BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN
6.1 Kesimpulan
Secara serempak variabel biaya usahatani sebelum konversi lahan, harga karet ditingkat petani sebelum konversi lahan, pendapatan petani sebelum
konversi lahan, pengeluaran keluarga sebelum konversi lahan, luas kepemilikan lahan, minat petani dan penyakit tanaman karet berpengaruh
signifikan terhadap konversi lahan karet rakyat menjadi lahan kelapa sawit rakyat. Secara parsial faktor yang nyata berpengaruh terhadap konversi
lahan karet rakyat menjadi lahan kelapa sawit rakyat di Kecamatan STM Hulu adalah pengeluaran keluarga sebelum konversi lahan, luas
kepemilikan lahan, minat petani dan penyakit tanaman karet.
6.2. Saran
1. Kepada Petani Diharapkan petani tidak terus melakukan konversi lahan karet agar
kebutuhan karet tetap terpenuhi. 2. Kepada Pemerintah
Diharapkan pemerintah agar mengendalikan stabilitas harga karet sekaligus menetapkan harga minimum yang dapat menguntungkan petani
karet. Serta mengurangi beban pengeluaran keluarga dengan cara memberikan jaminan kesehatan dan menurunkan harga bahan pokok.
Kemudian melakukan sosialisasi kepada petani tentang prospek usahatani tanaman karet agar petani menaruh minat kepada tanaman karet serta
sosialisasi cara mengendalikan penyakit pada tanaman karet dan 62
memberikan kemudahan berupa pestisida dan obat-obatan gratis atau harga yang terjangkau bagi petani.
3. Kepada Peneliti Selanjutnya Diharapkan peneliti selanjutnya dapat meneliti permasalahan yang sama
dengan menambahkan variabel lain yang belum dimasukkan kedalam model seperti : stabilitas harga, utang petani, modal petani dan masa panen
sebagai alasan dan pertimbangan tambahan dalam mempengaruhi konversi.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA
PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN
2.1 Tinjauan Pustaka 2.1.1 Karet
Tanaman karet secara umum memiliki masa produksi selama 25-30 tahun. Untuk menghasilkan lateks pada tanaman karet, pohon karet akan dilukai kulitnya
dengan maksud untuk membuka pembuluh lateks sehingga lateks dapat mengalir keluar. Penyadapan pohon karet untuk pertama kalinya akan dilakukan jika
tanaman karet yang berada dalam suatu hamparan lahan sudah matang sadap pohon dan matang sadap kebun. Matang sadap pohon adalah suatu kondisi di
mana tanaman karet akan memberikan hasil lateks maksimal ketika disadap tanpa menyebabkan gangguan pada pertumbuhan dan kesehatan pohon karet tersebut.
Dengan perawatan yang baik, matang sadap pohon umumnya bisa dicapai pada saat tanaman karet berusia 4-5 tahun Nazaruddin dan Paimin, 1998
Analisis pendapatan usahatani untuk tanaman musiman annual crop berbeda dengan tanaman tahunan parenial crop. Usaha tanaman tahunan memiliki resiko
yang lebih tinggi maka pendapatan yang diperoleh haruslah lebih tinggi pula dibandingkan dengan pendapatan tanaman musiman. Hernanto 1996, analisis
pendapatan terhadap usahatani penting dalam kaitannya dengan tujuan yang hendak akan dicapai oleh setiap usahatani dengan berbagai pertimbangan dan
motivasinya. Analisis pendapatan pada dasarnya memerlukan 2 dua keterangan pokok yaitu: a keadaan penerimaan dan b keadaan pengeluaran biaya
produksi selama jangka waktu tertentu.
4
Indonesia yang dikenal sebagai negara dengan sumber daya alam yang melimpah memiliki beraneka ragam perkebunan yang bernilai ekonomis. Salah satu
komoditas perkebunan yang menjadi andalan Negara Indonesia di pasar dunia adalah karet. Karet merupakan komoditas perkebunan yang memberikan devisa
terbesar kedua kepada Negara Indonesia setelah sawit. Karet merupakan salah satu komoditi perkebunan penting, baik sebagai sumber
pendapatan, kesempatan kerja dan devisa, pendorong pertumbuhan ekonomi sentra-sentra baru di wilayah sekitar perkebunan karet maupun pelestarian
lingkungan dan sumberdaya hayati. Namun sebagai negara dengan luas areal terbesar dan produksi kedua terbesar dunia, Indonesia masih menghadapi
beberapa kendala, yaitu rendahnya produktivitas, terutama karet rakyat yang merupakan mayoritas 91 areal karet nasional dan ragam produk olahan yang
masih terbatas, yang didominasi oleh karet remah crumb rubber. Rendahnya produktivitas kebun karet rakyat disebabkan oleh banyaknya areal tua, rusak dan
tidak produktif, penggunaan bibit bukan klon unggul serta kondisi kebun yang menyerupai hutan. Oleh karena itu perlu upaya percepatan peremajaan karet
rakyat dan pengembanan industri hilir Anonim, 2015. Kondisi agribisnis karet saat ini menunjukkan bahwa karet dikelola oleh rakyat,
perkebunan negara dan perkebunan swasta. Pertumbuhan karet rakyat masih positif walaupun lambat yaitu 1,58tahun, sedangkan areal perkebunan negara
dan swasta sama-sama menurun 0,15th. Oleh karena itu, tumpuan pengembangan karet akan lebih banyak pada perkebunan rakyat. Namun luas
areal kebun rakyat yang tua, rusak dan tidak produktif mencapai sekitar 400 ribu
hektar yang memerlukan peremajaan. Persoalannya adalah bahwa belum ada sumber dana yang tersedia untuk peremajaan. Pada tingkat hilir, jumlah pabrik
pengolahan karet sudah cukup, namun selama lima tahun mendatang diperkirakan akan diperlukan investasi baru dalam industri pengolahan, baik untuk
menghasilkan crumb rubber maupun produk-produk karet lainnya karena produksi bahan baku karet akan meningkat Anonim, 2015.
Salah satu permasalahan pokok perkaretan Indonesia adalah harga jual yang tidak stabil dan cenderung menurun, serta persaingan pasar yang semangkin berat.
Persaingan bukan hanya terbatas pada satu negara saja, melainkan sudah meluas hingga ke negara-negara karet sintesis. Untuk memperkuat daya saing karet alam
Indonesia, perlu dilakukan langkah-langkah peningkatan efektivitas dan efisiensi disemua bidang. Peningkatan yang dimaksud terutama dilakukan pada
produktivitas, mutu, pemanfaatan sumber daya, serta peningkatan aktivitas dan efektivitas pemasaran Tim Penulis PS, 2008.
Selain itu keparahan penyakit banyak dialami oleh perkebunan karet rakyat dan perkebunan besar. Perkebunan karet rakyat sering mengalami kerusakan yang
lebih berat dibandingkan dengan perkebunan besar karena kurangnya upaya pengendalian Fox, 1977 dan Wijewantha, 1964. Dibandingkan dengan tanaman
karet, tanaman kelapa sawit lebih tahan dan lebih sedikit terserang oleh penyakit, sebagai contoh penyakit yang sering menyerang tanaman karet adalah penyakit
akar putih yang banyak menimbulkan kematian pada tanaman karet. Dengan banyaknya penyakit yang menyerang tanaman karet tersebut maka biaya yang
dikeluarkan petanipun semakin tinggi untuk usahataninya, petani mengalami
kerugian yang tidak sedikit apalagi tanaman perkebunan merupakan tanaman yang memerlukan waktu yang cukup lama dalam pembudidayaannya.
Dewasa ini, karet merupakan bahan baku lebih dari 50.000 jenis barang. Dari produksi karet, 46 digunakan untuk pembuatan ban dan selebihnya untuk karet
busa, sepatu, dan beribu jenis barang lainnya. Karet dihasilkan oleh tidak kurang dari 20 negara di dunia. Negara-negara penghasil karet terbesar terletak di Asia
Tenggara, yaitu Malaysia, Indonesia dan Thailand Setyamidjaya, 1993. Selain getah karet, bagian lain yang dapat dimanfaatkan adalah kayu karet. Kayu
atau pohon karet mempunyai potensi untuk dimanfaatkan sebagai bahan pembuatan furniture tetapi belum optimal, sehingga diperlukan upaya
pemanfaatan lebih lanjut. Agribisnis karet alam di masa datang akan mempunyai prospek yang makin cerah karena adanya kesadaran akan kelestarian lingkungan
dan sumberdaya alam, kecenderungan penggunaan green tyres, meningkatnya industri polimer pengguna karet serta makin langka sumber-sumber minyak bumi
dan makin mahalnya harga minyak bumi sebagai bahan pembuatan karet sintetis. Pada tahun 2002, jumlah konsumsi karet dunia lebih tinggi dari produksi.
Indonesia akan mempunyai peluang untuk menjadi produsen terbesar dunia karena negara pesaing utama seperti Thailand dan Malaysia makin kekurangan
lahan dan makin sulit mendapatkan tenaga kerja yang murah sehingga keunggulan komparatif dan kompetitif Indonesia akan makin baik. Kayu karet juga akan
mempunyai prospek yang baik sebagai sumber kayu menggantikan sumber kayu asal hutan. Pengembangan karet ke depan lebih diwarnai oleh kemajuan IPTEK
dan kapital yang makin tinggi agar lebih kompetitif. Tujuan pengembangan karet
ke depan adalah mempercepat peremajaan karet rakyat dengan menggunakan klon unggul, mengembangkan industri hilir untuk meningkatkan nilai tambah, dan
meningkatkan pendapatan petani Anonim, 2015.
2.1.2 Kelapa Sawit
Pada umumnya tanaman kelapa sawit yang tumbuh baik dan subur sudah dapat menghasilkan buah serta siap dipanen pertama pada umur sekitar 3,5 tahun jika
dihitung mulai dari pertanaman biji kecambah di pembibitan. Namun, jika dihitung mulai penanaman di lapangan maka tanaman berbuah dan siap panen
pada umur 2,5 tahun. Keberhasilan suatu usaha perkebunan kelapa sawit antara lain ditentukan oleh faktor bahan tanaman atau bibit yang memiliki sifat-sifat
unggul. Bibit yang unggul akan menjamin suatu pertumbuhan yang baik dan tingkat produksi yang tinggi apabila perlakuan dilaksanakan secara optimal.
Dilihat dari pengusahaannya, perkebunan kelapa sawit Indonesia dibagi menjadi tiga, yaitu perkebunan rakyat, perkebunan besar negara dan perkebunan besar
swasta. Perkebunan rakyat adalah perkebunan kelapa sawit yang dikelola oleh rakyat memilki luas lahan yang terbatas, yaitu 1-10 ha. Dengan luas lahan
tersebut, tentunya menghasilkan produksi tandan buah segar TBS yang terbatas pula sehingga penjualannya sulit dilakukan apabila ingin menjualnya langsung ke
prosesor industri pengolah Fauzi, 2012. Peluang usaha pembudidayaan kelapa sawit di Indonesia sangatlah besar.
Budidaya kelapa sawit bukanlah budidaya yang musiman, melainkan tahunan. Kelapa sawit mampu berproduksi lebih dari 20 tahun. Tentu hal ini sangat
menguntungkan bagi para pelaku usaha budidaya kelapa sawit dalam jangka
waktu yang panjang. Telah diketahui bahwa Indonesia merupakan salah satu penghasil komoditas kelapa sawit terbesar di dunia Adi, 2010.
Pada perkebunan sawit rakyat, permasalahan umum yang sering dihadapi antara lain rendahnya produktivitas dan mutu produksinya. Kebun sawit rakyat rata-rata
hanya memproduksi 16 ton tandan buah segar TBS per hektar, sementara potensi produksi bila menggunakan bibit unggul bisa mencapai 30 ton
TBShatahun. Investasi di bidang perkebunan kelapa sawit sangatlah menguntungkan. Memang, modal yang diperlukan sangat besar. Namun prospek
bisnis investasi perkebunan kelapa sawit benar-benar menjanjikan, banyak yang menganggap bahwa investasi di komoditi ini adalah sebagai bentuk deposito unik
yang menghasilkan uang secara mudah tiap bulannya Adi, 2010. Prospek pengembangan kelapa sawit di Indonesia sangatlah bagus. Diperkirakan
permintaan terhadap produk kelapa sawit Indonesia akan tetap tinggi di masa- masa mendatang. Dibandingkan dengan produk minyak substitusinya seperti
minyak kedelai, minyak jagung, minyak bunga matahari, permintaan terhadap minyak kelapa sawit diperkirakan masih tetap tinggi. Tingginya permintaan
terhadap minyak kelapa sawit disebabkan minyak sawit memiliki banyak keunggulan dibandingkan dengan produk substitusinya. Keunggulan tersebut
antara lain adalah relatif lebih tahan lama disimpan, tahan terhadap tekanan dan suhu tinggi, tidak cepat bau, memiliki kandungan gizi relatif tinggi, serta
bermanfaat sebagai bahan baku berbagai jenis industri. Keunggulan lain adalah dari sisi produktivitas dan biaya produksi yang relatif lebih rendah dibandingkan
minyak nabati lainnya Adi, 2010.
2.1.3 Konversi Lahan
Alih fungsi lahan atau lazimnya disebut konversi lahan adalah perubahan fungsi sebagian atau seluruh lahan dari fungsinya semula seperti yang direncanakan
menjadi fungsi lain yang menjadi dampak negatif masalah terhadap lingkungan dan potensi lahan itu sendiri. Alih fungsi lahan juga dapat diartikan sebagai
perubahan untuk penggunaan lain disebabkan oleh faktor-faktor yang secara garis besar meliputi keperluan untuk memenuhi kebutuhan penduduk yang makin
bertambah jumlahnya dan meningkatnya tuntutan akan mutu kehidupan yang lebih baik Lestari, 2009.
Alih fungsi lahan pertanian sulit dihindari, beberapa kasus menunjukkan jika disuatu lokasi terjadi alih fungsi lahan, maka dalam waktu yang tidak lama lahan
disekitarnya juga beralih fungsi secara progresif. Hal tersebut disebabkan oleh dua faktor. Pertama, sejalan dengan pembangunan kawasan perumahan atau industri di
suatu lokasi alih fungsi lahan, maka aksesibilitas di lokasi tersebut menjadi semakin kondusif untuk pengembangan industri dan pemukiman yang akhirnya
mendorong meningkatnya permintaan lahan oleh investor atau spekulan tanah sehingga harga lahan di sekitarnya meningkat. Kedua, peningkatan harga lahan
selanjutnya dapat merangsang petani lain disekitarnya untuk menjual lahan Irawan, 2008. Pelaku pembelian tanah biasanya bukan penduduk setempat,
sehingga mengakibatkan terbentuknya lahan-lahan guntai yang secara umum rentan terhadap proses alih fungsi lahan Wibowo, 1996.
Biasanya petani merubah fungsi lahannya dari komoditi lama menjadi komoditi yang baru karena dipengaruhi oleh beberapa faktor baik yang bersifat ekonomi
maupun yang bersifat sosial. Faktor ekonomi terdiri dari jumlah tanggungan, luas lahan dan tenaga kerja. Sedangkan faktor sosial terdiri dari umur, pendidikan dan
pengalaman kerja. Salah satu komoditi yang diganti dengan tanaman baru adalah tanaman karet yang dikonversi menjadi tanaman kelapa sawit Daulay, 2003.
Alih fungsi lahan di Kabupaten Indragiri Hilir, Propinsi Riau terjadi pada lahan pertanian. Petani lebih memilih menanam kelapa sawit karena tanaman ini lebih
menguntungkan. Namun, tanah yang telah ditanami kelapa sawit tidak bisa lagi dijadikan persawahan dan ditanami padi karena komposisi tanahnya telah
berubah. Sama halnya dengan petani di Indragiri Hilir, para penanam karet di Kabupaten Labuhan Batu, Sumatera Utara mengganti tanamannya ke kelapa sawit
karena tanaman ini lebih menguntungkan daripada karet. Di Propinsi Jambi, alih fungsi lahan pertanian ke perkebunan kelapa sawit terjadi di daerah pasang surut
di Kecamatan Sabak Timur, Rantau Rasau, dan Nipah Panjang Kabupaten Jabung Timur Kompas, 2008.
Lahan karet yang luas sangat penting untuk memperoleh hasil produksi yang maksimal. Namun seiring dengan alih fungsi lahan karet menjadi lahan kelapa
sawit, yang terjadi lahan karet semakin menurun yang mengakibatkan penurunan produksi. Dibandingkan dengan budidaya tanaman karet, budidaya tanaman
kelapa sawit akhir-akhir ini lebih disenangi oleh para petani, dimana tanaman ini dapat memberi keuntungan dan meningkatkan pendapatan petani Goenawan,
2013. Apabila tanaman utama petani tidak ekonomis lagi karena harga rendah dan biaya tenaga kerja tinggi yang mengakibatkan pendapatan petani menurun,
maka petani lebih memilih mengkonversi lahan ke komoditi yang lebih menguntungkan.
Proses alih fungsi lahan pertanian ke penggunaan non- pertanian yang terjadi disebabkan oleh beberapa faktor. Tiga faktor penting yang menyebabkan
terjadinya alih fungsi lahan sawah yaitu sebagai berikut. 1. Faktor eksternal merupakan faktor yang disebabkan oleh adanya dinamika
pertumbuhan perkotaan, demografi maupun ekonomi. 2. Faktor internal dimana faktor ini lebih melihat sisi yang disebabkan oleh
kondisi sosial-ekonomi rumah tangga pertanian pengguna lahan. 3. Faktor kebijakan merupakan aspek regulasi yang dikeluarkan oleh pemerintah
pusat maupun daerah yang berkaitan dengan perubahan fungsi lahan pertanian. Kelemahan pada aspek regulasi atau peraturan itu sendiri terutama terkait
dengan masalah kekuatan hukum, sanksi pelanggaran, dan akurasi objek lahan yang dilarang dikonversi Lestari, 2009.
Masalah ketidak stabilan harga dialami oleh petani karet, yang secara langsung mempengaruhi harga jual getah yang dijual petani kepada agen. Dalam dua tahun
terakhir, sesuai catatan Gabungan Pengusaha Karet Indonesia Gapkindo Sumatra Selatan, harga jual karet memperlihatkan tren kemerosotan. Bahkan, harga karet
tahun 2014 merupakan terendah di tingkat petani, atau harga karet hanya berada di kisaran Rp 5.000 – 5.500kg.
Akibat turunnya harga karet ini, para petani menjerit karena sulit dan risau untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari
.
Kalau harga karet terus mengalami penurunan akan berdampak besar pada perekonomian
masyarakat, apalagi karet merupakan komoditas unggulan Koran Jakarta, 2014. Sedangkan untuk harga kelapa sawit relatif lebih stabil yaitu berkisar Rp 1.100 –
1.300kg. Hal inilah yang membuat petani lebih memilih untuk menanam kelapa sawit dibandingkan dengan usahatani karet yang harganya selalu menunjukkan
penerunan. Rata-rata biaya produksi usaha perkebunan kelapa sawit setahun per hektar
mencapai Rp 4,4 juta, dan biaya pengeluaran usaha perkebunan kelapa sawit yang paling besar yaitu untuk tenaga kerja sebesar 39,89 persen, dengan jenis kegiatan
terbesar berada pada proses pemanenan yang mencapai 25,85 persen dari seluruh total biaya. Sedangkan rata-rata biaya produksi usaha perkebunan karet setahun
per hektar mencapai Rp 8,4 juta, dan biaya pengeluaran usaha perkebunan karet yang paling besar yaitu biaya untuk tenaga kerja sebesar 56,19 persen, dengan
jenis kegiatan terbesar berada pada proses pemanenan yang mencapai 45,25 persen dari seluruh total biaya BPS Banten, 2014.
Dalam BPS Banten, 2014 hasil ST2013 sub sektor juga memberikan informasi tentang struktur ongkos rumah tangga usaha perkebunan. Rata-rata jumlah total
biaya usaha tanaman karet selama setahun mencapai 70,30 dari total nilai produksi. Sementara untuk komoditas kelapa sawit rata-rata jumlah biaya yang
dikeluarkan selama setahun jika dibandingkan dengan nilai produksi mencapai 51,56 . Dari hasil ini secara relatif kegiatan usaha tanaman kelapa sawit
memiliki pendapatan lebih tinggi dibandingkan komoditas karet, sehingga banyak masyarakat yang beralih komoditi yang semulanya karet menjadi kelapa sawit.
Pada komoditas kelapa sawit sebagian besar biaya digunakan untuk membayar upah tenaga kerja sebesar 39,89 dengan jenis kegiatan terbesar berada pada
proses pemanenan yang mencapai 25,85 dari seluruh total biaya. Jenis biaya
lain yang juga cukup besar di struktur biaya komoditas kelapa sawit adalah biaya perkiraan sewa lahan yang mencapai 29,31 . Sementara itu rata-rata jumlah
biaya pupuk, pestisida dan stimulan masing-masing mencapai 6,90 , 0,26 dan 0,01 . Struktur biaya komoditas tanaman karet secara relatif memiliki kesamaan
dengan kegiatan tanaman kelapa sawit, namun dari sisi biaya tenaga kerja untuk pemanenan menghabiskan porsi paling besar diantara semua biaya yang
dibayarkan mencapai 45,25 dari total biaya, hal ini dikarenakan proses pemanenan pada tanaman kelapa sawit meliputi pekerjaan memotong tandan buah
masak, memungut brondolan, dan mengangkutnya dari pohon ke tempat pengumpulan hasil TPH serta ke pabrik BPS Banten, 2014.
Konversi lahan berawal dari permintaan komoditas pertanian yang kurang elastis terhadap pendapatan dibanding dengan komoditas non pertanian. Oleh karena itu
pembangunan ekonomi yang berdampak pada peningkatan pendapatan penduduk cenderung menyebabkan naiknya permintaan komoditas non pertanian dengan
laju lebih tinggi dibandingkan dengan permintaan komoditas pertanian. Konsekuensi lebih lanjut adalah karena kebutuhan lahan untuk memproduksi
setiap komoditas merupakan turunan dari permintaan komoditas yang bersangkutan, maka pembangunan ekonomi yang membawa kepada peningkatan
pendapatan akan menyebabkan naiknya permintaan lahan untuk kegiatan di luar pertanian dengan laju lebih cepat dibanding kenaikan permintaan lahan untuk
kegiatan pertanian Irawan, 2005. Berdasarkan kenyataan yang berkembang di masyarakat, pola konversi lahan
sawah dapat dibedakan menjadi 2 dua tipe yaitu secara bertahap gradual
adalah terjadi secara sporadisterpencar yang dilakukan oleh perorangan dan secara seketika instant bersifat massive, yaitu terjadi dalam satu hamparan luas
dan terkonsentrasi yang dilakukan oleh proyek pembangunan baik oleh pihak swasta maupun pemerintah Widjonarko, et all., 2006.
Konversi lahan pertanian menjadi bentuk penggunaan lainnya tidak terlepas dari situasi ekonomi secara keseluruhan. Pertumbuhan ekonomi yang tinggi
menyebabkan beberapa sektor ekonomi tumbuh dengan begitu cepat. Pertumbuhan sektor tersebut akan membutuhkan lahan yang lebih luas. Apabila
lahan tersebut letaknya dekat dengan sumber pertumbuhan ekonomi maka akan bergeser penggunaannya ke bentuk lain. Hal ini terjadi karena land rent persatuan
luas yang diperoleh dari aktifitas baru lebih tinggi dari pada yang dihasilkan pertanian Anwar, 1993.
Ada tiga faktor baik sendiri-sendiri maupun bersama-sama yang merupakan determinan alih fungsi lahan sawah, yaitu: kelangkaan sumberdaya lahan dan air ,
dinamika pembangunan, peningkatan jumlah penduduk Pasandaran, 2006 Ada lima faktor sosial yang mempengaruhi alih fungsi lahan, yaitu: perubahan
perilaku, hubungan pemilik dengan lahan, pemecahan lahan, pengambilan keputusan, dan apresiasi pemerintah terhadap aspirasi masyarakat. Dua faktor
terakhir berhubungan dengan sistem pemerintahan. Dengan asumsi pemerintah sebagai pengayom dan abdi masyarakat, seharusnya dapat bertindak sebagai
pengendali terjadinya alih fungsi lahan Witjaksono, 1996. Penyakit karet sering menimbulkan kerugian ekonomis di perkebunan karet.
Kerugian yang ditimbulkannya tidak hanya berupa kehilangan hasil akibat
kerusakan tanaman, tetapi juga biaya yang dikeluarkan dalam upaya pengendaliannya. Lebih 25 jenis penyakit menimbulkan kerusakan di perkebunan
karet. Pada perkebunan karet terdapat banyak jenis penyakit yang sering menimbulkan kerusakan seperti penyakit akar, batangcabang, daun tanaman dan
lain-lain. Penyakit akar merupakan penyakit yang penting karena berakibat kepada kematian tanaman karet yang mengakibatkan kerugian ekonomi yang
cukup berarti Basuki, 1981; Situmorang dan Budiman, 2003. Kelapa sawit merupakan salah satu jenis tanaman keras yang banyak menjadi
fokus pengalihan lahan pertanian lainnya. Hal ini dikarenakan kelapa sawit memiliki prospek dan nilai ekonomi yang tinggi. Akan tetapi, laju pertumbuhan
perkebunan kelapa sawit di Indonesia telah sampai pada taraf yang mengkhawatirkan dan mengancam kelestarian lingkungan Kompas, 2008.
2.2 Landasan Teori 2.2.1 Keputusan Konversi
Teori keputusan adalah teori mengenai cara manusia memilih pilihan yang diantara pilihan-pilihan yang tersedia secara acak guna mencapai tujuan yang
hendak diraih Hansson, 2005. Teori keputusan dibagi menjadi dua, yaitu : 1 teori keputusan normatif yaitu teori tentang bagaimana keputusan seharusnya
dibuat berdasarkan prinsip rasionalitas, dan 2 teori keputusan deskriptif yaitu teori tentang bagaimana keputusan secara faktual dibuat.
2.2.2 Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Konversi Lahan
a. Harga Pada dasarnya perubahan harga jual akan memberi pengaruh yang sangat besar
terhadap petani. Salah satu pengaruhnya yaitu tingkat pendapatan para petani, yang selanjutnya sangat berpengaruh untuk memotivasi atau meningkatkan
produktivitas kerja para petani. Darwis 2006, menyatakan bahwa “harga jual merupakan salah satu perangsang motivator bagi petani untuk melakukan
pekerjaannya”. Faktor yang berperan penting yang menyebabkan proses konversi lahan pertanian
ke non pertanian yaitu sebagai berikut : 1 Perkembangan standar tuntutan hidup. Berhubungan dengan nilai land rent
yang mampu memberikan perkembangan standar tuntutan hidup petani. 2 Fluktuasi harga pertanian. Menyangkut aspek fluktuasi harga-harga komoditas
yang dapat dihasilkan dari pembudidayaan sawah. 3 Struktur biaya produksi pertanian. Biaya produksi dan aktivitas budidaya lahan
sawah yang semakin mahal dan cenderung memperkuat proses konversi lahan. 4 Teknologi. Terhambatnya perkembangan teknologi intensifikasi pada
penggunaan lahan yang memiliki tingkat pertanian yang terus meningkat akan mengakibatkan proses ekstensifikasi yang lebih dominan. Proses ekstensifikasi
dari penggunaan lahan akan terus mendorong proses konversi lahan. 5 Aksesibilitas. Perubahan sarana dan prasarana transportasi yang berimplikasi
terhadap meningkatnya aksesibilitas lokal akan lebih mendorong perkembangan penggunaan lahan pertanian ke non pertanian.
6 Resiko dan ketidak pastian. Aktivitas pertanian dengan tingkat resiko ketidak pastian yang tinggi akan menurunkan nilai harapan dari tingkat produksi, harga
dan keuntungan. Dengan demikian penggunaan lahan yang mempunyai resiko dan ketidak pastian yang lebih tinggi akan cenderung dikonversi ke
penggunaan lain yang resikonya lebih rendah Nasution, et al., 2000. b. Pendapatan usahatani
Faktor ekonomi yang menentukan alih fungsi lahan adalah nilai kompetitif komoditi yang dihasilkan terhadap komoditi lain yang menurun dan adanya
peningkatan respon petani atau pengusaha perkebunan terhadap dinamika pasar, lingkungan dan daya saing usahatani yang pada akhirnya akan merujuk pada
tingkat biaya dan pendapatan yang dihasilkan baik dalam jangka pendek maupun dalam jangka panjang akan meningkat Ilham et al, 2009.
c. Biaya usahatani Secara mikro, faktor penyebab konversi lahan yang lazim terjadi adalah
faktor ekonomi yang identik dengan masalah kemiskinan. Masyarakat pedesaan yang
tidak mampu memenuhi kebutuhan hidupnya melalui hasil penjualan kegiatan pertanian yang umumnya rendah, disisi lain pengerjaan lahan pertanian
memerlukan biaya yang tinggi. Faktor penting yang menyebabkan proses konversi lahan adalah perkembangan standar hidup, fluktuasi harga pertanian, struktur
biaya produksi pertanian, teknologi, aksesibilitas, resiko dan ketidak pastian dalam pertanian Nasoetion, et all., 2000.
d. Pengeluaran keluarga
Alih fungsi lahan dalam artian perubahanpenyesuaian peruntukan penggunaan, disebabkan oleh faktor-faktor yang secara garis besar meliputi keperluan untuk
memenuhi kebutuhan penduduk yang makin bertambah jumlahnya dan meningkatnya tuntutan akan mutu kehidupan yang lebih baik Lestari, 2009.
Konversi lahan sawah yang terjadi di Indonesia tidak terlepas dari interaksi permintaan dan penawaran sumberdaya lahan. Menurut Barlowe 1978, faktor-
faktor yang mempengaruhi penawaran lahan diantaranya adalah karakteristik fisik alamiah, faktor ekonomi, faktor teknologi, dan faktor kelembagaan. Sedangkan
dari segi permintan faktor-faktor yang mempengaruhi adalah populasi penduduk, perkembangan teknologi, kebiasaan dan tradisi, pendidikan dan kebudayaan,
pendapatan dan pengeluaran, selera dan tujuan serta perubahan sikap dan nilai- nilai yang disebabkan oleh perkembangan usia.
2.3. Penelitian Sebelumnya
Penelitian Kursianto 2011, Faktor yang mendorong petani melakukan konversi lahan pertanian dan beralih ke lahan perkebunan disebabkan oleh pendapatan
usaha tani kelapa sawit lebih tinggi dengan tingkat resiko yang lebih rendah, nilai jual agunan kebun lebih tinggi, biaya produksi usaha tani lebih rendah, dan
terbatasnya ketersediaan air. Penelitian Syafa’at 1995, pada sentra produksi padi utama di Jawa dan luar
Jawa, menunjukkan bahwa selain faktor teknis dan kelembagaan, faktor ekonomi yang menetukan alih fungsi lahan sawah ke pertanian dan non pertanian adalah :
1 nilai kompetitif padi terhadap komoditas lain menurun; 2 respon petani terhadap dinamika pasar, lingkungan, dan daya saing usahatani meningkat.
Penelitian Agus et al. 2001, ada beberapa penyebab tingginya alih fungsi lahan diantaranya adalah rendahnya tingkat pendapatan bertani padi sawah, tidak
dipatuhinya peraturan tata ruang lemahnya penegakkan hukum tentang tata ruang, keinginan mendapatkan keuntungan jangka pendek dari pengalih fungsian
lahan sawah, dan rendahnya koordinasi antara lembaga dan departemen terkait dengan perencanaan penggunaan lahan.
Penelitian Pewista 2011, di Kabupaten Bantul, pada luas lahan 1.000 m
2
, dimana sebelum terjadi konversi lahan berjumlah 10 orang atau 14,29, tetapi
kini meningkat menjadi 42 orang atau 60. Untuk kepemilikan lahan 1.000– 2.000 m
2
sebelum konversi lahan ada 45 orang atau 64,29 tetapi setelah konversi lahan mengalami penurunan menjadi 22 orang atau 31,43. Sedangkan
pemilik lahan 2.000 m
2
juga mengalami penurunan kepemilikan lahan dari 15 orang atau 21,42 menjadi 6 orang atau 8,57.
Karakteristik penduduk dengan jumlah tanggungan keluarga 4-6 orang mendominasi keluarga pemilik lahan. Hal ini mengidentifikasikan bahwa
penduduk dengan jumlah tanggungan keluarga 4-6 orang yang paling banyak melakukan konversi lahan pertaniannya. Telah diketahui bahwa semakin
banyaknya tanggungan keluarga tentunya pengeluaran keluarga juga semakin besar. Untuk mendapatkan penghasilan rumah tangga yang besar tentunya akan
dilakukan berbagai upaya, dan tidak sedikit petani yang memiliki lahan pertanian akan mengkonversi lahan pertaniaanya untuk menghasilkan tambahan biaya agar
dapat mencukupi kebutuhan hidup keluarganya Pewista, 2011. Menurut Daulay 2003, tidak sedikit juga petani yang mengkonversi lahan
mereka ke tanaman kelapa sawit dikarenakan mengikuti orang lain. Hal ini dapat dilihat di Desa Batu Tunggal Kecamatan Na IX-X Kabupaten Labuhan Batu yang
70 petani karet mengkonversikan lahannya menjadi kelapa sawit dikarenakan ikut-ikutan dengan orang lain, banyak petani di Desa Batu Tunggal melihat
kesuksesan pada petani yang mengusahan tanaman kelapa sawit, sehingga menarik minat petani lain untuk ikut mengusahakan tanaman kelapa sawit dengan
mengganti tanaman karet yang selama ini petani usahakan. Penelitian yang dilakukan oleh Asrul Wahid 2006, yang dilakukan di Kabupaten
Asahan, menyatakan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi masyarakat mengkonversi lahan karet menjadi lahan kelapa sawit secara parsial berpengaruh
signifikan adalah faktor ekonomi pendapatan dan kemampuan menabung dan sosial pendidikan dan minat.
Dalam penelitian Ginting 2005, di Desa Munte, Kabupaten Karo, alih fungsi lahan di daerah tersebut mulai terjadi tahun 1997, hal ini terkait dengan keadaan
kemarau panjang yang menyebabkan kekeringan secara keseluruhan di wilayah Indonesia. Persentase luas lahan yang mengalami alih fungsi dari padi sawah ke
non padi sawah sekitar 38,65 dari seluruh luas lahan yang dimiliki petani. Alasan petani melakukan alih fungsi lahan terutama akibat penurunan debit air,
disamping faktor lain seperti penurunan atau tidak sesuainya harga jual komoditi padi sawah maupun komoditi non padi sawah.
Penelitian oleh Dewa Putu Arwan Suputra et al., 2012 menyatakan bahwa ada empat faktor yang mempengaruhi alih fungsi lahan di Subak Daksina, yaitu
faktor kondisi lahan, faktor ketergusuran keterkaitan dengan kondisi penduduk, faktor pemanfaatan lahan untuk kepentingan sendiri dan faktor ketidak efektifan
lahan. Variabel yang mewakili setiap faktor yang mempengaruhi alih fungsi lahan
di Subak Daksina ada 14 variabel yaitu variabel penghasilan lahan, fungsi lahan, keadaan lahan kering, lokasi lahan, perbatasan pusat kota, keadaan lahan basah
mewakili faktor kondisi lahan; variabel terhimpit pemukiman, pertumbuhan penduduk mewakili faktor ketergusuran keterkaitan dengan kondisi penduduk;
variabel nilai jual lahan, biaya produksi, kebutuhan tempat tinggal keluarga mewakili faktor pemanfaatan lahan untuk kepentingan sendiri dan variabel
digunakan sebagai sarana jalan, saluran irigasi, peluang kerja di sektor lain menjanjikan mewakili faktor ketidak efektifan lahan. Persamaan dengan
penelitian ini adalah sama-sama mengukur faktor-faktor yang mempengaruhi konversi lahan.
Penelitian yang dilakukan Ahmad Muzzani 2015, mengenai analisis faktor pertimbangan petani yang berhungan dengan keputusan mengkonversi lahan
sawah irigasi menjadi lahan kelapa sawit yang dilakukan di Kecamatan Hatonduan Kabupaten Simalungun. Variabel yang berhubungan nyata dengan
keputusan petani mengkonversi lahannya adalah faktor ekonomi yang mencakup ketersediaan lahan, keuntungan usahatani dan biaya pemeliharaan usahatani,
faktor lingkungan mencakup ancaman hama penyakit, kondisi irigasi dan luas lahan, serta faktor teknis mencakup teknik budidaya, frekuensi panen dan
jumlah tenaga kerja dipakai. Penelitian yang dilakukan oleh Rusydi Irawan 2015, yang dilakukan di
Kecamatan Pegajahan Kabupaten Serdang Bedagai, mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi alih fungsi lahan persawahan menjadi perkebunan kelapa sawit
rakyat menunjukkan bahwa faktor pengeluaran keluarga petani, produktivitas padi
sawah, dan luas kepemilikan lahan berpengaruh signifikan terhadap alih fungsi lahan persawahan menjadi perkebunan kelapa sawit rakyat di Kecamatan
Pegajahan tersebut.
2.4. Kerangka Pemikiran