Pengertian Persetubuhan Tinjauan Tentang Tindak Pidana Persetubuhan Anak Dibawah Umur

commit to user 36 lainnya. Suatu perbuatan agar dapat disebut sebagai tindak pidana harus memenuhi unsur-unsur sebagai berikut: 1 Perbuatan yang dilarang; 2 Akibat dari perbuatan itu menjadi dasar alasan mengapa perbuatan tersebut dilarang dalam rumusan undang-undang; 3 Bersifat melanggar Hukum. Pada pemutusan pemidanaanya kejahatan dipidana lebih berat dibandingkan dengan pelanggaran. Prinsipnya suatu tindak pidana terdapat sifat yang sama yakni wederrechtelijkheid sifat melanggar hukum, sehingga dapat dikatakan suatu tindak pidana tidak akan ada tanpa adanya sifat yang melanggar hukum. Kriteria untuk membedakan suatu golongan tindak pidana dengan golongan tindak pidana lain terdapat pada kriterianya untuk membedakan hal tersebut. KUHP membagi tindak pidana ke dalam 2 dua golongan yaitu pelanggaran dan kejahatan. Hal ini disebabkan keduanya bersifat kuantitatif yaitu kejahatan pada umumnya diancam dengan pidana lebih berat dibandingkan dengan pelanggaran Wirjono Prodjodikoro, 2002: 8.

b. Pengertian Persetubuhan

Tindak pidana kesusilaan dalam KUHP dibedakan menjadi dua, yaitu tindak pidana perkosaan untuk bersetubuh yang diatur dalam Pasal 285 KUHP dan tindak pidana perkosaan untuk berbuat cabul yang diatur dalam Pasal 289-296 KUHP. Sedangkan dalam Undang-Undang Perlindungan Anak tindak pidana kesusilaan yang melibatkan anak di dalamnya diatur dalam Pasal 82 dan Pasal 88 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Pada Kamus Besar Bahasa Indonesia persetubuhan adalah hal bersetubuh atau berjimak, hal bersenggama. menurut M.H. Tirtaatmadjaja bersetubuh berarti persentuhan sebelah dalam dari kemaluan si laki-laki dan perempuan, yang pada umumnya dapat menimbulkan kehamilan. tidak commit to user 37 perlu bahwa telah terjadi pengeluaran air mani dalam kemaluan si perempuan Leden Marpaung, 1992: 53. Yang disebut persetubuhan coitus adalah perpaduan antara 2 kelamin yang berlawanan jenisnya untuk memenuhi kebutuhan biologik, yaitu kebutuhan seksual. persetubuhan yang lengkap terdiri atas penetrasi penis ke dalam vagina, gesekan-gesekan penis terhadap vagina dan ejakulasi. Menurut kalangan ahli hukum suatu persetubuhan tidak harus diakhiri dengan ejakulasi. Bahkan penetrasi yang ringan, yaitu masuknya kepala zakar diantara kedua bibir luar, sudah dapat dianggap sebagai tindakan persetubuhan. Persetubuhan sendiri dibedakan menjadi dua macam, yaitu persetubuhan yang dilakukan secara legal dan persetubuhan yang dilakukan secara tak legal. Persetubuhan terhadap wanita dianggap legal jika wanita itu sudah cukup umur, tidak dalam ikatan perkawinan dengan laki-laki lain dan dilakukan dengan izinnya atau persetujuannya. Berdasarkan hukum yang berlaku di Indonesia, seorang wanita dianggap cukup umur dalam soal persetubuhan jika ia sudah genap berumur 15 tahun. Pada umur tersebut ia sudah dianggap mampu memahami resiko- resikonya dan oleh karenanya ia dapat menentukan sendiri apakah ia akan menyetujui suatu persetubuhan atau tidak. Namun persetubuhan dari seorang wanita yang tidak sehat akalnya tidak dianggap syah, meskipun wanita itu sudah berumur 15 tahun. Ikatan perkawinan dapat dianggap sebagai persetujuan atau izin bagi suami untuk melakukan persetubuhan dengan istrinya. Jika persetubuhan dilakkukan dengan tidak mengindahkan prinsip-prinsip di atas maka persetubuhan dianggap tak legal dan dapat dipidana. Berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana KUHP, persetubuhan tak legal terdiri atas persetubuhan tak legal yang dilakukan di dalam perkawinan dan persetubuhan yang dilakukan di luar perkawinan. Yang dimaksud persetubuhan tak legal yang dilakukan di dalam perkawinan di sini adalah persetubuhan yang dilakukan terhadap istrinya commit to user 38 sendiri yang belum cukup umur dan persetubuhan tersebut telah menimbulkan luka-luka. Ancaman hukumannya berdasarkan Pasal 288 KUHP ialah penjara selama-lamanya 4 tahun, jika mengakibatkan luka berat maka ancaman hukumannya 8 tahun dan jika mengakibatkan mati ancaman hukumannya 12 tahun. Sedangkan persetubuhan tak legal yang dilakukan di luar perkawinan adalah persetubuhan yang dilakukan oleh seorang laki-laki dengan wanita yang bukan istrinya. Dengan kata lain antara laki-laki dan wanita yang melakukan persetubuhan itu tidak berada dalam ikatan perkawinan. Perbuatan ini dapat dibagi menjadi 2, yaitu: a Persetubuhan yang dilakukan atas persetujuan atau izin dari wanita yang disetubuhi, misalnya persetubuhan dengan wanita yang belum cukup umur dan perzinahan b Persetubuhan yang dilakukan tanpa persetujuan atau izin dari wanita yang disetubuhi, misalnya perkosaan dengan wanita yang tidak berdaya. Yang dimaksud dengan persetubuhan dengan wanita yang belum cukup umur ialah persetubuhan dengan wanita bukan istrinya yang umurnya belum genap 15 tahun. Berdasarkan Pasal 287 KUHP, jika umur wanita itu belum genap 12 tahun termasuk delik biasa dan jika umurnya sudah genap 12 tahun tetapi belum genap 15 tahun termasuk delik aduan. Sedangkan yang dimaksud persetubuhan dengan wanita tidak berdaya sebagaimana diuraikan dalam Pasal 286 KUHP ialah persetubuhan dengan wanita bukan istrinya yang keadaan kesehatan jiwanya tidak memungkinkan wanita itu dapat diminta persetujuannya ataupun izinnya. Wanita tak sadar, gila atau idiot tidak mungkin dapat diminta persetujuan ataupun izinnya untuk disetubuhi, kalaupun ia memberikan persetujuan ataupun izinnya maka persetujuan tersebut harus dianggap tidak syah, begitu juga wanita yang pingsan, dengan catatan pingsannya itu bukan karena perbuatan laki-laki yang menyetubuhinya, namun jika pingsannya commit to user 39 itu akibat perbuatan laki-laki itu maka tindak pidana tersebut termasuk pemerkosaan, bukan persetubuhan dengan wanita yang tidak berdaya.

c. Pengertian Anak di bawah umur

Dokumen yang terkait

ANALISIS YURIDIS PUTUSAN HAKIM DI LUAR DAKWAAN JAKSA PENUNTUT UMUM DALAM TINDAK PIDANA PERSETUBUHAN TERHADAP ANAK

0 3 16

ANALISIS PERTIMBANGAN HAKIM PENGADILAN NEGERI BOYOLALI DALAM MENJATUHKAN PUTUSAN BEBAS DAN UPAYA HUKUM JAKSA PENUNTUT UMUM

0 6 96

pengaruh ketidaktepatan penerapan undang-undang oleh jaksa penuntut umum dalam penyusunan surat dakwaan terhadap pelaku tindak pidana narkotika dihubungkan dengan putusan hakim dan kepastian hukum.

0 0 1

ARGUMENTASI HUKUM HAKIM DALAM MENGABULKAN PERMOHONAN KASASI PENUNTUT UMUM DENGAN ALASAN JUDEX FACTIE TIDAK MENERAPKAN HUKUM DALAM PERKARA PENCUCIAN UANG.

0 0 15

ARGUMENTASI HUKUM HAKIM MENJATUHKAN PUTUSAN LEPAS DARI SEGALA TUNTUTAN HUKUM DAN UPAYA HUKUM PENUNTUT UMUM DALAM PERKARA TINDAK PIDANA EKONOMI.

0 1 10

ARGUMENTASI HAKIM PENGADILAN TINGGI MENERIMA PENGAJUAN PERLAWANAN PENUNTUT UMUM TERHADAP SURAT DAKWAAN TIDAK DAPAT DITERIMA OLEH HAKIM DALAM PERKARA KORUPSI (Studi Putusan Nomor: 12/Pid.Sus/2012/ PT.TPK.Smg).

0 0 12

TELAAH NORMATIF ARGUMENTASI HUKUM HAKIM PENGADILAN TINGGI BANDUNG DALAM MENOLAK DAKWAAN BERBENTUK ALTERNATIF DAN RESPON NORMATIF PENUNTUT UMUM UNTUK MENEGAKKAN KEADILAN DALAM PERKARA PENCUCIAN UANG (STUDI KASUS DALAM PUTUSAN NOMOR 295/PID/2009/PT.BDG).

0 1 14

ARGUMENTASI KASASI PENUNTUT UMUM TERHADAPPUTUSAN SURAT DAKWAAN BATAL DEMI HUKUM DAN PERTIMBANGAN HAKIM MEMUTUS PERKARA PENAMBANGAN DI CAGAR ALAM (Studi Putusan Mahkamah AgungNomor 2553K / Pid.Sus / 2015) - UNS Institutional Repository

0 0 12

ARGUMENTASI ALASAN KASASI PENUNTUT UMUM TERHADAP KESALAHAN HAKIM MENILAI JENIS SURAT DAKWAAN DAN PERTIMBANGAN HAKIM MEMUTUS PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI (Studi Putusan Mahkamah Agung Nomor 2874 K/Pid.Sus/2015) - UNS Institutional Repository

0 0 13

PENYUSUNAN DAKWAAN PENUNTUT UMUM SECARA ALTERNATIF DAN PUTUSAN HAKIM MELEBIHI TUNTUTAN PENUNTUT UMUM DALAM TINDAK PIDANA NARKOTIKA (Studi Putusan Pengadilan Negeri Magelang Nomor : 140/PID.SUS/2015/PN.MGG) - UNS Institutional Repository

0 0 14