sejarah Jawa. Perkembangan ini pada gilirannya membuka jalan bagi proses transformasi budaya melalui gerakan penerjemahan kitab Mahabrata dan Ramayana
dari bahasa Sansekerta ke dalam bahasa Jawa Kuno. Oleh karena golongan cendikiawan sendiri yang aktif dalam penyebaran unsur-unsur Hinduisme, maka
golongan cendikiawan Jawa menjadi kaum bangsawan priyayi, yang pada akhirnya ajaran Hindu-Budha mengalami proses Jawanisasi.
Kuntowijoyo mentransmisikan sosiohistoris tersebut pada tokoh ‘Ayah Satiyem’. Tokoh tersebut berpandangan bahwa agama apapun seorang baik itu Islam,
Kristen, Hindu, ataupun Budha harus tetap mempertahankan budayanya. Agaknya ini juga merupakan pemikiran Kuntowijoyo selaku budayawan yang tersirat melalui
novel tersebut. Ayahnya berpendapat bahwa orang bisa beragama apa saja : Islam-Kristen-
Budha, tetapi jangan lupa Jawanya. Jowo berarti tahu makna hidup WdS:45.
Sejak awal, budaya Jawa yang dihasilkan pada masa Hindu-Budha bersifat terbuka untuk menerima agama apapun dengan pemahaman bahwa semua agama itu
baik, maka sangat wajarlah jika kebudayaan Jawa bersifat sinkretis bersifat momot atau serba memuat.
7.1.2 Hubungan Manusia dengan Alam
Alam bukan lagi lingkungan yang asing bagi manusia karena dalam memperoleh pemahaman, keduanya merupakan jalinan kesatuan. Untuk memahami
tentang alam, ada dua komponen yang tergabung di sini yaitu, alam sebagai alam dan
Universitas Sumatera Utara
alam sebagai budaya. Alam sebagai alam adalah sebagaimana ditentukan dalam pengalaman langsung, alam yang telah menghadirkan dan mendahului pemahaman.
Namun, alam yang masuk ke dalam pemahaman itu adalah alam sebagaimana tertepis oleh cakrawala yang terikat pada sejarah kehadiran pemahaman itu sendiri, dan
membentuk alam sebagai budaya. Alam sebagai budaya adalah alam sebagai kumpulan gagasan yang
menunjukkan proses penyelidikan terus-menerus bagi landasan tindakan
pengetahuan. Alam ini adalah hasil upaya manusia untuk menghubungkan berbagai makna dalam pengalaman, dalam cara meneguhkan pengalaman-pengalaman yang
bernilai serta dengan melakukan penyelidikan dan pengujian untuk menentukan apa yang terbukti yang akan terus bernilai Leksono dalam Minsarwati, 2002:45.
Orang Jawa yakin bahwa manusia adalah bagian dari kodrat alam. Manusia dan kodrat alam senantiasa saling memengaruhi, sekaligus bahwa manusia harus
sanggup melawan kodrat untuk dapat mewujudkan kehendaknya, cita-citanya, ataupun fantasi hidupnya agar selamat sejahtera dan bahagia lahir batin. Hasil
perjuangan melawan kodrat berarti kemajuan atau pengetahuan bagi lingkungan atau masyarakatnya, maka terjalinlah kebersamaan yang disebut gotong-royong,
hormat-menghormati, tenggang rasa tepaselira, rukun, dan damai hingga mawas diri.
Menurut Minsarwati 2002:41 titik tolak hubungan manusia dan alam adalah kesatuan manusia dan alam semesta serta dunia yang dialami manusia, yang disebut
sebagai kosmologi. Menurut Bakker dalam Minsarwati 2002:43 manusia secara
Universitas Sumatera Utara
objektif tidak hanya merupakan bagian dari dunia saja, tetapi manusia mengetahui dirinya dan korelasinya dengan yang lain yang dihayati dalam dunia ini. Ini berarti
bahwa refleksi manusia atas dirinya sendiri secara konkret dan menyeluruh merupakan pula refleksi atas dunia. Jadi, dunia tidak dapat dipakai tanpa manusia.
Demikian juga sebaliknya, manusia dan dunia dapat saling mengimplikasikan.
a. Manusia yang Bersatu dengan Alam