Post 887aa86254f58264
SKRIPSI
Diajukan Guna Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan Agama Islam
Oleh:
RESTI BUDI HESTININGDYAH 11106125
JURUSAN TARBIYAH
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI
SALATIGA
2010
(2)
A. Latar Belakang Masalah
Dewasa ini pendidikan agama di sekolah-sekolah di seluruh indonesia
dipandang sebagai sarana yang amat strategis untuk membentuk moral para
siswa. Trend ke arah itu mulai nampak sejak masa Orde Baru, Yaitu ketika
pendidikan agama dijadikan tumpuan utama untuk dapat membangun moral
yang baik.
Oleh sebagian besar tokoh agama, lembaga agama tampaknya tetap
dipandang sebagai otoritas yang paling berkompeten untuk mengarahkan moral
para penduduknya. Hal ini sebetulnya tidak menimbulkan masalah. Masalah
akan muncul jika otoritas agama mengajarkan perilaku secara tidak profesional
dan tidak rasional, misalnya dengan banyak menyampaikan perintah dan
larangan tanpa disertai penjelasan yang memadai. Baik-buruk, benar-salah,
dosa-tidak dosa, dilihat secara hitam putih dan secara sempit normatif saja. Dengan
demikian, setiap kali umat beragama mau bertindak, ia tinggal bertanya “ini
boleh dilakukan atau tidak?” atau “ini dosa atau tidak?” mereka hanya diberikan
“resep” untuk bertindak, yang berupa “hukum”atau “norma”yang sudah pasti
dan tinggal ditaati. Dalam hal ini, taat pada norma-norma yang digariskan oleh
agama di yakini sebagai keutamaan yang unggul. Apakah di balik ketaatan
tersebut ada kebebasan, kesadaran dan penalaran yang dapat dipertanggung
jawabkan atau tidak, otoritas agama sering tidak memperdulikannya.
(3)
tingkat kesadaran moral dan kedewasaan rohani umat beragama di Indonesia
masih akan tetap rendah, mungkin masih sama seperti pada era-era sebelumnya,
yaitu masih ditandai dengan kedangkalan, kesemuan, dan kepalsuan dalam hal
iman maupun moral. Perilaku lahiriah umat dari luar akan tampak baik-baik saja
(selaras dengan norma-norma), tetapi dibalik itu dapat saja tersembunyi segala
kepalsuan yang memprihatinkan. Yang dibangun bukan kehidupan yang berakar
pada kebebasan dan kesadaran hati nurani yang dewasa dan otentik, melainkan
pada penampilan luar yang tampak baik-baik saja (selaras dengan
norma-norma), tetapi dibalik itu dapat saja tersembunyi segala kepalsuan yang
memprihatinkan. Yang dibangun bukan kehidupan yang berakar pada kebebasan
dan kesadaran hati nurani yang dewasa dan otentik, melainkan pada penampilan
luar yang tampak baik-baik tetapi palsu.
Dalam situasi seperti itu, Etika, sebagai ilmu yang menggunakan
pendekatan kritis dan rasional, kiranya perlu dipelajari oleh orang beragama,
khususnya para tokoh agama,demi mendewasakan pola pandang dan kesadaran
moral/ iman mereka. Seperti ditegaskan oleh Magnis-Suseno (1987), Etika
berguna untuk mengembangkan sikap moral yang dewasa dan otentik, karena
dengn mempelajari etika, orang akan mengenal prinsip-prinsip dlam
membangun moral yang baik dan otentik,dengan menggunakan seluruh
kemampuan sebagai makhluk yang rasional. Walaupun sering dikatakan bahwa
iman memang tidak selalu rasional, namun bagaimanapun dalam menjalani
hidup ini orang beriman/ beragama tidak semestinya “mengistirahatkan"
(4)
agama yang tidak pernah mempelajari filsafat (termasuk Etika), logika , teologi,
dan lain-lain, maka kondisi umat beragama ditingkat grassroot akan sangat
memprihtinkan. Mereka akan mudah diprovokasi, diindoktrinasi,dan
dimanipulasi oleh para pemimpin mereka untuk tujuan-tujuan yang tidak dapat
dipertanggungjawabkan. Maka pendidikan moral entah dalam formal apa,perlu
diberikan kepada umat beragama pada umumnya dan kepada para calon pemuka
agama pada khususnya (Magnis-Suseno 1991). Para siswa MAN 1 Magelang
bisa dikategorikan sebagai para calon pemuka agama. Hal itu dilihat dari
karateristik MAN1 Magelang yang merupakan lembaga pendidikan agama.
Dan untuk menjadikan para siswa sebagai pemuka agama diperlukan suatu
pendidikan terutama nilai moral. Dalam hal ini, peran guru sangatlah penting.
Peran guru disini adalah bagaimana cara guru dalam menanamkan nilai moral
yang tepat pada siswa? Melihat permasalahan diatas, penulis tertarik untuk
membahasnya. Maka, melalui penelitian ini, peneliti mengambil judul
“Pendidikan Moral” (Studi Analisis terhadapPenanaman Nilai-nilai Moral Siswa, MAN 1 Magelang Tahun 2010).
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana penanaman nilai-nilai moral siswa di MAN 1 Magelang?
2. Bagaimana keadaan moral siswa MAN 1 Magelang?
C. Fokus Penelitian
Penelitian ini hanya membahas dalam konteks nilai-nilai moral. Dan dalam
(5)
memotivasi siswa untuk selalu berusaha melakukan moral yang baik.
D. Tujuan Penelitian
Penelitian ini memiliki tujuan sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui bagaimana penanaman nilai-nilai moral di MAN 1
Magelang.
2. Untuk mengetahui bagaimana keadaan moral siswa MAN 1 Magelang.
E. Kegunaan Penelitian 1. Kegunaan Teoritis
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi bagi
pengembangan pendidikan terutama dalam meningkatkan penanaman
nilai-nilai moral.
2. Praktis
a. Secara praktis, penelitian ini dapat menjadi acuan bagi guru untuk
meningkatkan penanaman nilai-nilai moral kepada siswa.
b. Digunakan untuk memenuhi persyaratan guna memperoleh gelar Sarjana
Jurusan Tarbiyah Ilmu Keguruan Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri
(STAIN) Salatiga.
F. Penegasan Istilah 1. Pendidikan
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 1989 tentang
(6)
latihan bagi perananya di masa yang akan datang (UU SPN No.2 Th.1989,
Bab I, Pasal I, Ayat I ).
Pendidikan juga bisa diartikan segala usaha orang dewasa dalam
pergaulannya dengan anak-anak untuk memimpin perkembangan jasmani
dan rohaninya ke arah kedewasaan (Purwanto, 1985 : 10)
2. Moral
Secara etimologis kata “moral” berasal dari kata latin “mos” yang berarti
tata cara, adat istiadat, sedangkan jamaknya adalah “mores”. Dalam arti adat
istiadat, kata “moral” mempunyai arti yang sama dengan kata yunani
“ethos”, yang menurunkan kata “etika”. Dalam bahasa Arab kata “moral”
berarti budi pekerti adalah sama dengan “akhlak”, sedangkan dalam bahasa
Indonesia, kata “moral” dikenal dengan arti “kesusilaan”. (Daroeso, 1986 :
22)
Dalam Kamus Umum bahasa Indonesia, yang disusun oleh
W.J.S.Purwadarminta (1984 : 654), kata “moral” berarti ajaran tentang baik
buruk perbuatan dan kelakuan (akhlak, kewajiban, dsb). Dengan kata lain
moral atau kesusilaan adalah kesempurnaan sebagai manusia. Moral sebagai
tingkah laku hidup manusia, yang mendasarkan diri pada kesadaran, bahwa
ia terikat oleh keharusan untuk mencapai yang baik sesuai dengan nilai dan
norma yang berlaku dalam lingkungannya. Dengan demikian moral atau
kesusilaan adalah keseluruhan norma yang mengatur tingkah laku manusia di
(7)
satu ketentuan kodrat yaitu adanya kehendak yang baik. Kehendak yang baik
ini mensyaratkan adanya bertingkah laku dan tujuan yang baik pula. Jadi
predikat moral mensyaratkan adanya kebaikan yang berkesinambungan,
nulai munculnya kehendak yang baik sampai dengan tingkah laku dalam
mencapai tujuan yang baik pula. Karena itu, orang yang bertindak atau
bertingkah laku baik kadang-kadang belum dapat disebut orang yang
bermoral.
3. Nilai
Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia, yang disusun oleh
W.j.s.Purwadarminta (1984 : 677), nilai adalah : a) harga dalam arti taksiran,
misal nilai intan; b) harga sesuatu, misalnya uang; c) angka kepandian; d)
kadar, mutu; e) sifat-sifat atau hal-hal yang penting atau berguna bagi
kemanusiaan, misalnya : nilai-nilai agama.
Nilai juga bisa diartikan suatu penghargaan atau kualitas terhadap
sesuatu atau hal, yang dapat dasar penentu tingkah laku seseorang, karena
sesuatu atau hal itu menyenangkan, memuaskan, menarik, berguna,
menguntungkan atau merupakan suatu sistem keyakinan (daroeso, 1986 :
20).
4. Analisis
Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia, yang disusun oleh W.J.S.
Purwadarminta (1984 : 39), analisis adalah : a) penyelidikan kimia dengan
(8)
apa sebab-sebabnya, bagaimana duduk perkaranya,dsb.
Analisis juga bisa diartikan usaha integritas menjadi unsur-unsur atau
bagian-bagian sehingga menjadi jelas hierarkinya atau susunannya (Sudjana,
2005 : 27).
G. Metode Penelitian
1. Penderkatan dan jenis penelitian
Penelitian ini termasuk dalam jenis penelitian lapangan yang dalam
pelaksanaanya menggunakan metode pendekatan kualitatif deskriptif analisis
yang pada umumnya menggunakan strategi multi metode yaitu wawancara,
pengamatan, dan penelaahan dokumen yang antara satu dengan yang lain
saling melengkapi, memperkuat, dan menyempurnakan (Sukmadinata, 2008 :
108).
2. Waktu Penelitian
Penelitian dan pengumpulan data-data di MAN 1 Magelang dilaksanakan
pada tanggal 12 Juli 2010 s.d. selesai yang disertai dengan kegiatan akhir
berupa penyusunan skripsi.
3. Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di MAN 1 Magelang. Selain letaknya yang
strategis, alasan lain pemilihan tempat penelitian adalah berkaitan dengan
upaya pengembangan penanaman nilai moral yang sangat penting terutama
bagi institusi pendidikan yang dikelola departemen keagamaan.
(9)
dan Lofland (1984 : 47) (dalam Moleong, 2007 : 157), sumber data utama
dalam penelitian kualitatif adalah kata-kata, dan tindakan, selelebihnya
adalah data tambahan seperti dokumen.
Sumber data dibedakan menjadi 2 yaitu :
a. Data Primer
Sumber dan jenis data primer penelitian ini adalah kata-kata dan
tindakan subyek serta gambaran dan pemahaman dari subyek yang diteliti
sebagai dasar utama melakukan interpretasi data. Data tersebut diperoleh
secara langsung dari orang-orang yang dipandang mengetahui masalah yang
akan dikaji dan bersedia memberi data yang diperlukan. Sedangkan untuk
pengembalian data dilakukan dengan bantuan catatan dan observasi
mendalam oleh penelitian di MAN 1 Magelang.
Dalam pemilihan sampel informan, peneliti menggunakan teknik Pur
posive Sampling dengan variasi Sampling Rujukan Berantai yaitu salah satu informan mengetahui secara mendetail terhadap tema kajian yang nantinya
akan mengusulkan nama-nama individu lain yang mempunyai pengetahuan
yang lebih mendalam yang mendukung riset tersebut (daymon, 2002 : 251 ).
Data ini diperoleh melalui kepala sekolah, tata usaha, Guru BP, guru
pengajar, dan para siswa. Sementara observasi dilakukan dengan melakukan
pengamatan secara langsung segala aktivitas di MAN 1 Magelang.
b. Data Sekunder
Data sekunder adalah data yang diperoleh dari sumber-sumber lain
(10)
ini. Data tersebut diantaranya seperti buku-buku referensi, seperti kamus,
buku indeks, ensiklopedi dan sebagainya.
5. Prosedur Pengumpulan Data
Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan metode-metode
pengumpulan data sebagai berikut :
a. Metode observasi
Observasi adalah pengamatan dan pencatatan sesuatu objek dengan
sistematika fenomena yang diselidiki (Arikunto, 1988 : 69 ). Metode ini
digunakan untuk mengetahui gambaran umum lokasi penelitian.
b. Metode wawancara
Wawancara adalah suatu proses tanya jawab, dalam mana dua orang
atau lebih berhadapan secara fisik, yang satu dapat melihat muka yang
lain dan mendengar dengan telinga sendiri dari suaranya (Arikunto, 1988
: 88 ). Dalam metode ini,peneliti menggunakan teknik kuesioner yaitu
dengan membuat daftar pertanyaan secara tertulis dengan tujuan pokok
untuk memperoleh data informasi yang relefan dengan tujuan penelitian
(Koentjaraningrat, 1986 : 138).
Metode ini digunakan untuk memperoleh data tentang pendidikan
moral di lokasi penelitian.
c. Metode dokumentasi
Dokumentasi adalah pengumpulan data yang dilakukan melalui
penelusuran dokumen yang dapat berupa buku, majalah, notulen rapat,
(11)
seperti sejarahnya, visi misinya, dan sebagainya.
6. Metode Analisis Data
Untuk menganalisis data, peneliti menggunakan metode analisis
kualitatif dengan menerapkan metode berpikir induktif dan metode berpikir
deduktif.
a. Metode induktif yaitu suatu metode berpikir yang bertolak dari
fenomena yang khusus, yang kongkrit dan kemudian menarik
kesimpulan yang bersifat umum.
b. Mdetode deduktif yaitu pola berfikir yang bertitik tolak dari pernyataan
yang bersifat umum, dan menarik kesimpulan yang bersifat khusus
(Sukandarrumidi, 2002 : 38 – 40).
7. Pengecekan Keabsahan Data
Untuk mengetahui apakah data yang telah dikumpulkan dalam penelitian
memiliki tingkat kebenaran atau tidak, maka dilakukan pengecekan data
yang disebut dengan validitas data. Untuk menjamin validitas data, peneliti
menggunakan teknik perpanjangan kehadiran penelitian di lapangan dan
observasi yang diperdalam.
H. Sistematika Penulisan
Untuk memudahkan pemahaman dalam skripsi ini, maka akan dikemukakan
sistematika hasil yng secara garis besar dapat dilihat sebagai berikut :
(12)
tujuan penelitian, penegasan istilah, metode penelitian, sistematika
penelitian.
BAB II : KAJIAN PUSTAKA
Bab ini berisi tentang pendidikan, nilai-nilai moral, dan pentingnya
pengajaran etika bagi orang beragama.
BAB III: PAPARAN DATA
Bab ini berisi tentang gambaran umum MAN 1 Magelang.
BAB IV: ANALISIS DATA
Bab ini berisi tentang paparan data dan pembahasan mengenai
penanaman nilai-nilai moral siswa MAN 1 Magelang dan keadaan
moral siswa Man 1 Magelang.
BAB V: PENUTUP
(13)
A. Pendidikan
1. Pengertian Pendidikan
Berdasarkan buku dalam Dictionary of Education, pendidikan adalah
proses dimana seseorang mengembangkan kemampuan sikap dan bentuk-bentuk
tingkah laku lainnya di dalam masyarakat dimana dia hidup, proses sosial
dimana orang dihadapkan pada pengaruh lingkungan yang terpilih dan terkontrol
(khususnya yang datang dari sekolah) sehingga ia dapat memperoleh atau
mengalami perkembangan kemampuan sosial dan kemampuan individual yang
optimum (Ditjen Dikti, 1983 : 19).
Pendidikan bukan semata-mata sebagai sarana untuk persiapan
kehidupan anak sekarang yang sedang mengalami perkembangan menuju tingkat
kedewasaannya. Berdasarkan pengertian tersebut di atas diberikan ciri umum
dalam pendidikan, yaitu :
1. Pendidikan mengandung tujuan yang ingin dicapai yaitu individu yang
kemampuan-kemampuan dirinya berkembang sehingga bermanfaat untuk
kehidupannya sebagai seorang individu, warga negara atau warga
masyarakat.
2. Untuk mencapai tujuan tersebut, pendidik perlu melakukan usaha yang
disengaja dan berencana dlam memilih isi, strategi kegiatan, teknik
penilaian yang sesuai.
3. Kegiatan tersebut dapat diberikan dalam lingkungan keluarga, sekolah dan
masyarakat, pendidikan formal dan non formal ( Ditjen Dikti, 1983 : 20).
(14)
Anak yang sedang mengalami perkembangan menuju ke tingkat
kedewasaannya. Yang dimaksud dengan dewasa ialah dapat bertanggung jawab
terhadap diri sendiri baik secara biologis, psikologis, paedagogis dan sosiologis.
Biologis, apabila seseorang telah dapat menurunkan keturunan, dengan kata lain
ia telah akil baligh.
Psikologis, apabila bermacam-macam fungsi kejiwaanya telah
berkembang sepenuhnya dan telah berdeferensiasi. Dengan kata lain,
fungsi-fungsi kejiwaan seseorang telah matang.Paedagogis, apabila telah menyadari dan
mengenal diri sendiri atas tanggung jawab sendiri. Sosiologis, apabila seseorang
telah memenuhi syarat untuk hidup bersama yang telah ditentukan masyarakat
(Zahara Idris, 1982 : 10).
Menurut Tim Pengrembangan MKDK IKIP Negeri Semarang (1989),
fungsi pendidikan secara mikro adalah membantu secara sadar perkembangan
jasmani dan rohani peserta didik. Sedang fungsi pendidikan secara makro adalah
sebagai berikut :
1. Pengembangan pribadi
2. Pengembangan kebudayaan
3. Pengembangan warga negara
4. Pengembangan bangsa
Pada prinsipnya, mendidik adalah memberi tuntunan, bantuan,
pertolongan kepada peserta didik. Di dalam pengertin memberi tuntunan telah
tersimpul suatu dasar pengakuan bahwa anak memiliki potensi untuk
berkembang. Potensi ini secara berangsur-angsur tubuh dan berkembang dari
dalam diri anak. Untuk menjamin berkembangnya potensi agar menjadi lancar
(15)
pertolongan tidak ada, maka potensi tersebut tetap tinggal potensi belaka yang
tak sempat diaktualisasikan. Dalam kehidupan manusia dari sejak lahir hingga
tua adalah merupakan proses meniti tahapan-tahapan perkembangan, dimana
masing-masing tahap memiliki tugas tertentu yang perlu dilalui untuk menuju
tahapan selanjutnya. Dalam tugas ini pendidikan sangat berfungsi untuk
menghantarkan pribadi menuju ke tujuan yang sesuai dengan apa yang
dikehendaki dalam perkembangannya.
Pendidikan dan kebudayaan nampaknya sulit untuk dipisahkan sebab
memang keduanya memiliki fungsi yang saling terkait, dimana pendidikan
sangat mendukung terhadap kemajuan kebudayaan, sementara kebudayaan
sendiri sebagai sarana pendidikan. Pendidikan dapat merubah pola pikir
seseorang dan pada giliranya pola pikir tersebut menentukan perilaku berbudaya.
Seiring dengan fungsi pengembangan pribadi dan pengembangan
kebudayaan, pendidikan juga merupakan alat pengembangan warga negara.
Dengan pendidikan, dapat ditingkatkan kecerdasan masyarakat, bangsa dan
negara (Haryati, 1997 : 7-8).
Di dalam Al Qur’an ada beberapa ayat tentang pendidikan,salah satunya
Q.S. Al Baqoroh : 151 yang berbunyi:
Artinya : Sebagaimana (kami telah menyempurnakan kepadamu). Kami telah
(16)
kami kepada kamu dan menyucikan kamu dan mengajarkan kepadamu Al
Kitab dan Al Hikmah serta mengajarkan kepada kamu apa yang belum
kamu ketahui. (Al-Qur’an dan terjemahannya, :23).
2. Pentingnya Pendidikan dan Ilmu Pendidikan
Kata pendidikan bagi awam atau pembaca umumnya langsung
mengaitkanya dengan masalah sekolah dalam arti pertemuan guru dan siswa.
Sehingga orang tua merasa berkewajiban untuk mendidik anaknya baik secara
langsung maupan tidak langsung lewat persekolahan.
Mengapa pendidikan itu penting? Hal ini dapat disoroti lewat :
1. Segi anak
Anak adalah makhluk yang sedang tumbuh, oleh karena itu pendidikan
penting sekali karena mulai sejak bayi belum dapat berbuat sesuatu untuk
kepentingan dirinya sendiri, semua kebutuhan tergantung orang tua.
2. Segi orang tua
Pendidikan adalah karena dorongan orang tua yaitu hati nuraninya yang
terdalam yang mempunyai sifat kodrati untuk mendidik anaknya ( Ahmadi,
Uhbiyati 1991 : 74).
Pendidikan dilakukan baik segi phisik, sosial, emosi maupun inteligensinya
agar memperoleh keselamatan, kepandaian, agar mendapat kebahagiaan hidup
yang mereka idam-idamkan, sehingga ada tanggung jawab moral atas hadirnya
anak tersebut yang diberikan oleh Tuhan Yang Maha Kuasa untuk dapat
dipelihara dan dididik dengan sebaik-baiknya.
Manusia bukanlah seekor makhluk biologis, melainkan seorang pribadi,
(17)
menempatkan dirinya dalam situasinya, ia dapat mengambil sikap dan
menentukan dirinya, nasibnya ada ditangan sendirri(Ahmadi, Uhbiyati 1991 :
71)
Mendidik adalah memanusiakan manusia muda, mendidik itu adalah
proses hominisasi dan humanisasi, yaitu pemanusiaan manusia dari taraf
potensial, ketaraf “maksimal” (telah mampu berbuat sebagai selayaknya
manusia), dan menunjukkan perkembangan yang lebih tinggi.
Pemanusiaan disini mempunyai dua arti : pendidikan memanusiakan
anak didik, dan anak didik memanusiakan dirinya. Pemanusiaan itulah yang
merupakan proses dalam pendidikan. Proses itu akan berakhir, jika anak sudah
dapat memanusiakan dirinya sendiri sebagai manusia purnawan. Disamping
hal-hal yang telah diuraikan diatas, pendidikan juga memandang bahwa anak didik
itu memiliki sifat-sifat : Individualitas, sosialitas, moralitas dan unisitas.
Pengingkaran salah satu saja dari keempat hal itu, maka pendidikan akan
mengalami kesulitan dalam pelaksanaannya.
Menurut pendapat Notonagoro, bahwa pendidikan itu dapat di mulai
sejak anak itu masih dalam kenangan. Muda-mudi dapat mepersiapkan diri
dengan jalan mendidik dirinya sendiri, sehingga mereka dapat menjadi bibit dan
persemaian yang lebih baik, dan pendidikan itu berlangsung sepanjang hayat
(Ahmadi, Uhbiyati 1991 : 75). Ilmu Pendidikan merupakan ilmu pengetahuan
rohani, karena situasi pendidikan berdasar atas tujuan manusia, tidak
membiarkan anak kepada keadaan alamnya melainkan memandangnya sebagai
makhluk susila dan akan dibawa kearah manusia yang berbudaya.
Pada umumnya tiap-tiap bangsa dan negara sependapat tentang
(18)
pertumbuhan tubuhnya, sehat otaknya, baik budi pekertinya dan sebagainya.
Sehingga ia dapat mencapai puncak kesempurnaan dan berbahagia hidupnya
lahir batin.
3. Pentingnya Mempelajari Ilmu Pendidikan
Pentingnya mempelajari ilmu pendidikan dapat di jelaskan sebagai berikut :
1) Untuk Pengembangan Individu :
Manusia sebagai makhluk berbudaya dapat mengembngkan dirinya
sedemikian rupa sehingga mampu membentuk norma dan tatanan kehidupan
yang didasari oleh nilai-nilai luhur untuk kesejahteran hidup, baik
perorangan maupun untuk kehidupan bersama. Hal ini disebabkan oleh :
a. Adanya kemampuan-kemampuan atau potensi dasar yang ada pada
manusia.
b. Adanya usaha pengembangan potensi manusia tersebut sehingga
terwujud kemampuan yang nyata dan adanya usaha penyerahan nilai atau
norma tersebut yang sudah dimiliki oleh kehidupan manusia dari
generasi ke generasi berikutnya.
2) Bagi pendidik pada umumnya
Dengan memahami pendidikan, pendidik dapat :
a. Memudahkan praktek pendidikan.
b. Dapat menimbulkan rasa kecintaan pada diri pendidik terhadap
tugasnya, terhadap anak didik dan terhadap kebenaran.
c. Dapat menghindari banyak kesukaran dan kesalahan dalam
melaksanakan praktek pendidikan.
(19)
Begitu pentingnya pendidikan untuk penmbangunan bangsa maka
pemerintah telah berusaha keras untuk
a. meningkatkan usaha pemerataan pendidikan
b. meningkatkan mutu pendidikan dalam setiap tingkat pendidikan
c. meningkatkan relevansi pendidikan terhadap kebutuhan masyarakat dan
kebutuhan akan pelaksanaan pembangunan yang terus dilaksanakan
d. meningkatkan efektivitas dan efisiensi pelaksanaan kegiatan pendidikan
di semua jenjang pendidikan
Dari segala jenis usaha pemerintah tersebut dapat disimpulkan bahwa
pendidikan memang dipandang mempunyai peranan yang besar untuk
menciptakan masa depan yang gemilang yang menjadi idaman kita bersama.
4. Kedudukan Ilmu Pendidikan pada Ilmu Pengetahuan
Al-Ghazali membagi ilmu pengetahuan menjadi dua yaitu :
1) Duniawi :Ilmu hitung, Ilmu kedokteran, Ilmu Ukur, dll.
2) Ukhrowi :
a. Mukasyafah : Iman, Islam, dan Ikhsan
b. Mu’amalah:
a) Batin : Terpuji, Tercela
b) Dhohir : Adat, Peribadatan
Apabila diperhatikan akan menunjukkan bahwa antara yang MUKASYAFAH
dengan yang MU’AMALAH sangat erat hubungannya, MUKASYAFAH tentang
Iman, Islam dan Ikhsan dengan Mu’amalah Dhohir peribadatan atau Mu’amalah
batin terpuji.
5. Jenis-jenis Pendidikan
(20)
Pendidikan di dalam keluarga Pandidikan di dalam sekolah dan Pendidikan di dalam masyarakat 2. Menurut sifatnya
Pendidikan informal, yaitu pendidikan yang diperoleh seseorang dari pengalaman sehari-hari dengan sadar atau tidak sadar sepanjang hayat.
Pendidikan ini dapat berlangsung dalam keluarga dalam pergaulan
sehari-hari maupun dalam pekerjaan, masyarakat, organisasi.
Pendidikan formal, yaitu pendidikan yang berlangsung secara teratur, bertingkat dan mengikuti syarat-syarat tertentu secara ketat. Pendidikan
ini berlangsung di sekolah.
Pendidikan non formal, yaitu pendidikan yang dilaksanakan secara tertentu dan sadar tetapi tidak terlalu mengikuti peraturan yang ketat.
3. Menurut cara berlangsungnya pendidikan
Pendidikan fungsional, yaitu pendidikan yang berlangsung secara naluriah tanpa rencana dan tujuan tetapi berlangsung begitu saja.
Pendidikan intensional, yaitu pendidikan yang berlangsung secara naluriah dengan rencana dan tujuan yang sudah direncanakan
4. Menurut aspek yang disentuh, jadi tidak menyentuh seluruh dari
kepribadian anak didik misalnya pendidikan bahasa, pendidikan
kesenian, pendidikan sosial.
B. Nilai-nilai Moral
1. Arti klarifikasi Nilai dan Nilai yang Sesungguhnya
Menurut Hall, klarifikasi nilai adalah suatu metodologi atas proses
(21)
belakangi tingkah lakunya, perasaannya, gagasan-gagasannya, dan
pilihan-pilihan penting yang telah dibuatnya dan dalam kenyataanya orang yang
bersangkutan terus bertindak berdasarkan nilai-nilai itu dalam hidupnya.
Dengan klarifikasi nilai, siswa tidak hanya disuruh menghafal dan tidak
“disuapi” dengan nilai-nilai yang sudah dirumuskan pihak lain, melainkan
diajari untuk menemukan, menghayati, mengembangkan, dan mengamalkan
nilai-nilai hidupnya sendiri. Siswa diberi kesempatan untuk menentukan sendiri
apa yang mau dikejar, diperjuangkan atau diutamakan dalam hidupnya. Denga
demikian, siswa semakin mandiri, semakin mampu mengambil keputusan
sendiri dan mengarahkan hidupnya sendiri (Soewandi, dkk., 2005 : 111)
Yang ditekankan dlam klarifikasi nilai adalah proses pembentukan nilai.
Fokusnya ialah bagaimana orang sampai pada pemilikan nilai-nilai tertentu dan
membentuk pola-pola tingkah laku. Proses pembentukan nilai mencakuptujuh
sub proses yang biasanya digolongkan menjadi tiga kategori (Soewandi,dkk.,
2005 : 112). Ketiga sub proses pembentukan nilai yang dimaksudkan ialah :
a. Memilih (kognitif)
1) Memilih dengan bebas
Memilih nilai secara bebas berarti bebas dari segala bentuk tekanan.
Lingkungan dapat memaksaka sesuatu nilai pada seseorang yang
sebenarny tidak disukainya. Ada kalanya lingkungan menuntut kita untuk
melakukan sesuatu yang tidak berdasarkan keyakinan kita.
2) Memilih dari berbagai alternatif
Memilih secara bebas mengandaikan ada berbagai alternatif. Kalau
(22)
3) Memilih ssesudah memperhitungkan konsekuensinya dari
masing-masing alternatif
Memilih nilai berarti menemukan suatu nilai sesudah
mempertimbangkan konsekuensi dari semua alternative yang ada. Dan
dengan mengetahui akibat-akibat dari alternatif-alternatif yang ada,
dapatlah dibuat pilihan yang lebih tepat (Soewandi, dkk., 2005 : 113).
b. Menghargai (afektif)
1) Menghargai dan senang dengan pilihan yang dibuat
Seseorang yang menentukan pilihannya dan ternyata sesudah
melakukan pilihannya itu, dia menjadi gembira, senang, maka dia
menemukan nilai bagi dirinya.
2) Bersedia mengakui pilihan dimuka umum
Orang yang menjunjng tinggi suatu nilai, maka orang yang
bersangkutan bisa diharapkan bisa mengkomunikasikannya kepada orang
lain (Soewadi,dkk., 2005 : 114).
c. Bertindak (psikomotorik)
1) Berperilaku sesuai dengan pilihan
Agar sesuatu benar-benar merupakan nilai bagi seseorang, maka
tindakan yang bersangkutan harus berdasarkan nilai itu. Nilai itu harus
diwujudkan dalam tingkah lakunya.
2) Berulang-ulang berperilaku sesuai dengan pilihan sehingga terbentuk
suatu pola hidup
Agar sesuatu sungguh-sungguh merupakan nilai bagi seseorang,
(23)
Dia bertindak berdasarkan nilai yang diyakininya dan ini berulang-ulang
sehingga merupakan pola hiaupnya Soewandi, dkk., 2005 : 115).
2. Indikator Nilai
Indikator nilai adalah sesuatu yang belum memenuhi ketujuh kriteria
untuk menjadi nilai yang sesungguhnya. Boleh jadi indikator nilai itu telah
memenuhi lima atau enam kriteria tetapi hal yang bersangkutan belum
berulang-ulang dipraktekkan sehingga belum merupakan pola hidupnya. Atau
boleh jadi orangnya sudah bertindak berdasarkan indikator nilai itu, tetapi
sebenarnya bukan merupakan pilihannya sendiri. Terpenuhinya ketujuh kriteria
itu yidak mesti berurutan, bisa berperilaku tertentu dulu, baru menyusul sub
proses memilih dengan bebas. Jadi, sesuatu nilai yang belum memenuhiketujuh
kriteria tersebut hanyalah merupakan indikator nilai. Indikator nilai dapat
berkembang menjadi nilai yang sesungguhnya (Soewandi, dkk., 2005 : 115).
Sejalan dengan ketujuh sub proses pembentukan nilai tersebut, pendidik
perlu mengusahakan hal-hal berikut :
a. Memberikan kesempatan kepada siswa untuk menentukan pilihan dan
sikapnya sendiri
b. Membantu siswa untuk memeriksa alternative-alternatif yang tersedia
c. Membantu siswa untuk mempertimbangkan konsekuensi dari setiap
alternatif yang tersedia
d. Membantu siswa untuk menghargai dan menyenangi pilihannya
e. Memberikan kesempatan kepada siswa untuk menyatakan pilihannya di
depan
f. Mendorong dan mengingatkan siswa untuk bertingkah laku secara
(24)
g. Mendorong siswa untuk secara konsisten berperilaku sesuai pilihannya
(Soewandi, dkk., 2005 : 116).
3. Macam- macam Pendekatan Nilai
Macam-macam pendekatan nilai adalah sebagai berikut :
a. Memoralisasi
Menurut pendekatan ini, siswa diharuskan untuk menerima warisan
nilai-nilai hidup dari para guru. Cara-cara yang digunakan, misalnya, pemberian
nasihat, khotbah, dan ceramah.
b. Bersikap membiarkan
Guru membiarkan siswa menentukan sendiri apa yang dimauinya, siswa
dibiarkan tumbu dan berkembang secara alamiah, dengan “jatuh dan
bangun”dari pengalamannya sendiri.
c. Menjadi model
Guru berusaha menmpilkan dirinya sebagai model yang hidup menurut
nilai-nilai tertentu. Guru menjadi teladan. Siswa diharapkan terkesan oleh
cara hidup si model dan berusaha menirunya.
d. Pendekatan klarifikasi nilai
Siswa dilatih untuk menentukan dan mengembangkan sendiri nilai-nilai
hidup yang ingin diperjuangkan (Soewandi, dkk., 2005 : 110).
4. Cara-cara Memahami Nilai-nilai Moral
Menurut Drs. D.A. Wila Huky, BA., cara-cara memahami nilai-nilai
moral adalah :
a. Moral sebagai tingkah laku hidup manusia, yang mendasarkan diri pada
kesadaran, bahwa ia terikat oleh keharusan untuk mencapai yang baik
(25)
b. Moral adalah ajaran tentang tingkah laku hidup yang baik berdasarkan
padangan hidup atau agama tertentu
c. Moral sebagai perangkat ide-ide tentang tingkah laku hidup, dengan wrna
dasar tertentu yang dipegang oleh sekelompok manusia di dalam
lingkungan tertntu. (Daroeso, 1986 : 22).
5. Sumber-sumber Moral
a. Ketentuan agama yang berdasarkan wahyu
b. Ketentuan kodrat yang terutama dalam diri manusia, termasuk didalamnya
ketentuan moral universal yaitu moral yang seharusnya
c. Ketentuan adat istiadat buatan manusia, termasuk didalamnya ketentuan
moral yang sedang berlaku pada suatu waktu
d. Ketentuan hokum buatan manusia, baik berbentuk adat kebiasaan atau
hukum Negara (Daroeso, 1986 : 22)
6. Obyek-obyek Moral
a. Tingkah laku manusia secara individual maupun kelompok
b. Perbuatan manusia
c. Tindakan manusia (Daroeso, 1986 : 25)
7. Unsur-unsur Moral
a. Kehendak yaitu pendorong pada jiwa manusia yang memberi memberi alas
an pada manusia untuk melakukan perbuatan
b. Perwujudan dari kehendak yang berbentuk cara melakukan perbuatan
dalam segala situasi dan kondisi
c. Perbuatan tersebut dilakukan dengan sadar dan kesadaran inilah yang
memberikan corak dan warna perbuatan tersebut (Daroeso, 1986 : 22)
(26)
Melalui hasil penelitiannya, Kohlberg menyatakan hal-hal sebagai
berikut :
a. Ada prinsip-prinsip moral dasar yang mengatasi nilai-nilai moral lainnya
dan prinsip-prinsip moral dasar itu merupakan akar dari nilai-nilai moral
lainnya
b. Manusia tetap merupakan subyek yang bebas dengan nilai-nilai yang
berasal dari diri sendiri
c. Dalam bidang penalaran moral ada tahap-tahap perkembangan yang sama
dan universal bagi setiap kebudayaan
d. Tahap-tahap perkembangan penalaran moral ini banyak ditentukan oleh
factor kognitif atau kematangan intelektual (Budiningsih, 2004 : 27-28).
Menurut Kohlberg, tahap-tahap perkembangan moral adalah sebagai
berikut :
a. Preconventional level
Pada tahap ini, anak peka terhadap aturan-aturan yang mempunyai latar
belakang budaya dan terhadap penilaian baik dan buruk, benar atau salah.
Tetapi dalam menafsirkan tanda baik atau buruk, benar atau salah, dipandang
dari sudut, akibat fisik suatu tindakan atau orang, dsb, atua dari sudut ada
tidaknya kekuasaan fisik dari orang-orang yang mengeluarkan aturan-aturan
dan atau yang memberi penilaian baik-buruk itu. Tingkatan ini dibagi
menjadi dua tahap :
Tahap pertama : tahap orientasi kepada hukuman dan kepatuhan.
Yang menentukan baik dan buruknya suatu tindakan adalah akibat fisik
yang akan diperoleh seseorang, bila seseorang tidak mematuhi peraturan.
(27)
Jadi bukan karena rasa hormat pada peraturan moral yang didukung oleh
hukuman dan otoritas.
Tahap kedua : tahap orientasi relativis instrumental.
Pada tahap ini baik buruknya tindakan, apabila tindakan itu memberi
kepuasan pada diri sendiri atau kadang-kadang terhadap orang lain. Dalam
hubungan dengan orang lain, ada prinsip timbale balik di mengerti secara
fisis dan pragmatis (kebaikan dibalas kebaikan, keburukan dibalas
keburukan). Disini tidak ada prinsip loyal hormat atau adil (Daroeso, 1986 :
33)
b. Conventional level
Pada tingkat ini, memenuhi usaha-usaha untuk mempertahankan harapan
keluarga, kelompok atau bangsa, di pandang sebagai sesuatu yang bernilai
bagi dirinya sendiri tanpa melihat akibat langsung dan nyata. Sikap yang ada
bukan hanya akan menyesuaikan diri dengan harapan-harapan orang tertentu
atau dengan ketertiban social, tetapi suatu sikap ingin loyal, ingin menjaga,
menunjang dan memberi yustifikasi, ketertiban itu dan sikap
menghubungkan diri dengan individu-individu atau kelompok yang ada di
dalamnya. Dalam tingkatan ini ada dua tahap :
Tahap ketiga : orientasi masuk ke kelompok “anak baik” dan “anak manis”.
Tingkah laku dikatakan baik apabila menyenangkan atau dapat
membantu orang lain dan mendapat persetujuan orang lain itu. Tingkah laku
tersebut dinilai menurut kadarnya “ Dia bermaksud baik”dan kemudian
orang berusaha agar lingkungan menerima dengan sikap “manis”.
(28)
Tingkah laku yang baik berupa melakukan kewajiban dan penghargaan
terhadap penguasa dan ikut serta memelihara ketertiban social. Dalam tahap
ini orientasinya pada penguasa, peraturan-peraturan yang ada dan
pemeliharaan ketertiban sosial (Daroeso, 1986 : 34).
c. Tingkat pasca-konventional, autonomi atau berprinsip
Pada tingkat ini tampak dengan jelas untuk menetapkan nilai-nilai dan
prinsip-prinsp moral yang memiliki kesahihan ( validity ). Penetapan tersebut
terlepas dari : satu : penguasa kelompok atau orang yang memegang
prinsip-prinsip tersebut, dua : apakah individu yang bersabgkutan masuk dalam
kelompok atau tidak.
Tingkatan ini mempunyai dua tahap :
Tahap kelima : orientasi pada konsensus sosial yang sah menurut hukum
(social contract-legalistic orientation).
Ada kecenderungan pada tahap ini, bahwa suatu tindakan yang baik atau
benar dilihat dri segi hak-hak individu dan norma-norma yang telah dikaji
dari seluruh masyarakat. Disini telah ada kesadaran, bahwa nilai dan
pendapat pribadi itu relatif, karena itu perlu ada perbuatan yang mengatur
untuk mencapai kata sepakat.
Selain daripada itu, ada suatu pandangan bahwa segala sesuatu itu sah,
menurut hukum (legalistis), tetapi hukum dapat diubah untuk kepentingan
kemaslahatan masyarakat. Di luar hukum ada kebebasan untuk membuat
persetujuan dan kontrak, yang mengikat hak dan kewajiban yang timbul
karena persetujuan itu.
Tahap keenam : orientasi pada asas etika universal (universal, ethical,
(29)
Dalam tahap ini suatu kebaikan/ kebenaran didasarkan pada suara hati,
sesuai dengan prinsip-prinsip etika yang dipilih sendiri yang menunjukkan
sifat komprehensif, umum dan ajeg (konsisten). Prinsip-prinsip bersifat
abstrak dan ethis (susila) dan bukan peraturan moral yang konkrit seperti
Sepuluh Perintah Tuhan. Di dalamnya terkandung makna, prinsip umum,
keadilan, azas timbal balik persamaan hak dan penghargaan terhadap
manusia sebagai manusia pribadi (Daroeso, 1986 : 35)
Selanjutnya dengan adanya tahap-tahap perkembangan moral, Lawrence
kohlbeg mengemukakan empat sifat dalam perkembangan moral itu.
Sifat-sifat tersebut adalah sebagai berikut :
1) Perkembangan setiap tahap selalu sama (stage development is invariant)
Seseorang harus mengikuti tahap demi tahap secara berurutan dan
seseorang tidak dapat mencapai suatu tahap dengan tidak melalui
tahap-tahap sebelumnya.
2) Dalam perkembangan tahap, seseorang tidak dapat memahami penalaran
moral.
Dalam perkembangan moral seseorang, orang yang berada dalam tahap
kedua, kiranya tidak dapat memahami penalaran pada tahap keempat,
paling bisa tahap ketiga.
3) Dalam perkembangan tahap, seseorang secara kognitif tertarik untuk
berfikir satu tahap di atas tahapnya sendiri.
Seseorang yang berada dalam tahap pertama akan dirangsang untuk
berfikir pada tahap kedua, dan tahap kedua oleh tahap ketiga dan
seterusnya, menurut Lawrence Kohlberg bahwa berfikir secara kognitif
(30)
dengan cara berfikir pad tahap di bawahnya, sebab dapat memecahkan
masalah secara lebih baik.
4) Dalam tahap perkembangan ini, tindakan dari tahap ketahap disamping
oleh terciptanya cognitive disequeilibrium.
Bilamana seseorang merasa tidak cukup mampu untuk menyelesaikan
suatu dilemma moral yang dihadapinya, ia akan dirangsang untuk
melakukan pertimbangan-pertimbangan yang lebih memadai dalam
memecahkan dilema moral yang dihadapinya (Daroeso, 1986 : 35)
Menurut John Dewey, tahap-tahap perkembangan moral adalah sebagai
berikut :
1) Tingkat pre-moral
Pada tahap ini, tingkah laku seseorang dimotivasi oleh dorongan
social dan biologis.
2) Tingkat tingkah laku konsensional
Pada tahap ini, individu menerima ukuran-ukuran yang terdapat
dalam kelompoknya dengan berefleksi secara kritis pada tingkat yang
rendah.
3) Autonomi
Pada tahap ini, tingkah laku dibimbing oleh pikiran individu sendiri
(Daroeso, 1986 : 32).
Menurut Nouman J. Bull, tahap-tahap perkembangan moral adalah
sebagai berikut :
1) Anomi 2) Heteronomi 3) Sosionomi
(31)
4) Autonomi
Dengan tahap anomi, anak belum memiliki perasaan moral dan belum
ada perasaan untuk menaati peraturan-peraturan yang ada. Tahap heteronomi,
pada tahap ini nmoralitas terbentuk karena pengaruh luar (external morality).
Pada heteronomi ini peraturan dipaksakan oleh orang lain, dengan
pengawasan, kekuatan atau paksaan, karena itulah peraturan tersebut di atas.
Tahan sosionomi, adalah suatu kenyataan adanya kerjasama antar individu,
menjadi sadar bahwa dirinya merupakan anggota kelompok. Pada diri
individu terjadi kemajuan moral, sebab individu menyadari adanya tanggung
jawab dan kewajibannya sebagai anggota kelompok. Tahap autonomi,
menurut Nouman J.Bull merupakan tahapan perkembangan pertimbangan
moral yang paling tinggi. Pembentukan moral dari individu bersumber pada
diri individu sendiri,termasuk di dalamnya pengawasan tingkah laku moral
individu tersebut. Istilah moral secara sepenuhnya baru tepat digunakan dalam
tahap autonomi ini (Daroeso, 1986 : 29).
Dalam mengamati dan menelaah perkembangan moral yang terjadi pada
individu ada tiga sudut tinjauan yang perlu diperhatikan. Pertama,
perkembangan moral dilihat dari sudut tinjauan tingkah laku moral (moral
behavior), Kedua, perkembangan moral dilihat dari sudut pernyataan moral
(moral statemen) dan ketiga, perkembangan moral dilihat dari sudut
pertimbangan moral (moral judgmen).
Tahap-tahap moral harus dilalui, tidak akan terjadi loncatan-loncatan
tahap, tetapi perlu diketahui bahwa semakin muda tingkat usia seseorang
(32)
tingkat sosionomi anak perempuan lebih tinggi bilamana dibandingkan
dengan anak laki-laki (Daroeso, 1986 : 30).
Bertitik tolak pada perkembangan moral individu yang ditinjau dari sudut
tingkah laku, pernyataan moral dan keputusan moral, maka dalam konteks
tersebut Jean Piaget lebih menekankan kajian pertimbangan moral yang
dimiliki oleh seseorang.
Jean Piaget (guru besar psikologi eksperimental Universitas Genewa)
telah mengadakan penelitian lebih dari 50 tahun mengenai asal usul dan
perkembangan struktur kognitif dan perkembangan pertimbangn moral. Yang
dianalisis oleh J. Piaget ialah “Sikap verbal anak” terhadap turan permainan,
tindakan keliru (clumsiness), mencuri dan menipu. Dalam tingkat moralitas,
Jean Piaget bertolak pada keyakinan “seluruh moralitas terkandung dalam
sistem peraturan dan hakekat seluruh moralitas harus dicari dalam sikap
hormat kepada peraturan”. Ada dua indikator moralitas itu yang dideteksi dan
diamati melalui :
1) Kesadaran akan peraturan atau rasa hormat pada peraturan atau sejauh
mana peraturan tersebut dianggap sebagai yang membatasi tingkah
laku.
2) Pelaksanaan dari peraturan itu (Daroeso, 1986 : 30)
Untuk kepentingan tersebut, Jean Piaget mengamati anak-anak yang
berbagai usi yang sedang bermain kelereng. Pada peraturan permainan
kelereng itu tidak dijumpai adanya ganjaran dan hukuman. Tujuan utamanya
apakah para peserta permainan kelereng itu menganggap peraturan itu dari
luar dan suci dan tidak dapat diubah oleh peserta pemain (heteronomi) atau
(33)
dari pada peserta pemain (autonomi) terhadap kesadaran. Dalam permainan
kelereng itu Jean Piaget mempunyai :
1) anak-anak sampai usia dua tahun, mereka bermain kelereng tiada aturan
yang mengendalikan aktivitas mereka (aktivitas motorik) dan tidak ada
kesadaran akan peraturan yang mengatur penggunaan butir-butir kelereng.
2) Pada usia dua sampai enam tehun mulai timbul secara berangsur-angsur
kesadaran akan peraturan. Akan tetapi ia menganggap bahwa
aturan-aturan itu suci dan tidak dapat diganggu gugat. Pelaksanaan peraturan-aturannya
bersifat egosentris, artinya, dia hanya menirukan apa yang dilihatnya. Ia
menggambar lingkaran, meletakkan dan menyentikkan kelereng dan
sebagainya, adalah mempunyai tujuan-tujuan sendiri, tanpa disadari
bahwa apa yang ia lakukan merupakan permainan bersama.
3) Anak usia tujuh sampai sepuluh tahun, mulailah anak beralih dari
kesenangan psikomotor menuju pada tingkat kesadaran adanya kerangka
aturan yang disepakati.pada akhirnya anak berkembang menuju tahap
autonomi seirama dengan perkembanganny kematangan kognitif.
4) Anak usia sebelas sampai duabelas tahun, anak berkembang menuju pada
kemampuan berfikir abstrak, dimana pada saat itu dirasakan pentingnya
penghimpun aturan (codifikasi of rules). Tidak ada hal yang kecil yang
lolos dari perhatian mereka, yang kemungkinan mempengaruhi permainan
mereka. Dapat terjadi waktu habis untuk mewasiti kejadian yang terjadi
lebih dari pada waktu yang digunakan untuk melangsungkn permainannya
sendiri (Daroeso, 1986 : 31)
Berkenaan dengan pentahapan perkembangan moral itu ada beberapa
(34)
a) Titik heteronomi dan autonomi lebih menggambarkan proses
perkembangan dari pada totalitas orientasi mental individu.
b) Dengan memulai pergaulan dan kerjasama anak mengembangkan
pengertian tentang tuluan dan sumber aturan-aturan.
c) Anak sampai usia tujuh atau delapan tahun menempatkan dirinya
dikendalikan oleh seluruh aturan.
d) Dalam menghargai aturan yang diterima dari luar, anak belum memiliki
pengertian dan motivasi untuk berbuat ajeg (konsistent) dengan aturan itu.
e) Baru pada tahap autonomi anak menyadari akan aturan dan
menghubungkan dengan pelaksanaannya.
f) Tujuan dan arah perkembangan kesadaran akan aturan adalah pengertian
yang autonomi dan merupakan pelaksanaan aturan itu. (Daeroeso, 1986 :
31)
Pengaruh heteronomi pada perkembangan anak mengenai benar dan
salah, bagi anak kecil segala peraturan itu sama. Dari proses perkrmbangan
hormat kepada peraturan moral ada suatu periode dimana peraturan moral
dianggap suci atau/dan tidak dapat diganggu gugat dan pelaksnaan peraturan
bersifat egosentris, yaitu hanya melulu apa yang dilihat. Pemahaman anak
terhadap peraturan-peraturan moral seperti itu. Jean Piaget menyebut dengan
istilah “realisme moral”.
Dengan realisme moral dimaksudkan adalah “suatu kecenderungan untuk
menganggap kewajiban dan nilai yang melekat padanyan sebagai bagian, yang
berdiri sondari dan bebas dari pengaruuh akal manusia, sebagai sesuatu yang
mempengaruhi sendiri tanpa memandang keadaan, dimana individu
(35)
sebagai penjabaran dari pemerintah dan pengaruh orang dewasa, misalnya
melarang menipu, melarang mencuri, melarang mabuk-mabukan, dan
sebagainya. Itulah permulaan timbulnya suara hati dalam arti moral. Dengan
kata lain realisme morah akan tercapai pada tahap autonomi. (Daeroeso,
1986 :32)
Adanya bermacam pendapat tentang Filsafat Moral atau Filsafat
Kesusilaan menyebabkan timbulnya aliran-aliran. Ada yang berpendapat
bahwa kesusilaan itu ditentukan oleh tuuan manusia/hidup terutama hidup
yang mengutamakan kenikmatan hidup. Suatu perbuatan dipandang
memenuhi kesusilaan apabila perbuatan tadi ditujukan untuk mencapai
kenikmatan. (Daeroeso, 1986 :36)
Adapula yang berpendpat behwa kesusilaan itu berdasarkan pada manfat
perbuatan tersebut dan ada yang berpendapat bahwa yang dikatakan susila
ialah yang sesuai dengan Agama. Adapun aliran-aliran Filsafat Moral di
antaranya ialah :
1) Hedonisme
Ukuran baik dan buruk bagi aliran ini ialah segala perbuatan yang
membawa dan kenikmatan yang merupakan tujuan manusia. Yang
dimaksud dengan kebahagian ialah suatu keadaan yang tanpa menderita,
yang dapat dicapai dengan akal manusia. Hedonisme dapat digolongkan
dalam dua macam golongan, yaitu :
a) Hedonisme yang egoistic
Aliran ini mengatakan bahwa manusia harus mencari kenikmatan
yang sebesar-besarnya untuk diri sendiri. Sesuatu perbuatan yang
(36)
mengandung kenikmatan yang lebih besar bagi dirinya sendiri. Kalau
memang demikian, maka perbuatan tersebut sebaiknya dikerjakan.
b) Hedonisme yang universalistic
Aliran ini orang dalam hidupnya harus berusaha untuk mencapai
kebahagiaan dan kenikmatan bagi seluruh umat manusia. Baik dan
buruk berdasarkan pada adanya manfaat dan kesenangan bagi semua
orang. Baik apabila membawa kenikmatan semua manusia dan buruk,
apabila membawa penderitaan bagi manusia seluruhnya.
2) Utilitarisme
Aliran ini mengatakan bahwa yang baik ialah yang ada manfaatnya
atau “utility”. Semua perbuatan manusia harus diarahkan kepada
kema’rifatan, jadi baik dan buruk diukur dari adanya manfaat. John
Stuart Mill, tokoh aliran ini mengatakan : “kemanfaatan adalah
kebahagiaan untuk jumlah manusia yang sebanyak-banyaknya”.
Bagi aliran ini perbuatan moral yang baik ialah yang bertujuan untuk
mencapai suatu kehidupan yang bebas dari kesusahan, aliran ini lebih
mementingkan “utility” bagi masyarakat dan “utility” bagi perseorangan.
Maka pengorbanan adalh suatu perbuatan yang baik, karena pengorbanan
bermaksud memberikanmanfaat bagi orang banyak. Maka pengorbanan
adalah perbuatan yang bermoral.
3) Naturalisme
Menurut aliran ini kebahagiaan manusia dapat dicapai dengan
menuruti panggilan “nature” atau panggilan alam. Sesuatu perbuatan
dikatakan bermoral apabila aesuai dengan panggilan alam. Tugas
(37)
panggilan alam, ialah kelangsungan hidup. Gangguan terhadap
kelangsungan hidup akan mengakibatkan hilangnya kebahagiaan
(Daroeso, 1986 : 37)
4) Vitalisme
Perbuatan manusia dianggap bermoral ialah apabila perbuatan
tersebut menunjukkan daya hidup. Seseorang yang bermoral tinggi ialah
yang dapat menunjukkan kekuatannya sebagai seorang yang kuat,
seorang yang istimewa “Ubermensch”. Tokoh dari aliran ini adalah
seorang ahli filsafat Jerman Friedrich Nietzsche (tahun 1844 -1900). I
mengatakan ada dua macam moral, yaitu : Herrenmoral dan Sklaven
moral.
a) Herrenmoral
Nietzsche mengatakan bahwa Herrenmoral adalah moral yang dipunyai
oleh “tuan-tuan besar” atau moral kepunyaan “orang yang kuat” atau
“moral penguasa”, moral Ubermensch. Seseorang Ubermensch adalah
seseorang yang dapat menentukan hidupnya sendiri dengnan
aturan-aturan yang berlaku bagi kelompoknya sendiri. Ubermensch tidak perlu
merasa bersalah dan berdosa dan tidak perlu mempunyai rasa takut,
karena salah, rasa takut dan rasa berdosa hanya patut bagi anak-anak dan
budak. Jadi yang dikatakan moral penguasa, yaitu moral bagi tuan-tuan
ialah semua tindakan yang disukai, tidak tergantung pada ukuran atau
normayang ada.
b) Sklaven-moral
Pada dasarnya menurut Nietzsche masyarakat itu hanya dua golonngan,
(38)
Golongan lemah hanya patut menjadi budak dari golongan penguasa dan
segala sesuatu yang baik bagi si kuat merupakan halangan bagi si lemah.
Perbuatan baik bagi si lemah atau si budak-budak iajah selalu mengabdi
kepada yang kuat, kepada penguasa. Golongan Sklaven tidak dibenarkan
berbuat yang menentang Herren, yang boleh bertindak sekehendak
sendiri.
Demikianlah pandangan moral dari Nietzsche yang pada dasarnya
merupakan penyokongan bagi kehendak untuk berkuasa “Der Wille zur
Macht”.
5) Theologi
Aliran moral ini mengatakan, bahwa sesuatu perbuatan dikatakan
bermoral baik apabila perbuatan tersebut sesuai dengan agama. Artinya :
perbuatan tersebut sesuai dengan perintah Tuhan dan menjauhi
laranganNya. Tuntutan kesusilaan dalam hal ini telah digariskan oleh
agama dan tertulis dalam kitab suci masing-masing agama, norma-norma
tersebut tidak sama, tetapi dalam garis besarnya tuntutan kesusilaan
dalam agama ada kesamaan (Daroeso, 1986 : 38)
9. Aliran dalam Filsafat Moral
a. Hedonisme
Ukuran baik dan buruk bagi aliran ini adalah segala perbuatan yang
membawa kebahagiaan dan kenikmatan yang merupakan tujuan hidup
manusia.
(39)
Aliran ini mengatakan bahwa yang baik adalah yang ada manfaatnya. Dan
perbuatan moral yang baik adalah yang bertujuan untuk mencapai suatu
kehidupan yang bebas dari kesusahan (Daroeso, 1986 :36)
10. Sanksi-sanksi Moral
a. Sanksi yang dijatuhkan oleh Tuhan Yang Maha Esa yang berupa
nestapa di akhirat nanti
b. Sanksi terhadap diri sendiri yang bersifat Ketuhanan, yang mungkin
pula sampai pada kematian
c. Sanksi pada diri sendiri yang bersifat kejiwaan, misalnya : sedih,
resah, malu dan sebagainya
d. Sanksi yang berasal dari keluarga atau masyarakat, misalnya : dihina,
diasingkandari masyarakatitu (Daroeso, 1986 :40).
Di dalam Al Qur’an ada beberapa ayat tentang moral/etika, salah satunya QS. Al
Ahzab : 21 yang berbunyi :
Artinya : Sungguh, telah ada suri tauladan yang baik pada (diri) Rasullah bagimu,
(yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) Hari
Kiamat dan yang banyak mengingat Allah (Al Qur’an dan terjemahannya,
:420)
Sebelum melakukan perbuatan, manusia menentukan sendiri apa yang akan
dikerjakan. Ia telah menentukan sikap,mana yang harus dilaksanakan, mana yang
(40)
C. Pendidikan Moral 1. pengertian pendidikan
Usaha manusiawi yang membantu anak dalam perkembangan agar anak
itu mengembangkan potensi-potensi dan memperoleh kemampuan untuk
mewujudkan dirinya menjadi manusia yang seutuhnya. Usaha pribadi insani
dalam rangka memperbaiki dan menyempurnakan diri sendiri untuk menjadi
manusia yang lebih berarti dan lebih bernilai. Kegiatan mendidik merupakan
suatu proses terus-menerus sepanjang hayat, mengembangkan memperbaiki
dan meningkatkan diri, dalam rangka pembinaan dan peningkatan keamanan
intelektual, memperkaya pengetahuan verbal, menerapkan kemampuan
intelektual dan pengetahuan verbal untuk pengembangan ilmu dan teknologi,
pengembangan dan peningkatan ketangkasan dan keterampilan serta membina
sikap dan kepribadian.
Membangun manusia seutuhnya adalah masalah dan tugas untuk
membantu manusia dalam perkembngannya menjadi Insan Kamil, yang
merupakan tugas pendidikan di lingkungan keluarga, sekolah, pesantren,
madrasah, lingkungan masyarakat,dll. Menjadi manusia seutuhnya jelaslah
adanya keharusan untuk memiliki kesehatan jasmani dan rohani, memiliki
pengetahuan, ilmu dan teknologi serta kemampuan untuk pengembangan ilmu
dan teknologi tersebut guna mengeksplorasi dan mengembangkan
sumber-sumber daya manusiawi dan alami dalam rangka pembangunan dan
memajukan mastarakat, bangsa dan negara.
Kegiatan mendidik merupakan suatu proses terus menerus sepanjang
hayat, mengembangkan memperbaiki dan meningkatkan diri, dalam rangka
(41)
verbal, menerapkan kemampuan intelektual dan pengetahuan verbal untuk
pengembangan ilmu dan teknologi, pengembangan dan peningkatan
ketangkasan dan keterampilan serta membina sikap dan kepribadian.
Pendidikan terjadi dalam saling hubungan atau pergaulan sesama manusia.
Anak bersifat tidak berdaya, oleh karena itu memerlukan pimpinan dari orang
dewasa (pendidik) untuk dapat berdiri sendiri, mempunyai kemampuan untuk
belajar memilih dan mengintegrasikan norma-norma kehidupan (moral),
sehingga terbentuklah suatu realita baru dalam hidup yang terdidik (Daroeso,
1986 : 45)
2. Pengertian Moral
Moral yang berasal dari kata mores yang artinya mengungkapkan dapat
atau tidaknya sesuatu perbuatan tindakan diterima oleh sesamanya dalam
hidup kemasyarakat. Mores mengandung prinsip dan nilai/ norma imanen.
Etik mengungkapkan kadar perbuatan dan tindakan seorang dalam hubungan
dengan sesamanya, bagaimana terintegrasinya norma-norma kehidupan diukur
dari pernyataan melalui kata dan perbuatan. Etik tidak hanya mengungkapkan
norma immanen, intinya ialah norma-norma transenden.
Bahwa pendidikan moral itu adalah menyangkut aspek dari pada watak
seseorang yang sama pendidikannya,watak itu tidak dapat baru dimulai pada
saat ia masuk sekolah. Watak itu merupakan suatu keseluruhan yang
berkembang secara sistematis, harmonis sesuai dengan perkembangan anak,
yang dengan sendirinya tidak dapat secara terpisah-pisah, karena kehidupan si
anak itu berasal dari kehidupan keluarga, bahkan sebelumnya dilahirkan pada
dalam pengaruhnya. Manusia pada hakekatnya adalah etis, mempunyai
(42)
dengan nilai/norma. Potensi itu harus dikembangkan, agar dapat berkembang
harus ada bantuan orang dewasa (pendidik). Hidup bermoral dalam konsepsi
bangsa dan masyarakat indonesia berintikan norma-norma yang supra alami,
norma-norma transendental, yaitu Iman dan Takwa pada Tuhan Yang Maha
Esa.
3. Pengertian Pendidikan Moral
Pendidikan moral adalah salah satu bidang studi dalam sistem pendidikan
pancasila yang merupakan usaha sadar untuk membentuk kepribadian dan
mengembangkan kemampuan seseorang dengan cara; mengalihkan
pengetahuan/ menanamkan pemahaman tentang pancasila dan menanamkan
kemampuan untuk menghayati dan mengamalkan pancasila (Daroeso, 1986 :
47).
Pengertian tersebut mengandung ketegasan bahwa pendidikan moral
merupakan proses pendidikan dan bukan hanya proses pengajaran yang
merupakan pengalihan pengetahuan saja. Sebagai proses pendidikan,
kegiatannya menyangkut usaha sadar tentang pembentukan kepribadian,
pembentukan sikap/ mental dan mengarah kepada tingkah laku perbuatan
(behavior) dari seseorang. Pendidikan moral pancasila serta unsur-unsur yang
dapat meneruskan dan mengembangkan jiwa, semangat, dan nilai-nilai kepada
generasi muda harus makin ditingkatkan dalam kurikulum sekolah, mulai dari
taman kanak-kanak sampai perguruan tinggi, baik negeri mupun swasta, dan
lingkungan masyarakat (Daroeso, 1986 : 47)
Dalam pembinaan anak didik menjadi Manusia seutuhnya itu perlu
diperhatikan :
(43)
1) Bahwa hakekat kodrat manusia yang terdiri dari jiwa (akal, rasa dan
kehendak) dan raga (unsur binatang,tumbuhan dan benda mati).
2) Bahwa sifat kodrat manusia adalah makhluk individu dan makhluk
sosial.
3) Bahwa kedudukan kodrat manusia itulah makhluk Tuhan Yang Maha
Esa dan sebagai makhluk mandiri.
b. Variable-varable individu anak didik yaitu tingkah laku, potensi dan
aspirasinya, kesadaran serta usaha, kegiatan, partisipasi, tanggung
jawabnya.
Pendidikan moral pada taip-tiap Negara berbeda satu dengan
lainnya.dalam negara yang menjadikan agama sebagai hukum dasarnya maka
pendidikan moral bersumberkan pada agama yang berlaku di Negara itu. Bagi
negara yang tidak memakai agama sebagai hukum dasarnya, pendidikan moral
didasarkan pada hukum dasar dan nilai-nilai yang terkandung dalam hukum
dasar itu (Daroeso, 1986 : 53). Pendidikan moral dan pendidikan religi telah
ada pada bangsa Indonesia meskipun bentuknya tidak seperti sekarang ini,
Pendidikan moral bersumber pada religi, adat istiadat dan kebiasaan yang
dalam tata kehidupan masyarakat itu.
Pendidikan moral berupaya membentuk anak didik menjadi warga
Negara dan warga masyarakat yang baik dan bertanggung jawab, dalam arti
mau dan mampu menghayati dan mengamalkan pancasila dan
Undang-Undang Dasar 1945.
Seperti telah diuraikan diatas, bahwa pendidikn moral telah ada pada
masyarakat Indonesia. Dengan pendidikan moral, masyarakat menghendaki
(44)
yang telah menjadi kesepakatan bersama masyarakat itu. Untuk kepentingan
tersebut harus ada proses internalisasi nilai-nilai yang terkandung dalam
pancasila ke manusia Indonesia sebagai pendukung pancasila. Proses itu dapat
dilakukan dengan pendidikan, imitasi, latihan dan suri tauladan ( Daroeso,
1986 : 56)
D. Pentingnya Pengajaran Etika Terhadap Orang yang Beragama 1. Pengajaran
Etika adalah salah satu cabang dari ilmu pengetahuan yang secara
khusus membahas tentang tindakan. Sebagai ilmu, Etika mempunyai obyek
(obyek formal dan obyek material) dan menggunakan metode pendekatan
ilmiah, yakni yang didasarkan pada data-data atau pemikiran-pemikiran yang
dapat dipertanggung jawabkan kebenarannya. Etika sering di golongkan juga
ke dalam ilmu filsafat. Filsafat adalah ilmu pengetahuan yang khusus, yang
memiliki dua keistimewaan, yaitu pembahasannya bersifat ”menyeluruh”
(comprehensive) dan ”mendasar” (foundational). Menyeluruh artinya
mengusahakan pengetahuan yang menyangkut segala bidang kehidupan atau
seluruh kenyataan, mendasar artinya dalam mempelajari sesuatu filsafat
selalu ingin menemukan unsur-unsurnya yang hakiki atau dasariah.
Pendidikan budi pekerti adalah jiwa dari pendidikan islam dan islam
telah menyimpulkan bahwa pendidikan budi pekerti dan akhlak adalah jiwa
pendidikan islam. Tapi ini tidak berarti bahwa kita tidak mementingkan
pendidikan jasmani atau akal atau ilmu ataupun segi-segi praktis lainnya
tetapi artinya ialah bahwa kita memperhatikan segi-segi pendidikan akhlak
seperti juga segi-segi lainnya itu (Ahmadi, Uhbiyati 1991 : 112)
(45)
Etika tidak sama dengan agama dan tidak dapat menggantikan agama.
Namun Etika juga tidak bertentangan dengan agama, bahkan diperlukan oleh
agama. Demikian pula etika memerlukan agama.Etika dan agama
sesungguhnya dapat menjadi partner yang baik, karena dapat saling
melengkapi. Selain itu, keduanya memiliki landasan yang sama, yaitu
sama-sama :
a. memandang bahwa manusia memiliki martabat yang luhur, yang ditandai
oleh adanya “akal budi” untuk memahami soal baik-buruk dan
“kehendak bebas” untuk menentukan tindakan yang baik,
b. bertujuan untuk mencapai tujuan akhir yang sama, yaitu “kesempurnaan
hidup yang paripurna” yang merupakan jalan mencapai kebahagiaan
sejati,
c. menggariskan bagaimana cara mencapai tujuan akhir tersebut, yakni
dengan mengusahakan hidup yang baik/baik.
Agama memberikan dua landasan yang merupakan “gisi” yang dapat
membuat etika menjadi sehat dan kuat, yaitu : (1) perspektif hidup yang
mencakup dunia dan akhirat; hal ini dapat membuat orang mampu untuk
tetap setia memegang teguh kebaikan dan tabah menanggung derita maupun
kesusahan dalam situasi krisis, penuh kesulitan, cobaan, dan godaan, karena
ada harapan akan adanya “pengadilan terakhir” yang seadil-adilnya bagi
setiap orang diakhir jaman nanti; sehingga orang yang hidupnya baik tetapi
selama di dunia banyak menderita, dapat berharap nanti akan mendpatkn
sorga di akhirat. (2) tolok-ukur moral berupa “kebaikan yang tinggi”
(kesempurnaan, Summum Bonum) yang sekaligus menjadi cita-cita dan
(46)
ditemukan pada figur atau pribadi Tuhan Allah sendiri (Yang Maha Baik dan
Maha Sempurna). Yang ketetapan kehendakNya dapat dikenali oleh manusia
melalui perwahyuan (kitab suci), hati nurani manusiawi, dan hukum alam
yang mendasari gerak alam semesta. Pendidikan moral tidak akan memasuki
atau mengambil alih fungsi pendidikan agama.
Pendidikan moral pancasila mendorong dan menumbuhkan suasana
yang baik agar warganegara Indonesia percaya dan takwa kepada Tuhan
Yang Maha Esa sesuai dengan agama dan kepercayaannya masing-masing
menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab (Daroeso, 1986 : 50).
Etika yang murni humanis atau antroposentris akan cenderung bersifat
pragmatismaterialis, artinya hanya sekedar berfungsi untuk menunjang
pencapaian tujuan-tujuan duniawi dan inderawi (materialis/empirik) yang
bersifat sementara semata. Etika yang humanistis tidak akan dapat bertahan
jika berhadapan dengan situasi yang sulit. Agama berbicara tentang Tuhan,
kehidupan abadi, akhirat, pengadilan akhir, sorga neraka, dan akhlak/moral
yang harus dihayati dengan sikap teguh dan taat dalam hidup di dunia ini.
Kehidupan di dunia ini bersifat relatif, dalam srti tidak merupakan
segala-galanya. Orang baik yang banyak menderita selama hidupnya di dunia,
masih dapat berharap akan memperoleh kebahagiaan abadi di sorga.
Agama menentukan tolok ukur manusiawi bagi baik buruknya tingkah
laku manusia berdasarkan tolok ukur Ilahi, yaitu kebaikan tertinggi atau
kesempurnaan, yang hanya dimiliki oleh Tuhan. Agama adalah akar yang
tanpa itu pohon moral kita akan mati. Etika tanpa Agama ibarat pohon tanpa
akar. Hal itu tidak berarti bahwa etika yang benar harus tampil sebagai ”etika
(47)
wahyu Ilahi. Dengan demikian, agama sesungguhnya membutuhkan etika,
khususnya dalam usaha untuk : (1) menangkap dan menginterpretasikan
(menafsirkan) kejelasan isi/maksud ayat-ayat yang tertulis di dalam kitab
suci. (2) menemukan pemecahan atau jalan keluar yang secara moral dapat
dipertanggungjawabkan atas masalah-masalah baru yang tidak secara
eksplisit ditulis dan diatur dalam kitab suci.
3. Etika dan Kitab Suci
Kitab Suci pada setiap agama yang ditulis ratusan bahkan ribuan yang
tahun lalu tidak dapat dilepaskan dari konteks sosio-kultural pada saat itu.
Maka, untuk dapat memahami isi ayat-ayat Kitab Suci secara tepat, kita
mesti melalui proses penafsiran (hermeneutik) yang jernih, luas, dan terang.
Yang perlu kita ikuti adalah kehendak Allah, bukan kata-kata yang tersurat
dalam Kitab suci. Maka, ayat-ayat dalam kitab suci selalu harus ditafsirkan,
untuk dapat menangkap isinya(kehendak Allah) yang sebenar-benarnya,
yang tersurat didalamnya.
Etika sangat kritis terhadap praktik hidup yang berupa ketaatan buta pada
perintah dan larangan yang termuat dalam kitab suci. Etika ingin mengoreksi
praktik banyak orang beragama yang didasari logika pemikiran yang salah.
Orang beragama sering berpandangan bahwa ”suatu tindakan itu baik karena
diperintahkan dn buruk karena dilarang dalam kitab suci”. Sehingga apapun
yang diperintahkan dalam kitab suci dipandang baik dan apapun yang
dilarang dipandang buruk. Jadi, kalau kitab suci memerintahkan suatu
tindakan, itu mesti karena tindakan tersebut mengandung kebaikan dan
(48)
dan meresapkan dimana letak kebaikannya seterang-terangnya, selaras
dengan kerangka dan logika pemikiran kita yang jujur dan terbuka.
4. Pentingnya Orang Beragama Mempelajari Etika
Pendidikan bertujuan mengembangkan seluruh aspek dalam diri
manusia: aspek moral, intelektual, fisik, dan mental-spiritualnya. Mengingat
manusia adalah makhluk yang rasional (yang memiliki akal-budi dan
kehendak bebas), untuk dapat berkembang mencapai kepenuhan/keutuhan
dirinya sebagai manusia, ia harus dididik.
Dalam pendidikan aspek moral merupakan aspek yang paling utama
untuk dikembangkan, karena moral menyangkut sikap-sikap dan tingkah
laku yang baik, yang sesuai dengan tuntutan kemanusiaan (keluhuran
martabat manusia). Oleh sebab itu, pendidikan akan dan harus selalu
berusaha membentuk dan mengembangkan sikap dan tingkahlaku yang baik
yang benar, dan yang lurus sesuai dengan prinsip-prinsip moral yang
dikembangkan dalam etika (Soewandi,dkk, 2005 : 146). Etika merupakan
sarana bagi manusia untuk membangun hidup yang baik/benar demi
mencapai kesempurnaan hidupnya.
Dalam hal ini, etika sesbagai ilmu menyediakan teori dan metode yang
dapat digunakan untuk mengembangkan penalaran atau pemikiran yang
kritis, logis, rasional, sistematis, menyeluruh dan mendasar untuk dapat
mempertimbangkan dan menemukan mana sikap tindakan yang baik yang
selayaknya dilakukan dan tindakan yang buruk yang sepantasnya dijauhi.
Etika memberikan kejelasan arah atau orientasi yang mesti kita ikuti dalam
(49)
Etika dengan demikian merupakan ilmu yang mengkaji hal-hal yang
sangat fundamental bagi hidup yang baik dan benar, maka etika semestinya
dipelajari oleh siapa saja, dari kalangan agama manapun, dan dijadikan
landasan dalam pengembangan ilmu-ilmu maupun dalam praktik hidup
dalam bidang apapun. Etika yang sehat adalah yang seimbang, yakni yang
berlandaskan pada wawasan pengetahuan yang luas dan prinsip-prinsip yang
dapat dipertanggung jawabkan kebenaran/kebaikannya, etika yang sehat
memerlukan studi yang tekun dan teliti serta memerlukan keterbukaan
terhadap segala masukan dan kritik. Pengajaran etika menyampaikan ilmu
tentang moralitas, yaitu teori-teori atu prinsip-priasip dasar tentang
bagaimana orang dapat hidup baik. Etika mengacu pada pencapaian kualitas
hidup (keutuhan/kesempurnaan diri sebagai manusia). Kualitas baik buruk
moral manusia ditentukan oleh kualitas keseluruhan tindakan lahiriah, sikap
batin,/ motivasinya, dampak, dan akibatnya.
Dalam praktik, kualitas baik buruknya suatu tindakan moral dinilai
berdasarkan aspek-aspek : (1) normatif/boleh tidak boleh; (2) orientasi
subyektif kepada kebaikan atau kebenaran yang obyektif dalam
otonomi-kebebasan hati nurani dan (3) dampak akibatnya : ada sanksinya atau tidak,
akibat langsung dan tidak langsungnya baik atau tidak. Dalam hal ini selalu
ada kecenderungan pada umat beragama untuk mempersempit peletakan
kualitas hidup dengan menekankan salah satu dari ketig aspek di atas secara
berat sebelah. Orang yang berpijak pada pandangan yang
normatif-kuantitatif sempit memberlakukan dan mentaati norma-norma bukan dalam
rangka membangun hidup yang berkualitas sebaik-baiknya, melainkan untuk
(50)
banyak orang justru mengembangkan ”moralitas kuburan” atau ”moralitas
topeng” (Soewandi,dkk., 2005 : 150).
Orang yang berpijak pada pandangan yang subyektif sempit bertolak
pada apa yang menurut dirinya sendiri saja atau pada hati nuraninya yang
sempit dan naif. Asal maksud dan tujuannya baik atau asal menurut
pemikirannya sendiri baik, maka apapun yang ia lakukan dia beranggapan
bahwa tindakannya itu baik/benar (entah itu membunuh penjahat, membakar
rumah orang yang dicurigai jahat,dll). Orang yang berpijak pada pandangan
yang konsekuensialis sempit hanya memperhatikan dampak akibat
langsungnya bagi diri sendiri dan untuk saat sekarang saja. Hal ini masih
(51)
A. Gambaran Umum Lokasi dan Subyek Penelitian
1. Sejarah
Madrasah Aliyah Negeri (MAN) I Magelang beralamat di Jalan Sunan Bonang No 17, Telepon (0293)362928 Kota Mgelang. Madrasah ini setidaknya telah mengalami tiga kali perpindahan atau perubahan alamat dan tiga kali perubahan jenis pendidikan.
Pertamakali didirikan pada tahun 1950 bernama Sekolah Guru Hakim Islam (SGHI), beralamat di Kampung Kejuron Kota Magelang sampai tahun 1957. Tahun 1957 ketika masih bernama SGHI, alamatnya berpindah dari Kampung Kejuron Kota Magelang ke Jalan Tidar 21 Kota Magelang sampai dengan tahun 1971, pada tahun ini, namanya sudah berubah menjadi Pendidikan Guru Agama (PGA) 6 tahun. Kemudian pada tahun 1971, alamatnya berpindah ke Jalan Sunan Bonang No 17 Magelang sampai sekarang. Pada tahun 1980, sekolah ini berganti nama dari PGA 6 tahun menjadi Pendidikan Guru Agama Negeri (PGAN) sampai pada tahun 1991 terjadi konversi seiring dihapuskannya sekkolah keguruan, yakni dari PGAN menjadi Madrasah Aliyah Negeri (MAN).Tambahan label “model “ ditetapkan berdasarkan keputusan Direktur Jendral Pembinaan Kelembagaan Agama (DIRJEN BINBAGA) No.E-IV/PP.066/ KEP/17-A/98 tanggal 20 Februari 1998 tentang penetapan sebanyak 33 MAN Model se-Indonesia, diantaranya MAN Model Magelang.
(52)
2. Visi dan Misi
Visi : Berakhlak Mulia, Disiplin, Terampil, Dan Berprestasi Indikator Visi :
a. Berakhlakul Karimah
1. Senyum, Salam, Sapa ketika berjumpa dengan sesama warga madrasah 2. Rendah hati, simpatik dan tidak sombong
3. Melaksanakan sholat wajib secara berjamaah 4. Gemar melakukan sholat dan puasa sunnah 5. Senang bershodaqoh dan menolong orang lain
6. Memulai dan mengkhiri kegiatan dengan membaca do’a 7. Tidak berkata kotor, porno dan berbantah
b. Disiplin
1. Bangun tidur sebelum waktu shubuh 2. Datang ke madrasah tepat waktu
3. Mengerjakan tugas sesuai dengan bidangnya 4. Mengerjakan pekerjaan rumah
5. Mengikuti upacara bendera dan upacara hari besar nasional atau islam 6. membayar SOP, infaq dan iurn wajib yang ditetaqpkan madrasah 7. mengikuti semua kegiatan yang diprogramkan madrasah
c. Terampil
1. Bisa berwudhu, sholat dan baca Al-Qur’an dengan benar 2. Bisa menyelesaikan tugas yang diberikan kepadanya 3. Memiliki kompetensi dasar yang distandarkan
(53)
4. Cakap berbahasa, berkarya seni, dan berolah raga yang menjadi pilihan ekstra kurikuler
5. 30 % lulusnya diterima di perguruan tinggi negeri dan 70 % lainya diterima masyarakat
Misi
a. menumbuhkan pemhaman, penhayatan, dan pengamalan ajaran Islam b. Menumbuhkan semangat kerja dan disiplin tinggi
c. Melatih warga madrasah untuk hidup mandiri
d. Menuelenggarakan pembelajaran dan bimbingan terpadu yang aktif,kreatif,efektif,demokratif dan menyenangkan
e. Menciptakan suasana kerja yang sejuk,dinamis,dan sinergi menuju puncak prestasi
3. Tujuan dan sasaran Tujuan :
Melalui proses pembelajaran dan bimbingan terpadu yang aktif,kreatif, efektif, demokratif dan menyenangkan bertujuan untuk menghasilkan manusia muslim yang beriman dan bertaqwa kepada Allah SWT, berakhlakul karimah, disiplin, cerdas, terampil, bertanggung jawab, dan berwawasan luas.
Sasaran :
Tampil sebagai institusi pendidikan yang mampu menyelenggarakan pendidikan secara professional, mendemonstrasikan proses pembelajaran yang komprehensif sebagai institusi percontohan dan lembaga pendidikan yang diakui masyarakat. 4. Fungsi
(1)
siswa menjawab sudah ada, dan tidak ada siswa yang menjawab belum ada maupun tidak ada sanksi bagi pelanggaran moral. Dengan kata lain, sanksi bagi pelanggaran moral sudah ada di MAN 1 Magelang.
5. Mengenai cara pemberian sanksi bagi pelanggaran moral di MAN 1 Magelang, 45 siswa menjawab dengan sistem point, 4 siswa menjawab dengan dimarahi, 1 siswa menjawab dengan dipukul. Dengn kata lain, cara pemberian sanksi bagi pelanggaran moral di MAN 1 Magelang adalah dengan sistem point. Sistem point yaitu pemberian angka atau skor atas pelanggaran yang dilakukan oleh para siswa dan diumumkan ketika upacara bendera dilakukan, sehingga para siswa tidak mengulangi pelanggaran yang pernah dilakukannya.
6. Untuk mengecek keabsahan data diatas, peneliti melakukan observasi yang mendalam dengan waktu yang panjang. Ketika observasi, peneliti melihat ada guru yang sedang menanamkan nilai moral kepada siswanya dengan pemberian nasehat ketika proses pembelajaran dan juga memberikan contoh kepada siswanya, misalnya, ketika waktu sholat datang, guru segera melaksanakan sholat di masjid sekolah. Dan di sisi lain, peneliti juga melihat guru yang sedang memberikan sanksi kepada siswanya karena melakukan pelanggaran moral dengan sistem point. Sebagai contoh, waktu itu ada siswa yang terlambat dan guru memberikan point 5 kepada siswa tersebut. Dengan observasi ini, peneliti dapat mengetahui bahwa penanaman nilai moral di MAN 1 Magelang cukup ketat.
B. Keadaan Moral Siswa di MAN 1 Magelang
(2)
Pada dasarnya keadaan moral siswa di MAN 1 Magelang senantiasa terjaga karena memang berada dalam lingkungan religius.
1. Mengenai sering tidaknya siswa melakukan moral yang baik, 26 siswa menjawab sering, 24 siswa menjawab kadang-kadang, dan tidak ada siswa yang menjawab tidak. Dengan kata lain, kebanyakan siswa di MAN 1 Magelang sering melakukan moral yang baik.
2. Mengenai cara siswa bertingkah laku, 31 siswa menjawab selalu sesuai peraturan yang ada, 18 siswa menjawab kadang-kadang,sesuai dengan peraturan yang ada,dan 1 siswa menjawab terserah diri sendiri. Dengan kata lain, kebanyakan siswa MAN 1 Magelang bertingkah laku sesuai dengan peraturan yang ada.
3. Mengenai motivasi siswa melakukan morl yang baik, 47 siswa menjawab motivasi dari diri sendiri dan Tuhan, 3 siwa menjawab motivasi dari diri sendiri saja, dan tidak ada siswa yang menjawab tidak ada motivasi. Dengan kata lain, kebanyakan siswa melakukan moral yang baik dengan motivasi dari diri sendiri dan Tuhan. 4. Mengenai sikap siswa apabila melkukan moral yang buruk, 34 siswa menjawab
menyesal dan tidak akan mengulangi lagi, 11 siswa menjawab hanya menyesal, dan 5 siswa menjawab biasa-biasa saja. Dengan kata lain, kebanyakan siswa menyesal dan tidak mengulangi lagi apabila melakukan moral yang buruk.
5. Mengenai sikap seorang siswa apabila ada siswa lain yang melakukan moral yang buruk, 41 siswa menjawab menasihati dengan baik, 1 siswa manjawab memarahi, dan 8 siswa menjawab membiarkan saja. Dengan kata lain, kebanyakan siswa menasehati dengan baik apabila ada siswa yang melakukan moral yang buruk.
(3)
6. Untuk mengecek keabsahan data diatas, peneliti melakukan observasi yang mendalam dengan waktu yang panjang. Ketika observasi, peneliti melihat kebanyakan siswa sering melakukan moral yang baik dengan bukti kebanyakan siswa bertingkah laku sesuai praturan yang ada. Sebagai contoh, antara siswa yang satu dengan yang lain melakukan 3S yaitu Senyum, Salam, Sapa yang merupakan salah satu visi MAN 1 Magelang. Contoh lain, kebanyakan siswa memakai sepatu hitam yang merupakan salah satu peraturan yang ada di MAN 1 Magelang. Dan di sisi lain, peneliti melihat sikap siswa yang menyesal dan tidak mengulangi lagi atas moral yang buruk yang telah dilakukannya. Sebagai contoh, waktu itu ada siswa laki yang mengejek siswa perempuan sampai menangis, kemudian siswa laki-laki itu meminta maaf kepada siswa perempuan itu dan tidak mengejeknya lagi. Peneliti juga melihat seorang siswa yang menasihati siswa lain dengan baik karena kurang menghargai seorang guru.
(4)
A. Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan yang telah peneliti lakukan, maka penelitian ini dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut :
1. Penanaman Nilai-nilai Moral Siswa di MAN 1 Magelang Penanaman nilai-nilai moral siswa sudah ada di MAN 1 Magelang. Cara penanaman nilai-nilai moral di sana sudah menggunakan cara yang tepat yaitu dengan pemberian nasihat dan pemberian contoh atau teladan. Penanaman nilai-nilai moral disana cukup ketat, sebagai bukti, di sana ada sanksi bagi pelanggaran moral dengan cara yang tepat juga yaitu dengan sistem point.
2. keadaan moral siswa di MAN 1 Magelang
Kebanyakan siswa MAN 1 Magelang sering melakukan moral yang baik, sebagai bukti, kebanyakan siswa melakukan moral yang baik selalu sesuai dengan peraturan yang ada. Dan kebanyakan siswa melakukan moral yang baik dengan motivasi dari diri sendiri dan Tuhan. Namun, apabila melakukan moral yang buruk, kebanyakan siswa menyesal dan tidak mengulangi lagi. Dan apabila ada siswa yang melakukan moral yang buruk, maka siswa lain menasihati dengan baik. Berawal dari sikap saling menasihati inilah keadaan moral siswa MAN 1 Magelang senantiasa terjaga dan terpelihara, selain itu juga
(5)
terdapat sanksi-sanksi sebagai pencegah pelanggaran moral. Tanggung jawab dari penanaman nilai-nilai moral tidak hanya menjadi tanggung jawab guru semata tetapi dilakukan oleh segenap warga MAN 1 Magelang.
B. Saran 1. Bagi Guru
Hendaknya meningkatkan penanaman nilai moral kepada siswa dengan menggunakan cara yang tepat.
2. Bagi Orang Tua
Hendaknya lebih memperhatikan moral anak dan bisa menjadi teladan yang baik bagi anak.
3. Bagi Siswa
Hendaknya mampu memahami, menghayati dan mengamalkan nilai-nilai moral
(6)
DAFTAR PUSTAKA
Arikunto, Suharsimi. 1988. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta : Rineka Cipta.
Ahmadi, Abu. Drs.H. 1991. Ilmu Pendidikan. Jakarta : PT. Rineka
Daroeso, Bambang. 1986. Dasar dan Konsep Pendidikan Moral Pancasila. Semarang : Aneka ilmu.
Departemen Agama RI. 2006. Qur’an Tajwid dan Terjemahnya. Jakarta : Maghfirah Pustaka.
Ditjen Dikti (1983/ 1984)
Haryati, Sri. 1997. Pengantar Pendidikan. Magelang :FKIP Universitas Tidar Magelang Press.
Moleong, J. Lexy. 2007. Metode Penelitin Kualitatif. Bandung : PT. Remaja Rosda Karya.
Poerwadarminta, W.J.S. 1984. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta : Balai Pustaka
Purwato, M. Ngalim. 1985. Ilmu Pendidikan Teoritis dan Praktis. Bandung : PT Remaja Rosda Karya.
Sudjana, Nana. 2005.Penilaian Hasil Proses Belajar Mengajar. Bandung : Remaja Rosda Karya.
Sukandarrumidi, 2004. Metodologi Penelitian Petunjuk praktis untuk Peneliti Pemula. Yogyakarta : Gadjah Mada university Press.
Sukmadinata, Nana Syaodih. 2008. Metode Penelitian Pendidikan. Bandung : PT. Remaja Rosda Karya.
Soewandi, A. M. Slamet, dkk.. 2005. Perspektif Pembelajaran Berbagai Bidang Studi. Yogyakarta : Universitas Sanata Dharma.
Tim pengembangan MKDK IKIP Semarang.1990. Dasar-Dasar Pendidikan. Semarang : IKIP Semarang Press.
Zahara, Idris. 1987. Dasar-Dasar Pendidikan. Padang : Angkasa Raya. (1980),Undang-undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 1989 tentang system Pendidikan Nsional. Jakarta : PT. rmas Duta Jaya.