Pendidikan di dalam keluarga Pandidikan di dalam sekolah dan
Pendidikan di dalam masyarakat 2.
Menurut sifatnya Pendidikan informal, yaitu pendidikan yang diperoleh seseorang dari
pengalaman sehari-hari dengan sadar atau tidak sadar sepanjang hayat. Pendidikan ini dapat berlangsung dalam keluarga dalam pergaulan
sehari-hari maupun dalam pekerjaan, masyarakat, organisasi. Pendidikan formal, yaitu pendidikan yang berlangsung secara teratur,
bertingkat dan mengikuti syarat-syarat tertentu secara ketat. Pendidikan ini berlangsung di sekolah.
Pendidikan non formal, yaitu pendidikan yang dilaksanakan secara tertentu dan sadar tetapi tidak terlalu mengikuti peraturan yang ketat.
3. Menurut cara berlangsungnya pendidikan
Pendidikan fungsional, yaitu pendidikan yang berlangsung secara naluriah tanpa rencana dan tujuan tetapi berlangsung begitu saja.
Pendidikan intensional, yaitu pendidikan yang berlangsung secara naluriah dengan rencana dan tujuan yang sudah direncanakan
4. Menurut aspek yang disentuh, jadi tidak menyentuh seluruh dari
kepribadian anak didik misalnya pendidikan bahasa, pendidikan kesenian, pendidikan sosial.
B. Nilai-nilai Moral
1. Arti klarifikasi Nilai dan Nilai yang Sesungguhnya Menurut Hall, klarifikasi nilai adalah suatu metodologi atas proses
dengan mana kita menolong orang untuk menemukan nilai-nilai yang melatar 19
belakangi tingkah lakunya, perasaannya, gagasan-gagasannya, dan pilihan- pilihan penting yang telah dibuatnya dan dalam kenyataanya orang yang
bersangkutan terus bertindak berdasarkan nilai-nilai itu dalam hidupnya. Dengan klarifikasi nilai, siswa tidak hanya disuruh menghafal dan tidak
“disuapi” dengan nilai-nilai yang sudah dirumuskan pihak lain, melainkan diajari untuk menemukan, menghayati, mengembangkan, dan mengamalkan
nilai-nilai hidupnya sendiri. Siswa diberi kesempatan untuk menentukan sendiri apa yang mau dikejar, diperjuangkan atau diutamakan dalam hidupnya. Denga
demikian, siswa semakin mandiri, semakin mampu mengambil keputusan sendiri dan mengarahkan hidupnya sendiri Soewandi, dkk., 2005 : 111
Yang ditekankan dlam klarifikasi nilai adalah proses pembentukan nilai. Fokusnya ialah bagaimana orang sampai pada pemilikan nilai-nilai tertentu dan
membentuk pola-pola tingkah laku. Proses pembentukan nilai mencakuptujuh sub proses yang biasanya digolongkan menjadi tiga kategori Soewandi,dkk.,
2005 : 112. Ketiga sub proses pembentukan nilai yang dimaksudkan ialah : a. Memilih kognitif
1 Memilih dengan bebas Memilih nilai secara bebas berarti bebas dari segala bentuk tekanan.
Lingkungan dapat memaksaka sesuatu nilai pada seseorang yang sebenarny tidak disukainya. Ada kalanya lingkungan menuntut kita untuk
melakukan sesuatu yang tidak berdasarkan keyakinan kita. 2 Memilih dari berbagai alternatif
Memilih secara bebas mengandaikan ada berbagai alternatif. Kalau tidak ada alternatif pilihan, maka tidak ada kebebasan memilih.
3 Memilih ssesudah memperhitungkan konsekuensinya dari masing- masing alternatif
Memilih nilai berarti menemukan suatu nilai sesudah mempertimbangkan konsekuensi dari semua alternative yang ada. Dan
dengan mengetahui akibat-akibat dari alternatif-alternatif yang ada, dapatlah dibuat pilihan yang lebih tepat Soewandi, dkk., 2005 : 113.
b. Menghargai afektif 1 Menghargai dan senang dengan pilihan yang dibuat
Seseorang yang menentukan pilihannya dan ternyata sesudah melakukan pilihannya itu, dia menjadi gembira, senang, maka dia
menemukan nilai bagi dirinya. 2 Bersedia mengakui pilihan dimuka umum
Orang yang menjunjng tinggi suatu nilai, maka orang yang bersangkutan bisa diharapkan bisa mengkomunikasikannya kepada orang
lain Soewadi,dkk., 2005 : 114. c. Bertindak psikomotorik
1 Berperilaku sesuai dengan pilihan Agar sesuatu benar-benar merupakan nilai bagi seseorang, maka
tindakan yang bersangkutan harus berdasarkan nilai itu. Nilai itu harus diwujudkan dalam tingkah lakunya.
2 Berulang-ulang berperilaku sesuai dengan pilihan sehingga terbentuk suatu pola hidup
Agar sesuatu sungguh-sungguh merupakan nilai bagi seseorang, maka tindakanya dalam berbagai situasi harus sesuai dengan nilai itu.
Dia bertindak berdasarkan nilai yang diyakininya dan ini berulang-ulang sehingga merupakan pola hiaupnya Soewandi, dkk., 2005 : 115.
2. Indikator Nilai Indikator nilai adalah sesuatu yang belum memenuhi ketujuh kriteria
untuk menjadi nilai yang sesungguhnya. Boleh jadi indikator nilai itu telah memenuhi lima atau enam kriteria tetapi hal yang bersangkutan belum
berulang-ulang dipraktekkan sehingga belum merupakan pola hidupnya. Atau boleh jadi orangnya sudah bertindak berdasarkan indikator nilai itu, tetapi
sebenarnya bukan merupakan pilihannya sendiri. Terpenuhinya ketujuh kriteria itu yidak mesti berurutan, bisa berperilaku tertentu dulu, baru menyusul sub
proses memilih dengan bebas. Jadi, sesuatu nilai yang belum memenuhiketujuh kriteria tersebut hanyalah merupakan indikator nilai. Indikator nilai dapat
berkembang menjadi nilai yang sesungguhnya Soewandi, dkk., 2005 : 115. Sejalan dengan ketujuh sub proses pembentukan nilai tersebut, pendidik
perlu mengusahakan hal-hal berikut : a. Memberikan kesempatan kepada siswa untuk menentukan pilihan dan
sikapnya sendiri b. Membantu siswa untuk memeriksa alternative-alternatif yang tersedia
c. Membantu siswa untuk mempertimbangkan konsekuensi dari setiap alternatif yang tersedia
d. Membantu siswa untuk menghargai dan menyenangi pilihannya e. Memberikan kesempatan kepada siswa untuk menyatakan pilihannya di
depan f.
Mendorong dan mengingatkan siswa untuk bertingkah laku secara konsekuen sesuai pilihannya
g. Mendorong siswa untuk secara konsisten berperilaku sesuai pilihannya Soewandi, dkk., 2005 : 116.
3. Macam- macam Pendekatan Nilai Macam-macam pendekatan nilai adalah sebagai berikut :
a. Memoralisasi Menurut pendekatan ini, siswa diharuskan untuk menerima warisan nilai-
nilai hidup dari para guru. Cara-cara yang digunakan, misalnya, pemberian nasihat, khotbah, dan ceramah.
b. Bersikap membiarkan Guru membiarkan siswa menentukan sendiri apa yang dimauinya, siswa
dibiarkan tumbu dan berkembang secara alamiah, dengan “jatuh dan bangun”dari pengalamannya sendiri.
c. Menjadi model Guru berusaha menmpilkan dirinya sebagai model yang hidup menurut
nilai-nilai tertentu. Guru menjadi teladan. Siswa diharapkan terkesan oleh cara hidup si model dan berusaha menirunya.
d. Pendekatan klarifikasi nilai Siswa dilatih untuk menentukan dan mengembangkan sendiri nilai-nilai
hidup yang ingin diperjuangkan Soewandi, dkk., 2005 : 110. 4. Cara-cara Memahami Nilai-nilai Moral
Menurut Drs. D.A. Wila Huky, BA., cara-cara memahami nilai-nilai moral adalah :
a. Moral sebagai tingkah laku hidup manusia, yang mendasarkan diri pada kesadaran, bahwa ia terikat oleh keharusan untuk mencapai yang baik
sesuai dengn nilai dan norma yang berlaku dalam lingkungannya 23
b. Moral adalah ajaran tentang tingkah laku hidup yang baik berdasarkan padangan hidup atau agama tertentu
c. Moral sebagai perangkat ide-ide tentang tingkah laku hidup, dengan wrna dasar tertentu yang dipegang oleh sekelompok manusia di dalam
lingkungan tertntu. Daroeso, 1986 : 22. 5. Sumber-sumber Moral
a. Ketentuan agama yang berdasarkan wahyu b. Ketentuan kodrat yang terutama dalam diri manusia, termasuk didalamnya
ketentuan moral universal yaitu moral yang seharusnya c. Ketentuan adat istiadat buatan manusia, termasuk didalamnya ketentuan
moral yang sedang berlaku pada suatu waktu d. Ketentuan hokum buatan manusia, baik berbentuk adat kebiasaan atau
hukum Negara Daroeso, 1986 : 22 6. Obyek-obyek Moral
a. Tingkah laku manusia secara individual maupun kelompok b. Perbuatan manusia
c. Tindakan manusia Daroeso, 1986 : 25 7. Unsur-unsur Moral
a. Kehendak yaitu pendorong pada jiwa manusia yang memberi memberi alas an pada manusia untuk melakukan perbuatan
b. Perwujudan dari kehendak yang berbentuk cara melakukan perbuatan dalam segala situasi dan kondisi
c. Perbuatan tersebut dilakukan dengan sadar dan kesadaran inilah yang memberikan corak dan warna perbuatan tersebut Daroeso, 1986 : 22
8. Tahap-tahap Perkembangan Moral 24
Melalui hasil penelitiannya, Kohlberg menyatakan hal-hal sebagai berikut :
a. Ada prinsip-prinsip moral dasar yang mengatasi nilai-nilai moral lainnya dan prinsip-prinsip moral dasar itu merupakan akar dari nilai-nilai moral
lainnya b. Manusia tetap merupakan subyek yang bebas dengan nilai-nilai yang
berasal dari diri sendiri c. Dalam bidang penalaran moral ada tahap-tahap perkembangan yang sama
dan universal bagi setiap kebudayaan d. Tahap-tahap perkembangan penalaran moral ini banyak ditentukan oleh
factor kognitif atau kematangan intelektual Budiningsih, 2004 : 27-28. Menurut Kohlberg, tahap-tahap perkembangan moral adalah sebagai
berikut : a. Preconventional level
Pada tahap ini, anak peka terhadap aturan-aturan yang mempunyai latar belakang budaya dan terhadap penilaian baik dan buruk, benar atau salah.
Tetapi dalam menafsirkan tanda baik atau buruk, benar atau salah, dipandang dari sudut, akibat fisik suatu tindakan atau orang, dsb, atua dari sudut ada
tidaknya kekuasaan fisik dari orang-orang yang mengeluarkan aturan-aturan dan atau yang memberi penilaian baik-buruk itu. Tingkatan ini dibagi
menjadi dua tahap : Tahap pertama : tahap orientasi kepada hukuman dan kepatuhan.
Yang menentukan baik dan buruknya suatu tindakan adalah akibat fisik yang akan diperoleh seseorang, bila seseorang tidak mematuhi peraturan.
Menghindari hukuman dan tunduk pada kekuasaan, adalah nilai baginya. 25
Jadi bukan karena rasa hormat pada peraturan moral yang didukung oleh hukuman dan otoritas.
Tahap kedua : tahap orientasi relativis instrumental. Pada tahap ini baik buruknya tindakan, apabila tindakan itu memberi
kepuasan pada diri sendiri atau kadang-kadang terhadap orang lain. Dalam hubungan dengan orang lain, ada prinsip timbale balik di mengerti secara
fisis dan pragmatis kebaikan dibalas kebaikan, keburukan dibalas keburukan. Disini tidak ada prinsip loyal hormat atau adil Daroeso, 1986 :
33 b. Conventional level
Pada tingkat ini, memenuhi usaha-usaha untuk mempertahankan harapan keluarga, kelompok atau bangsa, di pandang sebagai sesuatu yang bernilai
bagi dirinya sendiri tanpa melihat akibat langsung dan nyata. Sikap yang ada bukan hanya akan menyesuaikan diri dengan harapan-harapan orang tertentu
atau dengan ketertiban social, tetapi suatu sikap ingin loyal, ingin menjaga, menunjang dan memberi yustifikasi, ketertiban itu dan sikap
menghubungkan diri dengan individu-individu atau kelompok yang ada di dalamnya. Dalam tingkatan ini ada dua tahap :
Tahap ketiga : orientasi masuk ke kelompok “anak baik” dan “anak manis”. Tingkah laku dikatakan baik apabila menyenangkan atau dapat
membantu orang lain dan mendapat persetujuan orang lain itu. Tingkah laku tersebut dinilai menurut kadarnya “ Dia bermaksud baik”dan kemudian
orang berusaha agar lingkungan menerima dengan sikap “manis”. Tahap keempat : orientasi hokum dan ketertiban.
Tingkah laku yang baik berupa melakukan kewajiban dan penghargaan terhadap penguasa dan ikut serta memelihara ketertiban social. Dalam tahap
ini orientasinya pada penguasa, peraturan-peraturan yang ada dan pemeliharaan ketertiban sosial Daroeso, 1986 : 34.
c. Tingkat pasca-konventional, autonomi atau berprinsip Pada tingkat ini tampak dengan jelas untuk menetapkan nilai-nilai dan
prinsip-prinsp moral yang memiliki kesahihan validity . Penetapan tersebut terlepas dari : satu : penguasa kelompok atau orang yang memegang prinsip-
prinsip tersebut, dua : apakah individu yang bersabgkutan masuk dalam kelompok atau tidak.
Tingkatan ini mempunyai dua tahap : Tahap kelima : orientasi pada konsensus sosial yang sah menurut hukum
social contract-legalistic orientation. Ada kecenderungan pada tahap ini, bahwa suatu tindakan yang baik atau
benar dilihat dri segi hak-hak individu dan norma-norma yang telah dikaji dari seluruh masyarakat. Disini telah ada kesadaran, bahwa nilai dan
pendapat pribadi itu relatif, karena itu perlu ada perbuatan yang mengatur untuk mencapai kata sepakat.
Selain daripada itu, ada suatu pandangan bahwa segala sesuatu itu sah, menurut hukum legalistis, tetapi hukum dapat diubah untuk kepentingan
kemaslahatan masyarakat. Di luar hukum ada kebebasan untuk membuat persetujuan dan kontrak, yang mengikat hak dan kewajiban yang timbul
karena persetujuan itu. Tahap keenam : orientasi pada asas etika universal universal, ethical,
principle orientation. 27
Dalam tahap ini suatu kebaikan kebenaran didasarkan pada suara hati, sesuai dengan prinsip-prinsip etika yang dipilih sendiri yang menunjukkan
sifat komprehensif, umum dan ajeg konsisten. Prinsip-prinsip bersifat abstrak dan ethis susila dan bukan peraturan moral yang konkrit seperti
Sepuluh Perintah Tuhan. Di dalamnya terkandung makna, prinsip umum, keadilan, azas timbal balik persamaan hak dan penghargaan terhadap
manusia sebagai manusia pribadi Daroeso, 1986 : 35 Selanjutnya dengan adanya tahap-tahap perkembangan moral, Lawrence
kohlbeg mengemukakan empat sifat dalam perkembangan moral itu. Sifat- sifat tersebut adalah sebagai berikut :
1 Perkembangan setiap tahap selalu sama stage development is invariant Seseorang harus mengikuti tahap demi tahap secara berurutan dan
seseorang tidak dapat mencapai suatu tahap dengan tidak melalui tahap- tahap sebelumnya.
2 Dalam perkembangan tahap, seseorang tidak dapat memahami penalaran moral.
Dalam perkembangan moral seseorang, orang yang berada dalam tahap kedua, kiranya tidak dapat memahami penalaran pada tahap keempat,
paling bisa tahap ketiga. 3 Dalam perkembangan tahap, seseorang secara kognitif tertarik untuk
berfikir satu tahap di atas tahapnya sendiri. Seseorang yang berada dalam tahap pertama akan dirangsang untuk
berfikir pada tahap kedua, dan tahap kedua oleh tahap ketiga dan seterusnya, menurut Lawrence Kohlberg bahwa berfikir secara kognitif
pada tahap yang lebih tinggi lebih memadai bilamana dibandingkan 28
dengan cara berfikir pad tahap di bawahnya, sebab dapat memecahkan masalah secara lebih baik.
4 Dalam tahap perkembangan ini, tindakan dari tahap ketahap disamping oleh terciptanya cognitive disequeilibrium.
Bilamana seseorang merasa tidak cukup mampu untuk menyelesaikan suatu dilemma moral yang dihadapinya, ia akan dirangsang untuk
melakukan pertimbangan-pertimbangan yang lebih memadai dalam memecahkan dilema moral yang dihadapinya Daroeso, 1986 : 35
Menurut John Dewey, tahap-tahap perkembangan moral adalah sebagai berikut :
1 Tingkat pre-moral Pada tahap ini, tingkah laku seseorang dimotivasi oleh dorongan
social dan biologis. 2 Tingkat tingkah laku konsensional
Pada tahap ini, individu menerima ukuran-ukuran yang terdapat dalam kelompoknya dengan berefleksi secara kritis pada tingkat yang
rendah. 3 Autonomi
Pada tahap ini, tingkah laku dibimbing oleh pikiran individu sendiri Daroeso, 1986 : 32.
Menurut Nouman J. Bull, tahap-tahap perkembangan moral adalah sebagai berikut :
1 Anomi 2 Heteronomi
3 Sosionomi 29
4 Autonomi Dengan tahap anomi, anak belum memiliki perasaan moral dan belum
ada perasaan untuk menaati peraturan-peraturan yang ada. Tahap heteronomi, pada tahap ini nmoralitas terbentuk karena pengaruh luar external morality.
Pada heteronomi ini peraturan dipaksakan oleh orang lain, dengan pengawasan, kekuatan atau paksaan, karena itulah peraturan tersebut di atas.
Tahan sosionomi, adalah suatu kenyataan adanya kerjasama antar individu, menjadi sadar bahwa dirinya merupakan anggota kelompok. Pada diri
individu terjadi kemajuan moral, sebab individu menyadari adanya tanggung jawab dan kewajibannya sebagai anggota kelompok. Tahap autonomi,
menurut Nouman J.Bull merupakan tahapan perkembangan pertimbangan moral yang paling tinggi. Pembentukan moral dari individu bersumber pada
diri individu sendiri,termasuk di dalamnya pengawasan tingkah laku moral individu tersebut. Istilah moral secara sepenuhnya baru tepat digunakan dalam
tahap autonomi ini Daroeso, 1986 : 29. Dalam mengamati dan menelaah perkembangan moral yang terjadi pada
individu ada tiga sudut tinjauan yang perlu diperhatikan. Pertama, perkembangan moral dilihat dari sudut tinjauan tingkah laku moral moral
behavior, Kedua, perkembangan moral dilihat dari sudut pernyataan moral moral statemen dan ketiga, perkembangan moral dilihat dari sudut
pertimbangan moral moral judgmen. Tahap-tahap moral harus dilalui, tidak akan terjadi loncatan-loncatan
tahap, tetapi perlu diketahui bahwa semakin muda tingkat usia seseorang semakin tinggi tingkat heteronomi dan sebaliknya. Demikian juga bahwa
tingkat sosionomi anak perempuan lebih tinggi bilamana dibandingkan dengan anak laki-laki Daroeso, 1986 : 30.
Bertitik tolak pada perkembangan moral individu yang ditinjau dari sudut tingkah laku, pernyataan moral dan keputusan moral, maka dalam konteks
tersebut Jean Piaget lebih menekankan kajian pertimbangan moral yang dimiliki oleh seseorang.
Jean Piaget guru besar psikologi eksperimental Universitas Genewa telah mengadakan penelitian lebih dari 50 tahun mengenai asal usul dan
perkembangan struktur kognitif dan perkembangan pertimbangn moral. Yang dianalisis oleh J. Piaget ialah “Sikap verbal anak” terhadap turan permainan,
tindakan keliru clumsiness, mencuri dan menipu. Dalam tingkat moralitas, Jean Piaget bertolak pada keyakinan “seluruh moralitas terkandung dalam
sistem peraturan dan hakekat seluruh moralitas harus dicari dalam sikap hormat kepada peraturan”. Ada dua indikator moralitas itu yang dideteksi dan
diamati melalui : 1
Kesadaran akan peraturan atau rasa hormat pada peraturan atau sejauh mana peraturan tersebut dianggap sebagai yang membatasi tingkah
laku. 2
Pelaksanaan dari peraturan itu Daroeso, 1986 : 30 Untuk kepentingan tersebut, Jean Piaget mengamati anak-anak yang
berbagai usi yang sedang bermain kelereng. Pada peraturan permainan kelereng itu tidak dijumpai adanya ganjaran dan hukuman. Tujuan utamanya
apakah para peserta permainan kelereng itu menganggap peraturan itu dari luar dan suci dan tidak dapat diubah oleh peserta pemain heteronomi atau
mereka sadar akan peraturan itu merupakan hasil dari persetujuan bersama 31
dari pada peserta pemain autonomi terhadap kesadaran. Dalam permainan kelereng itu Jean Piaget mempunyai :
1 anak-anak sampai usia dua tahun, mereka bermain kelereng tiada aturan yang mengendalikan aktivitas mereka aktivitas motorik dan tidak ada
kesadaran akan peraturan yang mengatur penggunaan butir-butir kelereng. 2 Pada usia dua sampai enam tehun mulai timbul secara berangsur-angsur
kesadaran akan peraturan. Akan tetapi ia menganggap bahwa aturan- aturan itu suci dan tidak dapat diganggu gugat. Pelaksanaan peraturannya
bersifat egosentris, artinya, dia hanya menirukan apa yang dilihatnya. Ia menggambar lingkaran, meletakkan dan menyentikkan kelereng dan
sebagainya, adalah mempunyai tujuan-tujuan sendiri, tanpa disadari bahwa apa yang ia lakukan merupakan permainan bersama.
3 Anak usia tujuh sampai sepuluh tahun, mulailah anak beralih dari kesenangan psikomotor menuju pada tingkat kesadaran adanya kerangka
aturan yang disepakati.pada akhirnya anak berkembang menuju tahap autonomi seirama dengan perkembanganny kematangan kognitif.
4 Anak usia sebelas sampai duabelas tahun, anak berkembang menuju pada kemampuan berfikir abstrak, dimana pada saat itu dirasakan pentingnya
penghimpun aturan codifikasi of rules. Tidak ada hal yang kecil yang lolos dari perhatian mereka, yang kemungkinan mempengaruhi permainan
mereka. Dapat terjadi waktu habis untuk mewasiti kejadian yang terjadi lebih dari pada waktu yang digunakan untuk melangsungkn permainannya
sendiri Daroeso, 1986 : 31 Berkenaan dengan pentahapan perkembangan moral itu ada beberapa
hal yang patut dicatat : 32
a Titik heteronomi dan autonomi lebih menggambarkan proses perkembangan dari pada totalitas orientasi mental individu.
b Dengan memulai pergaulan dan kerjasama anak mengembangkan pengertian tentang tuluan dan sumber aturan-aturan.
c Anak sampai usia tujuh atau delapan tahun menempatkan dirinya dikendalikan oleh seluruh aturan.
d Dalam menghargai aturan yang diterima dari luar, anak belum memiliki pengertian dan motivasi untuk berbuat ajeg konsistent dengan aturan itu.
e Baru pada tahap autonomi anak menyadari akan aturan dan menghubungkan dengan pelaksanaannya.
f Tujuan dan arah perkembangan kesadaran akan aturan adalah pengertian yang autonomi dan merupakan pelaksanaan aturan itu. Daeroeso, 1986 :
31 Pengaruh heteronomi pada perkembangan anak mengenai benar dan
salah, bagi anak kecil segala peraturan itu sama. Dari proses perkrmbangan hormat kepada peraturan moral ada suatu periode dimana peraturan moral
dianggap suci ataudan tidak dapat diganggu gugat dan pelaksnaan peraturan bersifat egosentris, yaitu hanya melulu apa yang dilihat. Pemahaman anak
terhadap peraturan-peraturan moral seperti itu. Jean Piaget menyebut dengan istilah “realisme moral”.
Dengan realisme moral dimaksudkan adalah “suatu kecenderungan untuk menganggap kewajiban dan nilai yang melekat padanyan sebagai bagian, yang
berdiri sondari dan bebas dari pengaruuh akal manusia, sebagai sesuatu yang mempengaruhi sendiri tanpa memandang keadaan, dimana individu
menemukan dirinya”. Rasa wajib dari anak pada tahap heteronomy dipandang 33
sebagai penjabaran dari pemerintah dan pengaruh orang dewasa, misalnya melarang menipu, melarang mencuri, melarang mabuk-mabukan, dan
sebagainya. Itulah permulaan timbulnya suara hati dalam arti moral. Dengan kata lain realisme morah akan tercapai pada tahap autonomi. Daeroeso,
1986 :32 Adanya bermacam pendapat tentang Filsafat Moral atau Filsafat
Kesusilaan menyebabkan timbulnya aliran-aliran. Ada yang berpendapat bahwa kesusilaan itu ditentukan oleh tuuan manusiahidup terutama hidup
yang mengutamakan kenikmatan hidup. Suatu perbuatan dipandang memenuhi kesusilaan apabila perbuatan tadi ditujukan untuk mencapai
kenikmatan. Daeroeso, 1986 :36 Adapula yang berpendpat behwa kesusilaan itu berdasarkan pada manfat
perbuatan tersebut dan ada yang berpendapat bahwa yang dikatakan susila ialah yang sesuai dengan Agama. Adapun aliran-aliran Filsafat Moral di
antaranya ialah : 1 Hedonisme
Ukuran baik dan buruk bagi aliran ini ialah segala perbuatan yang membawa dan kenikmatan yang merupakan tujuan manusia. Yang
dimaksud dengan kebahagian ialah suatu keadaan yang tanpa menderita, yang dapat dicapai dengan akal manusia. Hedonisme dapat digolongkan
dalam dua macam golongan, yaitu : a Hedonisme yang egoistic
Aliran ini mengatakan bahwa manusia harus mencari kenikmatan yang sebesar-besarnya untuk diri sendiri. Sesuatu perbuatan yang
dipilih harus dipertimbannngkan apakah perbuatan tersebut 34
mengandung kenikmatan yang lebih besar bagi dirinya sendiri. Kalau memang demikian, maka perbuatan tersebut sebaiknya dikerjakan.
b Hedonisme yang universalistic Aliran ini orang dalam hidupnya harus berusaha untuk mencapai
kebahagiaan dan kenikmatan bagi seluruh umat manusia. Baik dan buruk berdasarkan pada adanya manfaat dan kesenangan bagi semua
orang. Baik apabila membawa kenikmatan semua manusia dan buruk, apabila membawa penderitaan bagi manusia seluruhnya.
2 Utilitarisme Aliran ini mengatakan bahwa yang baik ialah yang ada manfaatnya
atau “utility”. Semua perbuatan manusia harus diarahkan kepada kema’rifatan, jadi baik dan buruk diukur dari adanya manfaat. John
Stuart Mill, tokoh aliran ini mengatakan : “kemanfaatan adalah kebahagiaan untuk jumlah manusia yang sebanyak-banyaknya”.
Bagi aliran ini perbuatan moral yang baik ialah yang bertujuan untuk mencapai suatu kehidupan yang bebas dari kesusahan, aliran ini lebih
mementingkan “utility” bagi masyarakat dan “utility” bagi perseorangan. Maka pengorbanan adalh suatu perbuatan yang baik, karena pengorbanan
bermaksud memberikanmanfaat bagi orang banyak. Maka pengorbanan adalah perbuatan yang bermoral.
3 Naturalisme Menurut aliran ini kebahagiaan manusia dapat dicapai dengan
menuruti panggilan “nature” atau panggilan alam. Sesuatu perbuatan dikatakan bermoral apabila aesuai dengan panggilan alam. Tugas
manusia didunia ini adalah memenuhi kebutuhannya untuk memenuhi 35
panggilan alam, ialah kelangsungan hidup. Gangguan terhadap kelangsungan hidup akan mengakibatkan hilangnya kebahagiaan
Daroeso, 1986 : 37 4 Vitalisme
Perbuatan manusia dianggap bermoral ialah apabila perbuatan tersebut menunjukkan daya hidup. Seseorang yang bermoral tinggi ialah
yang dapat menunjukkan kekuatannya sebagai seorang yang kuat, seorang yang istimewa “Ubermensch”. Tokoh dari aliran ini adalah
seorang ahli filsafat Jerman Friedrich Nietzsche tahun 1844 -1900. I mengatakan ada dua macam moral, yaitu : Herrenmoral dan Sklaven
moral. a Herrenmoral
Nietzsche mengatakan bahwa Herrenmoral adalah moral yang dipunyai oleh “tuan-tuan besar” atau moral kepunyaan “orang yang kuat” atau
“moral penguasa”, moral Ubermensch. Seseorang Ubermensch adalah seseorang yang dapat menentukan hidupnya sendiri dengnan aturan-
aturan yang berlaku bagi kelompoknya sendiri. Ubermensch tidak perlu merasa bersalah dan berdosa dan tidak perlu mempunyai rasa takut,
karena salah, rasa takut dan rasa berdosa hanya patut bagi anak-anak dan budak. Jadi yang dikatakan moral penguasa, yaitu moral bagi tuan-tuan
ialah semua tindakan yang disukai, tidak tergantung pada ukuran atau normayang ada.
b Sklaven-moral Pada dasarnya menurut Nietzsche masyarakat itu hanya dua golonngan,
yaitu Herren dan Sklaven, tuan dan budak, si kuat dan si lemah. 36
Golongan lemah hanya patut menjadi budak dari golongan penguasa dan segala sesuatu yang baik bagi si kuat merupakan halangan bagi si lemah.
Perbuatan baik bagi si lemah atau si budak-budak iajah selalu mengabdi kepada yang kuat, kepada penguasa. Golongan Sklaven tidak dibenarkan
berbuat yang menentang Herren, yang boleh bertindak sekehendak sendiri.
Demikianlah pandangan moral dari Nietzsche yang pada dasarnya merupakan penyokongan bagi kehendak untuk berkuasa “Der Wille zur
Macht”. 5 Theologi
Aliran moral ini mengatakan, bahwa sesuatu perbuatan dikatakan bermoral baik apabila perbuatan tersebut sesuai dengan agama. Artinya :
perbuatan tersebut sesuai dengan perintah Tuhan dan menjauhi laranganNya. Tuntutan kesusilaan dalam hal ini telah digariskan oleh
agama dan tertulis dalam kitab suci masing-masing agama, norma-norma tersebut tidak sama, tetapi dalam garis besarnya tuntutan kesusilaan
dalam agama ada kesamaan Daroeso, 1986 : 38 9. Aliran dalam Filsafat Moral
a. Hedonisme Ukuran baik dan buruk bagi aliran ini adalah segala perbuatan yang
membawa kebahagiaan dan kenikmatan yang merupakan tujuan hidup manusia.
b. Utilitarisme 37
Aliran ini mengatakan bahwa yang baik adalah yang ada manfaatnya. Dan perbuatan moral yang baik adalah yang bertujuan untuk mencapai suatu
kehidupan yang bebas dari kesusahan Daroeso, 1986 :36 10. Sanksi-sanksi Moral
a. Sanksi yang dijatuhkan oleh Tuhan Yang Maha Esa yang berupa nestapa di akhirat nanti
b. Sanksi terhadap diri sendiri yang bersifat Ketuhanan, yang mungkin pula sampai pada kematian
c. Sanksi pada diri sendiri yang bersifat kejiwaan, misalnya : sedih, resah, malu dan sebagainya
d. Sanksi yang berasal dari keluarga atau masyarakat, misalnya : dihina, diasingkandari masyarakatitu Daroeso, 1986 :40.
Di dalam Al Qur’an ada beberapa ayat tentang moraletika, salah satunya QS. Al Ahzab : 21 yang berbunyi :
Artinya : Sungguh, telah ada suri tauladan yang baik pada diri Rasullah bagimu, yaitu bagi orang yang mengharap rahmat Allah dan kedatangan Hari
Kiamat dan yang banyak mengingat Allah Al Qur’an dan terjemahannya, :420
Sebelum melakukan perbuatan, manusia menentukan sendiri apa yang akan dikerjakan. Ia telah menentukan sikap,mana yang harus dilaksanakan, mana yang
yang tidak boleh dilaksanakan Daroeso, 1986 : 25 38
C. Pendidikan Moral