Pl
3
MOE =
....................... 4
4bh
3
Y Keterangan
: MOE = Modulus of Elasticity kgfcm
2
l = Bentang cm
P = Beban sebelum batas proporsi kgf
∆ Y
= Lenturan pada beban P h
= Tebal contoh uji cm b
= Lebar contoh uji cm
b. Pengujian fisik mekanik LVL berdasarkan Standar SNI 01-6240-2000
Vinir Lamina. Pengujian yang dilakukan adalah pengujian kadar air, kerapatan, delaminasi struktural dan non struktural, pengujian geser
horizontal tegak dan datar, MOE, MOR serta pengujian emisi formaldehide. Contoh uji dipotong sesuai standar dan mempunyai
masing-masing 3 ulangan.
1. Pengujian KA dan kerapatan
Pada penentuan KA dan kerapatan ini menggunakan perhitungan seperti dengan formulasi 1 dan 2
2. Pengujian Delaminasi
Pengujian delaminasi untuk menentukan keteguhan rekat ini dilakukan dua jenis yaitu uji delaminasi non struktural dan struktural.
a. Pengujian delaminasi struktural dilakukan dengan merendam
contoh uji ke dalam air dengan suhu 70
o
C ± 3
o
C selama 2 jam, kemudian dimasukkan ke dalam oven pada suhu 60
o
C ± 3
o
C sampai KA contoh uji kurang dari 8. Selanjutnya diukur
delaminasi pada setiap garis rekat pada setiap sisi kemudian dijumlahkan.
b. Pengujian delaminasi non struktural dilakukan dengan merendam
contoh uji ke dalam air dingin selama 24 jam, kemudian dikeringkan pada oven dengan suhu 60
o
C ± 3
o
C selama 24 jam. Selanjutnya diukur delaminasi pada setiap garis rekat pada setiap
sisi kemudian dijumlahkan.
Penentuan nisbah delaminasi dalam didapat dengan formulasi berikut :
……………. 5
3. Pengujian Geser Horisontal
Pengujian geser horisontal ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh beban terhadap kekuatan lapisan vinir dan garis rekat. Pengujian ini
dilakukan pada dua posisi, yaitu tegak dan datar seperti yang ditunjukkan pada gambar 6 dan pembebanan tepusat seperti pada
gambar 4. Contoh uji diletakkan tegak atau datar dengan jarak sangga 4 kali tebal, sedangkan panjang contoh uji 6 kali tebal. Beban yang
diberikan dengan laju maksimum 150 kgcm
2
tiap menit sampai contoh uji patah. Keteguhan horizontal dapat dihitung dengan rumus sebagai
berikut :
Keterangan : B’ = Beban maksimum kg
L = Lebar cm pada pengujian tegak, sama dengan tebal contoh uji T = Tebal cm pada pengujian datar, sama dengan lebar contoh uji
4. Pengujian Modulus of Rupture MOR
Pengujian MOR dilakukan bersamaan dengan pengujian MOE dengan tujuan untuk mendapatkan kekuatan patah yang dapat ditahan dengan
memberi pembebanan dua titik beban pada LVL. Contoh uji diletakkan
…………… 6
Gambar 6 Posisi benda uji LVL Tegak kiri dan benda uji Datar kanan.
tegak dan datar seperti pada gambar 6 dengan jarak sangga yang digunakan adalah ±21 x tebal contoh uji, sedangkan panjang contoh uji
23 kali tebal. Laju maksimum pembebanan yang diberikan adalah 150 kgcm
2
tiap menit. Posisi beban dan bentang disajikan pada Gambar 7. MOR dihitung dengan menggunakan rumus :
Keterangan :
MOR = Modulus of Rupture kgfcm
2
B’ = Beban maksimum kgf
S = Jarak sanggabentang cm
L = Lebar contoh uji cm, pada pengujian tegak, sama dengan
tebal contoh uji T
= Tebal contoh uji cm, pada pengujian datar, sama dengan lebar contoh uji
P = Panjang contoh uji cm
5. Pengujian Modulus of Elastiscity MOE
Perhitungan MOE dilakukan dengan menggunakan contoh uji yang sama dengan MOR. Pada pengujian ini yang dicatat adalah perubahan
T Contoh uji
Beban 1 Beban 2
13 S 13 S
13 S
P S
L
Gambar 7 Pengujian MOR dan MOE dengan dua titik pembebanan.
…………… 6
defleksi setiap perubahan beban tertentu. Nilai MOE dihitung dengan rumus :
Keterangan : MOE = Modulus of Elasticity kgfcm
2
S = Jarak sanggabentang cm
L = Lebar contoh uji cm, pada pengujian tegak, sama dengan
tebal contoh uji T
= Tebal contoh uji cm, pada pengujian datar, sama dengan lebar contoh uji
B = Perbedaan batas atas dan batas bawah dalam selang batas
proporsional D
= Defleksi pada bagian tengah jarak sangga sesuai dengan B 6.
Pengujian Emisi Formaldehide Pengukuran emisi formaldehida sesuai dengan metoda botol Wilhelm
Klaunitz Institute WKI. Prinsip dari metode ini adalah contoh uji
yang berukuran 2,5 cm x 2,5 cm ditimbang untuk menentukan nilai kadar air. Kemudian, contoh yang lain dengan ukuran yang sama
diikatkan pada tutup botol WKI Gambar 8.a yang telah berisi air dan disimpan pada suhu 40
o
C selama 24 jam. Setelah itu larutan dalam botol WKI direaksikan dengan larutan asetil aseton-amonium asetat
kemudian dipanaskan dalam penangas air Gambar 8.b bersuhu 60- 70
o
C selama 10 menit. Larutan diukur absorbansnya dengan spektrofotometri pada panjang gelombang 412 nm untuk menentukan
konsentrasi larutan dengan cara membandingkan dengan larutan
standar formalin.
…………… 7
a b
Gambar 8 a. Botol WKI; b.Shaking Water bath.
3. Pembuatan pasak bambu
Pasak bambu yang akan digunakan sebagai alat penyambung terbuat dari bambu laminasi, disusun dari vinir bambu. Penelitian sifat dasar bambu
digunakan sebagai dasar penentuan ketebalan vinir. Pasak disusun oleh vinir dengan ketebalan ± 3 mm serta perekat jenis polyurethane PU dengan berat
labur 280 gm
2
menggunakan kempa dingin. Pasak yang dibuat mempunyai diameter 10 mm dan 15 mm, dengan bahan baku bambu Betung dan bambu
Sembilang. Proses pembuatan pasak dimulai dengan pembuatan papan laminasi bambu dengan ukuran 400 x 400 x 12 mm, untuk pasak diameter 10
mm Gambar 9, dan papan dengan ukuran 400 x 400 x 18 mm, untuk diameter 15 mm. Laminasi bambu ini tersusun dari strip bambu dengan tebal 3
mm, lebar 10 mm dan panjang 40 cm. Panjang strip disesuaikan dengan panjang antar buku. Laminasi bambu dibuat diawali dengan pembuatan
lapisan-lapisan yang disusun vinir bambu dengan tebal 3 mm. Setelah pengeringan selama 24 jam, lapisan vinir tersebut disusun dengan sejajar arah
serat dengan susunan zigzag seperti pada pemasangan batu bata sebanyak 4 lapis untuk pasak 10 mm dan 6 lapis untuk pasak 15 mm. Setelah masa
pengeringan ± 1 minggu, papan laminasi dipotong-potong sejajar serat dengan lebar ± 15 - 18 mm Gambar 10 yang selanjutnya dilakukan pembubutan
sesuai diameter yang diinginkan Gambar 11.
Gambar 9 Lembaran papan laminasi bambu, yang terdiri dari 4 dan 6 lapis vinir bambu dengan tebal masing-masing 3 mm untuk dowel 10 dan 15 mm.
4. Pengujian pasak bambu
Pasak bambu yang merupakan produk laminasi akan diuji sifat fisik yang meliputi pengujian KA, kerapatan, kembang susut, MOE dan MOR
berdasarkan SNI 01-6240-2000 Vinir Lamina dengan formulasi telah diuraikan seperti sebelumnya. Sifat mekanik dimana data yang diperoleh
dipergunakan untuk mendesain sambungannya adalah momen leleh yield moment
berdasarkan ISOTC 165SC N537:2007 Timbers Structures-Dowel- type fasteners-Part 1
: Determination of yield moment dan kuat tumpu pasak dowel embedding strength berdasarkan ISOTC 165SC N538:2007. Timbers
Structures-Dowel-type fasteners-Part 2 : Determination of embedding strength
and foundation values
Gambar 10 Pemotongan laminasi bambusejajar serat dengan lebar 15 – 18 mm.
Gambar 11 Pembubutan pasak sesuai diameter dan dipotong sesuai kebutuhan.
a. Pengujian Yield Moment M
y
Pengujian ini bertujuan untuk mengetahui beban maksimum yang diterima pasak, dimana pasak akan melendut dengan sudut kurang lebih 45
o
. Penentuan nilai yield moment dilakukan dengan pembebanan dua titik
gaya tekan pada pasak seperti pada Gambar 12, dengan ketentuan bahwa
1
dan
3
panjangnya paling sedikit 2d. Panjang
2
antara d dan 3 d. Adapun nilai yield moment dapat diperoleh dengan perumusan sebagai berikut :
Keterangan : My
= Yield moment kgfcm F
max
= Beban maksimum kgf l
= Jarak antar tumpuan cm l
2
= Jarak antar beban cm
b. Pengujian Dowel Embedding Strength
Pengujian ini bertujuan untuk mengetahui kekuatan mekanik pasak dimana hasil pengujian menunjukkan kuat batas kayu di sekeliling lubang
yang terbebani tekan oleh pasak Gambar 13. Penentuan nilai embedding strength
daidapat dengan perumusan sebagai berikut :
Keterangan : f
h
= Embedding strength kgfcm
2
Gambar 12. Pengujian yield moment dengan dua titik pembebanan
d Contoh uji
Beban 1 Beban 2
1 2
3
……… 8
…………… 9
F
max
= Beban maksimum kgf d
= Diameter pasak cm t
= Tebal kayu penumpu cm
5. Perencanaan desain sambungan
Sambungan yang dibuat adalah sambungan dengan dua bidang geser. Jumlah pasak n yang digunakan berdasarkan pendekatan 4 model kerusakan
EUROCODE 5 dan sebagai kontrol adalah sambungan baut dengan diameter 10 mm. Empat model kerusakan EN 1995-1-1: 2004
EUROCODE 5 dengan persamaan tegangan leleh yang terjadi, yaitu menggambarkan karakteristik
kapasitas beban yang dapat diterima setiap alat penyambung pada dinding geser disajikan dalam gambar 14. Persamaan pendekatan keempat model
dapat dilihat pada persamaan 10 sampai dengan persamaan 13.
Gambar 13 Pengujian Embedding strength.
t
1
t
2
t
1
Gambar 14 Model mode kerusakan sambungan tipe pasakbaut pada dua dinding geser.
Persamaan Model I :
Persamaan Model II :
Persamaan Model III :
Persamaan Model IV :
Dimana : F
v, Rk
: kapasitas beban yang dapat diterima setiap alat penyambung pada dinding geser kgf
t
1
: tebal balok pengapit cm t
2
: tebal balok utama cm f
h
: Embedding strength kgfcm
2
, bisa didapat dengan EUROCODE 5 persamaan 8.31 dan 8.32, untuk beban dengan sudut α terhadap
serat
f
h,0,k
: Embedding strength pada sejajar serat ρ
: density balok D
: diameter pasakbaut cm
…………… 10
…………… 11
…………… 12
…………… 13
…………… 14
…..……… 15
M
y
: Yield moment kgfcm, bisa didapat dengan EUROCODE 5 persamaan 8.30
f
u,k
: tegangan tarik pasakbaut kgfcm
2
β : rasio perbandingan antara Embedding strength pada balok utama
terhadap balok pengapit
6. Pengujian mekanik sambungan
Pengujian yang dilakukan dengan uji tarik sambugan untuk pengetahui lendutansesaran yang diterima oleh bautpasak terhadap beban yang
dikenakan dengan menggunakan alat Universal Testing Machine UTM merk Tokyokoki berdasarkan ASTM D 5652 : Standard Test Methods for
Bolted Connection in Wood and Wood-Based Products
Gambar 15 Pengujian tekan sambungan dengan UTM merek Tokyokoki kiri dan data logger
kanan.
Analisis Statistika
a. Analisis pengujian sifat fisis mekanis LVL dan bambu
Analisis yang digunakan untuk pengujian sifat fisik mekanik bahan menggunakan Rancangan Acak Lengkap Sederhana Simple Random
Sampling , dengan formulasi sebagai berikut :
ij i
ij
Y
ε τ
µ
+ +
=
…………… 16
…………… 17
…………… 18
dimana : i
= 1,2,3 jenis LVL atau bambu j
= 1,2,3 ulangan Y
ij
= respon dari jenis ke-i serta ulangan ke-j = rata-rata umum
τ
i
= pengaruh perlakuan ke-i ε
ij
= galat dari perlakuan ke-i serta ulangan ke-j b.
Analisis pengujian sifat fisis dan mekanis pasak bambu Analisis pengujian sifat fisik mekanik pasak bambu menggunakan
Rancangan Faktorial dalam RAL, dengan formulasi sebagai berikut :
ijk ij
j i
ijk
Y
ε τκ
κ τ
µ
+ +
+ +
=
Dimana : i
= 1,2 jenis bambu j
= 1,2 besar diameter k
= 1,2,3,4,5 ulangan Y
ijk
= respon dari jenis ke-i, kelompok ke-j serta ulangan ke-k µ
= rata-rata umum τ
i
= pengaruh jenis ke-i κ
j
= pengaruh kelompok ke-j τκ
ij
= pengaruh interaksi perlakuan ke-i dan kelompok ke-j ε
ijk
= galat dari perlakuan ke-i, kelompok ke-j, serta ulangan ke-k c.
Analisis pengujian mekanik sambungan Analisis perilaku sambungan menggunakan Linear Model The Two Stages
Nested Design Nested Design , dengan formulasi sebagai berikut :
=
= =
+ +
+ =
r k
b j
a i
y
ijk i
j i
ijk
,..., 2
, 1
,..., 2
, 1
,..., 2
, 1
ε β
τ µ
…………… 19
…………… 20
dimana : Y
ijk
= pengamatan dari faktor A ke-i, faktor B ke-j, serta ulangan ke-k
µ = rataan umum
τ
i
= pengaruh faktor A ke-i β
ji
= pengaruh faktor B ke-j tersarang dari faktor A ke-i ε
ijk
= pengaruh acak dari faktor A ke-i, faktor B ke-j serta ulangan ke-k
Faktor A = variasi bambu dan variasi diameter pasak Faktor B = variasi jumlah pasak dalam sambungan
i = 1,2,3,4 , yaitu :
1
. Betung dengan Ø 10 mm,
2
. Betung dengan Ø 15 mm,
3 . Sembilang dengan Ø 10 mm,
4
. Sembilang dengan Ø 15 mm; j
= 1,2,3,…..12, yaitu :
1
. Betung dengan Ø 10 mm jumlah 4,
2 . Betung dengan Ø 10 mm jumlah 6,
3
. Betung dengan Ø 10 mm jumlah 8,
4 . Betung dengan Ø 15 mm jumlah 4,
5.
Betung dengan Ø 15 mm jumlah 6
6.
Betung dengan Ø 15 mm jumlah 8,
7.
sembilang dengan Ø 10 mm jumlah 4,
8.
sembilang dengan Ø 10 mm jumlah 6,
9.
sembilang dengan Ø 10 mm jumlah 8,
10.
sembilang dengan Ø 15 mm jumlah 4,
11. sembilang dengan Ø 15 mm jumlah 6