Pola kerusakan pada LVL B mempunyai sedikit perbedaan dari kedua LVL yang lain. Kerusakan diawali pada sepertiga bagian bawah LVL yaitu belum
mencapai sumbu LVL tepatnya pada vinir Sengon sebagai salah satu penyusunnya, sebelum kerusakan menuju ke bagian tepi. Vinir Sengon
mengalami kerusakan dengan sobekan yang panjang hal ini dapat dikatan bahwa vinir Sengon tidak cukup kuat dapat menerima gaya tarik. Hal ini didukung oleh
penelitian Murata et al. 2008 yang menyatakan bahwa pada pengujian geser tarik dan bending, kerusakan LVL yang tersusun atas vinir Karet dan Sengon,
terjadi pada lapisan vinir Sengon Paraserianthes falcataria. Sehingga vinir Sengon yang mempunyai kerapatan rendah dapat menjadi perlemahan dalam
mencapaikan kekuatan LVL. Pola kerusakan dapat memberikan gambaran kekuatan dari LVL.
6. Emisi Formaldehida
Hasil pengujian emisi formaldehida dari masing-masing jenis LVL yang
telah dibuat, diperoleh data bahwa emisi tertinggi dihasilkan oleh LVL C yang dibuat dari kayu Karet dengan menggunakan perekat MUF dengan emisi rata-rata
2.476 mgliter, yang kemudian diikuti oleh LVL B yang dibuat dari kombinasi vinir kayu Karet dan Sengon dengan menggunakan perekat PF dengan emisi rata-
rata 0.582 mgliter, dan emisi terendah dihasilkan oleh LVL A, yang dibuat dari vinir kayu Karet menggunakan perekat PF dengan emisi formaldehida sebesar
0.137 mgliter. Secara teknis, metode WKI cukup mudah dilakukan dengan ukuran sample
yang relatif kecil 2.5x2.5 cm. Waktu yang lebih lama memungkinkan absorbsi yang lebih maksimal. Akan tetapi dibanding dengan metode lain desikator 2 jam
dan 24 jam, metode ini cenderung menghasilkan nilai emisi yang lebih tinggi Saptosari 2006. Walaupun demikian, dari hasil pengujian emisi yang telah
dilakukan bila diperbandingkan dengan standar nilai emisi Formaldehida Japanese Agricultural Standard
JAS A 5908:2003 yang tertera pada Tabel 5.
Tabel 5 Syarat mutu produk-produk kayu lapis, papan partikel, papan serat, dan LVL
Kelas Nilai rata-rata
Nilai Maksimum F
0.3 mgL 0.4 mgL
F 0.5 mgL
0.7 mgL F
1.5 mgL 2.1 mgL
FS 5.0 mgL
7.0 mgL
LVL yang diujikan telah menuhi standar tersebut, karena dari ke tiga jenis produk LVL yang diujikan, nilai emisi tertinggi LVL-C yang didapatkan adalah rata
2.476 mgliter yang berarti masih dibawah standard yang dipersyaratkan yaitu 7.0 mgliter. Namun bila digunakan standard Amerika menurut ASTM D-5582-
94 yaitu sebesar 0.01 mgliter dan standar WHO sebesar 0.1 mgliter, maka LVL tersebut belum memenuhinya karena emisi terendah yang dihasilkan LVL- A
adalah 0.137 mgliter. Hasil pengukuran emisi juga menunjukkan bahwa jenis perekat
memberikan pengaruh yang nyata terhadap banyaknya emisi formaldehida yang dikeluarkan. Penggunaan perekat MUF LVL-C akan memberikan emisi
Formaldehida yang tertinggi dibandingkan dengan penggunaan perekat PF LVL- A dan B. Penggunaan vinir kayu Sengon dalam pembuatan diduga dapat
meningkatkan emisi formaldehida yang terjadi, dimana dari hasil pengujian LVL yang terbuat dari susunan veneer kayu Karet LVL-A menghasilkan rata-rata
emisi Formaldehida sebesar 0.137 mgliter yang mana lebih kecil dari LVL yang terbuat dari susunan vinir kayu Karet dan Sengon LVL-B yang menghasilkan
rata-rata emisi Formaldehida sebesar 0.582 mgliter. Karakteristik Pasak Bambu Laminasi
1 Kadar Air KA dan Kerapatan
Kadar air serta kerapatan pasak dari dua jenis bambu dengan diameter 10 mm dan 15 mm telah diperoleh hasil yang dapat dilihat dalam Gambar 34 dan 35
dibawah ini. Kadar air yang dimiliki keempat pasak bambu mempunyai kemiripan yaitu berkisar antara 10 sampai 13, hal ini menunjukkan bahwa keempat
pasak tersebut mempunyai kadar air kering udara. Pasak bambu Betung dengan diameter 15 mm mempunyai rata-rata yang paling tinggi diantara ketiga pasak
lainnya, akan tetapi sebaran nilai kadar airnya tidak berbeda nyata. Nilai yang hampir sama juga dihasilkan pada pengujian kerapatan pada
keempat pasak. Kerapatan yang dimilki dari keempat pasak adalah berkisar antara 0.8-0.9 gcm
2
. Kerapatan pasak ini mempunyai nilai sedikit lebih besar dibanding berat jenis dari bahan baku, yaitu bambu Betung dan Sembilang yang mempunyai
rata-rata BJ 0.8. Kontribusi perekat dimungkinkan meningkatkan kerapatan pasak.
Meninjau dari hasil kadar air yang diperoleh menunjukkan bahwa jenis bambu, yaitu Betung dan Sembilang, serta interaksi dari kedua variabel, yaitu
jenis bambu dan besar diameter pasak, tidak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap kedua sifat fisik pasak. Pembedaan atas diameter memberikan
pengaruh yang nyata nilai kadar air. Hal ini dibuktikan pada hasil sidik ragam ANOVA yang ditabelkan pada Tabel 6, dimana nilai P
value
0.010 yaitu lebih kecil dari 5 selang kepercayaan.
Kerapatan yang diperoleh menunjukkan bahwa jenis bambu, yaitu Betung dan Sembilang, serta besar diameter pasak, yaitu 10 mm dan 15 mm, tidak
memberikan pengaruh yang signifikan terhadap kedua sifat fisik pasak. Hasil uji sidik ragam dapat dilihat di Tabel 6 berikut, yang menunjukkan bahwa semua
Keterangan Gambar 34, 35 : A = Pasak Betung ø 10 ; B = Pasak Sembilang ø 10; C = Pasak Betung ø 15; D = Pasak Sembilang ø 15
Gambar 34 Hasil pengujian kadar air pasak bambu.
Gambar 35. Hasil pengujian kerapatan pasak bambu
variabel menghasilkan P
value
lebih besar 5. Perhitungan lengkap disajikan pada Lampiran 6.
Tabel 6 Nilai P
value
dengan derajat kepercayaan 95 dari sidik ragam ANOVA untuk pengujian KA dan Kerapatan
Parameter Variabel
KA Kerapatan
Jenis bambu JB 0.514
0.252 Diameter ø
0.010 0.967
Interaksi JB ø 0.514
0.143
Keterangan : memberikan pengaruh yang nyata
2. Modulus of Rupture MOR dan Modulus of Elasticity MOE