dimana : Y
ijk
= pengamatan dari faktor A ke-i, faktor B ke-j, serta ulangan ke-k
µ = rataan umum
τ
i
= pengaruh faktor A ke-i β
ji
= pengaruh faktor B ke-j tersarang dari faktor A ke-i ε
ijk
= pengaruh acak dari faktor A ke-i, faktor B ke-j serta ulangan ke-k
Faktor A = variasi bambu dan variasi diameter pasak Faktor B = variasi jumlah pasak dalam sambungan
i = 1,2,3,4 , yaitu :
1
. Betung dengan Ø 10 mm,
2
. Betung dengan Ø 15 mm,
3 . Sembilang dengan Ø 10 mm,
4
. Sembilang dengan Ø 15 mm; j
= 1,2,3,…..12, yaitu :
1
. Betung dengan Ø 10 mm jumlah 4,
2 . Betung dengan Ø 10 mm jumlah 6,
3
. Betung dengan Ø 10 mm jumlah 8,
4 . Betung dengan Ø 15 mm jumlah 4,
5.
Betung dengan Ø 15 mm jumlah 6
6.
Betung dengan Ø 15 mm jumlah 8,
7.
sembilang dengan Ø 10 mm jumlah 4,
8.
sembilang dengan Ø 10 mm jumlah 6,
9.
sembilang dengan Ø 10 mm jumlah 8,
10.
sembilang dengan Ø 15 mm jumlah 4,
11. sembilang dengan Ø 15 mm jumlah 6
12.
sembilang dengan Ø 15 mm jumlah 8 k
= 1,2,3 ulangan
Diagram Penelitian
Gambar 16 Diagram sebaran proporsi ikatan vaskuler dalam .
HASIL DAN PEMBAHASAN
Karakteristik Bambu 1.
Kadar Air KA dan Berat jenis BJ
Hasil pengujian KA dan BJ dari kedua jenis bambu ditinjau dari arah longitudinal yaitu mulai dari bagian bawah pangkal sampai atas ujung dapat
dilihat pada Tabel 1 dibawah ini. Berat jenis dari kedua jenis bambu menunjukkan bahwa berat jenis mengalami kenaikan dari bagian bawah menuju keatas batang.
Sebaliknya BJ berkorelasi negatif dengan KA yang akan semakin menurun pada posisi semakin keatas. Berdasarkan hasil pengujian dari kedua bambu terlihat
bahwa bambu Sembilang pada bagian bawah dan atas mempunyai BJ yang lebih tinggi dibanding bambu Betung. Tetapi bagian tengah BJ bambu Betung lebih
tinggi dibanding bambu Sembilang. Tabel 1 Nilai Rata-rata Berat Jenis BJ dan Kadar Air KA Bambu
Bawah Tengah
Atas 1
posisi 1.5 m 2
posisi 3 m 1
posisi 4.5 m 2
posisi 6 m 1
posisi 7.5 m 2
posisi 9 m Jenis
BJ KA
BJ KA
BJ KA
BJ KA
BJ KA
BJ KA
Betung 0.46
86.22 0.56
54.91 0.66
81.03 0.62
63.27 0.63 35.33
0.59 20.49
Sembilang 0.52
119.85 0.55
34.80 0.65
81.95 0.61
54.54 0.74 64.25
0.72 46.47
Keterangan Gambar : A = Atas luar; B = Atas tengah; C = Atas dalam; D = Tengah luar;
E = Tengah tengah; F = Tengah dalam; G = Bawah luar; H = Bawah tengah; I = Bawah dalam
Hasil pengujian anatomi menunjukkan bahwa proporsi ikatan vaskular terhadap proporsi pembuluh dan parenkim yang terdapat dalam bambu Betung
pada bagian tengah luar mempunyai nilai tertinggi yaitu mencapai 74, bisa dilihat pada Gambar 16 diatas. Pada bagian bawah dan atas bambu Sembilang
mempunyai kecenderungan proporsi ikatan vaskulernya lebih tinggi dibanding bambu Betung. Penyebaran proporsi ikatan vaskuler dari batang bagian luar pada
bambu Betung dan Sembilang seluruhnya hampir diatas 50, sedangkan pada bagian tengah dan dalam hanya berkisar antara 30-50. Secara umum sebaran
proporsi ikatan vaskuler pada bambu Betung adalah 35.64 – 74.01, sedangkan pada bambu Sembilang adalah 36.01 – 56.20.
Panshin 1970 mengemukakan bahwa nilai BJ antara lain tergantung pada ukuran sel, ketebalan dinding sel dan hubungan antara ukuran dan ketebalan sel.
Struktur sel yang mempengaruhi nilai BJ adalah sel serabut sklerenkim yang terdapat pada ikatan vaskuler karena berdinding relative tebal dibandingkan
jaringan dasar, sehingga berpengaruh terhadap berat. Pada Tabel 2 dapat dilihat jumlah ikatan vaskuler per m
2
pada setiap posisi dalam satu batang. Nuriyatin 2000 telah melakukan pengamatan anatomi bambu
menjelaskan bahwa terdapat perbedaaan distribusi ikatan vaskular antar jenis bambu yang dapat memberikan indikasi perbedaan nilai BJ antar bambu meskipun
tidak selalu berbanding lurus. Hal ini tidak berarti bahwa distribusi ikatan vaskular kurang bermanfaat dalam menduga keterkaitannya dengan nilai BJ,
namun akan lebih baik apabila dipergunakan untuk jenis bambu yang ikatan vaskulernya sama.
Tabel 2 Jumlah ikatan vaskuler pada setiap lokasi pengujian Jumlah Ikatan Vaskuler
m
2
Jenis Posisi
Betung Sembilang
Atas Luar A 2
2 Atas Tengah B
2 1
Atas Dalam C 1
1 Tengah Luar D
2 2
Tengah Tengah E 1
1 Tengah Dalam F
1 1
Bawah Luar G 2
1 Bawah Tengah H
1 1
Bawah Dalam I 1
1
Gambar 17 Diagram sebaran BJ bambu Betung setiap lapisan dalam satu batang .
Pendekatan yang dapat menjelaskan adanya perbedaan nilai BJ dari bawah sampai atas melalui perbedaan persentase serabut yang dimilki setiap jenis
bambu. Namun hal ini tidak selalu berarti bahwa kandungan serabut yang tinggi mencerminkan BJ yang yang tinggi. Hal ini disebabkan karena nilai BJ
sangat berkaitan dengan ketebalan dinding sel. Dengan demikian faktor yang cukup menentukan nilai BJ adalah serabut berdinding tebal sklerenkim yang
dikandung suatu jenis bambu dan untuk mendapatkan sklerenkim cukup sulit apabila dilakukan manual dan nilainya akan bervariasi antar jenis.
Perbedaan komposisi kimia batang bambu antar jenis juga dapat mempengaruhi nilai BJ walaupun secara umum setiap jenis bambu mempunyai
stuktur kimia yang sama. Variasi struktur kimia yang dikandung masing-masing jenis bambu akan berperan dalam menentukan nilai BJ.
Distribusi BJ dari setiap lapisan pada bambu Betung disajikan pada Gambar 17 dibawah ini. Nilai BJ akan semakin meningkat dari bagian dalam menuju luar
daerah yang bersinggungan dengan kulit luar. Bambu Betung mempunyai
sebaran BJ dari 0.379 sampai 0.91 sedangkan bambu Sembilang mempunyai
sebaran BJ yang lebih sempit yaitu antara 0.491 - 0.871, disajikan pada Gambar 18. Nilai sebaran BJ bambu Bentung menunjukkan sangat beragamnya sifat dari
satu batang bambu.
Gambar 18 Diagram sebaran BJ bambu Sembilang setiap lapisan dalam satu batang.
Hasil penelitian Liese dalam Lindholm 2007 menyatakan variasi BJ bambu rata-rata antara 0.5-0.9. Variasi distribusi serat pada batang bagian luar
lebih rapat dibanding pada bagian dalam, hal ini berarti bahwa pada bagian luar mempunyai BJ lebih tingi dibanding bagian dalam. Dari nilai sebaran BJ tersebut
diatas, apabila dicermati hampir 90 nilai BJ adalah diatas 0.5. Kondisi ini dapat dijadikan perhatian apabila kita akan menggunakan bambu Betung sebagai bahan
baku suatu produk komposit yang menginginkan suatu kerapatan tertentu bahkan hampir seragam.
Nilai BJ lebih besar dari 0.6 dapat kita peroleh pada setiap sebaran titik pengujian sebanyak kurang lebih 6 lapisan yang terluar. Hal ini dapat diartikan
bahwa apabila satu lapisan mempunyai ketebalan ± 1 mm, maka dinding bambu dari bagian paling bawah sampai atas yang dapat digunakan dengan target BJ 0.6
adalah setebal ± 6 mm. Hal ini tidak terlalu berbeda dengan bambu Sembilang, dimana hampir 95 sebaran nilai BJ diatas 0.5. Dengan ketebalan dinding bambu
± 6 mm dari kulit luar kita mendapatkan nilai BJ diatas 0.6. Kecuali pada bagian bawah yang bisa mencapai ketebalan ± 10 mm. Perbedaan ini disebabkan batang
bambu Sembilang yang mempunyai bentuk sangat mengerucut, dimana pangkal bawah batang bambu Sembilang sangat besar dan meruncing menuju ke
atasujung. Dalam penggunaan bambu yang rasional sebaiknya berpedoman kepada
azas pemilihan mekanik dengan memperhatikan korelasi dengan berat jenis, kadar lengas, lama pembebanan, miring serat dll. Nuriyatin 2000. Liese dalam
Lindholm 2007 menyatakan bahwa BJ merupakan salah satu yang menentukan sifat mekanik pada batang bambu. BJ tergantung pada banyak dan diameter serat
serta tebal dinding sel. Oleh karena itu sifat mekanik sangat signifikan pada setiap batang dan antar jenis bambu.
Kadar air akan mengalami penurunan pada posisi semakin ke atasujung seperti disajikan pada Tabel 1 bahwa kandungan air yang dimiliki oleh bambu
Sembilang lebih tinggi dibanding oleh bambu Betung, yaitu berkisar antara 23.87 – 136.72 . Adapun sebaran nilai KA pada bambu Betung berkisar antara
15.24 – 111.82 . Hal ini dapat dihubungkan oleh proporsi ikatan serabut seperti pada Gambar 16 diatas bahwa di beberapa tempat khususnya sisi terluar, proporsi
serabut bambu Bentung lebih tinggi dibanding pada bambu Sembilang. Sattar dalam Nuryatin 2000 perbedaan KA dipengaruhi perbedaan struktur
anatomi dan komposisi kimia antar jenis bambu karena hal ini berkaitan dengan besarnya volume udara dalam batang bambu. Kandungan air dari posisi bawah
sampai atas menunjukkan kecenderungan perbedaan hal ini dikarenakan pada bagian atas proporsi ikatan serabut lebih banyak dan didukung oleh proses
lignifikasi yang lebih banyak sehingga lebih stabil dan mengandung kadar air yang relatif lebih rendah dibandingkan pada bagian bawah. Ini berarti volume
total zat dinding sel serabut dan jumlah ekstraktif meningkat yang mengisi ronga sel sehingga volume rongga udara cenderung lebih kecil. BJ bambu Betung
paling tinggi dibanding bambu Andong, Temen, Tali dan Hitam. Sedangkan ditinjau dari bagian bawah bambu Hitam mempunyai BJ paling tinggi tetapi
berbeda pada bagian atas, BJ tertinggi pada bambu Betung.
2. Modulus of Elasticity MOE dan Modulus of Rupture MOR