tertentu. Orang yang menyalahgunakan tradisi tersebut, selamatan dijadikan sebagai alat untuk melancarkan usahanya semata.
b. Sesajen
Tradisi sesajen sajen dijadikan sebagai sarana ritual keagamaan untuk memohon restu nenek moyang. Dalam ritual ini, fungsi roh nenek moyang dianggap
sebagai ‘pengemong’ dan pelindung keluarga yang masih hidup. Dalam lakon wayang, ruh nenek moyang dipersonifikasikan dalam bentuk ‘punakawan’. Agama
asli mereka adalah apa yang oleh antropolog disebut ‘religion magic’ dan merupakan sistem budaya yang mengakar kuat dalam masyarakat Indonesia, khususnya
masyarakat Jawa. Sajian terdiri dari berbagai jenis makanan dalam jumlah yang sangat kecil,
yang antara lain terdiri dari nasi tumpeng, berbagai jenis panganan, rempah-rempah, bermacam-macam benda kecil yang diatur di atas sebuah pinggan kecil yang terbuat
dari sebuah bambu acak. Orang-orang desa selalu meletakkan sajen di sudut-sudut petak sawah pada
saat-saat kritis dalam siklus pertanian ; para keluarga petani di desa maupun orang kota meletakkannya di berbagai tempat di sekitar rumah, di halaman, dan di
persimpangan jalan, pada tiap hari Kamis malam malem Jemuwah. Perhatikan kutipan berikut.
Wasripin juga dikenal orang luar desa. Di sebuah desa ada rombongan penari jatilan alias kuda lumping. Sebelum bermain ketua rombongan …harus ada
restu danyang kuburan...Tapi restu bersyarat : danyang minta sajen…kembang menyan setiap malem Jum’at WdS:112.
Universitas Sumatera Utara
Keberadaan roh dan kekuatan-kekuatan gaib dipandang sebagai Tuhan yang dapat menolong ataupun sebaliknya dapat mencelakakan. Oleh karena itu, Smith
Sani, 2008:2 menyatakan bahwa upacara religi yang biasa dilakukan masyarakat pada waktu itu berfungsi sebagai motivasi, yang dimaksudkan tidak hanya untuk
berbakti kepada dewa ataupun mencari kepuasan batin yang bersifat individual saja, tetapi juga karena mereka menganggap melaksanakan upacara agama adalah bagian
dari kewajiban sosial.
c. Penamaan Anak Orang Jawa dalam mengungkapkan tentang suatu kepercayaan juga selalu
memperhitungkan hari-hari baik. Orang Jawa mengenal adanya perputaran musim yaitu, waktu selama lima hari yang disebut hari pasaran. Hari pasaran tersebut yakni,
Legi, Pahing, Pon, Wage, dan Kliwon. Kemudian perputaran waktu selama tujuh hari yang disebut Saptawaca yaitu: Senin, Selasa, Rabu, Kamis, Jum’at, Sabtu, dan
Minggu. Sistem yang dipergunakan dalam pasaran atau disebut Pancakara, berhubungan dengan mitologi Hindu yang mengatakan bahwa Batara Guru sewaktu
memerintah dunia untuk pertamakalinya telah membagi dunia menjadi lima bagian yaitu: Timur, Barat, Utara, Selatan, dan Tengah. Bagi orang Jawa hari Selasa Kliwon
dan Jum’at Kliwon dianggap sebagai hari sakral karena pada hari-hari itu banyak makhluk halus yang keluar mencari makan atau sesaji yang disediakan manusia.
Realitas budaya Jawa saat pemberian nama pada anak tergambar melalui tokoh Satinah. Orang tua Satinah berulang-ulang mengganti nama anaknya karena
Universitas Sumatera Utara
dianggap kurang serasi memakai nama tertentu. Ada kepercayaan bahwa nama menentukan nasib si anak kelak. Mistifikasi nama akan berpengaruh pada pemilihan
jodoh karena huruf pertama dari nama diyakini dapat menentukan jodoh-tidaknya pasangan. Mistifikasi kelahiran dapat dilihat pada perhitungan soal neptu.
Kalau laki-laki namanya Walino, kalau perempuan Waliyem…Wali artinya orang suci, penyebar agama Islam di Jawa…Pekerjaan paling sulit, memilih
nama itu pun selesai…nama Waliyem terlalu berat untuk orang gunung seperti dia…karenanya nama harus serba baik. Sati itu bahasa Hindu, artinya
setia WdS:42-43.
Kecenderungan sikap tersebut disebabkan karena masyarakat Jawa sebagian besar adalah petani pedesaan rural peasant yang memiliki ketergantungan dan
kedekatan dengan alam. Oleh masyarakat tradisional mengakibatkan munculnya anggapan bahwa perubahan harus dapat diamati dengan jelas. Perubahan harus
melalui siklus yang telah mapan, di luar siklus itu perubahan bisa berakibat terjadinya ketidakselarasan disharmoni dan ketidaksinambungan diskontiniusitas kosmos,
yakni kosmos yang dicita-citakan das sollen, bila kenyataan memang belum mencapai keadaan yang diinginkan adalah perkara lain. Untuk itu diperlukan mitos
sebagai upaya legitimasi terhadap keadaan berkeseimbangan yang tidak berubah status quo, dan mungkin sebagai apologi kegagalan mereka mencapai keadaan yang
dicita-citakan. Mitos pada dasarnya merupakan sikap pandang yang terbentuk secara empiris, terhadap berbagai fenomena kehidupan dan alam. Mitos merupakan media
yang mengakomodasikan harapan das sollen dan kenyataan das sein , sekaligus sebagai pengatur regulator perilaku masyarakat dan anggotanya. Terkait dengan
Universitas Sumatera Utara
perubahan, masyarakat Jawa bisa menerima dengan perlahan, tanpa paksaan dan berbenturan dengan nilai-nilai paling esensi.
d. Pengkultusan Orang