yang telah menjadi kesepakatan bersama masyarakat itu. Untuk kepentingan tersebut harus ada proses internalisasi nilai-nilai yang terkandung dalam
pancasila ke manusia Indonesia sebagai pendukung pancasila. Proses itu dapat dilakukan dengan pendidikan, imitasi, latihan dan suri tauladan Daroeso,
1986 : 56
D. Pentingnya Pengajaran Etika Terhadap Orang yang Beragama
1. Pengajaran Etika adalah salah satu cabang dari ilmu pengetahuan yang secara
khusus membahas tentang tindakan. Sebagai ilmu, Etika mempunyai obyek obyek formal dan obyek material dan menggunakan metode pendekatan
ilmiah, yakni yang didasarkan pada data-data atau pemikiran-pemikiran yang dapat dipertanggung jawabkan kebenarannya. Etika sering di golongkan juga
ke dalam ilmu filsafat. Filsafat adalah ilmu pengetahuan yang khusus, yang memiliki dua keistimewaan, yaitu pembahasannya bersifat ”menyeluruh”
comprehensive dan ”mendasar” foundational. Menyeluruh artinya mengusahakan pengetahuan yang menyangkut segala bidang kehidupan atau
seluruh kenyataan, mendasar artinya dalam mempelajari sesuatu filsafat selalu ingin menemukan unsur-unsurnya yang hakiki atau dasariah.
Pendidikan budi pekerti adalah jiwa dari pendidikan islam dan islam telah menyimpulkan bahwa pendidikan budi pekerti dan akhlak adalah jiwa
pendidikan islam. Tapi ini tidak berarti bahwa kita tidak mementingkan pendidikan jasmani atau akal atau ilmu ataupun segi-segi praktis lainnya
tetapi artinya ialah bahwa kita memperhatikan segi-segi pendidikan akhlak seperti juga segi-segi lainnya itu Ahmadi, Uhbiyati 1991 : 112
2. Keterkaitan Antara Etika dan Agama 43
Etika tidak sama dengan agama dan tidak dapat menggantikan agama. Namun Etika juga tidak bertentangan dengan agama, bahkan diperlukan oleh
agama. Demikian pula etika memerlukan agama.Etika dan agama sesungguhnya dapat menjadi partner yang baik, karena dapat saling
melengkapi. Selain itu, keduanya memiliki landasan yang sama, yaitu sama- sama :
a. memandang bahwa manusia memiliki martabat yang luhur, yang ditandai oleh adanya “akal budi” untuk memahami soal baik-buruk dan
“kehendak bebas” untuk menentukan tindakan yang baik, b. bertujuan untuk mencapai tujuan akhir yang sama, yaitu “kesempurnaan
hidup yang paripurna” yang merupakan jalan mencapai kebahagiaan sejati,
c. menggariskan bagaimana cara mencapai tujuan akhir tersebut, yakni dengan mengusahakan hidup yang baikbaik.
Agama memberikan dua landasan yang merupakan “gisi” yang dapat membuat etika menjadi sehat dan kuat, yaitu : 1 perspektif hidup yang
mencakup dunia dan akhirat; hal ini dapat membuat orang mampu untuk tetap setia memegang teguh kebaikan dan tabah menanggung derita maupun
kesusahan dalam situasi krisis, penuh kesulitan, cobaan, dan godaan, karena ada harapan akan adanya “pengadilan terakhir” yang seadil-adilnya bagi
setiap orang diakhir jaman nanti; sehingga orang yang hidupnya baik tetapi selama di dunia banyak menderita, dapat berharap nanti akan mendpatkn
sorga di akhirat. 2 tolok-ukur moral berupa “kebaikan yang tinggi” kesempurnaan, Summum Bonum yang sekaligus menjadi cita-cita dan
tujuan terakhir seluruh usaha untuk hidup baik; tolok ukur seperti itu dapat 44
ditemukan pada figur atau pribadi Tuhan Allah sendiri Yang Maha Baik dan Maha Sempurna. Yang ketetapan kehendakNya dapat dikenali oleh manusia
melalui perwahyuan kitab suci, hati nurani manusiawi, dan hukum alam yang mendasari gerak alam semesta. Pendidikan moral tidak akan memasuki
atau mengambil alih fungsi pendidikan agama. Pendidikan moral pancasila mendorong dan menumbuhkan suasana
yang baik agar warganegara Indonesia percaya dan takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa sesuai dengan agama dan kepercayaannya masing-masing
menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab Daroeso, 1986 : 50. Etika yang murni humanis atau antroposentris akan cenderung bersifat
pragmatismaterialis, artinya hanya sekedar berfungsi untuk menunjang pencapaian tujuan-tujuan duniawi dan inderawi materialisempirik yang
bersifat sementara semata. Etika yang humanistis tidak akan dapat bertahan jika berhadapan dengan situasi yang sulit. Agama berbicara tentang Tuhan,
kehidupan abadi, akhirat, pengadilan akhir, sorga neraka, dan akhlakmoral yang harus dihayati dengan sikap teguh dan taat dalam hidup di dunia ini.
Kehidupan di dunia ini bersifat relatif, dalam srti tidak merupakan segala- galanya. Orang baik yang banyak menderita selama hidupnya di dunia,
masih dapat berharap akan memperoleh kebahagiaan abadi di sorga. Agama menentukan tolok ukur manusiawi bagi baik buruknya tingkah
laku manusia berdasarkan tolok ukur Ilahi, yaitu kebaikan tertinggi atau kesempurnaan, yang hanya dimiliki oleh Tuhan. Agama adalah akar yang
tanpa itu pohon moral kita akan mati. Etika tanpa Agama ibarat pohon tanpa akar. Hal itu tidak berarti bahwa etika yang benar harus tampil sebagai ”etika
teologis” , yakni etika yang selalu mendasarkan prinsip-prinsipnya pada 45
wahyu Ilahi. Dengan demikian, agama sesungguhnya membutuhkan etika, khususnya dalam usaha untuk : 1 menangkap dan menginterpretasikan
menafsirkan kejelasan isimaksud ayat-ayat yang tertulis di dalam kitab suci. 2 menemukan pemecahan atau jalan keluar yang secara moral dapat
dipertanggungjawabkan atas masalah-masalah baru yang tidak secara eksplisit ditulis dan diatur dalam kitab suci.
3. Etika dan Kitab Suci Kitab Suci pada setiap agama yang ditulis ratusan bahkan ribuan yang
tahun lalu tidak dapat dilepaskan dari konteks sosio-kultural pada saat itu. Maka, untuk dapat memahami isi ayat-ayat Kitab Suci secara tepat, kita
mesti melalui proses penafsiran hermeneutik yang jernih, luas, dan terang. Yang perlu kita ikuti adalah kehendak Allah, bukan kata-kata yang tersurat
dalam Kitab suci. Maka, ayat-ayat dalam kitab suci selalu harus ditafsirkan, untuk dapat menangkap isinyakehendak Allah yang sebenar-benarnya,
yang tersurat didalamnya. Etika sangat kritis terhadap praktik hidup yang berupa ketaatan buta pada
perintah dan larangan yang termuat dalam kitab suci. Etika ingin mengoreksi praktik banyak orang beragama yang didasari logika pemikiran yang salah.
Orang beragama sering berpandangan bahwa ”suatu tindakan itu baik karena diperintahkan dn buruk karena dilarang dalam kitab suci”. Sehingga apapun
yang diperintahkan dalam kitab suci dipandang baik dan apapun yang dilarang dipandang buruk. Jadi, kalau kitab suci memerintahkan suatu
tindakan, itu mesti karena tindakan tersebut mengandung kebaikan dan sebaliknya. Tugas kita adalah untuk meneliti, merenungkan, menafsirkan,
dan meresapkan dimana letak kebaikannya seterang-terangnya, selaras dengan kerangka dan logika pemikiran kita yang jujur dan terbuka.
4. Pentingnya Orang Beragama Mempelajari Etika Pendidikan bertujuan mengembangkan seluruh aspek dalam diri
manusia: aspek moral, intelektual, fisik, dan mental-spiritualnya. Mengingat manusia adalah makhluk yang rasional yang memiliki akal-budi dan
kehendak bebas, untuk dapat berkembang mencapai kepenuhankeutuhan dirinya sebagai manusia, ia harus dididik.
Dalam pendidikan aspek moral merupakan aspek yang paling utama untuk dikembangkan, karena moral menyangkut sikap-sikap dan tingkah
laku yang baik, yang sesuai dengan tuntutan kemanusiaan keluhuran martabat manusia. Oleh sebab itu, pendidikan akan dan harus selalu
berusaha membentuk dan mengembangkan sikap dan tingkahlaku yang baik yang benar, dan yang lurus sesuai dengan prinsip-prinsip moral yang
dikembangkan dalam etika Soewandi,dkk, 2005 : 146. Etika merupakan sarana bagi manusia untuk membangun hidup yang baikbenar demi
mencapai kesempurnaan hidupnya. Dalam hal ini, etika sesbagai ilmu menyediakan teori dan metode yang
dapat digunakan untuk mengembangkan penalaran atau pemikiran yang kritis, logis, rasional, sistematis, menyeluruh dan mendasar untuk dapat
mempertimbangkan dan menemukan mana sikap tindakan yang baik yang selayaknya dilakukan dan tindakan yang buruk yang sepantasnya dijauhi.
Etika memberikan kejelasan arah atau orientasi yang mesti kita ikuti dalam hidup ini agar hidup kita dapat sampai pada tujuan yang sebenarnya.
Etika dengan demikian merupakan ilmu yang mengkaji hal-hal yang sangat fundamental bagi hidup yang baik dan benar, maka etika semestinya
dipelajari oleh siapa saja, dari kalangan agama manapun, dan dijadikan landasan dalam pengembangan ilmu-ilmu maupun dalam praktik hidup
dalam bidang apapun. Etika yang sehat adalah yang seimbang, yakni yang berlandaskan pada wawasan pengetahuan yang luas dan prinsip-prinsip yang
dapat dipertanggung jawabkan kebenarankebaikannya, etika yang sehat memerlukan studi yang tekun dan teliti serta memerlukan keterbukaan
terhadap segala masukan dan kritik. Pengajaran etika menyampaikan ilmu tentang moralitas, yaitu teori-teori atu prinsip-priasip dasar tentang
bagaimana orang dapat hidup baik. Etika mengacu pada pencapaian kualitas hidup keutuhankesempurnaan diri sebagai manusia. Kualitas baik buruk
moral manusia ditentukan oleh kualitas keseluruhan tindakan lahiriah, sikap batin, motivasinya, dampak, dan akibatnya.
Dalam praktik, kualitas baik buruknya suatu tindakan moral dinilai berdasarkan aspek-aspek : 1 normatifboleh tidak boleh; 2 orientasi
subyektif kepada kebaikan atau kebenaran yang obyektif dalam otonomi- kebebasan hati nurani dan 3 dampak akibatnya : ada sanksinya atau tidak,
akibat langsung dan tidak langsungnya baik atau tidak. Dalam hal ini selalu ada kecenderungan pada umat beragama untuk mempersempit peletakan
kualitas hidup dengan menekankan salah satu dari ketig aspek di atas secara berat sebelah. Orang yang berpijak pada pandangan yang normatif-
kuantitatif sempit memberlakukan dan mentaati norma-norma bukan dalam rangka membangun hidup yang berkualitas sebaik-baiknya, melainkan untuk
topeng agar dirinya tampak baik-baik di mata orang-orang. Dalam hal ini, 48
banyak orang justru mengembangkan ”moralitas kuburan” atau ”moralitas topeng” Soewandi,dkk., 2005 : 150.
Orang yang berpijak pada pandangan yang subyektif sempit bertolak pada apa yang menurut dirinya sendiri saja atau pada hati nuraninya yang
sempit dan naif. Asal maksud dan tujuannya baik atau asal menurut pemikirannya sendiri baik, maka apapun yang ia lakukan dia beranggapan
bahwa tindakannya itu baikbenar entah itu membunuh penjahat, membakar rumah orang yang dicurigai jahat,dll. Orang yang berpijak pada pandangan
yang konsekuensialis sempit hanya memperhatikan dampak akibat langsungnya bagi diri sendiri dan untuk saat sekarang saja. Hal ini masih
sering dipersempit pada dampak langsungnya secara kuntitatif. 49
BAB III PAPARAN DATA