2.1.3 Konversi Lahan
Alih fungsi lahan atau lazimnya disebut konversi lahan adalah perubahan fungsi sebagian atau seluruh lahan dari fungsinya semula seperti yang direncanakan
menjadi fungsi lain yang menjadi dampak negatif masalah terhadap lingkungan dan potensi lahan itu sendiri. Alih fungsi lahan juga dapat diartikan sebagai
perubahan untuk penggunaan lain disebabkan oleh faktor-faktor yang secara garis besar meliputi keperluan untuk memenuhi kebutuhan penduduk yang makin
bertambah jumlahnya dan meningkatnya tuntutan akan mutu kehidupan yang lebih baik Lestari, 2009.
Alih fungsi lahan pertanian sulit dihindari, beberapa kasus menunjukkan jika disuatu lokasi terjadi alih fungsi lahan, maka dalam waktu yang tidak lama lahan
disekitarnya juga beralih fungsi secara progresif. Hal tersebut disebabkan oleh dua faktor. Pertama, sejalan dengan pembangunan kawasan perumahan atau industri di
suatu lokasi alih fungsi lahan, maka aksesibilitas di lokasi tersebut menjadi semakin kondusif untuk pengembangan industri dan pemukiman yang akhirnya
mendorong meningkatnya permintaan lahan oleh investor atau spekulan tanah sehingga harga lahan di sekitarnya meningkat. Kedua, peningkatan harga lahan
selanjutnya dapat merangsang petani lain disekitarnya untuk menjual lahan Irawan, 2008. Pelaku pembelian tanah biasanya bukan penduduk setempat,
sehingga mengakibatkan terbentuknya lahan-lahan guntai yang secara umum rentan terhadap proses alih fungsi lahan Wibowo, 1996.
Biasanya petani merubah fungsi lahannya dari komoditi lama menjadi komoditi yang baru karena dipengaruhi oleh beberapa faktor baik yang bersifat ekonomi
maupun yang bersifat sosial. Faktor ekonomi terdiri dari jumlah tanggungan, luas lahan dan tenaga kerja. Sedangkan faktor sosial terdiri dari umur, pendidikan dan
pengalaman kerja. Salah satu komoditi yang diganti dengan tanaman baru adalah tanaman karet yang dikonversi menjadi tanaman kelapa sawit Daulay, 2003.
Alih fungsi lahan di Kabupaten Indragiri Hilir, Propinsi Riau terjadi pada lahan pertanian. Petani lebih memilih menanam kelapa sawit karena tanaman ini lebih
menguntungkan. Namun, tanah yang telah ditanami kelapa sawit tidak bisa lagi dijadikan persawahan dan ditanami padi karena komposisi tanahnya telah
berubah. Sama halnya dengan petani di Indragiri Hilir, para penanam karet di Kabupaten Labuhan Batu, Sumatera Utara mengganti tanamannya ke kelapa sawit
karena tanaman ini lebih menguntungkan daripada karet. Di Propinsi Jambi, alih fungsi lahan pertanian ke perkebunan kelapa sawit terjadi di daerah pasang surut
di Kecamatan Sabak Timur, Rantau Rasau, dan Nipah Panjang Kabupaten Jabung Timur Kompas, 2008.
Lahan karet yang luas sangat penting untuk memperoleh hasil produksi yang maksimal. Namun seiring dengan alih fungsi lahan karet menjadi lahan kelapa
sawit, yang terjadi lahan karet semakin menurun yang mengakibatkan penurunan produksi. Dibandingkan dengan budidaya tanaman karet, budidaya tanaman
kelapa sawit akhir-akhir ini lebih disenangi oleh para petani, dimana tanaman ini dapat memberi keuntungan dan meningkatkan pendapatan petani Goenawan,
2013. Apabila tanaman utama petani tidak ekonomis lagi karena harga rendah dan biaya tenaga kerja tinggi yang mengakibatkan pendapatan petani menurun,
maka petani lebih memilih mengkonversi lahan ke komoditi yang lebih menguntungkan.
Proses alih fungsi lahan pertanian ke penggunaan non- pertanian yang terjadi disebabkan oleh beberapa faktor. Tiga faktor penting yang menyebabkan
terjadinya alih fungsi lahan sawah yaitu sebagai berikut. 1. Faktor eksternal merupakan faktor yang disebabkan oleh adanya dinamika
pertumbuhan perkotaan, demografi maupun ekonomi. 2. Faktor internal dimana faktor ini lebih melihat sisi yang disebabkan oleh
kondisi sosial-ekonomi rumah tangga pertanian pengguna lahan. 3. Faktor kebijakan merupakan aspek regulasi yang dikeluarkan oleh pemerintah
pusat maupun daerah yang berkaitan dengan perubahan fungsi lahan pertanian. Kelemahan pada aspek regulasi atau peraturan itu sendiri terutama terkait
dengan masalah kekuatan hukum, sanksi pelanggaran, dan akurasi objek lahan yang dilarang dikonversi Lestari, 2009.
Masalah ketidak stabilan harga dialami oleh petani karet, yang secara langsung mempengaruhi harga jual getah yang dijual petani kepada agen. Dalam dua tahun
terakhir, sesuai catatan Gabungan Pengusaha Karet Indonesia Gapkindo Sumatra Selatan, harga jual karet memperlihatkan tren kemerosotan. Bahkan, harga karet
tahun 2014 merupakan terendah di tingkat petani, atau harga karet hanya berada di kisaran Rp 5.000 – 5.500kg.
Akibat turunnya harga karet ini, para petani menjerit karena sulit dan risau untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari
.
Kalau harga karet terus mengalami penurunan akan berdampak besar pada perekonomian
masyarakat, apalagi karet merupakan komoditas unggulan Koran Jakarta, 2014. Sedangkan untuk harga kelapa sawit relatif lebih stabil yaitu berkisar Rp 1.100 –
1.300kg. Hal inilah yang membuat petani lebih memilih untuk menanam kelapa sawit dibandingkan dengan usahatani karet yang harganya selalu menunjukkan
penerunan. Rata-rata biaya produksi usaha perkebunan kelapa sawit setahun per hektar
mencapai Rp 4,4 juta, dan biaya pengeluaran usaha perkebunan kelapa sawit yang paling besar yaitu untuk tenaga kerja sebesar 39,89 persen, dengan jenis kegiatan
terbesar berada pada proses pemanenan yang mencapai 25,85 persen dari seluruh total biaya. Sedangkan rata-rata biaya produksi usaha perkebunan karet setahun
per hektar mencapai Rp 8,4 juta, dan biaya pengeluaran usaha perkebunan karet yang paling besar yaitu biaya untuk tenaga kerja sebesar 56,19 persen, dengan
jenis kegiatan terbesar berada pada proses pemanenan yang mencapai 45,25 persen dari seluruh total biaya BPS Banten, 2014.
Dalam BPS Banten, 2014 hasil ST2013 sub sektor juga memberikan informasi tentang struktur ongkos rumah tangga usaha perkebunan. Rata-rata jumlah total
biaya usaha tanaman karet selama setahun mencapai 70,30 dari total nilai produksi. Sementara untuk komoditas kelapa sawit rata-rata jumlah biaya yang
dikeluarkan selama setahun jika dibandingkan dengan nilai produksi mencapai 51,56 . Dari hasil ini secara relatif kegiatan usaha tanaman kelapa sawit
memiliki pendapatan lebih tinggi dibandingkan komoditas karet, sehingga banyak masyarakat yang beralih komoditi yang semulanya karet menjadi kelapa sawit.
Pada komoditas kelapa sawit sebagian besar biaya digunakan untuk membayar upah tenaga kerja sebesar 39,89 dengan jenis kegiatan terbesar berada pada
proses pemanenan yang mencapai 25,85 dari seluruh total biaya. Jenis biaya
lain yang juga cukup besar di struktur biaya komoditas kelapa sawit adalah biaya perkiraan sewa lahan yang mencapai 29,31 . Sementara itu rata-rata jumlah
biaya pupuk, pestisida dan stimulan masing-masing mencapai 6,90 , 0,26 dan 0,01 . Struktur biaya komoditas tanaman karet secara relatif memiliki kesamaan
dengan kegiatan tanaman kelapa sawit, namun dari sisi biaya tenaga kerja untuk pemanenan menghabiskan porsi paling besar diantara semua biaya yang
dibayarkan mencapai 45,25 dari total biaya, hal ini dikarenakan proses pemanenan pada tanaman kelapa sawit meliputi pekerjaan memotong tandan buah
masak, memungut brondolan, dan mengangkutnya dari pohon ke tempat pengumpulan hasil TPH serta ke pabrik BPS Banten, 2014.
Konversi lahan berawal dari permintaan komoditas pertanian yang kurang elastis terhadap pendapatan dibanding dengan komoditas non pertanian. Oleh karena itu
pembangunan ekonomi yang berdampak pada peningkatan pendapatan penduduk cenderung menyebabkan naiknya permintaan komoditas non pertanian dengan
laju lebih tinggi dibandingkan dengan permintaan komoditas pertanian. Konsekuensi lebih lanjut adalah karena kebutuhan lahan untuk memproduksi
setiap komoditas merupakan turunan dari permintaan komoditas yang bersangkutan, maka pembangunan ekonomi yang membawa kepada peningkatan
pendapatan akan menyebabkan naiknya permintaan lahan untuk kegiatan di luar pertanian dengan laju lebih cepat dibanding kenaikan permintaan lahan untuk
kegiatan pertanian Irawan, 2005. Berdasarkan kenyataan yang berkembang di masyarakat, pola konversi lahan
sawah dapat dibedakan menjadi 2 dua tipe yaitu secara bertahap gradual
adalah terjadi secara sporadisterpencar yang dilakukan oleh perorangan dan secara seketika instant bersifat massive, yaitu terjadi dalam satu hamparan luas
dan terkonsentrasi yang dilakukan oleh proyek pembangunan baik oleh pihak swasta maupun pemerintah Widjonarko, et all., 2006.
Konversi lahan pertanian menjadi bentuk penggunaan lainnya tidak terlepas dari situasi ekonomi secara keseluruhan. Pertumbuhan ekonomi yang tinggi
menyebabkan beberapa sektor ekonomi tumbuh dengan begitu cepat. Pertumbuhan sektor tersebut akan membutuhkan lahan yang lebih luas. Apabila
lahan tersebut letaknya dekat dengan sumber pertumbuhan ekonomi maka akan bergeser penggunaannya ke bentuk lain. Hal ini terjadi karena land rent persatuan
luas yang diperoleh dari aktifitas baru lebih tinggi dari pada yang dihasilkan pertanian Anwar, 1993.
Ada tiga faktor baik sendiri-sendiri maupun bersama-sama yang merupakan determinan alih fungsi lahan sawah, yaitu: kelangkaan sumberdaya lahan dan air ,
dinamika pembangunan, peningkatan jumlah penduduk Pasandaran, 2006 Ada lima faktor sosial yang mempengaruhi alih fungsi lahan, yaitu: perubahan
perilaku, hubungan pemilik dengan lahan, pemecahan lahan, pengambilan keputusan, dan apresiasi pemerintah terhadap aspirasi masyarakat. Dua faktor
terakhir berhubungan dengan sistem pemerintahan. Dengan asumsi pemerintah sebagai pengayom dan abdi masyarakat, seharusnya dapat bertindak sebagai
pengendali terjadinya alih fungsi lahan Witjaksono, 1996. Penyakit karet sering menimbulkan kerugian ekonomis di perkebunan karet.
Kerugian yang ditimbulkannya tidak hanya berupa kehilangan hasil akibat
kerusakan tanaman, tetapi juga biaya yang dikeluarkan dalam upaya pengendaliannya. Lebih 25 jenis penyakit menimbulkan kerusakan di perkebunan
karet. Pada perkebunan karet terdapat banyak jenis penyakit yang sering menimbulkan kerusakan seperti penyakit akar, batangcabang, daun tanaman dan
lain-lain. Penyakit akar merupakan penyakit yang penting karena berakibat kepada kematian tanaman karet yang mengakibatkan kerugian ekonomi yang
cukup berarti Basuki, 1981; Situmorang dan Budiman, 2003. Kelapa sawit merupakan salah satu jenis tanaman keras yang banyak menjadi
fokus pengalihan lahan pertanian lainnya. Hal ini dikarenakan kelapa sawit memiliki prospek dan nilai ekonomi yang tinggi. Akan tetapi, laju pertumbuhan
perkebunan kelapa sawit di Indonesia telah sampai pada taraf yang mengkhawatirkan dan mengancam kelestarian lingkungan Kompas, 2008.
2.2 Landasan Teori 2.2.1 Keputusan Konversi