Modulus of Elasticity MOE dan Modulus of Rupture MOR

Lindholm 2007 menyatakan bahwa BJ merupakan salah satu yang menentukan sifat mekanik pada batang bambu. BJ tergantung pada banyak dan diameter serat serta tebal dinding sel. Oleh karena itu sifat mekanik sangat signifikan pada setiap batang dan antar jenis bambu. Kadar air akan mengalami penurunan pada posisi semakin ke atasujung seperti disajikan pada Tabel 1 bahwa kandungan air yang dimiliki oleh bambu Sembilang lebih tinggi dibanding oleh bambu Betung, yaitu berkisar antara 23.87 – 136.72 . Adapun sebaran nilai KA pada bambu Betung berkisar antara 15.24 – 111.82 . Hal ini dapat dihubungkan oleh proporsi ikatan serabut seperti pada Gambar 16 diatas bahwa di beberapa tempat khususnya sisi terluar, proporsi serabut bambu Bentung lebih tinggi dibanding pada bambu Sembilang. Sattar dalam Nuryatin 2000 perbedaan KA dipengaruhi perbedaan struktur anatomi dan komposisi kimia antar jenis bambu karena hal ini berkaitan dengan besarnya volume udara dalam batang bambu. Kandungan air dari posisi bawah sampai atas menunjukkan kecenderungan perbedaan hal ini dikarenakan pada bagian atas proporsi ikatan serabut lebih banyak dan didukung oleh proses lignifikasi yang lebih banyak sehingga lebih stabil dan mengandung kadar air yang relatif lebih rendah dibandingkan pada bagian bawah. Ini berarti volume total zat dinding sel serabut dan jumlah ekstraktif meningkat yang mengisi ronga sel sehingga volume rongga udara cenderung lebih kecil. BJ bambu Betung paling tinggi dibanding bambu Andong, Temen, Tali dan Hitam. Sedangkan ditinjau dari bagian bawah bambu Hitam mempunyai BJ paling tinggi tetapi berbeda pada bagian atas, BJ tertinggi pada bambu Betung.

2. Modulus of Elasticity MOE dan Modulus of Rupture MOR

MOE menunjukkan sifat kekakuan dan diterapkan pada kondisi batas proporsi sebagai penduga kekuatan yang lebih baik dibandingkan pendugaan yang berdasarkan atas BJ atau kekerasan karena mempunyai kepekaan terhadap cacat. Sebaran nilai MOE bambu Betung dan Sembilang mempunyai kecenderungan semakin meningkat pada posisi dalam menuju keluar dan dari posisi bawah menuju keatas Gambar 19 dan 20. Hal ini seperti dituliskan pada penelitian- penelitian sebelumnya, seperti Yu et al. 2008 yang telah melakukan penelitian Gambar 20 Diagram sebaran MOE bambu Sembilang setiap lapisan dalam satu batang. Gambar 19 Diagram sebaran MOE bambu Betung setiap lapisan dalam satu batang. bambu Moso Phyllostachys pubescens yang menunjukkan bahwa MOE mengalami penurunan dari lapisan terluar menuju lapisan terdalam. Dan penelitian yang dilakukan Nuriyatin 2000 memberikan hasil bahwa nilai MOE mempunyai kecenderungan yang meningkat dari bagian pangkal ke bagian ujung. Dari hasil penelitian ini terlihat nilai MOE yang dimiliki bambu Sembilang mempunyai kecenderungan lebih tinggi dari bambu Betung. Sifat MOE ini juga masih dipengaruhi oleh BJ yang dimiliki, dimana hasil yang telah disampaikan diatas bahwa BJ bambu Sembilang mempunyai kecenderungan lebih tinggi dibanding BJ bambu Betung, sehingga sifat MOE yang dimiliki oleh bambu Sembilang lebih tinggi dibanding MOE bambu Betung. Karena BJ merupakan sifat fisik bambu maupun kayu yang mempengaruhi sifat mekaniknya. Nilai MOR mempunyai korelasi yang positif terhadap MOE, hal ini ditunjukkan dengan distribusi MOR mempunyai pola yang mirip terhadap distribusi MOE Gambar 21 dan 22. Pengujian bending pada bambu Betung dan Sembilang menghasilkan sebaran peningkatan MOR dari posisi bawah menuju ke atas dan pada lapisan yang dalam menuju lapisan yang terluar. Dan sebaran MOR yang dihasilkan bambu Sembilang mempunyai nilai yang lebih tinggi dibanding pada bambu Betung. Hal ini berkesesuaian dengan sebaran MOE serta BJ. Meskipun pada bagian bambu Betung ada yang mempunyai nilai MOR yang menonjol yaitu pada bagian tengah lapisan luar hal ini dipengaruhi oleh proporsi ikatan vaskuler yang tinggi dibanding pada bagian yang lain. Nilai MOE dan MOR bambu Betung mempunyai sebaran dengan nilai 5 515.68 – 13 934.07 kgcm 2 dan 160.38 – 366.11 kgcm 2 . Bambu Sembilang mempunyai sebaran nilai MOE dan MOR yang lebih tinggi dari bambu Betung, yaitu 4 745.07 – 24 329.92 kgcm 2 dan 144.70 - 508.93 kgcm 2 . Subyakto 1995 berdasarkan hasil penelitiannya menyatakan bahwa bambu Betung mempunyai MOE tertinggi dibanding bambu Tali, Temen, Andong dan Hitam. Hal ini disebabkan karena adanya perbedaan struktur khususnya sklerenkim yang dimilki yang sekaligus menunjukkan perbedaan nilai BJ. Gambar 22 Diagram hubungan MOR dan MOE pada bambu Sembilang. Gambar 21 Diagram hubungan MOR dan MOE pada bambu Betung. Gambar 24 Diagram hubungan BJ dan MOR pada bambu Sembilang Gambar 23 Diagram hubungan BJ dan MOR pada bambu Betung. Kecenderungan BJ tinggi mempunyai MOE yang tinggi. Dengan demikian BJ mempunyai peranan yang penting dalam menentukan sifat fisik mekanis, selanjutnya Jassen dalam Nuriyatin 2000 menuliskan bahwa nilai MOE ditentukan oleh persentase sklerenkim. Hubungan nilai BJ dan MOR dari kedua jenis bambu dapat dilihat pada Gambar 23 dan 24 dibawah. Dari diagram tersebut dilihat pola sebaran BJ yang mempengaruhi MOR dengan korelasi yang positif, yaitu dengan meningkatnya BJ maka MOR juga akan meningkat. Beberapa penelitian menyatakan bahwa terdapat hubungan kuat antara nilai MOE dan MOR sehingga menduga MOR dengan MOE dapat dilakukan. Klop dalam Lindholm 2007 menyatakan bahwa bambu mempunyai kekuatan lentur dapat mencapai dua sampai tiga kali lebih tinggi pada bagian luar dibandingkan pada bagian dalam. Pada bambu Betung nilai BJ tertentu tidak memberikan interval MOR tertentu, sebaliknya pada sebaran BJ bambu Sembilang memberikan pola interval MOR yang dihasilkan dari BJ tertentu, yang diilustrasikan oleh persegi panjang diatas Gambar 23 dan 24. Dengan sebaran yang terpola maka pada bambu Sembilang dapat lebih mudah untuk pemilihan bagian dari batang bambu untuk digunakan suatu bahan komposit dengan karekteristik tertentu, khususnya dalam hal pencapaian kerapatan dan kekuatan tekan yang ingin dicapai. Berdasarkan Gambar 25 Sebaran MOR pada bambu Betung dan Sembilang dengan BJ lebih besar dari 0,5 penelitian pemanfaatan bambu sebagai bahan bangunan juga telah dilakukan oleh Surjokusumo dan Nugroho 1994 khususnya untuk sifat anatomi, fisik, mekanik dan balok laminasi bambu sebagai tulangan beton dengan maksud untuk mencapai tujuan penggunaan yang effisiennya, disimpulkan bahwa D. asper mempunyai prospek yang baik untuk dimanfaatkan sebagai bahan bangunan yang serba guna. Dengan hasil pengujian dari bawah menuju ke atas, dan dari dalam menuju keluar, sebaran kekuatan dari batang bambu utamanya dipengaruhi oleh BJ dan MOR. Dari penelitian ini dapat diperoleh sebaran kekuatan yang lebih spesifik dengan mengambil bagian dengan BJ diatas 0.5, maka akan diperoleh sebaran MOR seperti disajikan pada Gambar 25. Bambu Betung dan Sembilang MOR yang mirip. Jelas terlihat bahwa hubungan sebaran dari BJ dan MOR adalah linier yang berkorelasi positif. MOR akan semakin meningkat pada posisi semakin ke atas pada batang, dimana sebarannya sangat terlihat jelas dengan tiga area bawah , tengah dan atas, meskipun perbedaan BJ tidak terlalu nyata. 3. Struktur Anatomi Sifat mekanik suatu batang bambu dapat dijelaskan oleh struktur anatominya, Liese dalam Lindholm 2007. Bambu tidak mempunyai sel radial seperti yang terdapat pada kayu, yang berfungsi untuk transportasi cairan dan makanan. Pada bambu, buku bertindak sebagai transportasi. Sel berbeda pada setiap bagian yang berbeda pada batang, arah vertikal pada sepanjang batang dan arah transversal dari dinding batang. Dalam penelitian ini dilakukan pengujian anatomi untuk mengetahui dimensi serat serta sebaran dan pola dari ikatan vaskular. Dimensi serat dari bambu Bentung dan Sembilang dituangkan dalam Tabel 3 berikut. Tabel 3 Dimensi serat pada bambu Betung dan Sembilang Panjang Serat Diameter Serat Diameter Lumen Tebal Dinding Serat Jenis Bambu Posisi m m m m Betung Atas 3107.84 25.63 21.47 2.08 Betung Tengah 4016.35 28.00 23.76 2.12 Betung Bawah 4040.40 30.69 26.48 2.10 Sembilang Atas 3281.04 38.38 33.36 2.51 Sembilang Tengah 3516.91 43.86 38.61 2.62 Sembilang Bawah 4031.09 41.79 36.62 2.58 Dari Tabel diatas dapat dilihat bahwa panjang serat pada setiap batang bambu akan mengalami peningkatan. Panjang serat antara bambu Betung dan Sembilang hampir mempunyai kesamaan meskipun dari pengukuran terlihat serat bambu Betung lebih panjang dari bambu Sembilang. Diameter serat pada bambu Betung mempunyai pola seperti panjang serat, yaitu semakin tinggi posisi dari pangkal maka diameter seratnya semakin lebar. Akan tetapi berbeda pada bambu Sembilang, pada posisi tengah mempunyai diameter serat yang paling besar demikian pula halnya dengan diameter lumennya. Dinding serat yang paling tebal dimiliki oleh bambu Betung dan Sembilang pada posisi tengah batang. Bambu Sembilang mempunyai diameter serat, diameter lumen serta tebal dinding serat yang lebih tinggi dibanding bambu Betung. Dimensi serat yang dimiliki oleh bambu sangatlah berpengaruh terhadap BJ. Perbedaan nilai BJ dalam berbagai posisi batang bambu secara alami disebabkan karena perbedaan kecepatan pertumbuhan antara bagian bawah dan atas, sehingga pada bagian bawah terbentuk sel serabut yang panjang, berdinding tipis dan diameter besar, sedangkan pada bagian atas karena kecepatan tumbuh mulai menurun maka ukuran sel yang terbentuk sudah mulai memendek, berdiamter kecil dan berdinding tebal. Hal ini didukung oleh proses lignifikasi yang terjadi pada tanaman bambu dimana zat lignin akan lebih banyak berada di ruas yang lebih tinggi sehingga kondisi ini akan mempengaruhi BJ. Sayatan anatomi pada setiap bagian dari kedua jenis bambu dapat dilihat pada Gambar 26, 27 dan 28. • Gambar 26 Anatomi bambu Betung dan Sembilang pada bagian atas. Gambar 27. Anatomi bambu Betung dan Sembilang pada bagian tengah Gambar 28. Anatomi bambu Betung dan Sembilang pada bagian bawah Karakteristik LVL 1. Kadar Air KA dan Kerapatan Hasil pengujian kadar air dari ketiga LVL menunjukkan hasil bahwa kadar air yang dimiliki masih memenuhi persyaratan standar SNI 01-6240-2000, yaitu dibawah 14. Nilai yang dihasilkan berkisar 12.36-13.39 disajikan dalam Tabel 4. LVL B, yang disusun dari vinir kayu Karet dan Sengon menggunakan perekat PF, mempunyai kandungan air tertinggi yaitu 13.39. Sebaliknya dengan kerapatan, LVL B mempunyai kerapatan paling rendah yaitu 0.53 gcm 3 . Hal ini berkaitan dengan penyusun LVL B yang tersusun atas vinir Karet dan Sengon. Kayu Sengon utuh mempunyai kerapatan 0.37 gcm 3 Kikata et al. 2002. Tabel 4 Nilai Kadar Air dan Kerapatan dari 3 jenis LVL Kode KA Std. Dev KA Kerapatan gcm 3 Std. Dev Kerapatan A 12.70 0.42 0.69 0.02 B 13.39 0.08 0.53 0.03 C 12.36 0.16 0.67 0.01 Keterangan : A = Karet + PF ; B = Karet + Sengon + PF; C = Karet + MUF Kayu Sengon merupakan kayu dengan kerapatan rendah yang mempunyai dinding sel yang lebih tipis dan rongga sel yang besar, sehingga hal ini memudahkan air bebas tertarik ke dalam rongga sel. Pada LVL B mempunyai jumlah vinir paling banyak daripada LVL A dan C. Penggunaan perekat MUF dari hasil pengujian memberikan pengaruh yaitu memperkecil kadar air, sehingga kadar air hanya mencapai 12.36 yaitu nilai terkecil dari ketiga LVL yang diuji. Sifat melamin pada MUF mempunyai sifat tahan terhadap air, sehingga dapat membantu menghalangi air yang masuk ke dalam vinir kayu sehingga menghasilkan LVL dengan kadar air yang rendah. Dilihat dari hasil pengujian kadar air terlihat nyata bahwa penggunaan vinir Sengon dalam LVL meningkatkan kadar air dan menurunkan kerapatan. Tetapi tidak dengan penggunaan perekat yang berbeda, yaitu PF dan MUF, tidak terlihat nyata perbedaan hasil pengujian kadar air dan kerapatan. Berdasarkan hasil sidik ragam menggunakan Analysis of Variance ANOVA pada Lampiran 1 menunjukkan bahwa jenis LVL berpengaruh sangat nyata terhadap KA dengan nilai P value 0.008 dengan derajat kepercayaan 95. Dengan uji lanjutan menggunakan Tukey dapat dilihat bahwa LVL A dan LVL B mempunyai pengaruh nyata, demikian juga dengan LVL B terhadap LVL C. Tetapi berbeda dengan LVL A terhadap LVL C tidak menujukkan perbedaan yang nyata dalam KA. Jenis LVL juga sangat berpengaruh nyata terhadap kerapatan dari ketiga jenis LVL tersebut. Hal ini dibuktikan pada analisis sidik ragam ANOVA yang menghasilkan P value 0.000 dengan derajat kepercayaan 95. Untuk melihat berbedaan nyata antar LVL dilakukan uji Tukey dengan hasil bahwa LVL A dan LVL B berbeda nyata, seperti halnya LVL B tehadap LVL C. Tidak beda nyata ditunjukkan pada LVL B terhadap LVL C. Pengaruh jenis LVL mempunyai pengaruh yang sama pada KA dan kerapatan. Akan tetapi KA dan kerapatan itu sendiri mempunyai korelasi negatif dengan P value 0.018 dengan derajat kepercayaan 95. Persamaan regresi antara KA dan kerapatan dapat dituliskan bahwa, kerapatan = 2.12 – 0.116 KA

2. Delaminasi