BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
IV. 1 Deskripsi Subjek Penelitian
Penelitian tentang proses komunikasi kelompok anak tunanetra dalam mengembangkan konsep diri ini, membutuhkan 3 atau lebih anak tunanetra yang
bersekolah di sekolah umum integrasi serta orang awas yang dianggap berpengaruh pada pengembangan konsep diri mereka dan berdomisili di
YAPENTRA, Tanjung Morawa, Medan. Penelitian dilakukan melalui wawancara mendalam kepada masing-masing informan secara berkala hingga mendapatkan
informasi yang sesuai dengan kebutuhan peneliti. Peneliti melakukan pra penelitian untuk mendapatkan informasi tentang
YAPENTRA, sehingga integrasiinklusilah yang diangkat dari YAPENTRA itu sendiri sebagai judul dari penelitian. Penelitian I yang dilakukan pada 19 April
2012 bertempat di Yayasan Pendidikan Tunanetra Km 21,5 Tanjung Morawa dan dapat dikatakan sedikit mengecewakan. Betapa tidak, peneliti pergi pagi-pagi dari
Medan berharap dapat segera melakukan penelitian, ternyata setibanya disana Kepala Yayasan dan bagian tata usaha sedang tidak berada di tempat, ditambah
lagi anak-anak yang sedang melaksanakan ujian. Jadi hanya seorang ibu yang menyambut peneliti dan mengatakan tinggalkan saja nomer yang bisa dihubungi,
kalau mereka sudah pulang dari luar kota akan segera dihubungi. Hari kedua penelitian dapat dikatakan lancar, karena pada saat itu
kebetulan anak-anak yang akan diwawancarai sedang berada di Yayasan dan memang sudah di hubungi oleh pihak YAPENTRA. Setibanya disana, peneliti
Universitas Sumatera Utara
dipertemukan dengan Kepala Sekolah, yaitu Bapak Hutasoit, dimana Bapak itulah yang menjelaskan sekilas tentang Integrasi di YAPENTRA. Wawancara
dilakukan pada tanggal 20 April sekitar pukul 10.30 WIB di ruang Kepala Sekolah. Sampai pada akhir wawancara yang mengarah ke perbincangan santai,
tibalah 2 orang anak Yayasan yang berintegrasi di SMA RK Serdang Murni, Lubuk Pakam, dan kebetulan baru selesai mengikuti Ujian Akhir Nasional. Bapak
Hutasoit pun memperkenalkan peneliti pada 2 orang anak itu, yang bernama Timson dan Siska. Dan langsung menyuruh kami berbincang di ruang rapat.
Setelah berada diruang rapat, peneliti pun memperkenalkan diri ulang, sembari membawa mereka ke perbincangan yang sederhana, agar mereka tidak
merasa canggung atau takut. Peneliti lalu menyampaikan maksud dan tujuan peneliti untuk mewawancarai mereka tentang komunikasi kelompok dalam
mengembangkan konsep diri pada anak yang mendapat pendidikan inklusi. Timson yang pembawaannya riang dan proaktif langsung tersenyum senang dan
mengangguk mengerti, sedangkan Siska hanya terdiam, bukan karena dia tidak mengerti, tetapi merasa masih canggung dengan orang yang baru dikenal.
Untuk mendapatkan informasi yang lebih lengkap, peneliti menemui anak tunanetra yang bersekolah di integrasi lainnya yang memenuhi kriteria yang
ditetapkan oleh peneliti. Sekitar pukul 11.35 WIB setelah wawancara dengan Timson dan Siska selesai, peneliti diajak ke perpustakaan oleh Timson untuk
menemui informan lainnya. Di dalam perpustakaan peneliti menemui cukup banyak orang, dikarenakan anak-anak juga sudah libur, dan beberapa pekerja
perpustakaan sedang bekerja disana.
Universitas Sumatera Utara
Timson memperkenalkan peneliti pada pekerja perpustakaan dan mengutarakan maksud peneliti datang ke perpustakaan. Peneliti pun menjelaskan
panjang lebar maksud dan tujuan datang ke YAPENTRA, dan telah mewawancarai Timson dan Siska. Yang langkah selanjutnya adalah mencari
informan lain sesuai kriteria subjek penelitian. Mesran dan Robert adalah nama informan selanjutnya, sesuai data yang telah diberi oleh pihak Yayasan kepada
peneliti, dengan sistem purposive sampling. Sembari menunggu informan lain datang, peneliti pun berbincang dengan ketua perpustakaan, yaitu ibu Tarigan dan
menanyakan beberapa hal. Ketua perpustakaan sangat welcome dan menjelaskan panjang lebar bagaimana sistem anak-anak integrasi belajar, bahkan menunjukkan
cara mereka bekerja membuat buku dengan tulisan Braille serta penggunaan mesin pencetak buku tersebut.
Lama berbincang dan melihat-lihat hasil karya perpustakaan, ternyata bu Tarigan lupa, bahwa ada satu orang anak integrasi dari tadi asik membaca buku di
pojok perpustakaan. Kami pun menghampiri anak laki-laki yang tengah membaca buku Braille, dia bernama Lody Sitepu seorang lelaki yang sudah seumuran
dengan peneliti, bahkan lebih tua 2 tahun dan berintegrasi di STT Abdi Sabda Binjai. Bu Tarigan mempersilahkan peneliti duduk di samping Lody, lalu pergi ke
meja kerjanya semula. Peneliti memperkenalkan diri seraya mengutarakan maksud dan tujuan. Lody pun tersenyum simpul dan menutup buku yang
dibacanya tadi serta memperbaiki gaya duduknya yang tadi begitu santai menjadi lebih sopan.
Selang beberapa menit peneliti mewawancarai Lody, datanglah Mesran dan langsung duduk di meja sebelah kami mengobrol. Peneliti pun menyelesaikan
Universitas Sumatera Utara
wawancara dengan Lody terlebih dahulu, seraya tersenyum pada Mesran dan menyuruhnya menunggu sebentar. Peneliti memilih untuk mengetahui informasi
singkat tentang informan keempat, yaitu Mesran dan melakukan pendekatan terlebih dahulu. Tidak lama berbincang dengan Mesran, seorang anak laki-laki
sebaya Mesran dan mengenakan baju olahraga sekolah datang menghampiri kami, dia adalah Robert teman 1 asrama Mesran sekaligus teman satu angkatan yang
juga bersekolah di integrasi SMP N 2 Lubuk Pakam. Tetapi Robert buta total, tidak seperti Mesran yang masih low vision. Hingga wawancara selesai pada
pukul 13.15 WIB, Mesran dan Robert pun langsung pamit keluar dari perpustakaan dikarenakan jam makan siang sudah tiba.
Merasa kurang lengkap, peneliti melakukan penelitian lanjutan untuk melengkapi informasi seputaran integrasi tersebut. Pada tanggal 25 april 2012
peneliti melakukan studi kepustakaan di YAPENTRA untuk mendapatkan informasi lebih lengkap mengenai para informan begitu juga tentang Yayasan.
Petugas tata usaha memberikan beberapa data meliputi curicullum vitae para informan, serta sebuah buku tentang YAPENTRA. Setelah studi kepustakaan
selesai peneliti pamit untuk melanjutkan penelitian ke sekolah para informan, dimana ada pengawas integrasi yang menemani peneliti ke sekolah-sekolah. Di
integrasi, yang akan ditemui adalah mereka yang awas dan tentu berpengaruh pada perkembangan konsep diri para informan, sesuai kriteria yang ditetapkan
oleh peneliti sebagai informan tambahan. Sekolah pertama yang dituju adalah SMPN 2 L.Pakam, yaitu sekolah
Mesran dan Robert. Pengawas integrasi menyatakan tujuan kami datang ke sekolah pada satpam, tapi satpam mengatkan bahwa orang yang kami cari tidak
Universitas Sumatera Utara
berada di tempat karena sedang keluar kota, sama halnya dengan anak-anak yang menjadi informan selanjutnya, mereka sedang libur untuk persiapan ujian
kenaikan kelas. Peneliti dan pengawas integrasipun melaju ke SMA RK Serdang Murni L.Pakam, sekolah Timson dan Siska. Disana kami bertemu dengan Pak
Robinson Sitorus yang menangani bidang kurikulum. Pengawas integrasi memperkenalkan sekaligus menyampaikan maksud peneliti pada pak Sitorus. Pak
Sitorus pun welcome dengan kedatangan kami dan mengantarkan peneliti ke wali kelas Timson dan Siska ke ruang guru.
Peneliti bertemu dengan Ibu Turnip selaku wali kelas Timson dan Siska sekaligus guru pelajaran ekonomi. Peneliti langsung melakukan wawancara
dikarenakan beberapa menit lagi bu Turnip akan mengajar. Bu Turnip mengaku senang dengan adanya anak tunanetra di integrasi, karena mereka mampu belajar
seperti orang awas pada umumnya, dan memiliki semangat yang tinggi, walaupun mereka tidak mendapat peringkat di kelas. Setelah informasi dirasa lengkap,
peneliti menyudahi wawancara dengan wali kelas, dan mencari guru lain yang dianggap memenuhi kriteria, yaitu guru matematika. Ibu Hutagalung selaku guru
matematika kebetulan ada di ruang guru juga dan memudahkan peneliti dalam mewawancarainya, karena dia telah mendengar sekilas perbincangan peneliti
dengan bu Turnip. Wawancara terakhirpun peneliti lakukan dengan pak Sitorus, dikarenakan kepala sekolah sedang tidak berada di tempat, guna melengkapi
informasi tentang integrasi dan SMA RK Serdang Murni yang menerima anak tunanetra.
Universitas Sumatera Utara
IV.2 Hasil Pengamatan dan Wawancara
Berikut hasil pengamatan dan wawancara yang dilakukan peneliti terhadap lima anak tunanetra sebagai subjek penelitian :
Informan I
Nama : Timson Aritonang
Tempat, Tgl. Lahir : Sileutu, 14 Agustus 1992
Jenis Kelamin : Laki-laki
Anak ke : 6 dari 8 bersaudara
Penyebab Kebutaan : Campak Anak dari Ayah
: Elman Aritonang Ibu
: Asnaria br Sinaga Alamat Orangtua
: Repa Sileutu Desa Sibaganding, Kecamatan Girsang Simalungun
Agama : Kristen Protestan
Tgl.Masuk Yapentra : 21 Juli 1997 Wawancara yang dilakukan pada tanggal 20 April pukul 11.20 dan
bertempat di ruang rapat YAPENTRA ditujukan untuk 2 orang anak integrasi, yaitu Timson dan Siska. Wawancara pertama ditujukan untuk Timson karena dari
awal Timson yang kelihatan ceria dan welcome yang dapat membawa peneliti untuk bisa masuk ke jiwa masing-masing informan lain.
Timson yang masuk lebih dulu ke Yayasan sebelum Siska tentu telah mengenal lebih banyak selak beluk YAPENTRA. Dia mengatakan masuk ke
Universitas Sumatera Utara
Yayasan umur 5 tahun, yaitu tahun 1997 dan sekarang kelas 3 SMA dan baru menyelesaikan Ujian Nasional. Kebutaan Timson disebabkan karena waktu kecil
dia mengalami penyakit campak dan kebutaannya tidak sedari lahir, melainkan saat dia berusia 3 tahun. Dikarenakan orangtua yang sibuk bekerja dan kurang
memperhatikan, tanpa disadari Timson telah terkena campak yang berujung pada kebutaan. Orangtua Timson menyadari telah melakukan kesalahan yang sangat
fatal sampai anaknya bisa seperti itu, dan pernah sampai hampir frustasi karena sayang mereka yang berlebihan, tapi orangtua Timson pasrah karena biayapun
tidak memadai. Terlahir dari keluarga normal dan memiliki 7 saudara, hanya Timsonlah yang mengalami kebutaan. Sampai pada akhirnya pihak Yayasan
datang ke kampung Timson dan mensosialisasikan tentang YAPENTRA. Pertama-tama keluarga berat melepas Timson karena dulu masih sangat kecil, tapi
pihak Yayasan pun terus meyakinkan dan membawa beberapa anak tunanetra sebagai bukti dan orangtua serta pihak keluarga pun setuju memasukkan Timson
ke YAPENTRA. “Umur 5 tahun aku masuk YAPENTRA ini, besar-besar di sininya aku,
jadi uda sangat ngertilah keadaan disini. Waktu kecil masih bisa melihatnya aku, umur 3 tahunlah kena sakit campak, karena orangtua pun
sibuk kerja dan kurang perhatian. Waktu orangtua tau pun penyakitku ini gak bisa sembuh lagi sangat menyesal mereka, hampir frustasi pun, tapi ya
mau gimana lagi ya pasrah aja lah mereka. Sebenarnya dulu keluarga berat kali melepas aku, karena masih membutuhkan orangtua aku, masih kecil
kali dulu, tapi demi masa depan akunya itu, dan dulu juga ga percaya orangtua tentang sosialisasi YAPENTRA ini, sampai ada juga anak
tunanetra di bawa ke kampung. Dari situlah orangtua percaya dan berani melepas aku merantaulah istilahnya, hahhaaa”.
Timson masuk ke integrasi sejak SMP, yaitu di SMPN 2 Lubuk Pakam. Dari SDLB memang dia telah memiliki nilai yang bagus dan selalu berusaha
untuk mempertahankan nilai yang telah di standartkan oleh Yayasan, untuk masuk
Universitas Sumatera Utara
ke integrasi, yaitu 7,5. Timson memberi keterangan panjang lebar bagaimana proses komunikasi kelompoknyaintegrasi dalam pengembangan konsep dirinya
.
Mulai dari dia berada di lingkungan orang awas, yang susah susah gampang, terutama untuk mengenali teman satu persatu hanya lewat suara mereka, dan
sampai dia benar-benar bisa melewati semuanya karena keuletannya dalam bergaul. Dan dia menegaskan ada beberapa faktor yang perlu di contoh juga untuk
anak-anak lain yang ingin merasakan integrasi, diantaranya mau belajar dan bergaul mendekatkan diri secara perlahan, menunjukkan bahwa kita mampu,
bisa lebih dari orang awas dalam hal akademik, bisa jadi tempat curhat bagi mereka yang awas dan yang terpenting meyakinkan pihak Yayasan kalau kita
mampu di integrasi, dengan begitu pihak Yayasanpun akan memberi motivasi sekaligus kepercayaan pada kita. Subjek terlihat bangga dan bersemangat sekali
menjawab ketika ditanya mengapa mau bersekolah di integrasi. Dia mengatakan pasti ada senang dan susahnya berada di tengah orang awas.
“Masuk ke sekolah umum ya karena mau belajar dan bisa menunjukkan kalo orang tunanetra juga bisa belajar seperti orang normal. Dari SMP aku
udah di integrasi. Yayasan memang kasih patokan untuk dapat sekolah diluar itu harus punya nilai 7,5 dan aku gak boleh nyia-nyiakan
kepercayaan mereka yang uda memberiku kesempatan untuk berintegrasi. Awalnya masuk ke situ kawan-kawan gak mau gabung-gabung sama aku,
tapi aku punya cara untuk dapat banyak teman. Ya bagi aku sendiri ada beberapa cara yang aku buat dan caraku itu bisa dikatakan berhasil, hhee.
Dan maunya dapat di contohlah sama kawan-kawan tunanetra lain kalo mau ke integrasi. Yang pertama aku ga bole diam, ga bole terpaku,
maksudnya harus kita yang mendekatkan diri, terus yang kedua, apa ya, hhee, kita usahakanlah IQ harus bisa lebih dari mereka yang normal, biar
mereka mau menerima kita, biar ga sepele mereka. Terus yang terakhir aku itu humoris, hhee dan bisa juga jadi tempat curhat bagi kawan-kawan.
Mungkin kelebihan humorisku ini jugalah yang membawa aku gampang- gampang aja dalam berteman, hhee, buktinya dalam waktu sekitar 34 hari
aku uda bisa ngenalin teman-temanku hanya lewat suara mereka dan mereka juga bisa menerima aku”.
Universitas Sumatera Utara
Tumbuh kembang di YAPENTRA membuat Timson dapat melakukan hal- hal yang biasa dilakukan orang awas pada umumnya dan membuat konsep dirinya
berkembang. Contohnya saja bersosialisasi dengan orang awas dan bahkan bisa menyelesaikan tingkat pendidikan yang cukup tinggi, yaitu SMA. Timson melalui
masa SMA di swasta, yaitu SMA RK Serdang Murni L. Pakam, jurusan IPS. Dan menurut keterangannya sejauh ini memang belum ada anak tunanetra yang
menduduki bangku IPA dalam integrasi. Selama beberapa tahun telah merasakan integrasi, tentu Timson merasakan hal-hal yang sangat membantu tumbuh
kembangnya, antara lain memiki teman yang lengkap, maksudnya orang awas maupun tunanetra seperti dirinya, kemudian dapat lebih berbagi pengalaman pada
teman asrama yang tidak merasakan integrasi. Perkembangan konsep diri Timson memang telah terbentuk dan bisa dikatakan mengarah pada perekembangan
positif, karena pergaulan dan cara berfikir yang telah terbentuk dari dia berintegrasi, dapat membantunya dalam perkembangan konsep diri, bahkan dia
memiliki cita-cita ingin melanjut ke Perguruan Tinggi. “Setauku sampai aku sebesar ini di Yapentra belum pernah ada yang
masuk IPA kalo di integrasi, selalu IPS, karena memang susahlah kayak kami ini masuk IPA, karena praktek-praktek gitu kan. Setelah aku 6 tahun
di integrasi, aku merasa sangat banyak ya manfaatnya, salah satunya dalam hal berteman. Jadi lebih banyak kawanku, gak hanya kawan-kawan
satu Yayasan, tapi juga orang normal di luar sana. Teman di asrama dan di luar sama-sama enak, ya merasa lengkap aja punya teman tunanetra dan
orang normal, terus aku lebih banyak pengalaman dan bisa berbagi pengalaman dengan teman satu Yayasan yang gak di integrasi. Terus
karna sering berbagi pengalaman dengan teman yang gak integrasi, aku jadi lebih bersemangat dan merasa bangga bisa jadi kayak sekarang, hhe.
Tapi intinya harus berusaha lha pokoknya, jangan percuma kita uda di integrasi tapi temannya itu-itu aja, harus berkembanglah baik dalam
pemikiran maupun pergaulan. Harus mau juga bagi pengalaman dan bantu-bantu kawan yang gak di integrasi, gak boleh sombong juga”.
Universitas Sumatera Utara
Selain hal yang dapat membantu tumbuh kembangnya, yaitu memiliki teman yang lengkap dan cara berfikir yang luas, Timson juga telah melewati
susah-susahnya belajar di integrasi, bahkan dalam melakukan proses komunikasi.
Dimana dia kadang-kadang bingung berbicara dengan kawan-kawannya, bisa jadi kawannya tersebut sudah pergi entah kemana saat dia berbicara, karena dia tidak
melihatnya. Begitu juga dalam hal belajar, pelajaran yang di ajarkan guru sering tidak sepenuhnya dimengerti oleh Timson, walaupun sebenarnya anak-anak
tunanetra yang berintegrsai dibekali tape recorder, tapi tetap hambatan itu pasti muncul. Dan hambatan itu sering muncul pada pelajaran Akuntansi dan
Matematika. Tapi pihak sekolah mengadakan les tambahan untuk kelas tiga yang akan menghadapi Ujian Akhir Nasional, yaitu Akuntansi dan Bahasa Inggris.
“Biasanya hambatan yang ku alami dalam hal komunikasi itu, paling susah kalo ngomong sama mereka, bisa jadi kawan bicara kita sudah pergi ntah
kemana, kita ngomong kok gag di jawab-jawab, ntah-ntah uda pigi mereka gak dengerin kita lagi, nah itu salah satu kendala juga kalo di integrasi ini.
Tapi aku uda biasa dengan hal itu. Terus masalah belajar juga. Dalam hal belajar biasa yang gak ngerti mau nanyak sama kawan sebangku, tapi
sering gak puas, karena di jawabnya pun semampu dia aja, setelah pulang tanya lagi dengan pengawas asrama, kalo gak puas juga langsung tanya ke
gurulah. Terus aku juga ada ikut les inggris dan ekonomi. Kalo di bilang susah, ya tentu susah bagi kami yang tunanetra, tapi harus bisalah, jadi
harus lebih aktif baik dalam les maupun di kelas. Kalo hambatan mata pelajaran di akuntansi, jurnal masih gampang, posting ke buku besar yang
sulit karena ada tabel-tabel gitu. Matematika juga, yang daerah-daerah arsiran, dalam bidang menggambarlah yang sulit, aduhh…”.
Berhubung Timson dan Siska baru saja melewati Ujian Nasional, peneliti menanyakan sekilas tentang proses Ujian mereka. Timson mengatakan sedikit
lega telah bisa melewatinya, walaupun tidak lega sepenuhnya, karena masih harus menunggu pengumuman. Tapi yang pasti dia telah berusaha sebaik mungkin,
semampunya dan menyerahkannya pada yang di Atas. Dan dia berharap hasil
Universitas Sumatera Utara
yang telah dicapainya selama berintegrasi dapat mengantarkannya ke jenjang yang lebih tinggi, yaitu Perguruan Tinggi Negeri.
“Aduhh, kalau ditanya bagaimana ujian kemarin, ya begitulah, hhaa. Aku pun gak tau gimana hasilnya, tapi yang pasti aku uda mengerjakan
bagianku dan selebihnya ku serahkan aja sama Tuhan. Sistem ujian kami sama dengan yang lain, hanya saja ada petugas khususpengawas integrasi
yang melingkari jawaban kami, trus kami milih jawabannya dengan lisan, karena soalnya telah di Braillekan oleh petugas yang mengerti, beberapa
hari sebelum ujian dimulai dan dipastikan soal itu tidak bocor, hhe. Terus kalo mau lanjut kuliah aku pengennya sih nyoba dulu ke Perguruan tinggi
Negeri, mau ngambil Sastra di Unimed, mudah-mudahan aku bisa, hhe, Amin..”
Kesimpulan Kasus
Dalam menjalin komunikasi kelompok dengan orang awas, Timson tidak dapat mengandalkan seluruh indranya. Timson harus berkomunikasi tanpa
menggunakan kedua matanya sebagai penangkap pesan. Hal tersebut dikarenakan kondisi Timson sebagai penyandang tunanetra. Ketunanetraan Timson disebabkan
karena waktu kecil dia mengalami penyakit campak dan kebutaannya tidak sedari lahir, melainkan saat dia berusia 3 tahun. Dikarenakan orangtua yang sibuk
bekerja dan kurang memperhatikan, tanpa disadari Timson telah terkena campak yang berujung pada kebutaan.
Integrasi membuat perkembangan konsep diri Timson menjadi baik dan positif. Baik dalam bergaul maupun cara berfikirnya yang dewasa. Itu terlihat dari
cara menjawabnya yang welcome dan jawaban yang benar-benar masuk akal dan tidak di buat-buat. Karena kepribadiannya yang luwes mampu membawanya
bersosialisasi dengan mudah dan memiliki banyak teman, dan dia menanamkan beberapa faktor positif dari dirinya sendiri yang harus benar-benar bisa di jalankan
dan berharap anak tunanetra lain yang ingin berintegrasi dapat seperti dia dalam
Universitas Sumatera Utara
hal bergaul. Dari situlah terlihat bahwa proses komunikasinya selama di integrasi berhasil mengembangkan konsep dirinya. Timson yang telah melewati masa
integrasi selama beberapa tahun, mengaku cukup senang dan bangga sebagai anak tunanetra yang bisa melewati integrasi dengan baik. Walaupun ada hal yang
mendukung dan menghambat perkembangan konsep dirinya, tapi ia menjadikan semua itu sebagai motivasi untuk terus belajar dan bangkit.
Hal yang menghambat proses integrasinya dikarenakan proses belajar mengajar yang kurang dimengerti, lalu di awal integrasi berupa komunikasi yang
dia rasa sulit untuk berbicara karena tidak dapat melihat. Tapi, dia tidak menjadikannya sebagai sebuah masalah besar. Sampai pada jawaban akhir yang
dia ingin melanjut ke perguruan tinggi, merupakan mimpinya, dan dia akan tetap berusaha agar bisa ke perguruan tinggi negeri. Tanpa disadari, jawaban akhir itu
menjadi bukti bahwa Timson merasa nyaman berada di integrasi.
Informan II
Nama : Roma Siska Tampubolon
Tpt, Tgl Lahir : Riau, 27 Nopember 1990 Tgl. Masuk
: 03 Nopember 2005 Gereja
: HKBP Wawancara dengan informan kedua dilakukan bersamaan dengan
informan I, yaitu di ruang rapat YAPENTRA. Siska yang pemalu, pendiam dan kelihatan masih canggung sedikit menyulitkan peneliti untuk bertanya banyak
padanya. Dia hanya menjawab satu dua kata dari apa yang ditanyakan peneliti saja. Anak pertama dari empat bersaudara ini mempunyai hobby menyanyi dan
Universitas Sumatera Utara
orangtuanya sangat menyayanginya. Subjek mengalami kebutaan dikarenakan penyakit campak sama seperti Timson, ketika dia berumur 2 tahun. Pada tahun
1999, Siska pernah masuk ke Panti Karya Hepata HKBP Laguboti dan 31 Oktober 2005 kembali ke orangtua, lalu 3 November orangtuanya memasukkannya ke
YAPENTRA. Saat ini subjek berumur 21 tahun, dan baru saja menyelesaikan Ujian
Akhirnya di SMA RK Serdang Murni L.Pakam sama dengan Informan pertama. Ketika peneliti menanyakan bagaimana proses komunikasi yang dirasakannya saat
berintegrasi, subjek hanya tersenyum dan menjawab singkat. Dia mengatakan sedikit berbeda dengan Timson yang pintar bergaul. Dikarenakan dia masuk ke
YAPENTRA setelah berumur 15 tahun, tidak seperti Timson yang dari kecil sudah mengerti dan mengenal dunia luas, walau dulu dia juga berada di Panti
Asuhan. Tetapi dia merasa ada perbedaan, dimana dia berintegrasipun tidak seperti Timson yang dimulai dari SMP, tetapi dia baru saja merasakannya saat
SMA. “Ya, buta sejak kecil, umur 2 tahun. Dulu pernah juga tinggal di Panti, tapi
orangtua merasa perkembanganku sangat lambat, akhirnya dipindahkan ke YAPENTRA. Masuk ke sini udah umur 15 tahun, jadi sebenarnya baru
beberapa tahunlah aku disini. Dulu SMP aku di SMPLB, tapi karena nilaiku mencukupi untuk masuk ke SMA, maka Yayasan memperbolehkan
ke integrasi, dengan bertemankan Timson aku masuk ke SMA RK Serdang Murni L.Pakam. Sehari-hari ya sama dia ajalah aku, gag berani kemana-
mana dan temanku di sekolah pun dia terus dan untungnya kami sekelas walaupun tidak sebangku”.
Merasakan berintegrasipun menambah kepercayaan diri pada subjek kedua ini, dia mengaku walaupun satu tahun bersekolah temannya dulu hanya Timson,
tapi ketika naik ke kelas dua dan pembagian jurusan, orang awas pun sudah ada yang menjadi teman dekatnya. Teman sebangkunya yang dipilihkan oleh wali
Universitas Sumatera Utara
kelas baik padanya dan mau membantunya belajar. Sampai dia dapat menyalurkan hobi menyanyinya ketika pelajaran kesenian, dikarenakan motivasi dari teman
sebangkunya tersebut, yang bernama Nursalam Sinaga. Teman sebangkunya itulah yang kerap kali memberinya dukungan dan dua tahun juga menjadi teman
sebangku tetapnya. Walaupun ketika bertemu dengan orang awas lain atau yang baru di kenalnya, dia tetap sungkan untuk berbicara.
“Kurasakan juga susahnya bicara sama orang normal ini, makanya selama setahun sama Timson aja aku bekawan, tapi lama kelamaan gak enak juga
kurasa bekawan sama dia aja, gak berkembang, apalagi dia cowok, aku juga butuh teman cewek yang bisa diajak curhat. Untungnya wali kelas
memberi kawan sebangku yang baik, dan kasih aku motivasi untuk belajar nyanyi, dari situ aku PD, kenapa gak dicoba, orang normal aja kasih aku
dukungan. Tapi masih malu juga aku sama orang normal yang baru ku kenal”.
Ditanyai mengenai hambatan yang dirasakan selama berintegrasi, jawaban Siska hampir mirip dengan informan pertama. Mengalami kesulitan dalam proses
belajar, terutama saat ujian. Siska yang baru saja merasakan integrasi saat duduk di SMA, pertama-tama tidak mengerti bagaimana sistem ujian di integrasi, dia
merasa bodoh ketika ujian pertama, mereka yang tunanetra di ajak ke perpustakaan, lalu menggunakan mesin tik untuk menjawabnya. Itu terjadi
pertama kali saat ujian bulanan lalu berlanjut ke ujian semester dan ujian kenaikan kelas. Tapi lama-kelamaan dia terbiasa dengan kondisi seperti itu dan bisa
menyelesaikan studinya di SMA tersebut. “Gak ngerti sama sekali waktu ujian pertama kali. Aku pikir kayak
SMPLB dulu, pake huruf braille kayak biasa, ternyata di suruh ke perpustakaan dan pake mesin tik, terus sekali-kali ada pengawas yang
bacain soal lisan. Itu dulu hambatan yang ku rasakan, kesusahan waktu ujian. Walaupun dulu udah pernah di ajarin cara ngetiknya tapi dulu aku
ga belajar dengan sungguh-sungguh, uda besar kayak gini baru ngerasain akibatnya, kurang paham, akhirnya belajar lagi.”
Universitas Sumatera Utara
Wawancara yang singkat itu peneliti tutup dengan pertanyaan yang sama dengan Timson, yaitu perasaan telah mengikuti ujian akhir nasional. Dan lagi-lagi
jawaban Siska singkat dan dibarengi dengan senyuman. Dia mengatakan sama halnya dengan Timson. Tinggal menunggu hasilnya dan terus berDoa.
Kesimpulan Kasus
Anak pertama dari empat bersaudara ini mempunyai hobby menyanyi dan orangtuanya sangat menyayanginya. Subjek mengalami kebutaan dikarenakan
penyakit campak, sejak umur 2 tahun. Dalam menjalin proses komunikasi kelompok, Siska mengalami kesulitan yang berarti. Meskipun telah lama
menyandang status tunanetra, Siska masih membutuhkan mata sebagai penangkap pesan yang penting dalam sebuah komunikasi apapun terlebih komunikasi
kelompok. Namun, hal ini segera disadari Siska bahwa ia adalah seorang tunanetra yang tidak dapat mengandalkan kedua matanya sebagai penangkap
pesan. Integrasi yang baru tiga tahun dirasakannya mengubah hidupnya,
dikarenakan teman sebangkunya yang baik, yang mampu membawa Siska bergaul dengan orang awas dan sekaligus dapat membantunya menemukan jati dirinya.
Teman sebangkunya memberi dia dukungan lewat hobinya waktu pelajaran kesenian. Dari situ Siska mulai senang dan mau berteman dengan orang awas.
Itulah faktor yang mendukung komunikasi kelompok Siska dalam pengembangan konsep dirinya saat bersekolah di sekolah umum. Yaitu motivasi dari teman
sebangkunya yang merupakan orang awas. Kepercayaan diri Siska semakin
Universitas Sumatera Utara
terbentuk seiring berjalannya waktu, yang tadinya dia takut dan enggan berteman selain dengan Timson.
Selain faktor pendukung di atas, ada juga faktor penghambat yang dirasakan oleh subjek kedua ini, yaitu saat ujian. Pertama kali susah memulai
untuk mengerti bagaimana sistem ujian di integrasi karena di SMPLB Siska ujian seperti biasa yang memakai regret atau braille. Tiba masuk ke integrasi
menggunakan mesin tik dan ke perpustakaan yang sekali-kali berbentuk lisan dan perlahan dia terbiasa dengan kondisi seperti itu. Dan tidak menjadikannya sebagai
penghambat besar.
Informan III
Nama : Lody Sitepu
Tpt, Tgl Lahir : Gurukinayan, 04 Juni 1982
Tgl. Masuk : 19 Juli 1993
Gereja : GBKP
Lody Sitepu merupakan informan ketiga yang ditemui di perpustakaan Yayasan. Pria kelahiran Kaban Jahe 1982 ini, merupakan tamatan SMA RK
Serdang Murni juga, sama seperti informan pertama dan kedua. Dia menanyakan lebih dulu tujuan dan maksud peneliti datang ke Yayasan dan penelitipun
menjelaskannya secara rinci. Tidak disangka, ternyata Lody pun bernasib sama dengan peneliti, yaitu sedang dalam tahap pengerjaan skripsi dan beberapa bulan
lagi mudah-mudahan gelarnya sudah didapatnya. Lody yang sudah berumur 29 tahun akan menamatkan perkuliahannya dari STT Abdi Sabda, Binjai, beberapa
bulan mendatang. Subjek masuk ke Yayasan pada tahun 1993 dan mengaku
Universitas Sumatera Utara
sangat beruntung masuk ke YAPENTRA, karena disitulah dia tumbuh dan berkembang sampai seperti sekarang ini dan orangtuanya juga bangga padanya.
Lody mengalami kebutaan sejak lahir, yang tidak diketahui sebab pastinya. Terlahir dari keluarga sederhana dan merupakan anak ketiga dari lima
bersaudara yang kesemuanya normal awas menyebabkan Lody minder dan merasa tidak dibutuhkan di dunia. Dia bercerita dulunya orangtua tidak memiliki
cukup biaya untuk memeriksakannya ke Dokter. Lalu orangtua membawanya ke orang pintar di kampungnya dan tidak menghasilkan apa-apa. Mulai dari situ dia
berpikiran bahwa penyakitnya itu merupakan sebuah kutukan yang entah darimana datangnya. Sampai pada akhirnya kakeknya bapak ibunya
menyuruhnya masuk ke YAPENTRA dan kakeknya jugalah yang mengantarkannya ke Yayasan. “Mata Baru” itulah sebutan Lody untuk
YAPENTRA. “Dulu aku seperti orang bodoh yang tidak mengerti apa-apa, tidak bisa
melihat terang indahnya dunia, wajah orangtuaku, bahkan wajahku sendiri pun belum pernah ku lihat. Bukan aku tidak memiliki pikiran untuk
bertahan hidup, bahkan aku mau bangkit dari keterpurukan ini, tapi kenapa hanya aku yang buta, dan tidak diketahui penyebabnya, lalu apa gunanya
aku masih ada di dunia dan hanya bisa merepotkan orang lain. Aku sempat berpikiran apakah ini sebuah kutukan bagi keluargaku dan aku yang
terkena imbasnya, ohh, kalau ingat dulu itu sedih rasanya. Dan beruntung kakek datang ke rumah dan mengajakku ke Yayasan ini. Dan alhasil ya
seperti sekarang ini merupakan sebuah “Mata Baru” bagiku. Walau dalam makna konotasi, tapi mata baru inilah yang sangat sangat aku syukuri. Dan
akupun selalu bersyukur untuk setiap hal yang boleh terjadi dalam hidupku sampai sekarang ini.”
Integrasi bukanlah sebuah impian bagi Lody, melihat latar belakang kehidupnya yang dulu. Baginya, masuk ke Yayasan dan bertemu dengan orang-
orang yang sependeritaan sekaligus menyayangi tanpa pamrih, sudah cukup dan sangat menyenangkan. Lody yang masih dibayangbayangi oleh latar belakang
Universitas Sumatera Utara
kebutaannya, menyebabkan dia tidak gampang untuk bergaul terlebih setelah masuk ke integrasi. Dia takut dipermainkan atau ada orang jahat yang
mengganggunya, karena ketunanetraannya. Jadi ketika pertama kali menginjakkan kaki di integrasi Lody hanya diam terpaku dan tidak berani memulai percakapan
dengan siapapun. Datang pagi, belajar dan istirahat hanya di dalam ruang kelas, lalu siang pulang, itulah yang menjadi kebiasaan Lody ketika pertama kali
berintegrasi. Dia beranggapan bahwa orang awas hanya bisa memanfaatkan orang sepertinya dan pasti memilih-milih teman. Karena kekhawatirannya tersebut, dia
berupaya untuk bisa melakukan semuanya dengan sendiri. Dan ternyata dia sadar bahwa itu tidak mungkin, karena dia telah berintegrasi dan mau tidak mau harus
bersosialisasi. Lama kelamaan Lodypun mendapat kawan dan mulai bisa berbaur dengan
yang lain. Dia berusaha semaksimal mungkin untuk tidak tertinggal dari orang awas. Dan mempertahankan komitmennya, kalau tunanetra itu berhak bersekolah
di umum, dan memiliki persamaan dalam pendidikan. Karena pondasi komitmen yang kuat itulah Lody bangkit dan bahkan kawannya yang orang awaspun sering
meminta bantuan padanya dalam pelajaran. Karena begitu Lody dipercayai mampu mengemban tanggung jawab yang lebih tinggi, maksudnya dapat
melanjutkan ke Perguruan Tinggi. “Gak ada niatan mau ke integrasi, malah aku gak pande bergaul. Karena
aku rasa orang tunanetra hanya sebagai bahan cemohan atau jadi pesuruh untuk mereka yang awas. Tapi aku salah, setelah aku tamat dari SMA dan
ingin melanjut ke Perguruan Tinggi, malah orang-orang awas yang ku curigai itu yang menyemangatiku untuk melanjut pendidikan. Memberiku
motivasi dan arahan kuliah apa yang cocok untukku. Terus kalau ditanya kenapa mau ke integrasi, pasti aku bakal jawab persamaan hak. Semua
manusia mempunyai persamaan hak dalam pendidikan, termasuk seorang tunanetra atau anak berkebutuhan khusus lain. Tujuan saya belajar di
Universitas Sumatera Utara
sekolah umum adalah karena saya berhak belajar di sekolah umum dan sekolah memang diciptakan untuk semua kalangan dan tidak ada
prioritasnya menurut saya. Saya punya hak yang sama dalam pendidikan sama seperti anak-anak yang normal.”
Lody punya semangat belajar yang tinggi. Dia mampu menghadapi segala macam tantangan dan rintangan. Hinaan dan cemoohanpun menjadi energi
baginya untuk mencapai kesuksesan dan prestasi. Baginya, ketika seorang siswa tunanetra sudah memutuskan untuk mengikuti pendidikan integrasi, siswa tersebut
juga harus berani mempertanggungjawabkan apa yang telah didapatnya dari masyarakat, yaitu dengan berani bekerja di tempat umum dan tanpa dicari pun,
teman-teman awas akan datang dan menghargainya. Lody mendapatkan pengalaman yang berharga, yaitu pengalaman berjuang
meraih kesetaraan dan bahkan bisa memotivasi orang lain untuk maju. Itu terbukti saat dia memasuki masa PKL praktek kerja lapangan, pada semester tujuh
perkuliahannya. Dia melakukan praktek di sebuah Gereja di Sembahe, yang awalnya Gereja tersebut menolak kehadirannya, karena alasan tunanetra terlalu
merepotkan jemaat dan majelis sekitar. Namun Lodi tidak putus asa, dia melakukan pendekatan ke beberapa jemaat dan Pendeta. Setelah melalui
perjalanan yang sulit dan panjang, akhirnya Lodi diterima PKL di Gereja tersebut. Situasi tersebut semakin mematangkan konsep diri Lodi dan itu merupakan
pengalaman yang berharga baginya, bahwa menjadi seorang pelayan tunanetra harus mengahadapi dan meyakinkan para jemaat dengan kualitas yang tidak kalah
dengan orang-orang awas. Selain pengalaman berharga dan sahabat, Lody juga memperoleh uang dari pelayanannya. Itu sangat membantu Lody dalam
menyelesaikan perkuliahannya, walaupun biaya ditanggung oleh Yayasan, karena IPnya yang tetap memenuhi standar Yayasan, yaitu 2,75.
Universitas Sumatera Utara
“Sekilas aku mau share kenapa aku memilih jurusan Theologia. Itu dikarenakan pertanyaan yang dari dulu selalu menghantuiku, hahaa, yaa,
kembali ke masa laluku yang ingin kupecahkan ‘kenapa aku terlahir buta’. Aku pikir aku harus lebih mendekatkan diri dengan Tuhan, disamping
pemikiranku yang masih dangkal pada waktu itu. Karena aku gak mau ada orang yang berpikiran sepertiku, ‘bahwa kebutaan itu merupakan kutukan
dari Tuhan’. Dan apapun itu semua berasal dari padaNya, jadi jangan pernah menyalahkanNya. Usahaku untuk lebih mendalami keimanan
dalam kekristenan tidak sia-sia, karena pengalaman ditolak dan dianggap sepele sewaktu PKL mampu kulalui dan kutunjukkan bahwa aku mampu
disandingkan dengan orang awas, malah aku merasa aku lebih dari mereka yang awas, bayangkan saja kawan-kawan kuliahku si STT sering meminta
tolong dalam hal belajar padaku dan sebagai imbalannya aku sering balik meminta tolong pada mereka dalam hal pergerakan, maksudnya minta
tolong mereka anter aku ke stasiun kalau mau pulang ke Yayasan atau minta tolong membelikan sesuatu. Itulah yang kurasakan selama
berintegrasi, saling membutuhkan dan harus benar-benar mengerti arti bersosialisasi.”
Banyak siswa tunanetra yang belajar di sekolah umum, tapi ketika kuliah, mereka tetap saja memilih jurusan alternatif seperti jurusan Pendidikan Luar
Biasa PLB, karena kuliah di jurusan PLB mudah dan cepat lulus. Di samping itu mereka ingin setelah lulus bisa mengajar di SLB. Atau ada juga yang kuliah di
jurusan umum, tapi mereka tidak mau mencari peluang kerja di tempat umum. Tetap saja mereka ingin mengajar di SLB atau di panti-panti tunanetra. Tetapi
berbeda dengan Lody, dia menekankan disiplin ilmu yang diperolehnya selama berintegrasi dengan adik-adik Yayasan kalau dia pulang ke YAPENTRA. Dan
saat ini dia sedang fokus ke skripsinya dan waktunya banyak dihabiskan di perpustakaan kalau dia pulang ke Yayasan dan berkonsultasi dengan dosen
pembimbing. Lody juga memiliki cita- cita yang tinggi, selain ingin menjadi Pendeta, dia juga berniat melamar di Departemen Agama.
“Kalau masalah gimana cara belajarnya ya sama aja, karena dulu kan sudah diajarkan cara mobilitas dan mengetik, mengetik dulu kelas enam
SD uda diajarkan. Dalam perkenalan barang-barang yang tidak bisa kami lihat serta cara penggunaannya. Judul skripsiku ‘Suatu Tinjauan
Etimologis, Hubungan Iman dengan Kesehatan, serta Implementasinya
Universitas Sumatera Utara
terhadap tubuh sebagai Bait Allah’. Puji Tuhan hampir menyelesaikan S1, beberapa bulan lagilah. Impian terakhirku ingin mengabdi pada Gereja
dengan menjadi Pendeta, biar gak sia-sia ilmu yang ku dapat, biar bisa bermanfaat untuk semua orang dan bisa jadi motivasi untuk anak tunanetra
lain. Yang paling tinggi cita-citaku mungkin mau jadi pegawai negeri lah, hhee, di sebuah Departemen Agama. Terus biar bisa buat keluargaku
bangga dan menghidupi mereka. Apa hasilnya tunanetra mengikuti pendidikan integrasi kalau dia tidak berani mempertanggungjawabkan apa
yang didapatnya pada masyarakat? Apa gunanya belajar di sekolah umum kalau pada akhirnya kembali lagi ke habitatnya?”.
Kesimpulan Kasus
Subjek ketiga sedang dalam tahap pengerjaan skripsi. Lody yang sudah berumur 29 tahun akan menamatkan perkuliahannya dari STT Abdi Sabda, Binjai,
beberapa bulan mendatang. Subjek masuk ke Yayasan pada tahun 1993 dan mengaku sangat beruntung masuk ke YAPENTRA, karena disitulah dia tumbuh
dan berkembang sampai seperti sekarang ini dan orangtuanya juga bangga padanya. Lody mengalami kebutaan sejak lahir, yang tidak diketahui sebab
pastinya. Dia berpikiran bahwa penyakitnya itu merupakan sebuah kutukan yang entah darimana datangnya. Sampai pada akhirnya kakeknya bapak ibunya
menyuruhnya masuk ke YAPENTRA dan kakeknya jugalah yang mengantarkannya ke Yayasan. “Mata Baru” itulah sebutan Lody untuk
YAPENTRA. Pertama kali menginjakkan kaki di integrasi Lody hanya diam terpaku dan
tidak berani memulai percakapan dengan siapapun. Lama kelamaan Lodypun mendapat kawan dan mulai bisa berbaur dengan yang lain. Dia berusaha
semaksimal mungkin untuk tidak tertinggal dari orang awas. Dan
Universitas Sumatera Utara
mempertahankan komitmennya, kalau tunanetra itu berhak bersekolah di umum, dan memiliki persamaan dalam pendidikan.
Faktor yang mendukung komunikasi kelompok Lody dalam
pengembangan konsep dirinya tampak saat Lody bangkit dari keterpurukan yang dia ditolak saat akan mendaftar PKL dan bahkan kawannya yang orang awaspun
sering meminta bantuan padanya dalam pelajaran. Karena begitu Lody dipercayai mampu mengemban tanggung jawab yang lebih tinggi, maksudnya dapat
melanjutkan ke Perguruan Tinggi. Lody yang masih dibayangbayangi oleh latar belakang kebutaannya,
menyebabkan dia tidak gampang untuk bergaul terlebih setelah masuk ke integrasi. Dia takut dipermainkan atau ada orang jahat yang mengganggunya,
karena ketunanetraannya. Dia beranggapan bahwa orang awas hanya bisa memanfaatkan orang sepertinya dan pasti memilih-milih teman. Itu merupakan
faktor penghambat komunikasi kelompok dalam pengembangan konsep dirinya saat masuk ke integrasi. Faktor penghambat dan faktor pendukung itu dijadikan
Lody sebagai pengalaman yang tak ternilai harganya dan cita-cita yang tinggi semakin mematangkan Lody dalam pengembangan konsep dirinya.
Informan IV
Nama : Mesran Sanjaidut Sinaga
Tempat, Tgl. Lahir : Parapat, 05 Desember 1997
Jenis Kelamin : Laki-laki
Anak Ke : 5 dari 5 bersaudara
Anak dari Ayah : Morlen Sinaga
Universitas Sumatera Utara
Ibu : br. Bakara
Tgl.Masuk Yapentra : 17 Juli 2004 Wawancara yang dilakukan pada 20 April 2012 pukul 13.00 WIB dan
bertempat di perpustakaan YAPENTRA berjalan dengan baik, karena Mesran bisa diajak mengobrol sama seperti Timson dan Lody, dan mendapat kemudahan juga
bagi peneliti dikarenakan Mesran low vision, jadi dengan samar-samar penglihatannya dia tersenyum dan terasa begitu welcome. Mesran anak yang
pintar dan periang, dia mampu bermain musik tradisional Batak, bermain drum dan sangat pintar bergaul. Dia bercita-cita memiliki orangtua angkat yang bisa
menolong dia bersekolah. Mesran memiliki 3 tiga saudara yang tunanetra juga, ketiganya masuk di YAPENTRA dan dua saudaranya telah menamatkan sekolah.
Mereka tidak buta total, masih mempunyai sisa penglihatan low vision. Marini dan Kipri Sinaga adalah saudara Mesran yang disekolahkan di
YAPENTRA juga. Ketiga anak dari pasangan Marlen Sinaga dan Marlina Bakara ini, mengetahui YAPENTRA berawal dari bulan Juni 1998 saat rombongan
Tunanetra bertemu dengan ibu mereka di kampung di Parapat. Kemudian para guru mengusulkan untuk memeriksa ketiga anak tersebut ke dokter mata. Hasil
pemeriksaan Dokter menyimpulkan bahwa, retina ketiga anak mengalami gangguan turunan dari orangtuanya. Dokter menyarankan bahwa pada siang hari
mata tidak dapat melihat sinar panas dan akan lebih jelas pada malam hari. Mesran yang saat itu masih berusia 3 bulan disarankan menunggu lebih besar
untuk dibawa ke YAPENTRA. Kemudian pada 17 Juli 2004 Mesran diantar orangtuanya untuk dididik di YAPENTRA.
Universitas Sumatera Utara
Sekarang Mesran bersekolah di SMPN 2 L.Pakam bersama dengan satu anak tunanetra lain yaitu Robert Simbolon, seorang totally blind. Karena
keahliannya dalam bidang musik dan olahraga, Mesran bercita-cita ingin naik pesawat gratis melalui prestasi olahraganya hingga keluar negeri. Mesran juga
merasa beruntung karena jika dia bisa mempertahankan nilainya di atas 7,5 dan berkelakuan baik, sudah pasti dia bisa melanjut ke SMA. Integrasi bagi Mesran
adalah salah satu wadah untuk mengembangkan bakatnya, sama seperti Siska informan kedua. Mesran sangat suka dengan pelajaran olahraga dan kesenian,
karena disitu dia bisa menunjukkan keahliannya serta melatih bakatnya tersebut. “Abang sma kakakku dulu disini juga kak, tapi udah keluar mereka. Sama
kayak aku, masih bisa liat dikit-dikit, mungkin keturunan kami ini. Masuk ke sekolah umum ya karena kemauan sendirilah, terus mau cari
pengalaman. Apalagi aku suka main musik sama olahraga kak, jadi ku pikir kalau di sekolah umum bisa lebih berkembang aku. Terus mana tau
nanti ada orang normal yang mau ngangkat aku jadi anaknya kakk, hhee”.
Mesran mengaku di integrasi, guru olahraga sekaligus pembimbing integrasi dari asrama, mendukung bakat lari Mesran, karena sebagai guru olahraga
dia selalu menyemangati dan memberi masukan-masukan positif bagi Mesran. Dia juga menyarankan untuk Mesran mengikuti les musik dan olahraga untuk
terus melatih bakatnya tersebut. Cita-cita Mesran yang ingin memiliki orangtua angkat selalu
menyemangati dia untuk lebih giat dan rajin belajar. Disamping itu, dia juga harus bisa mempertahankan nilainya agar bisa masuk ke SMA. Ketika ditanyai mana
yang lebih enak berteman dengan teman di integrasi atau asrama, Mesran tersenyum, menurutnya sama-sama menyenangkan, karena dulu juga waktu SD
dia bersosialisasi dengan teman yang senasib dengan dia, jadi dia tidak ingin
Universitas Sumatera Utara
dikatakan jadi memilih-milih teman ketika sudah sekolah di umum. Walaupun teman satu angkatannya yang sekolah di integrasi hanya satu orang, yaitu Robert,
tapi mereka cukup kompak. Low vision yang diderita Mesran dapat membantu mereka untuk berjalan dari sekolah ke tepi jalan raya untuk mendapatkan
pengangkutan umum saat pulang sekolah. Mesran yang selalu menuntun Robert dengan setia.
“Guru olahraga juga baik, nyaranin untuk ikut les aku kak, biar tetap mantap bakatku ini, hhe. Kawan-kawan sama-sama enak, karena bisa saling
melengkapi, dan aku gak mau di bilang sombong karena udah di sekolah umum. Terus kalau pelajaran yang susah biasanya nanyak sama kawan sebangku, ‘kek
mana caranya?’ minta ajarin sama dia, mau kok dia bantu. Sebangkuku orang normal, guru yang nentuin pas masuk pertama kali. Ujian kami yang tunanetra ke
perpus pake mesin ketik. Ada guru yang ngawasin. Kalau pergi sekolah naik bus kami rame-rame, digilir ngantarnya, trus kalau pulang masing-masing naik
angkutan umum, sama si Robert lah aku terus sama pulang pergi, karena cuma kami dua yang di SMPN itu”.
Kesimpulan Kasus
Informan keempat merupakan anak bungsu dari 5 bersaudara dan masih memiliki sedikit penglihatan low vision. Mesran anak yang pintar, dia mampu
bermain musik tradisional Batak, bermain drum dan sangat pintar bergaul. Dia bercita-cita memiliki orangtua angkat yang bisa menolong dia bersekolah. Mesran
yang duduk di kelas 2 SMPN 2 Lubuk Pakam mengaku senang bisa berintegrasi. Karena dengan begitu dia bisa mengembangkan bakatnya. Keterbatasan
melihatnya yang low vision dapat memberi sedikit kemudahan baginya. Contohnya saja dalam hal bergaul dengan Robert, satu angkatannya sekaligus satu
asrama. Di sekolah, mereka beda lokal, tapi karena merasa sepenanggungan dan memang akrab, ketika istirahat tiba, Mesran yang low vision sering mendatangi
Universitas Sumatera Utara
lokal Robert yang memang tidak begitu jauh dari lokalnya, dan mengajak Robert untuk keluar lalu menuntun Robert berjalan.
Mesran cukup dewasa dalam pemikiran, terlihat dari jawabannya yang ingin tetap sekolah di umum melanjut ke SMA dan serius untuk menekuni
bidang olahraga dan musik yang akan mewujudkan mimpinya untuk naik pesawat gratis. Kedewasaan berpikir Mesran tentu dibentuk karena dia berintegrasi dan
memiliki keahlian dalam bidang musik, karena menurut penelitian, musik dapat melatih otak kiri untuk berimajinasi dan berkreasi.
Guru dan teman-temannya yang baik di integrasi membuatnya betah dan merupakan faktor pendukung proses komunikasi kelompoknya dalam
pengembangan konsep dirinya saat berintegrasi. Walaupun Mesran low vision, tapi terkadang, Mesran mengalami kesulitan dalam menjalani interaksi sosial
dengan teman-teman sekolahnya, tapi dia tidak menjadikan itu masalah, karena memang dari awal masuk ke YAPENTRA mereka telah dibekali ilmu mobilitas.
Informan V
Nama : Robert Dedi S Simbolon
Tpt, Tgl Lahir : Laeambat, 27 Mei 1997 Tgl. Masuk
: 01 April 2002 Gereja
: GKPI Wawancara pada informan terakhir dilakukan di perpustakaan juga,
setelah wawancara dengan Mesran selesai. Informan kelima ini merupakan teman
Universitas Sumatera Utara
satu asrama Mesran dan seorang totally blind. Robert yang berumur 14 tahun kelahiran Sidikalang ini mengalami kebutaan yang disebabkan karena campak
ketika dia berumur 2,5 tahun. Subjek masuk ke YAPENTRA dijemput oleh pihak Yayasan saat berumur 5 tahun, dan dia sekarang telah duduk di kelas 2 SMP.
Bersama dengan Mesran, Robert bersekolah di SMPN 2 L.Pakam dan akan menghadapi ujian kenaikan kelas.
Masuk ke YAPENTRA membuat Robert disiplin dan mampu mengerjakan hal-hal umum, minimal untuk keperluannya sehari-hari. YAPENTRA memang
mengajarkan mereka untuk bisa mengurus diri sendiri, kalau dianggap sudah mampu dan biasanya yang sudah duduk di bangku SMP wajib dapat mengurus
diri sendiri. Mereka diberikan guru khusus ketika di asrama, istilahnya pengawas asrama, jadi setiap unit ada yang membimbing. Satu asrama terdiri dari beberapa
orang dan mereka mengerjakan atau mempelajari semuanya di dalam asrama. Robert menjelaskan sedikit tentang kegiatan mereka di asrama tersebut. Mulai
dari mereka bangun pagi, pekerjaan yang dapat dilakukan sampai mereka kembali tidur lagi. Dan kemandirian mereka di asrama membuat mereka disiplin dan tidak
kalah dengan orang awas. “Bangun pagi seperti biasa mandi dulu, terus ada di kasih renungan. Pergi
ke ruang makan lalu berangkat sekolah. Setelah pulang dari sekolah ada les musik dan keterampilan, lalu makan siang, terus tidur. Bangun tidur
sore kerja cuci gosok kalo ada yang mau di cuci, biasanya gabung-gabung sama kawan, siapa yang nyuci nitip, trs gosok juga gitu, tapi ganti-gantian.
Terus malam, jam-jam 9 belajar di asrama masing-masing”.
Merupakan anak keenam dari tujuh bersaudara dan hanya dia yang mengalami kebutaan, tidak menyebabkan Robert minder atau putus asa. Dia tetap
mau bersekolah dan meraih cita-citanya. Itu dia buktikan mampu masuk ke
Universitas Sumatera Utara
integrasi dan tetap mempertahankan nilainya, walaupun tidak pernah mendapat peringkat di kelas. Ketika peneliti menanyakaan tentang integrasi, subjek
menyenggol tangan Mesran yang kebetulan masih duduk disampingnya. Mungkin dia meminta Mesran untuk membantunya menjawab. Mereka cukup kompak dan
kemana-mana selalu bersama, terlebih jika ada yang berhunbungan dengan integrasi atau umum, karena hanya mereka berdualah yang berintegrasi. Robert
menganggap tidak ada salahnya dicoba, toh nilai dia mencukupi untuk berada di umum. Ujian kenaikan kelas akan mereka hadapi beberapa minggu lagi, mereka
belajar bersama, walaupun beda lokal, tapi minimal pelajaran yang diajarkan pasti sama. Robert yang mengaku Mesran adalah sahabatnya, sering meminta bantuan
pada Mesran, dikarenakan Mesran yang low vision, dia menganggap penglihatan Mesran masih bisa diandalkan daripada dirinya yang totally blind, jadi ketika ada
pelajaran yang tidak dimengerti Robert, dia meminta Mesran membantunya “Enak di sekolah umum, kak, banyak kawan. Aku ingin banyak bergaul
dengan anak-anak awas. Lagian apa salahnya di coba kalau kita mampu bersaing dengan mereka. Toh ada kok kawanku si Mesran yang setia
menemaniku, hahahaa, walaupun kami gak selokal. Kalau teman sebangku milih sendiri. Mau ujian dan gak ujian tetap sama kami belajar, karena
pintar dia dibanding aku, hhee”.
Dalam menjalin komunikasi kelompok di integrasi, Robert mengaku tidak menemukan kesulitan ataupun hambatan yang berarti. Karena Robert sudah lama
menyandang tunanetra, jadi dia merasa tidak perlu disesali atau hanyut dalam penderitaan, dia mau hidupnya di bawa enjoy saja.
Kesimpulan Kasus
Robert yang berumur 14 tahun kelahiran Sidikalang ini mengalami kebutaan yang disebabkan karena campak ketika dia berumur 2,5 tahun. Informan
Universitas Sumatera Utara
kelima ini merupakan teman satu asrama Mesran dan seorang totally blind. Masuk ke YAPENTRA membuat Robert disiplin dan mampu mengerjakan hal-hal
umum, minimal untuk keperluannya sehari-hari. Merupakan anak keenam dari tujuh bersaudara dan hanya dia yang
mengalami kebutaan, tidak menyebabkan Robert minder atau putus asa. Dia tetap mau bersekolah dan meraih cita-citanya. Robert menganggap tidak ada salahnya
dicoba masuk ke integrasi, toh nilai dia mencukupi untuk berada di sekolah umum.
Robert mengaku tidak menemukan kesulitan ataupun hambatan. Karena Robert sudah lama menyandang tunanetra, jadi dia merasa tidak perlu disesali
atau hanyut dalam penderitaan, dia mau hidupnya di bawa enjoy saja. Harus bisa bangkit dan lebih baik lagi dari sekarang. Karena dia merasa lebih jauh beruntung
dari teman-teman lain yang tidak berintegrasi.
Kesimpulan Kasus Keseluruhan
Dari lima informan yang telah diteliti, ditemukan kesimpulan yang pada intinya jawaban kesemua informan hampir sama, yaitu merasa beruntung berada
di integrasi hanya saja berbeda-beda pendapat mereka mengenai proses komunikasi kelompok mereka saat berintegrasi, sesuai tujuan penelitian yang di
dapat dari hasil wawancara. Pada informan I tidak mengalami hambatan yang terlalu berarti dalam
proses komunikasi kelompok saat dia berintegrasi. Dikarenakan dia telah lama menyandang tunanetra ditambah dia sudah menjajaki integrasi dari bangku SMP
dan sifat humoris serta keuletan yang dimilikinya, mampu membawanya untuk
Universitas Sumatera Utara
mudah dalam berkomunikasi dan berinteraksi tanpa harus bergantung sepenuhnya pada kedua mata, itu merupakan kemudahan yang dirasakannya saat berintegrasi.
Meskipun demikian, ditemukan juga faktor-faktor yang menjadi penghambat komunikasi kelompoknya dalam mengembangkan konsep diri. Diantaranya,
kesulitan saat belajar matematika, terutama daerah arsiran dan ekonomi, serta kesulitan saat berkomunikasi, dimana ketika dia berbicara bisa jadi lawan
bicaranya telah pergi entah kemana dan tidak mendengarkannya lagi. Tetapi secara keseluruhan, Timson tidak menjadikan itu sebagai beban hidupnya, dan
integrasi jelas sangat membantu perkembangan konsep dirinya sampai dia ingin melanjut ke perguruan tinggi.
Sedikit berbeda dengan informan kedua yang merasakan integrasi saat baru memasuki SMA, mengaku mengalami kesulitan saat pertama kali
disejajarkan dengan orang awas dan hanya bertemankan Timson pada saat itu. Sifatnya yang pemalu dan pendiampun menjadi hambatan untuknya dalam
bersosialisasi dengan orang awas. Sampai pada akhirnya dia pun menyadari, bahwa orang awaslah yang membantu dia menemukan jati dirinya dan
mengembangkan hobi bernyanyinya. Sehingga lama kelamaan diapun merasa nyaman hidup bersama orang-orang awas, sampai dia dapat menyelesaikan
jenjang sekolahnya di integrasi. Kesimpulannya faktor penghambat yang dirasakan Siska selama berintegrasi itulah yang justru membantunya dalam
mengembangkan konsep dirinya.
Selanjutnya pada informan ketiga, dilahirkan menjadi seorang tunanetra bukanlah sebuah kebetulan, tapi ini adalah rencana Tuhan baginya. Walaupun
Universitas Sumatera Utara
dulu dia sempat berpikiran bahwa itu sebuah kutukan. Dan jika sesuatu itu merupakan keputusan Tuhan, dia percaya itu pasti yang terbaik. Oleh
karenanya, meski sempat marah kepada Tuhan karena dia dijadikan seorang tunanetra, tapi saat dia masuk ke Yayasan dan berintegrasi, dia sangat bersyukur
dan bahagia karena dipilih menjadi tunanetra, karena itu adalah jalan yang Tuhan berikan untuk mencapai kesuksesan dalam hidupnya. Dimana dia tidak
beranggapan lagi bahwa orang awas adalah momok yang hanya bisa memanfaatkan orang tunanetra seperti dia. Dan sebentar lagi dia akan
mendapatkan gelar theologinya dan bercita-cita menjadi pendeta. Dan kesemuanya itu berawal dari persamaan hak sebagai seorang tunanetra yang harus
diwujudkan waktu dia berintegrasi. Pada kasus ini juga jelas terlihat bahwa konsep diri Lody terbentuk dan berkembang saat dia mengalami jatuh bangun di
integrasi.
Informan keempat merupakan seorang yang low vision, dimana dia juga sering mengalami kesusahan jika bersosialisasi dengan orang awas, tapi tidak
menjadi sebuah masalah yang besar baginya. Bahkan dia sangat dipercaya Robert teman tunanetra sekaligus teman integrasinya menjadi sahabat sejatinya saat
berintegrasi, diakarenakan Mesran yang low vision. Hampir serupa dengan informan kedua, Mesran sangat bersyukur bisa masuk ke integrasi, karena dengan
begitu dia dapat menyalurkan hobi olahraganya serta bermain musik serta dapat menunjukkan bahwa anak tunanetra juga mampu berprestasi. Sebagai yang low
vision, dia juga sangat bersyukur karena dapat membantu teman lain yang buta total untuk beraktivitas. Dan dia bercita-cita memiliki orangtua angkat yang bisa
menolong dia bersekolah hingga ke perguruan tinggi. Kesimpulan yang dapat
Universitas Sumatera Utara
ditarik dari informan keempat ini yaitu karena integrasilah dia dapat mengembangkan bakatnya dan membantunya dalam mengembangkan konsep
dirinya. Hampir sama dengan informan keempat, Robert mengaku tidak
menemukan kesulitan ataupun hambatan yang sulit. Karena Robert sudah lama menyandang tunanetra, jadi dia merasa tidak perlu disesali atau hanyut dalam
penderitaan, dia mau hidupnya di bawa enjoy saja. Harus bisa bangkit dan lebih baik lagi dari sekarang. Kalaupun ditemukan kesulitan khususnya dalam hal
belajar, paling dia meminta bantuan dengan teman sebangkunya. Tapi integrasi baginya sangat menyenangkan karena dia menemukan banyak teman selain anak
tunanetra juga. Kesimpulannya, integrasi juga dapat membantu pembentukan serta perkembangan konsep dirinya.
Hasil Wawancara Informan Tambahan 1 Wali kelas
Informan selanjutnya adalah wali kelas Timson dan Siska, sekaligus guru mata pelajaran ekonomi. Peneliti mewawancarai Ibu T. Turnip, yang merupakan
wali kelas 12 IPS 1. Peneliti menanyakan tentang proses komunikasi anak tunanetra yang berintegrasi di RK Serdang Murni Lubuk Pakam. Bagaimana
sistem belajar, metode yang digunakan serta pelatihan khusus yang dilakukan pihak pengajar untuk mengajar anak tunanetra. Ibu Turnip mengatakan bahwa
sistem belajar yang digunakan disamaratakan dengan anak yang awas. Dan tidak ada metode serta pelatihan khusus yang digunakan. Imajinasi serta kesabaran
gurulah yang terpenting saat mengajar anak tunanetra, karena tidak diperlukan
Universitas Sumatera Utara
body language saat mengajar mereka, tapi ucapan berupa komunikasi yang jelas dan pengarahan lebih spesifik yang sangat bermanfaat.
“Disini kami ada membuat les setelah kelas 3 semester ganjil, khusus untuk tunanetra dalam bidang ekonomi dan bahasa inggris serta TIK Teknologi
Informasi Komunikasi. Pelajaran khusus seperti fungsi penawaran dan fungsi permintaan dalam pelajaran ekonomi misalnya, hukum permintaan ekonomi,
misalnya saya katakan tangan kanan harga, tangan kiri permintaan. Hukum permintaan itu jika harga naik, maka permintaan turun, jadi jika tangan kanan
ke atas tangan kiri ke bawah. Lalu saya bilang lagi, kalo harga naik permintaan turun dan sebaliknya kalo harga turun maka permintaan naik.
Turunkan tangan kanan naikkan tangan kiri, jadi sistem belajarnya diikuiti dengan gerakan. Kalau pelajaran yang menggambar, misalnya kurva saya
ajarkan saya pegang langsung tangan mereka, istilahnya libatkan dengan tubuh mereka, karena bagi anak tunanetra sentuhan itu sangat mujarab
ketimbang hanya kata-kata. Syukur mereka nangkap kok, jadi di les sore itulah mereka banyak belajar. Jadi kalau di kelas pagi gak ada pembedaan
dengan teman-temannya orang awas, karena kan gak mungkin saya khusus mengajari mereka, bisa-bisa gak maksimal waktu mengajar yang telah
ditentukan. Kalo pagi mereka ketinggalan, waktu sore lah diulang. Gak ada pelatihan khusus juga, tapi mau direncanakanlah kami guru-guru belajar huruf
braille. Kami disini pakai ilmu berpikir aja, kesabaran juga. Terus dalam proses belajar libatkan mereka dalam menjawab pertanyaan, biar mereka
merasa tidak dikucilkan, ajak aktif dalam diskusi. Kawan sebangku mereka, saya yang tentukan, kadang ga smua murid mau, kadang ada yang merasa bisa
terganggu manakala yang tunanetra nanya terus-terusan. Kalo soal membuat pertanyaan mereka lebih aktif karena memang yang ga melihat lebih pengen
banyak tau dari pada yang awas, Timsonlah itu salah satunya. Kalo kawan- kawan awas yang agak sirik dengan prestasi mereka yang lebih, saya
nasehatinlah, mereka aja yang tunanetra punya semangat yang tinggi masa kalian yang awas enggak, gitu saya bilang. Orang Timson gak ada yang dapat
juara kelas, tapi bagus-baguslah nilai-nilainya. Terus untuk membangkitkan minat belajar mereka biasa saya beri motivasi dan seperti yang saya bilang
tadi, libatkan mereka untuk menjawab setidaknya aktif dalam kelas dan itu juga saya bilang ke guru-guru pelajaran lain, agar mereka membuat sama yang
saya buat.”
2 Guru Matematika
Untuk pelajaran berhitung, bagi anak tunanetra merupakan suatu hal yang dapat dikatakan sulit. Terbukti bahwa sampai sekarang belum ada anak tunanetra
yang berintegrasi masuk ke jurusan IPA. Dikarenakan banyak praktek dan masuk ke laboratorium, yang lebih banyak mengandalkan penglihatan. Guru matematika
Universitas Sumatera Utara
yang ditemui di kantor gurupun mengatakan hal yang sama dalam proses belajar mengajar anak tunanetra. Tidak ada pelatihan khusus untuk mengajar mereka,
guru matematika menegaskan paling perlu adalah kesabaran dan mampu membawa mereka untuk dapat mengerti apa yang di ajarkan. Sejauh ini kalau di
antara mereka ada yang kurang mengerti, biasanya beliau menyuruh menunggu sebentar di kelas setelah selesai ajar mengajar, jadi ada waktu beberapa menit agar
anak yang tunanetra mau bertanya mana tau ada yang kurang puas ketika di dalam kelas. Dan biasanya itu berhubungan dengan topik menggambar.
“Yang pasti kawan sebangku mereka bisa diandalkan, karena memang gak mungkin satu-satu saya ajarkan mereka dengan khusus. Lagian pelajaran
matematika dasar kok bagi mereka yang IPS, tidak terlalu sulit, mengenai daerah arsiran atau kurva paling yang mereka agak susah, karena
menggambar. Kalau yang itu maulah kadang-kadang saya dekati mereka dan membantu mereka sedikit-sedikit. Terus ada saya sisakan beberapa menit
untuk mereka yang kurang puas ketika di dalam kelas, tentunya setelah proses mengajar berakhir. Tapi menurut saya yang sudah masuk ke integrasi ini
memang yang sudah layak dan tidak biasa, buktinya mereka mampu melewatinya dan saya salut akan hal itu.”
3 Bidang Kurikulum
Informan berikut merupakan yang mengetahui seluk beluk mengapa sekolah mau menerima anak tunanetra, walaupun beliau tidak kepala sekolah, tapi
dari beliaulah sumber informasi. Dikarenakan Kepala Sekolah tidak ada di tempat, Bapak Robinson Sitorus yang menangani bidang kurikulum mewakili untuk
wawancara mengenai hal-hal yang berkaitan dengan anak tunanetra yang berintegrasi di SMA RK Serdang Murni Lubuk Pakam. Diantaranya mengenai
undang-undang atau aturan yang memperbolehkan anak berkebutuhan khusus bersekolah di sekolah umum. Lalu syarat yang memperbolehkan anak tunanetra
Universitas Sumatera Utara
bersekolah di integrasi, serta dukungan finansial dari Dinas Pendidikan Daerah untuk anak tunanetra yang bersekolah di integrasi.
Pak Sitorus mengatakan tidak ada undang-undang atau aturan khusus yang memperbolehkan anak berkebutuhan khusus bersekolah di integrasi, karena pada
dasarnya setiap anak berhak mendapatkan pendidikan dan itu merupakan hak serta kewajiban seorang anak untuk belajar dan memperoleh pendidikan, yang tertera
dalam undang-undang dasar. Jadi pihak sekolah maupun dinas pendidikan sama sekali tidak ada mengeluarkan undang-undang serta aturan khusus bagi tunanetra
untuk dapat bersekolah di umum. Hanya saja mungkin di sekolah-sekolah tertentu saja yang menerima anak berkebutuhan khusus untuk belajar di integrasi, dan itu
semua tergantung kerjasama yang dilakukan oleh pihak Yayasan anak berkebutuhan khusus dengan guru-guru yang bisa mengerti akan kepribadian anak
tersebut sehingga dapat suskes dalam berintegrasi. “Mengenai undang-undang atau aturan khusus untuk tunanetra sebenarnya
tidak ada. Karena kan jelas di undang-undang dasar setiap anak berhak mendapatkan pendidikan yang layak. Sejak dari dulu uda memang ada
tunanetra di sekolah ini, 2001 saya kerja disini uda ada kok tunanetra. Dulu tidak ada sekolah umum yang mau menerima mereka, cuma sekolah
ini dulu SMAnya dan SMPnya cuma SMPN 2 itu lah. Tapi sekarang sudah ada beberapa sekolah, diantaranya SMPN 2 L.Pakam, SMP Trisakti
L.Pakam, serta SMA-SMAnya juga uda banyak, baik negeri maupun swasta. Sekolah lain yang menerima anak tunanetra, setelah melihat dari
sinilah mulai menerima”. Seperti yang dikatakan di atas, bahwa syarat anak berkebutuhan khusus
dapat diterima di sekolah integrasi, terletak pada kerjasama dengan pihak Yayasan yang bersangkutan. Dimana ada nilai standard yang diberikan oleh pihak Yayasan
bagi anak tunanetra dan disetujui oleh sekolah. Agar tidak terjadi kerancuan dan dapat meyakinkan pihak sekolah kalau anak tersebut layak di integrasi. Kerjasama
antara pihak Yayasan anak berkebutuhan khusus dan pihak sekolahlah yang
Universitas Sumatera Utara
terpenting disini. Kesimpulannya pihak Yayasan harus punya jaminan bagi anak yang dikirimnya untuk berintegrasi dengan standard nilai yang telah ditentukan.
Dan memang harus rajin datang ke sekolah untuk memantau perkembangan anak tunanetra tersebut.
“Menerima anak tunanetra di sekolah ini gampang-gampang susah sebenarnya ya, sewaktu pertama kali mereka mendaftar kita tanya dulu
bagaimana cara mengajarnya pada pihak Yayasanguru integrasi yang ikut mereka bilang sama aja kayak biasa. Cara belajarnya mereka tulislah
ke braille. Kalau tiba ujian, misalnya pada kelas 2 dibagikan soal dan mereka menjawab dengan braille, jadi untuk mengetahui jawaban mereka,
dipanggillah kelas 1 yang tunanetra juga untuk membacakan, kita sebagai pemberi soal sekaligus pemeriksa jawaban hanya mendengar,
begitu sebaliknya untuk kelas 1 dan 3 atau rokerlah istilahnya. Lalu untuk Ujian Nasional, ketika ujian dipanggil guru integrasi yang telah ditentukan
Yayasan, jadi masing-masing anak ada pendamping, siswa yang menulis jawaban di kertas kecil dengan braille lalu guru pendamping tadi yang
memindahkannya ke lembar jawaban asli dengan membulati. Jadi harus memang ada yang betul-betul mengerti. Untuk pelajaran sendiri
kendalanya paling di IPA, karena adanya laboratorium, padahal kalo dari segi kemampuan ada sebenarnya yang bisa ke IPA. Tapi sejauh ini
memang belum ada yang pernah di IPA. Kendala guru-guru kalo ngajar yang sering saya dengar, mengenai media gambarlah, kayak ekonomi dan
diagram.”
Ditanyai mengenai dukungan finansial dari Dinas Pendidikan daerah untuk anak berkebutuhan khusus yang bersekolah di sekolah umum, Pak Robinson
mengatakan dari dulu belum pernah ada dukungan seperti itu, tapi belakangan sudah ada dan pertama kalinya tahun ini, langsung dari pusat, dari Jakarta.
Dukungan finansial itu berupa mesin tik, printer Braille dan beberapa alat rekam yang bisa dipergunakan anak tunanetra.
“Dukungan finansial selama ini gak ada tapi akhir-akhir ini, tahun inilah untuk pertama kali, langsung dari pusat, Jakarta. Diantaranya mesin tik,
alat printer untuk braille, dan alat rekam lain. Yang sistem print Braille itu dengan cara scan buku lalu langsung printkan ke mesin Braille. Dapatnya
pun kemarin secara kebetulan, jadi ceritanya ada siswa kita 4 orang, 2 orang dari SMPN 2, jadi ijasah mereka umum, sedangkan 2 lagi di intern
tunanetra, jadi izasah mereka tulis tangan ijasah pendidikan luar biasa, jadi pas diajukan ke pusat daftar Ujian Nasional ditolak yang 2 ini oleh
Universitas Sumatera Utara
pusat yang tulis tangan ijasahnya, kenapa berbeda ijasahnya, karena tunanetra, baru mereka tau bahwa sekolah ini ada menerima murid
tunanetra. Padahal asal UN Bupati sering berkunjung tapi gak ada bantuan dari pemerintah setempat. Bapak Kepala Sekolah sudah 3x di undang ke
Solo untuk seminar atau diklat mengenai anak berkebutuhan khusus ini. Rencana ada pengajaran braille untuk guru-guru tapi belum jadi-jadi
sampai sekarang.”
Berdasarkan hasil pengamatan dan wawancara diatas, untuk mempermudah menganalisis data yang telah didapat, maka peneliti
mengklasifikasikan jawaban-jawaban para informan berdasarkan tujuan penelitian yang diberikan ketika wawancara, berikut uraiannya :
Klasifikasi Tabel sesuai Tujuan Penelitian
NO INFORMAN TUJUAN PENELITIAN
HASIL
1.
TIMSON
1. Proses Komunikasi
Kelompok dalam mengembangkan
konsep diri
2. Faktor Pendukung
Komunikasi Kelompok dalam mengembangkan
konsep diri
3.
Faktor Penghambat Komunikasi Kelompok
dalam mengembangkan konsep diri
• mendekatkan diri
secara perlahan, mau bergaul,
menunjukkan kalau mampu
berintegrasi IQ lebih dari yang
normal
• merasa memiliki
teman yang lengkap normal
tunanetra jadi dapat berbagi
pengalaman, humoris dan
motivasi dari yayasan.
•
Dalam hal komunikasi tidak
bisa melihat lawan bicara dalam hal
belajar akuntansi dan menggambar
Universitas Sumatera Utara
2.
SISKA
1. Proses Komunikasi
Kelompok dalam mengembangkan
konsep diri
2. Faktor Pendukung
Komunikasi Kelompok dalam mengembangkan
konsep diri
3. Faktor Penghambat
Komunikasi Kelompok dalam mengembangkan
konsep diri
• kurang pintar
bergaul, karena baru merasakan
integrasi saat SMA
• memiliki teman
sebangku yang membantunya
mengembangkan bakatnya
• pemalu pada orang
yang belum dikenal, saat ujian
pertama kali, bingung dengan
sistem yang beda dengan SMPLB
3.
LODY
1. Proses Komunikasi
Kelompok dalam mengembangkan
konsep diri
2. Faktor Pendukung
Komunikasi Kelompok dalam mengembangkan
konsep diri
3. Faktor Penghambat
Komunikasi Kelompok dalam mengembangkan
konsep diri
• Dulu tidak ada
niatan di integrasi, ingin mewujudkan
hak anak tunanetra, dulu beranggapan
orang normal menjadi momok
menakutkan
• Motivasi dari orang
normal, nilai yang tinggi, orang
normal yang mengandalkan
kemampuannya
•
Dulu latar belakang kebutaan yang
membuat tidak mau bergaul,
ditolak saat PKL,
4.
MESRAN
1. Proses Komunikasi
Kelompok dalam mengembangkan
konsep diri
2. Faktor Pendukung
Komunikasi Kelompok
• Dari SD berusaha
nilai bagus agar bisa berintegrasi,
banyak kawan.
• Sama seperti Siska
orang normal yang membantunya
Universitas Sumatera Utara
dalam mengembangkan konsep diri
3. Faktor Penghambat
Komunikasi Kelompok dalam mengembangkan
konsep diri
mengembangkan bakat, bisa bantu
kawan yang buta total karena dia
seorang low vision
• Dalam hal belajar,
tapi tidak ada faktor penghambat
yang terlalu berarti.
5.
ROBERT
1. Proses Komunikasi
Kelompok dalam mengembangkan
konsep diri
2. Faktor Pendukung
Komunikasi Kelompok dalam mengembangkan
konsep diri
3. Faktor Penghambat
Komunikasi Kelompok dalam mengembangkan
konsep diri
• Merasa enak di
integrasi banyak kawan, teman
sebangku ditentukan guru
• Ada Mesran, teman
satu asrama sekaligus integrasi
yang selalu menemaninya
• Sama dengan
Mesran dan informan pertama
dan kedua dalam hal belajar.
IV. 3. Pembahasan
Dari pengamatan peneliti, maka dapat dianalisis pembahasan sebagai berikut:
Dari kelima informan tersebut maka peneliti membuat pembahasan yang dikaitkan dengan tujuan dari penelitian ini sendiri, yakni untuk mengetahui proses
komunikasi kelompok dalam pengembangan konsep diri anak tunanetra yang
Universitas Sumatera Utara
bersekolah di sekolah umum, untuk mengetahui faktor-faktor yang mendukung komunikasi kelompok dalam pengembangan konsep diri anak tunanetra yang
bersekolah di sekolah umum dan untuk mengetahui faktor-faktor penghambat komunikasi kelompok dalam pengembangan konsep diri anak tunanetra yang
bersekolah di sekolah umum.
Proses komunikasi kelompok informan saat berintegrasi dapat disimpulkan bahwa informan yang berintegrasi memang harus berjuang penuh
untuk dapat dengan sukses mengembangkan konsep dirinya. Karena mereka butuh waktu untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan yang sama sekali berbeda.
Waktu penyesuaian diri ini pasti sangat mempengaruhi psikologis yang berujung pada prestasi belajar mereka. Namun, seiring berjalannya waktu, para informan
tentu sudah dapat menyesuaikan diri, dan bertambah baik pula prestasi belajar mereka. Dan dapat disimpulkan bahwa proses tersebut membawa mereka pada
individu yang dewasa. Memang seorang tunanetra perlu meluaskan pengalaman dan bergaul seluas-luasnya dengan orang normal, karena memang pada
akhirnya mau tidak mau, suka atau tidak suka, tunanetra akan hidup bersama- sama dengan orang awas. Dan yang terpenting lagi adalah ketika seorang siswa
tunanetra sudah memutuskan untuk mengikuti pendidikan integrasi, dia juga harus berani mempertanggungjawabkan apa yang telah didapatnya pada
masyarakat, yaitu dengan berani bekerja di tempat umum. Banyak siswa tunanetra yang belajar di sekolah umum, tapi ketika kuliah, mereka tetap saja
memilih jurusan alternatif seperti jurusan Pendidikan Luar Biasa PLB, karena kuliah di jurusan PLB mudah dan cepat lulus. Di samping itu mereka ingin
setelah lulus bisa mengajar di SLB. Atau ada juga yang kuliah di jurusan umum,
Universitas Sumatera Utara
tapi mereka tidak mau mencari peluang kerja di tempat umum. Tetap saja mereka ingin mengajar di SLB atau di panti-panti tunanetra.
Para Informan yang telah merasakan berintegrasi tentu merasakan adanya perubahan dalam dirinya dan itu berujung pada pengembangan konsep diri
mereka. Ada beberapa hal yang dapat mendukung perkembangan konsep diri informan, diantaranya mereka menyadari bahwa orang normal sangat berpengaruh
dalam perkembangan mereka dan tidak sematamata hanya sebagai momok yang menakutkan atau memanfaatkan tunanetra. Karena ketika informan yang sudah
masuk ke dunia integrasi mau tidak mau mereka harus bersosial, inilah yang disebut dengan kelompok, dimana ada sekumpulan orang yang mempunyai tujuan
bersama yang berinteraksi satu sama lain untuk mencapai tujuan bersama, mengenal satu sama lainnya, dan memandang mereka sebagai bagian dari
kelompok tersebut. Kelompok ini misalnya adalah keluarga dan kelompok diskusi. Para informan yang menyadari pentingnya komunikasi kelompok dalam
mengembangkan konsep diri mereka selama berintegrasi, membuat mereka memahami cara bersosialisasi dengan baik, tidak minder, menjaga kepercayaan
serta saling membantu baik sesama penyandang tunanetra maupun orang awas, karena sifat manusia yang tidak bisa hidup sendiri sosial, agar komunikasi
kelompok mereka tetap dapat berjalan dengan baik dan tanpa disadari membantu mengembangkan konsep diri mereka.
Selain faktor pendukung yang dirasakan informan, mereka tetap menemukan faktor penghambat dalam berkomunikasi terlebih komunikasi
kelompok, meskipun mereka telah menerima pembekalan orientasi dan mobilitas
Universitas Sumatera Utara
sekaligus telah lama menyandang tunanetra. Seorang tunanetra akan mampu berintegrasi dengan masyarakat apabila ia terampil dalam Orientasi dan Mobilitas.
Integrasi artinya menyatu menjadi satu kesatuan. Integrasi akan bisa terjadi apabila tunanetra dapat mengambil haknya di masyarakat dan memberikan
kewajibannya kepada masyarakat. Dan sebaliknya, masyarakat akan bisa berintegrasi dengan tunanetra apabila ia dapat memahami dan menghargai
tunanetra sebagai manusia yang punya hak dan kewajiban. Di bayangi rasa ketakutan untuk bersosialisasi dengan orang awas, dapat juga memberi pengaruh
besar dalam komunikasi kelompok yang mereka jalani selama berintegrasi dalam mengembangkan konsep diri mereka. Terkadang, para informan masih
membutuhkan peranan kedua matanya untuk melihat ekspresi lawan bicara atau bahkan melihat kejadian sekeliling mereka.
Dari wawancara mendalam peneliti dengan lima informan yang berintegrasi mengenai proses komunikasi kelompok dalam mengembangkan
konsep diri, maka teori yang sesuai dengan hasil jawaban masing-masing informan berbeda-beda. Pada informan pertama menggunakan teori pembukaan
diri self disclosure, dimana informan pertama mampu membuka dirinya untuk dapat bergaul dengan orang lain dan bahkan menjadi tempat curhat bagi teman-
temannya karena dia mampu menyesuaikan diri dengan lingkungan oleh karena itu dia juga diterima oleh lingkungan. Pada informan kedua lebih kepada teori
interaksi simbolik yaitu individu mengembangkan konsep diri melalui interaksi dengan orang lain, dimana informan kedua mendapatkan semangat dan motivasi
untuk bangkit dari rekan sebangkunya yang menyemangatinya untuk mengembangkan hobinya. Sedangkan informan ketiga masuk ke teori penetrasi
Universitas Sumatera Utara
sosial yang berhubungan dengan prinsip pertukaran sosial, yaitu dalam bentuk penghargaan dan pengorbanan. Dimana dia merasa ada timbal balik saat dia
berintegrasi, penghargaanreward yang dia rasakan saat dia mampu membantu temannya yang normal dan dipercaya dapat mengemban tanggung jawab yang
hampir sama dengan orang normal, lalu pengorbanan yang dirasakannya ketika perjuangannya yang panjang untuk dapat PKL di sebuah Gereja dan akhirnya
diakui oleh masyarakat walau dalam waktu lama. Ini menujukkan bahwa dia mendapat pengalaman hubungan yang positif. Informan keempat hampir sama
dengan informan kedua yaitu menggunakan teori interaksi simbolik tepatnya tema dan asumsi kedua, yaitu pentingnya konsep diri. Dimana
individu-individu mengembangkan konsep diri melalui interaksi dengan orang lain dan konsep
dirilah yang memberikan motif penting untuk berperilaku. Orang lainlah yang membantunya dalam mengembangkan bakatnya. Karena informan keempat
menyadari pentingnya punya cita-cita atau impian dalam hidupnya dan itu bisa dia wujudkan dengan bantuan orang normal. Selanjutnya pada informan terakhir
hampir sama dengan keempat, mengandalkan orang normal dan selalu bersama dengan Mesran teman satu asrama sekaligus integrasi.
Jadi seyogiyanya, anak tunanetra hendaknya mampu mengabdikan dirinya untuk masyarakat sama seperti orang normal. Jadi biar tidak percuma mereka
telah berintegrasi dan dibekali orientasi dan mobilitas kalau toh akhirnya balik lagi ke dunia tunanetra dan menjadi sia-sia ilmu yang telah didapat saat
berintegrasi. Bukan berarti mereka tidak boleh mengabdikan diri pada teman- teman mereka yang senasib. Tapi seharusnya mereka berusaha dulu
untuk menunjukkan pada masyarakat bahwa tunanetra pun punya kemampuan
Universitas Sumatera Utara
untuk bekerja dan berkarya bersama-sama mereka. Namun apabila Tuhan menghendaki mereka yang mengalami tunanetra mengabdikan diri kepada sesama
tunanetra, itu soal lain.
Universitas Sumatera Utara
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN