisik kekotaan ke arah luar (urban sprawl).


(26)

Perubahan penggunaan lahan dan perkembangan kota dapat diamati secara spasial dan temporal. Pengamatan ini untuk mempelajari hubungan antara aktifitas manusia dan perubahan penggunaan lahan dengan pola ekologis. Dengan mengetahui pola ini diharapkan dapat menjaga biodiversiti dan suberdaya alam serta menciptakan kota yang sustainable.

2.2 Deteksi Perubahan Lahan/Penggunaan Lahan

Deteksi perubahan adalah sebuah proses untuk mengidentifikasi perbedaan keberadaan suatu obyek atau fenomena yang diamati pada waktu yang berbeda. Kegiatan ini perlu mendapat perhatian khusus dari sisi waktu maupun keakurasian. Mengetahui perubahan menjadi penting dalam hal mengetahui hubungan dan interaksi antara manusia dan fenomena alam sehingga dapat dibuat kebijakan penggunaan lahan yang tepat.

Klasifikasi penutup lahan/penggunaan lahan adalah upaya pengelompokan berbagai jenis penutup lahan/penggunaan lahan ke dalam suatu kesamaan sesuai dengan system tertentu. K lasifikasi penutup lahan/penggunaan lahan digunakan sebagai pedoman atau acuan dalam proses interpretasi citra penginderaan jauh untuk tujuan pemetaan penutup lahan/penggunaan lahan.

Pendekatan aplikasi GIS terdahulu untuk deteksi perubahan yang difokuskan pada daerah urban. Ini mungkin karena metoda deteksi perubahan tradisional sering menghasilkan deteksi perubahan yang tidak betul karena kompleksitas landscape urban dan model tradisional tidak bisa digunakan secara efektif menganalisa data multi-sumber. Sehingga, kekuatan fungsi GIS memberikan alat yang menyenangkan untuk pengolahan data multi-sumber dan efektif dalam menangani analisa deteksi perubahan yang menggunakan data multi-sumber. Banyak penelitian difokuskan pada integrasi GIS dan teknik penginderaan jauh yang diperlukan untuk analisis deteksi perubahan yang lebih akurat (Sitorus et al, 2006).


(27)

2.3 Hidrologi

Air merupakan sumber kehidupan bagi setiap mahluk yang jumlahnya sangat terbatas baik dalam skala waktu maupun ruang sehingga perlu dijaga keberadaan air tersebut baik kuantitas maupun kualitasnya.

Potensi Air permukaan yang dimiliki oleh Indonesia diperkirakan sebesar 1.789.000 juta m3/tahun yang berasal dari seluruh pulau-pulau di Indonesia seperti Papua sekitar 401.000 juta m3/tahun, Kalimantan 557.000 juta m3/tahun, dan Jawa 118.000 juta m3/tahun (DirJen Pengairan, 1995 dalam Sjarief, 2002). Disamping air permukaan, Indonesia juga memiliki potensi air tanah sebesar 47.000 juta m3/tahun yang berasal dari 224 buah cekungan air tanah (Sjarief, 2002).

2.3.1 Siklus Hidrologi

Siklus hidrologi merupakan salah satu aspek penting yang diperlukan pada proses hidrologi. Siklus hidrologi adalah air yang menguap ke udara dari permukaan tanah dan laut, berubah menjadi awan sesudah melalui beberapa proses dan kemudian jatuh sebagai hujan atau salju ke permukaan laut atau daratan. Sedangkan siklus hidrologi menurut Sjarief dan Kodoatie (2008) adalah gerakan air ke udara, yang kemudian jatuh ke permukaan tanah lagi sebagai hujan atau bentuk presipitasi lain, dan akhirnya mengalir kembali ke laut. Dalam siklus hidrologi ini terdapat beberapa proses yang saling terkait, yaitu antara proses hujan (presipitation), penguapan (evaporation), transpirasi, infiltrasi, perkolasi, aliran limpasan (runoff), dan aliran bawah tanah. Secara sederhana siklus hidrologi dapat ditunjukan seperti pada Gambar 1.


(28)

Gambar 1. Siklus Hidrologi

(sumber: google image)

2.3.2 Air Tanah

Air yang berada di wilayah jenuh di bawah permukaan tanah disebut air tanah. Secara global, dari keseluruhan air tawar yang berada di bumi ini lebih dari 97% terdiri dari air tanah. Semakin berkembangnya industri dan pemukiman dengan segala macam fasilitasnya, maka ketergantungan aktivitas manusia pada air tanah menjadi semakin terasakan.

Selama berlangsungnya musim hujan, sebagian besar air air hujan tersebut dapat ditampung oleh daerah resapan dan secara gradual dialirkan ke tempat yang lebih rendah sehingga kebanyakan sungai masih mengalir pada musim kemarau, meskipun besarnya debit air sungai tersebut menurun.

Daerah penampungan air tanah terdapat di lapisan bagian bawah tanah, tepatnya di dalam lapisan padat atau batuan yang sarang yang biasanya terbentuk dari bahan-bahan pasir dan kerikil, tufa vulkanis, batu gamping dan beberapa bahanlainnya. Lapisan penampung air tanah ini selanjtnya dikenal sebagai lapisan pengandung air atau aquifer, air yang terkempul disini mudah bergerak dari tempatnya yang lebih tinggi ke tempat-tempat yang lebih rendah (Kertasapoetra, 1994).


(29)

Berkaitan dengan kondisi dan letaknya di dalam tanah, lapisan mengandung air tersebut biasanya dibedakan menjadi sebagai berikut:

− Lapisan mengandung air tanah yang bebas atau tidak terbatas. Lapisan ini di bagian bawahnya dibatasi oleh lapisan kedap air, sedangkan di sebelah atasnya berupa muka air yang berhubungan dengan atmosfer.

− Lapisan mengandung air anah yang tertekan. Lapisan ini bagian atas dan di bagian bawahnya dibatasi oleh lapisan kedap air.

− Lapisan pengandung air tanah tumpang. Lapisan ini terletak di atas lapisan kedap air yang tidak begitu luas, berada pada zona aerasi di atas water table. Karena volume air pada lapisan pengandung air tanah ini tidak banyak maka kurang dapat diandalkan sebagai sumber air.

2.3.3 Infiltrasi

Ketika air hujan jatuh ke permukaan jalan, sebagian air tertahan di cekungan-cekungan, sebagian air mengalir sebagai run off dan sebagian lainnya meresap ke dalam tanah. Saat hujan mencapai permukaan lahan maka akan terdapat bagian hujan yang mengisi ruang kosong (void) dalam tanah yang terisi udara (soil moisture deficiency) sampai mencapai kapasitas lapang (field capacity) dan berikutnya bergerak ke bawah secara gravitasi akibat berat sendiri dan bergerak terus ke bawah (pekolasi) ke dalam daerah jenuh (saturated zone) yang terdapat di bawah permukaan air tanah (phreatik). Air bergerak perlahan- lahan melewati akuifer masuk ke sungai atau kadang-kadang langsung ke laut.

Analisis perubahan penutupan lahan terhadap laju infiltrasi menunjukkan bahwa semakin tua umur tegakan hutan, semakin besar kemampuan hutan untuk meresapkan air ke dalam tanah, bahkan total air yang mampu dimasukkan ke dalam tanah pada tegakan P. merkusii berumur 34 tahun lebih dari dua kali lipat dibandingkan dengan tegakan umur 10 tahun. Hal ini membuktikan bahwa tegakan hutan sangat baik dalam meresapkan air ke dalam tanah. Kemampuan tanah menginfiltrasikan curah hujan pada tegakan tua disebabkan karena pada tegakan P. merkusii tua banyak dijumpai tumbuhan bawah, serasah, dan kandungan bahan organik yang menutupi lantai hutan, sehingga dapat memperbaiki struktur tanah yang memungkinkan air hujan masuk ke dalam


(30)

tanah (Mulyana, 2000). Hal ini serupa dengan hasil yang dijumpai oleh Pudjiharta dan Fauzi (1 981) d imana aliran permukaan pada tegakan P. merkusii, Altingia excelsa, Maespsis emin ii beserta tumb uhan bahwa d an serasahnya hanya sek itar 0 - 0,04 m3/ha/b ln d an erosi tidak terjadi. Ketika tumbuhan bawah dan serasah dari tegakan yang sama dihilangkan, maka aliran permukaan meningkat mencapai 6,7 m3/ha/b ln.

2.3.4 Konservasi Air

Air bersih merupakan salah satu kebutuhan manusia untuk memenuhi standar kehidupan manusia secara sehat. Ketersediaan air yang terjangkau dan berkelanjutan menjadi bagian terpenting bagi setiap individu baik yang tinggal di perkotaan maupun dipedesaan. O leh karena itu, ketersediaan air dapat menurunkan water borne disease sekaligus dapat meningkatkan perekonomian masyarakat (Muis, 2005).

Upaya memelihara keberadaannya dikenal dengan istilah konservasi air. Setiap orang atau badan usaha dilarang melakukan kegiatan yang mengakibatkan rusaknya sumber air dan prasarananya, mengganggu upaya pengawetan air, dan mengakibatkan pencemaraan air. Konservasi sumber daya air dilaksanakan pada sungai, danau, waduk, rawa, cekungan air tanah, sistem irigasi, daerah tangkapan air, kawasan suaka alam, kawasan hutan dan kawasan pantai. Konservasi sumber daya air dilakukan melalui kegiatan perlindungan dan pelestarian sumber air, pengawetan air serta pengelolaan kualitas air dan pengendalian pencemaran air mengacu pada pola pengelolaan sumber daya air yang ditetapkan pada setiap wilayah sungai.

Sjarief (2002) menyatakan perlindungan dan pelestarian sumber air ditujukan untuk melindungi dan melestarikan sumber air beserta lingkungan keberadaanya terhadap kerusakan atau gangguan yang disebabkan oleh daya alam termasuk kekeringan dan yang disebabkan oleh tindakan manusia. Perlindungan dan pelestarian sumber air sebagai dimaksud adalah: (1). Pemeliharaan fungsi resapan air dan daerah tangkapan air. (2). Pengendalian pemanfaatan sumber air. (3). Pengisian air pada sumber air. (4). Pengaturan prasarana dan sarana sanitasi. (5). Perlindungan sumber air dalam hubungannya dengan kegiatan pembangunan dan pemanfaatan lahan pada sumber air, (6). Pengendalian pengelolaan tanah di


(31)

daerah hulu. (7). Pengaturan daerah sempadan sumber air. (8). Rehabilitasi hutan dan lahan. dan (8). Pelestarian hutan lindung, kawasan suaka alam dan kawasan pelestarian alam.

2.4 Hutan Kota

Hutan Kota adalah pepohonan yang berdiri sendiri atau berkelompok atau vegetasi berkayu di kawasan perkotaan yang pada dasarnya memberikan dua manfaat pokok bagi masyarakat dan lingkungannya, yaitu manfaat konservasi dan manfaat estetika.

Menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 63 Tahun 2002 tentang Hutan Kota, disebutkan bahwa Hutan Kota adalah suatu hamparan lahan yang bertumbuhan pohon-pohon yang kompak dan rapat di dalam wilayah Perkotaan, baik pada tanah negara maupun tanah hak, yang ditetapkan sebagai Hutan Kota oleh pejabat yang berwenang.

Sementara dalam hasil rumusan Rapat Teknis Kementerian Kependudukan dan Lingkungan Hidup di Jakarta pada bulan Februari 1991, dinyatakan bahwa Hutan Kota adalah suatu lahan yang tumbuh pohon-pohonan di dalam wilayah perkotaan di dalam tanah negara maupun tanah milik yang berfungsi sebagai penyangga lingkungan dalam hal pengaturan tata air, udara, habitat flora dan fauna yang memiliki nilai estetika dan dengan luas yang solid merupakan ruang terbuka hijau, serta areal tersebut ditetapkan oleh pejabat berwenang sebagai Hutan Kota (Dirjen PU, 2006).

2.5 Fungsi Hutan Kota sebagai Pengelola Air Tanah

Hujan yang turun ke permukaan bumi dapat menambah ketersedian air di dalam tanah dan juga dapat menyebabkan banjir. Pengamanan air hujan pada prinsipnya terletak dalam dua pengelolaan teknis, yaitu peningkatan daya serap tanah dan pengendalian mengalirnya air. Meningkatkan daya serap tanah pada hakekatnya adalah meningkatkan kapasitas penyimpanan air oleh tanah.

Hutan kota dapat meningkatkan air tanah, karena akar tanaman yang besar dapat mengakibatkan terbentuknya rekahan tanah. Air hujan akan dapat masuk melalui rekahan-rekahan tersebut. Selain dari itu, serasah yang dihasilkan oleh banyak tumbuhan akan mengakibatkan terbentuknya humus tanah yang tebal.


(32)

Kemampuan humus dalam mengikat air jauh lebih besar daripada butiran tanah. Oleh sebab itu, air yang dapat diserap dan dikandung di dalamnya akan lebih banyak (Dahlan, 2004).

Pada umumnya jenis pohon-pohon yang berakar panjang dan berdaun kecil memiliki kemampuan yang baik dalam menyimpan air dalam tanah. Walaupun tanaman juga mengalami transpirasi, namun air tidak begitu mudah keluar dari tanaman karena terdapat hambatan-hambatan atau mekanisme tersendiri. Adanya hambatan pergerakan air tanah dari tanaman dibuktikan dengan adanya kenyataan bahwa kehilangan air tanah dari tanaman selalu lebih kecil dibandingkan dengan kehilangan air dari tanah terbuka (Muis, 2005).

Hutan memilik i neraca air yang baik d ib and ingkan dengan kawasan tid ak berhutan. Hal in i sangat memu ngk ink an karena infiltrasi curah hujan ke dalam tanah akan meningkat karena struktur tanah yang semakin b aik, karena perakarannya yang b ervariasi mu lai d angkal sampai dalam, tajuk berlap is akan mengurangi daya hancur butiran hujan sehingga laju erosi akan dapat dikurangi. Demikian juga halnya dengan keberadaan tumbuhan bawah dan serasah serta humus yang akan semak in memperbesar kemamp uan hutan alam dalam menahan air. O leh karena itu, kandungan air tanah pada hutan alam akan besar dan akan dikeluarkan secara perlahan- lahan pada musim kemarau (Onrizal, 2005).

Pengalihan fungsi lahan di perkotaan cenderung ke arah penutupan tanah dengan bahan-bahan semen yang tidak tembus air, sehingga mengakibatkan terganggunya keseimbangan hidrologi. Hidrologi kota menjadi masalah yang pelik bagi ahli hidrologi, karena urbanisasi meningkatkan luasan permukaan tertutup semen, paving, aspal, sehingga air hujan tercegah untuk masuk ke dalam tanah dan menjadi limpasan permukaan (Urbanos, 1992 dalam Muis, 2005).


(33)

3. METODE PENELITIAN

3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian d ilak uk an d i Ko ta S intang Kalimantan Barat, terletak k urang leb ih 3 95 k m dari K ota Po ntianak Ib u Ko ta P rop insi Kalimantan Barat. Melip uti tujuh kecamatan yaitu: Kapuas Kanan Hulu, Kapuas Kanan Hilir, Tanjung Puri, Desa Baning Kota, Ladang, Kapuas K iri Hulu, dan Kapuas K iri Hilir dengan luas wilayah 4.587 hektar.

Letak geo grafisnya yaitu 0 °09 ’ LU - 0 °02 ’ LS d an 1 11 °21 ’ BT - 111 °36 ’, d engan batas-b atas ad ministrasi sbb :

Utara : Kec. Binjai Hulu d an K ec. K elam Permai Timur : Kec. Dedai dan Kelam Permai

Selatan : Kec. Sei Teb elian dan Ded ai Barat : Kec. Temp unak

Gamb ar 2. Peta ad ministrasi Ko ta S intang

Wak tu p enelitian selama 1 0 b ulan sejak b ulan Sep temb er 2008 hin gga Juni 20 09, melip uti tahap stud i p ustaka, pengamatan lapangan, pengo lahan data d an p enyusunan lapo ran.


(34)

3.2 Alat dan Bahan

Alat yang d iperluk an dalam penelitian ini adalah seperangkat ko mp uter beserta perlengkap annya yang berguna untuk p ro ses p engo lahan d an analisis data, d oub le ring, S oftware Arc View 3.2 beserta extensio n, E RDAS V er 9.1,

Glob al Po sit ion in g System (GPS ), untuk mengetahui po sisi koo rd inat titik ko ntro l tanah yang berguna menentuk an area co nto h d aerah-d aerah bervegetasi dengan k lasifik asi hutan, p erk eb unan, semak /rump ut, tanah terb uka, pemuk iman dan b adan air. Adap un bahan yang d ip ergunakan d alam penelitian ini dapat d ilihat pada Tabel 1 .

Tabel 1. Jenis data yang dibutuhkan untuk penelitian

No Aspek Jenis Data Bentuk Data Sumber Data

1 Fisik - Lokasi Tapak - Geologi - Topografi - Hidro logi

Air Permu kaan Air Tanah - Jenis Tanah - Iklim

Curah Hujan Temperatur - Kualitas Air - Penggunaan

Lahan

- Landsat 7 ETM+ 2001

- Landsat 7 ETM+ 2004

- Landsat 7 ETM+ 2006

- Landsat 7 ETM+ 2008

Peta letak dan luas kota Sintang Data pola aku ife r

Peta Topografi skala 1:25.000 Data potensi air permu kaan Data potensi air tanah

Peta jenis tanah

Data curah hujan 10 tahun Data te mperatur 10 tahun Deskripsi

Data penggunaan lahan Kota Sintang Citra dijital Citra dijital Citra dijital Citra dijital -Bappeda -Dep. Geo logi -Bappeda -Depatemen PU,

Dirjen Su mber Daya Air -Bappeda -BM G

-Bapedalda -Bappeda

-PPLH IPB

http://glovis.usgs .gov/

-PPLH IPB

http://glovis.usgs .gov/

2 Biologi - Vegetasi: Deskripsi Survei,

Dinas-dinas terkait 3 Sosial,

ekonomi dan budaya

- De mografi - Produksi Air - Konsumsi Air

Deskripsi Deskripsi Deskripsi -BPS -PDAM -Kuisioner


(35)

Lanjutan Tabel 1. Jenis data yang dibutuhkan untuk penelitian

No Aspek Jenis Data Bentuk Data Sumber Data

4 Kebijakan - Permendagri No.01 Tahun 2007tentang Penataan Ruang Terbuka Hijau Kawasan Perkotaan - UU RI No.26

Tahun 2007 tentang Tata Ruang - PP RI No. 63

Tahun 2002 tentang Hutan Kota

- Perda RDTR Kota Sintang 2001-2011

Deskripsi

Deskripsi

Deskripsi

Deskripsi -Bappeda

3.3 Metode Penelitian

Penelitian ini d ibatasi samp ai pada penentuan luas k eb utuhan hutan kota untuk menjaga k etersed iaan air d i Ko ta S intang. Kerangk a p enelitian dapat d ilihat p ada Gambar 3 .

Gambar 3. Rancang bangun penelitian


(36)

3.3.1 Inventarisasi

Tahap inventarisasi b erupa pengu mp u lan data yang d ip erluk an untuk analisis keb utuhan luas d an sebaran hutan k ota. Data yang d ik ump ulk an melip uti aspek fis ik, b io lo gi, so sial ek o no mi dan b udaya, serta aspek k eb ijakan pemerintah.

3.3.2 Analisis Spasial dan Temporal

Perubahan penutup an lahan d ianalisis secara spasial dan temp oral untuk mendapatkan in formasi mengenai luas dan sebaran ruang terb uka hijau Ko ta S intang d alam k urun wak tu lima tahun. Hal ini akan dilihat melalui data citra satelit Landsat dengan rentang waktu perubahan 8 tahun. Selain skala spasial, skala temporal sama pentingnya ketika memperkirakan perubahan lanskap dari waktu ke waktu (Rocchini et al., 2005). Klasifikasi citra untuk menentukan kelas penutupan lahan dilakukan pada data citra satelit Landsat tahun 2001, 2004, 2006 dan 2008.

Pengo lahan d ata citra d ilak ukan dengan mengg unakan perangk at lu nak Erdas Imagine versi 9.1. K lasifikasi diawali dengan persiapan citra satelit Landsat

TM 2001, 2004, 2006 dan 2008. Kemudian dilakukan koreksi geometrik dengan menggunakan Arcview Extension Image Analysist. Citra dikoreksi berdasarkan peta jalan dan sungai dalam format TIFF (*.tiff file). Setelah kesalahan hasil koreksi (RMS error) bernilai <0,1, citra disimpan dengan format Erdas Image

(*.img file). Color composite digunakan untuk mengkombinasikan band-band dari citra satelit TM sehingga menghasilkan citra komposit yang dapat mengambarkan keadaan penutupan lahan secara lebih mudah. Kombinasi band yang digunakan 542.

Klasifikasi citra dilakukan dengan metode klasifikasi terbimbing (supervised classification) dan visual. Pemilihan sistem klasifikasi ini untuk mendapatkan kelas terbaik karena mempertimbangkan adanya semua peluang yang ada dan tidak adanya kekosongan dalam kelas objek, yang mungkin terjadi mengingat tipe kenampakan kelas objek sangat beragam. Sedangkan interpretasi visual dilakukan untuk menginterpretasikan tutupan lahan yang liputan areanya mengalami gangguan sistematik (stripping/noise dan no data).

Proses klasifikasi memerlukan data pendukung berupa data sekunder atau kunjungan lapang secara terbatas untuk daerah-daerah tertentu. Data sekunder


(37)

dikumpulkan dari peta-peta tematik penggunaan lahan pada tempat tertentu. Kunjungan lapangan dilakukan pada objek-objek yang tidak dikenali identitasnya dengan bantuan alat penunjuk posisi (GPS).

Pengkelasan penutupan lahan yang dilakukan pada penelitian ini dibagi menjadi enam kelas yaitu: hutan, perkebunan, semak/belukar, tanah terbuka, pemukimanan, dan badan air. Data citra setiap tahun perek aman ak an d iuraikan menjad i nilai d ijital yang akan d iband ingk an perubahannya secara temporal.

Tampilan SIG dengan perangkat lunak Arcview versi 3.2 akan digunakan untuk menyimpan, memperbaharui, menganalisis, dan menyajikan kembali semua bentuk informasi tersebut (Prahasta, 2002). Diagram alir pengolahan data penginderaan jauh untuk produksi informasi spasial liputan lahan disajikan pada Gambar 4.


(38)

Gambar 4. Diagram alir pengolahan data penginderaan jauh untuk produksi informasi spasial liputan lahan


(39)

3.3.3 Analisis Kebijakan

Analisis kebijakan dilakukan untuk menentukan luas kebutuhan Ruang Terbuka Hijau Hutan Kota berdasarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 01 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang Terbuka Hijau Kawasan Perkotaan, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang dan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 63 Tahun 2002 tentang Hutan Kota.

Bentuk RTH yang akan dibangun di sebuah kota harus memperhatikan tujuan pembangunan dan aspek biogeografis kota. Pada penelitian ini bentuk RTH yang akan di bangun di Kota Sintang adalah RTH Hutan Kota, karena tujuan dari pembangunan hutan kota tersebut sebagai pengaman untuk mengkonservasi air atau daerah tangkapan hujan sehingga ketersediaan air Kota Sintang dapat terjaga.

3.3.3.1 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 01 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang Terbuka Hijau Kawasan Perkotaan

Di dalam Permendagri No. 1 Tahun 2007 yang dimaksud Ruang Terbuka adalah ruang-ruang dalam kota atau wilayah yang lebih luas baik dalam bentuk area/kawasan maupun dalam bentuk area memanjang/jalur di mana dalam penggunaannya lebih bersifat terbuka yang pada dasarnya tanpa bangunan. Sedangkan Ruang Terbuka Hijau Kawasan Perkotaan yang selanjutnya disingkat RTHKP adalah bagian dari ruang terbuka suatu kawasan perkotaan yang diisi oleh tumbuhan dan tanaman guna mendukung manfaat ekologi, sosial, budaya, ekonomi dan estetika. Dimana Kawasan Perkotaan disini adalah kawasan yang mempunyai kegiatan utama bukan pertanian dengan susunan fungsi kawasan sebagai tempat permukiman perkotaan, pemusatan dan distribusi pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan sosial dan kegiatan ekonomi.

Tujuan penataan RTHKP adalah menjaga keserasian dan keseimbangan ekosistem lingkungan perkotaan, mewujudkan kesimbangan antara lingkungan alam dan lingkungan buatan di perkotaan, dan meningkatkan kualitas lingkungan perkotaan yang sehat, indah, bersih dan nyaman.

Fungsi RTHKP adalah pengamanan keberadaan kawasan lindung perkotaan; pengendali pencemaran dan kerusakan tanah, air dan udara; tempat perlindungan plasma nuftah dan keanekaragaman hayati; pengendali tata air; dan sarana estetika kota.


(40)

Bentuk (RTHKP) seperti yang diatur pada BAB III tentang Pembentukan dan Jenis Ruang Terbuka Hijau Kawasan Perkotaan pada Pasal 5 dan Pasal 6. Pasal 5 ayat 1 menyebutkan bahwa pembentukan RTHKP disesuaikan dengan bentang alam berdasarkan aspek biogeografis dan struktur ruang kota dan estetika. Pasal 5 ayat 2 menyebutkan bahwa pembentukan RTHKP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mencerminkan karakter alam dan/atau budaya setempat yang bernilai ekologis, historik, panorama yang khas dengan tingkat penerapan teknologi. Jenis-jenis RTHKP disebutkan pada Pasal 6 diantaranya hutan kota. Standar kebutuhan di kawasan perkotaan diatur pada pasal 9 ayat 1, yaitu luas ideal Ruang Terbuka Hijau Kawasan Perkotaan minimal 20% dari luas kawasan perkotaan.

3.3.3.2 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang

Ruang Terbuka Hijau Hutan Kota merupakan bagian dari penataan ruang. Hal ini terlihat dari adanya aturan Undang-undang penataan ruang yang mengatur tentang RTH ini. Menurut UU No. 26 Tahun 2007 yang dimaksud Ruang Terbuka Hijau adalah area memanjang/jalur dan/atau mengelompok, yang penggunaannya lebih bersifat terbuka, tempat tumbuh tanaman, baik yang tumbuh secara alamiah maupun yang sengaja ditanam.

Penyelenggaraan penataan ruang bertujuan untuk mewujudkan ruang wilayah nasional yang aman, nyaman, produktif, dan berkelanjutan berlandaskan Wawasan N usantara dan Ketahanan Nasional dengan: terwujudnya keharmonisan antara lingkungan alam dan lingkungan buatan; terwujudnya keterpaduan dalam penggunaan sumber daya alam dan sumber daya buatan dengan memperhatikan sumber daya manusia; dan terwujudnya pelindungan fungsi ruang dan pencegahan dampak negatif terhadap lingkungan akibat pemanfaatan ruang.

Berdasarkan UU No. 26 Tahun 2007 tersebut, rencana penyediaan dan pemanfaatan ruang terbuka hijau merupakan bagian dari perencanaan tata ruang wilayah kota. Proporsi ruang terbuka hijau pada wilayah kota diatur pada Pasal 29 Ayat 1, proporsi ruang terbuka hijau paling sedikit 30 persen dari luas wilayah kota.


(41)

3.3.3.3 Peraturan Pe merintah Republik Indonesia Nomor 63 Tahun 2002 tentang Hutan Kota

Pembangunan kota sering dicerminkan oleh adanya perkembangan fisik kota yang lebih banyak ditentukan oleh sarana dan prasarana yang ada. Lahan-lahan bertumbuhan banyak dialihfungsikan menjadi kawasan perdagangan, kawasan permukiman, kawasan industri, jaringan transportasi (jalan, jembatan, terminal) serta sarana dan prasarana kota lainnya. Pembangunan kota pada masa lalu sampai sekarang cenderung untuk meminimalkan ruang terbuka hijau dan menghilangkan wajah alam.

Untuk meningkatkan kualitas lingkungan hidup perkotaan secara ekologi, Pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah No. 63 Tahun 2002 tentang Hutan Kota. PP yang ditetapkan tanggal 12 November 2002 ini dimaksudkan sebagai pedoman dan arahan bagi Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dalam penyelenggaraan Hutan Kota, serta untuk memberikan kepastian hukum tentang keberadaan hutan kota.. Adapun penyelenggaraan hutan kota dimaksudkan untuk kelestarian, keserasian, dan keseimbangan ekosistem perkotaan yang meliputi unsur lingkungan, sosial dan budaya.

Sesuai tujuannya penyelenggaraan hutan kota lebih ditekankan kepada fungsinya, yaitu untuk memberbaiki dan menjaga iklim mikro, nilai estetika, meresapkan air, menciptakan keseimbangan dan keserasian lingkungan fisik kota, serta mendukung pelestarian keanekaragaman hayati. Untuk itu di dalam setiap wilayah perkotaan ditetapkan kawasan tertentu dalam rangka penyelenggaraan hutan kota.

Di dalam PP No. 63 Tahun 2002 disebutkan bahwa alokasi hutan kota merupakan bagian dari Ruang Terbuka Hijau (RTH) Wilayah Perkotaan. Yang dimaksud dengan Hutan Kota adalah suatu hamparan lahan yang bertumbuhan pohon-pohon yang kompak dan rapat di dalam wilayah perkotaan baik pada tanah negara maupun tanah hak, yang ditetapkan sebagai hutan kota oleh pejabat yang berwenang.

Penunjukan lokasi dan luas hutan kota yang diatur dalam PP RI No. 63 Tahun 2002 (pasal 8 ayat 1) dapat berdasarkan pada luas wilayah dan jumlah penduduk dengan persentase luas hutan kota paling sedikit 10% dari wilayah perkotaan. Pembangunan hutan kota dilaksanakan oleh Pemerintah


(42)

Kabupaten/Kota. Rencana pembangunan hutan kota merupakan bagian dari Rencana Tata Ruang Wilayah Perkotaan, dan disusun berdasarkan kajian dari aspek teknis, ekologis, ekonomis, sosial, dan budaya setempat. Biaya penyelenggaraan hutan kota berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah atau sumber dana lainnya yang sah, ketentuan ini diatur dalam pasal 36.

Tabel 2. Kebutuhan luas RTH Hutan Kota berdasarkan peraturan dan undang-undang

No Kebijakan Pasal

dan Ayat Luas

1 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 01 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang Terbuka Hijau Kawasan Perkotaan

Pasal 9 ayat 1

Luas ideal ruang terbuka hijau kawasan perkotaan minimal 20% dari luas kawasan perkotaan 2 Undang-Undang Republik

Indonesia Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang

Pasal 29 ayat 2 dan ayat 3

-Proporsi ruang terbuka hijau pada wilayah kota paling sedikit 30 (tiga puluh) persen dari luas wilayah kota

-Proporsi ruang terbuka hijau publik pada wilayah kota paling sedikit 20 (dua puluh) persen dari luas wilayah kota

3 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 63 Tahun 2002 tentang Hutan Kota

Pasal 8 ayat 2 dan ayat 3

-Luas hutan kota dalam satu hamparan yang kompak paling sedikit 0,25 hektar

-Persentase luas hutan kota paling sedikit 10% dari wilayah perkotaan dan atau disesuaikan dengan kondisi setempat


(43)

3.3.4 Analisis Kebutuhan Hutan Kota berdasarkan Kebutuhan Air

Luas hutan kota yang dibangun untuk menjaga ketersedia air dihitung berdasarkan beberapa parameter meliputi jumlah penduduk, konsumsi air per kapita, laju peningkatan pemakaian air, faktor pengendali (besarannya tergantung kepada usaha pemerintah dalam menekan laju pertambahan penduduk), kapasitas suplai air oleh PDAM Kota Sintang, potensi air tanah Kota Sintang, dan kemampuan hutan kota dalam menyimpan air.

Data konsumsi air bersih diperoleh dari hasil kuisioner. Responden kuisioner tersebut dibagi menjadi tiga yaitu: perumahan mewah, perumahan sedang dan perumahan sederhana. Hasilnya akan dirata-ratakan sehingga diperoleh data konsumsi air bersih masyarakat Kota Sintang. Sedangkan kapasitas produksi PDAM dihitung dari total ketiga instalasi pnegelolaan air pada masing-masing BWK. Kapasitas produksi PDAM Kota Sintang adalah 2.045.510 m3/tahun.

Potensi air tanah pada Kota Sintang mengacu kepada hasil pengukuran yang dilakukan oleh Direktorat Jenderal Sumber Daya Air Departemen Pekerjaan Umum. Hasil pengukuran tersebut diketahui bahwa potensi air tanah di Kota Sintang adalah 4.279.288 m3/tahun.

Rumus penghitungan luas kebutuhan hutan kota yang harus dibangun di Kota Sintang adalah sebagai berikut ini (Sutisna et al., 1987 dalam Dahlan, 2004).

= . 1 + − − −

Keterangan:

La = Luas hutan kota yang harus dibangun Po = Jumlah penduduk pada tahun ke 0 K = Konsumsi air per kapita

r = Laju peningkatan pemakaian air c = Faktor pengendali

PAM = Kapasitas suplai air perusahaan air minum

t = Tahun

Pa = Potensi air tanah


(44)

Untuk memproyeksikan jumlah penduduk hingga 20 tahun yang akan datang menggunakan metode Arithmatik. Rumus perhitungan proyeksi jumlah penduduk Aritmatik adalah:

= + − )

= −

Dimana:

Pn : Jumlah penduduk pada tahun ke- n

Po : Jumlah penduduk pada tahun dasar

Ka : Konstanta aritmatik

Pa : Jumlah penduduk pada tahun terakhir

P1 : Jumlah penduduk pada tahun ke-1

T2 : Tahun terakhir

T1 : Tahun ke-1

3.3.5 Rekomendasi Kebutuhan Hutan Kota Di Kota Sintang

Langkah terakhir adalah pembuatan rekomendasi luas kebutuhan hutan kota berdasar perhitungan kebutuhan air yang diselaraskan dengan kondisi ruang terbuka hijau, undang-undang dan Rencana Detail Tata Ruang Kota Sintang.


(45)

4. KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN

4.1Letak dan Luas Wilayah

Kota Sintang sebagai Ibukota Kabupaten Sintang memiliki luas 4.587 ha yang terdiri dari 3 Bagian Wilayah Kota (BWK) sesuai dengan pembagian aliran Sungai Kapuas dan Sungai Melawi. BWK A seluas 1.995 ha merupakan bagian barat-selatan kota yang terdiri dari Kelurahan Kapuas Kanan Hulu dan Kapuas Kanan Hilir. BWK B seluas 1.878 ha merupakan bagian selatan-timur kota yang terdiri dari Kelurahan Tanjungpuri, Ladang dan Desa Baning. Sedangkan BWK C yang luasnya 714 ha merupakan bagian utara kota terdiri dari Kelurahan Kapuas Kiri Hilir dan Kapuas K iri Hulu.

Tabel 3 menunjukkan luas masing- masing BWK dirinci per desa/kelurahan. Kota Sintang merupakan salah satu kota kecamatan yang berada di jalur pelayaran Sungai Kapuas. Kota ini dapat ditempuh melalui jalur sungai dan juga dapat ditempuh melalui jalan darat sepanjang ± 395 km dari ibukota propinsi (Pontianak).

Tabel 3. Luas kawasan Kota Sintang

No Kelurahan/Desa Luas Wilayah

(ha) Persen Luas Wilayah A 1 2 BWK A

Kapuas Kanan Hulu Kapuas Kanan Hilir Sub Jumlah 1.635 360 1.995 36 8 43 B 1 2 3 BWK B Tanjung Puri Ladang Baning Kota Sub Jumlah 1.056 336 486 1.878 23 7 11 41 C 1 2 BWK C

Kapuas Kiri Hulu Kapuas Kiri Hilir Sub Jumlah 166 548 714 4 12 16

Total Jumlah 4.587 100

Sumber : - Kecamatan Sintang Angk a Dalam Angk a - RDTRK Sintang Tahun 2001 – 2011


(46)

Sedangkan batas-batas administrasi Kecamatan Sintang adalah sebelah utara berbatasan dengan Kecamatan Binjai Hulu dan Kecamatan Kelam Permai. Sebelah selatan berbatasan dengan Kecamatan Sungai Tebelian. Sebelah timur berbatasan dengan Kecamatan Dedai, dan sebelah barat berbatasan dengan Kecamatan Tempunak.

4.2Topografi

Kota Sintang berada pada ketinggian antara 15 sampai 50 meter di atas permukaan laut dengan kemiringan antara 0 – 15%. Daerah-daerah terbangun yang mempunyai ketinggian di atas 30 meter umumnya terdapat di bagian tenggara kota sebelah timur dan tenggara hutan wisata Baning. Sedangkan pada kawasan lainnya seperti sebagian besar kawasan utara kota di wilayah Kelurahan Kapuas Kanan Hulu dan bagian barat kota di Kapuas Kanan Hilir serta wilayah Kelurahan Kapuas K iri Hilir dan Kapuas K iri Hulu merupakan kawasan-kawasan yang relatif datar. Bagian kota di sebelah timur aliran Sungai Melawi umumnya memiliki topografi yang bergelombang sampai berbukit.

4.3Geohidroklimatologi

Geologi Kota Sintang termasuk pada grup aluvial jalur aliran sungai. Wilayah sepanjang aliran sungai sempit, yang terletak di sepanjang kanan-kiri Sungai Kapuas dan Sungai Melawi. bahannya berupa endapan halus dan kasar (campuran).

Sebagaimana umumnya Kabupaten Sintang, kondisi klimatologi Kota Sintang tergolong dalam tipe A menurut klasifikasi iklim Schmidt and Ferguson, karena hampir tidak memiliki bulan kering dalam setahun. Suhu di Kota Sintang umumnya berkisar antara 21°C sampai 33°C, dengan tingkat kelembaban rata-rata 86,6 %, kecepatan angin rata-rata 27 – 34 km/jam dan penyinaran matahari rata-rata 57 %.

Curah hujan rata-rata 10 tahun yang terukur dari stasiun iklim Bandara Susilo Sintang adalah 260,90 mm/bulan dengan jumlah hari hujan 19,20 hh/bulan. Pada tahun 2007 curah hujan tertinggi terjadi pada bulan Januari sebesar 447,40 mm dengan jumlah hari hujan 25 hari. Sedangkan curah hujan terendah terjadi pada bulan Juni dengan sebesar 20,50 mm/bulan dengan jumlah hari hujan 6 hari.


(47)

Tabel 4. Data iklim Kota Sintang tahun 1998 - 2007 Tahun Unsur Iklim Curah hujan Rata-rata (mm) Hari Hujan Rata-rata Suhu Udara Rata-rata

(oC)

Kelembaban Udara Rata-rata (%) Penyinaran Matahari (%) Tekanan Udara Rata-rata (mb) Kec.Angin Rata-rata (km/jam) 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 301,5 250,8 280,4 216,4 243,1 253,3 262,3 274,8 214,4 312,4 21,3 18,9 30,0 18,0 16,5 18,0 18,0 19,0 16,0 16,6 27,1 26,7 26,7 26,7 26,9 26,9 26,8 26,9 27,0 26,8 86,8 85,7 86,7 86,1 86,2 87,6 86,9 86,8 86,0 87,2 49,6 60,8 57,7 58,6 51,3 52,0 57,5 53,9 54,3 57,2 1.010,6 1.009,9 1.009,9 1.010,3 1.011,6 1.010,9 1.011,8 1.009,6 1.011,9 1.010,8 3,14 3,33 3,14 3,14 3,33 3,14 3,70 3,89 3,52 3,33

Rerata 260,9 19,2 26,9 86,6 55,3 1.010,7 3,33

Sumber : Badan Meteorologi dan Geofisika (BMG) Kabupaten Sintang (2008)

Kecepatan angin rata-rata bulanan berkisar antara 5,56 sampai 11,11 km/jam. Secara umum, pada bulan Januari sampai Maret angin bertiup ke

arah utara dan timur laut dengan kecepatan maksimum 14,82 – 25,93 km/jam. Pada bulan April arah angin kebanyakan menuju arah barat dengan kecepatan rata-rata 9,26 km/jam, maksimum 22,22 km/jam. Tiga bulan berikutnya yaitu Mei, Juni dan Juli angin umumnya berubah arah ke tenggara dengan kecepatan rata-rata 5,56 – 9,26 km/jam dengan kecepatan maksimum antara 12,96 – 18,52 km/jam. Pada bulan Agustus, dominasi arah angin kembali ke barat dan kembali lagi ke tenggara pada bulan September. Bulan berikutnya, yaitu bulan Oktober sampai Desember, angin umumnya bertiup ke arah barat dan barat daya dengan kecepatan maksimum 14,82 – 18,52 km/jam atau rata-rata antara 7,81– 9,26 km/jam.

Kondisi hidrologi Kota Sintang sangat dipengaruhi oleh topografi kota yang sangat datar dan keberadaan dua buah sungai utama (Sungai Kapuas dan Sungai Melawi) yang melintas di tengah kota. Aliran kedua sungai ini membagi Kota Sintang menjadi 3 bagian utama. Keberadaan sungai-sungai ini sangat membantu sistem drainase kota yang ditunjang dengan adanya banyak parit/saluran sekunder yang bermuara ke kedua sungai tersebut. Air pasang sungai juga tidak terlalu bermasalah bagi sistem hidrologi kota, karena hanya kawasan-kawasan sempit di sepanjang pinggiran sungai yang tergenang selama pasang.


(48)

Kondisi drainase di beberapa bagian kota sangat menentukan jangka waktu surutnya genangan air hujan ini. Kawasan-kawasan di Kelurahan Kapuas Kanan Hilir, Kapuas Kanan Hulu, Kelurahan Ladang bagian utara dan kawasan Hutan Baning dan sekitarnya memanjang ke arah timur sampai di lembah Sungai Jumelak umumnya memiliki sistem drainase yang kurang baik terutama karena kemiringan lahannya di bawah 2%, sehingga genangan air hujan berlangsung relatif lama. Sementara itu, sebagian kawasan Hutan Baning bagian utara sampai pada bagian selatan hilir Sungai Keliling diidentifikasikan sebagai kawasan berawa yang tergenang hampir sepanjang tahun.

Selain kedua sungai besar tersebut sistem tata air di Kota Sintang didukung oleh adanya sungai-sungai (anak sungai) kecil yang fungsinya sebagai drainase kota yaitu pada saat air Sungai Kapuas dan Sungai Melawi kering maka sungai-sungai ini berfungsi mengalirkan air hujan dan pada saat kedua sungai tersebut meluap maka sungai-sungai ini akan menampung luapan air dari kedua sungai tersebut. Beberapa sungai kecil/parit yang penting bagi sistem drainase kota ini adalah: Sungai Keliling, Sungai Menyurai, Sungai Jemilak, Sungai Keriung, Sungai Alai, Sungai Menyumbung, Sungai Sempiyau dan Sungai Masuka. Sungai Keliling dan Sungai Keriung dihubungkan sebuah parit yaitu Parit Sena yang memanjang membelah kawasan Hutan Baning.

4.4Jenis Tanah

Tanah Kota Sintang umumnya berupa tanah aluvial, tanah gambut, dan tanah podsolik merah kuning. Sebaran pasti dan luas masing- masing jenis tanah ini belum diketahui secara jelas, tetapi secara umum tanah aluvial mendominasi semua wilayah yang dipengaruhi oleh pasang surut air Sungai Kapuas dan Sungai Melawi. Tanah gambut mendominasi kawasan-kawasan berawa, sedangkan wilayah lainnya didominasi oleh tanah podsolik merah kuning seperti sebagian besar bagian timur dan tenggara kota.

Tanah aluvial merupakan jenis tanah dengan fisiografi dataran rendah, bahan induk dari batuan-batuan aluvial/endapan banjir. Tanah ini sedikit atau belum mengalami perkembangan profil, dangkal sampai dalam, berwarna kelabu sampai kekuningan dan kecoklatan, sering ber- glei dan bertotol kuning, coklat dan merah.


(49)

Tanah podsolik merah kuning atau dikenal dengan PMK, memiliki perkembangan profil warna merah dan kuning, horison argilic, masam dan kejenuhan basa. Umumnya tanah ini menempati daerah-daerah bergelombang sampai berbukit dengan ketinggian di atas 20 meter dpl. Jenis tanah ini dibedakan menurut bahan induknya yaitu PMK dengan bahan induk batuan endapan dan dari bahan batuan beku. PMK dari batuan endapan bertekstur halus sampai sedang, sedangkan PMK dari bahan induk batuan beku umumnya memiliki tekstur halus. Sebaliknya tanah ini diusahakan untuk pertanian lahan kering atau perkebunan dengan usaha peningkatan kesuburan tanah dan usaha-usaha konservasi karena jenis tanah ini sangat peka terhadap erosi dan curah hujan yang tinggi.

4.5Kependudukan

Penduduk Kota Sintang pada tahun 2007 telah mencapai angka 50.803 jiwa. Berdasar tabel 4.4., dapat dilihat bahwa Kelurahan Tanjung Puri dan Kapuas Kanan Hulu memiliki jumlah penduduk yang terbanyak. Hal itu terkait dengan banyaknya fasilitas kehidupan yang ada di kawasan tersebut. Selain itu, Kelurahan Kapuas Kanan Hulu merupakan pusat perdagangan di Kota Sintang yang tentu saja menjadi daya tarik bagi penduduk untuk bertempat tinggal. Kemudian, Kelurahan Tanjung puri merupakan pusat pemerintahan yang tentu saja dapat menjadi daya tarik penduduk untuk bertempat tinggal di kawasan tersebut.

Tabel 5. Jumlah penduduk Kota Sintang tahun 2001 – 2007

No Nama

Kelurahan/Desa 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 1 2 3 4 5 6 7 Tanjung Puri Baning Kota Ladang

Kapuas Kanan Hulu Kapuas Kanan Hilir Kapuas Kiri Hilir Kapuas Kiri Hulu

10.838 6.186 2.244 11.335 3.701 2.124 3.466 11.058 6.312 2.289 11.566 3.776 2.167 3.536 12.904 8.244 2.866 12.464 4.365 2.249 3.870 13.128 8.388 2.916 12.680 4.441 2.288 3.937 13.352 8.531 2.966 12.897 4.517 2.327 4.004 11.690 9.305 3.352 12.709 5.269 2.634 4.106 9.796 10.547 4.291 13.760 5.401 2.532 4.476 Jumlah 39.894 40.704 46.962 47.778 48.594 49.065 50.803 Sumber : BPS Kota Sintang, 2008


(50)

4.6Kondisi Eksisting Penge mbangan Hutan Kota dan RTH Kota Sintang

Di samping sebagai taman, tempat bermain anak-anak dan lapangan olah raga, fasilitas Hutan Kota dan Ruang Terbuka Hijau juga berfungsi sebagai konservasi air, paru-paru kota untuk menjaga kesegaran udara kota, mengeliminasi polusi udara dan memberikan kesan keindahan kota. Dari hasil pengamatan langsung di lapangan, secara umum bentuk penggunaan Ruang Hijau di seluruh Kota Sintang meliputi: hutan kota, jalur sempadan sungai dan parit, taman kota, taman olahraga, bermain dan relaksasi, taman pemakaman umum, taman rumah/perkarangan, jalur hijau pengamanan (buffer zone), dan semak belukar.

4.6.1 Hutan Kota

Kawasan Hutan Lindung Baning ditetapkan berdasarkan Surat Keputusan Bupati Kabupaten Sintang Nomor 07/A-II/1975 pada tanggal 1 Juni 1975 dengan luas areal sekitar 315 hektar. Pemerintah Kabupaten Sintang merealisasikan keputusan tersebut, salah satu caranya dengan menutup Jalan Baning dan Jalan Kelam 2 yang terdapat di kawasan wisata ini.

Mengingat posisi kawasan tersebut yang strategis dan potensi alamnya yang begitu melimpah, pemerintah daerah setempat berupaya melindungi dan melestarikannya. Dalam perkembangan selanjutnya, pemerintah pusat melalui Surat Keputusan Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor 129/Kpts-II/90 pada tanggal 24 Maret 1990, menaikkan status kawasan tersebut menjadi Hutan Wisata Alam Baning. Kemudian, berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan Republik Indonesia Nomor 405/Kpts-II/99 pada tanggal 14 Juni 1999, kawasan tersebut ditetapkan sebagai Taman Wisata Alam Baning dengan luas areal sekitar 213 hektar.

Hutan kota memiliki fungsi: konservasi (perlindungan), pendidikan, dan produksi, dengan tujuan untuk pelayanan masyarakat dan penyangga lingkungan kota, wisata alam, rekreasi, produksi hasil ‘hutan’: iklim mikro, oksigen, dan ekonomi. Keberadaan dari hutan kota ini dapat mendukung pelestarian, perlindungan, dan pemanfaatan plasma nutfah, keanekaragaman hayati, pendidikan dan penelitian. Salah satu hutan di Kota Sintang yang berfungsi sebagai hutan kota sekaligus hutan wisata adalah Hutan Baning.


(51)

Gambar 5. Hutan Baning sebagai hutan kota dan hutan wisata di Kota Sintang Sintang adalah satu-satunya kota di Kalimantan Barat yang memiliki hutan di dalam wilayah kotanya. Hutan yang dalam RTRWP Kalbar dan RTRWK Sintang ditetapkan sebagai Taman Wisata Alam Baning di Desa Baning ini berfungsi ganda sebagai daerah resapan air, paru-paru kota, daerah wisata dan kawasan perlindungan bagi flora seperti rengas, kayu ramin, jelutung, resak dan berbagai jenis anggrek serta berbagai jenis fauna seperti kijang, kancil, landak, trenggiling dan kera. Baning sebagai hutan kota memiliki peran penting bagi Kota Sintang yaitu dapat menghambat penurunan kualitas lingkungan di wilayah Kota Sintang, terutama yang diakibatkan oleh berbagai pencemaran yang dapat merusak lingkungan dan menganggu tatanan kehidupan masyarakat kota. Adapun pemahaman tentang peranan hutan kota tidaklah terlepas dari upaya memahami keunggulan vegetasi (adanya tumbuh-tumbuhan) dalam rekayasa lingkungan, sekaligus mengenali pula sifat-sifat tumbuhan beserta bagian-bagiannya dan bagaimana pengaruhnya terhadap lingkungan.


(52)

4.6.2 Jalur Se mpadan Sungai dan Parit

Jalur Sempadan sungai adalah kawasan sepanjang kanan kiri sungai, termasuk sungai buatan, kanal dan saluran irigasi primer yang mempunyai manfaat penting untuk mempertahankan kelestarian fungsi sungai/badan air tersebut. Kawasan ini berfungsi sebagai konservasi, pencegah erosi, penelitian dan memiliki tujuan untuk perlindungan, mencegah okupansi penduduk, tidak mudah menyebabkan erosi, iklim mikro, dan penahan badai. Untuk perlindungan total pada tepi kiri-kanan bantaran sungai kurang lebih 25 – 50 meter untuk daerah yang rawan erosi.

Gambar 6. Jalur sempadan Sungai Melawi

Kota Sintang dilalui oleh dua sungai utama yaitu Sungai Kapuas dan Sungai Melawi. Kedua sungai ini termasuk sungai besar di Kalimantan Barat dan memiliki areal DAS yang sangat luas (lebih dari 500 km2) dengan kedalaman lebih dari 3 meter.

Sedangkan sungai-sungai kecil seperti Sungai Keliling, Sungai Menyurai, Sungai Jemilak, Sungai Keriung, Sungai Alai, Sungai Menyumbung, Sungai Sempiyau dan Sungai Masuka, serta Parit/Kanal Sena yang menyeberang Kawasan Hutan Baning ditetapkan sempadannya selebar 10 meter bila tidak bertanggul dan 3 meter bila bertanggul.


(1)

(2)

(3)

(4)

Lampiran 5. Pemakaian air bersih warga Kota Sintang

Pemakaian air bersih warga Kota Sintang (liter/hari)

B W K

Jumlah Responden

Anggota Keluarga Total Pemakaian

(liter/hari)

Rata-Rata Pemakaian

(liter/hari)

Jumlah Penduduk

(2007)

Total Pemakaian

(2007) Jumlah

Rata-Rata/KK A

B C

30 30 30

161 147 152

5,4 4,9 5,2

42.494 38.691 39.216

263,94 263,20 258,00

19.161 24.634 7.008

5.057.354 6.483.669 1.808.064 90 460 5,1 120.401 261,71 50.803 13.349.087


(5)

Lampiran 6. Hasil uji kualitas air Sungai Kapuas dan Sungai Melawi Hasil uji kualitas air Sungai Kapuas dan Sungai Melawi

Lokasi S ampling

Hasil Uji Parameter pH TDS

(mg/l) BOD (mg/l) COD (mg/l) DO (mg/l) Hg (mg/l)

Minyak & Lemak (mg/l) Sei. Kapuas

-Kelam -Binjai Hulu -Sintang -Tebelian -Tempunak -Sepauk Sei. Melawi -Ambalau -Serawai -Dedai 4,97 4,86 5,34 4,47 5,04 5,97 5,40 5,23 5,36 8,62 8,62 16,00 8,62 11,10 8,62 8,62 13,50 8,62 0,58 0,58 0,30 4,59 0,72 0,93 0,52 0,71 0,96 13,60 17,70 53,60 41,90 25,30 24,60 13,90 13,60 24,10 3,34 4,11 6,11 5,46 4,78 5,12 7,04 5,65 4,69 0,0002 0,0002 0,0002 0,0004 0,0002 0,0003 0,0002 0,0004 0,0002 0,800 0,740 0,760 0,740 0,790 0,940 0,710 0,900 0,800 Standar

M utu Air I 6-9 1000,00 2,00 10,00 6,00 0,0010 0,300


(6)

Lampiran 7. Hasil uji kualitas air tanah

Hasil uji kualitas air tanah di Kota Sintang

No Parameter Uji Satuan Kelas Mutu Air Hasil Uji

I II

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 Residu Terlarut pH BOD

Total Fosfat sebagai P Nitrat sebagai NO3-N Nitrit sebagai NO2-N Besi (fe) Mangan (Mn) Cadmium (Cd) Timbal (Pb) Arsen (As) Merkuri (Hg) Sianida (Cn) Fluorida (F)

Minyak dan Lemak

mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l 1000 6-9 2 0,2 10 0,06 0,3 0,1 0,01 0,03 0,05 0,001 0,2 0,5 1 1000 6-9 3 0,2 10 0,06 - - 0,01 0,03 1 0,002 0,2 1,5 1 263 7,13 0,53 0,0125 1,29 0,049 0,391 0,0808 < 0.001 < 0.002 < 0,0005 < 0,0002 < 0,002 0,10 0,69 Sumber: Bagian Lingkungan Hidup Setda Kabupaten Sintang Tahun 2008