meliputi antara lain selamatan atau wilujengan, melakukan upacara-upacara keagamaan dan perbuatan keramat. Mengenai selamatan dikenal ada bermacam-
macam bentuk. Hal tersebut selalu berkaitan dengan kelahiran, kematian, dan pemujaan terhadap roh-roh nenek moyang.
Wujud sikap kosmologis masyarakat Jawa ini pun terlihat melalui tradisi slametan, sesajen, pengkultusan orang, penamaan anak, dan ritual sowan dan
ruwatan yang dijelaskan sebagai berikut.
a. Slametan
Hal yang menonjol dari masyarakat Jawa adalah kuatnya ikatan solideritas sosial dan hubungan pertalian darah. Dalam masyarakat Jawa, pendewaan dan
pemitosan terhadap roh nenek moyang melahirkan penyembahan terhadap roh tersebut ancestor worship yang pada akhirnya melahirkan hukum adat dan relasi-
relasi pendukungnya. Dengan upacara-upacara selamatan roh nenek moyang menjadi sebentuk dewa pelindung bagi keluarga yang masih hidup.
Ritus ritual sentral orang Jawa, khususnya Jawa Kejawen, adalah slametan, suatu perjamuan makan seremonial sederhana; semua tetangga harus diundang dan
keselarasan di antara para tetangga dengan alam raya dipulihkan kembali. Pada acara ini terungkap nilai-nilai yang dirasakan paling mendalam oleh orang Jawa, yaitu nilai
kebersamaan, ketetanggaan, dan kerukunan. Sekaligus menimbulkan perasaan kuat bahwa semua warga desa adalah sama derajatnya satu sama lain, kecuali ada yang
memiliki kedudukan yang lebih tinggi.
Universitas Sumatera Utara
Ritus selamatan sebagai sebuah awal kerja besar pada hakikatnya merupakan manifestasi pengakuan pada permohonan dan pemuliaan terhadap Yang Menciptakan
Jagad. Pengakuan dan permohonan sampai pemuliaan tersebut, sesuai dengan tradisi kuno nenek moyang, akhirnya merupakan penjelmaan simbol konkretisasi tindakan.
Oleh karena itu, ritus selamatan ibarat surat ijin formal. Ritus selamatan itu pula, dalam berbagai bentuk dan tujuan, dilakukan oleh
banyak anggota etnik di Indonesia – kelahiran, pernikahan, kematian, yang masing- masing dianggap tidak cukup hanya diselamati satu dua kali – pada gilirannya
menyematkan identitas dan predikat bahwa bangsa Indonesia diasuh dan ditayang oleh tradisi budaya magis-mistis. Sedangkan preparasi yang dipakai ritus pastilah
bervariasi ragam dan modelnya, bergantung pada tradisi yang sudah diwariskan secara turun-temurun. Langkanya usaha melakukan riset, transkripsi, dan penerbitan
cetak pada era transformasi budaya tradisional dan modern akhir abad 20 mengakibatkan masalah yang berkaitan erat dengan budaya upacara hanya dihafal
oleh para pemuka komunitas etnik atau para lokal jenius dan cendikiawan setempat. Itulah sebabnya pada konteks kehidupan urban masa kini seluk-beluk yang
menyangkut tradisi ritual komunitas etnik tetap bernasib serba lisan. Tradisi slametan berakar dari budaya Jawa asli. Slametan berasal dari kata
slamet Arab : salamah yang berarti selamat, bahagia, dan sentosa. Slametan adalah kegiatan komunal Jawa yang biasanya digambarkan sebagai pesta ritual, baik upacara
di rumah maupun di desa, bahkan memiliki skala yang besar, mulai dari tedak siti upacara menginjak tanah, mantu perkawinan, hingga upacara tahunan untuk
Universitas Sumatera Utara
memperingati ruh penjaga. Dengan demikian, slametan memiliki tujuan akan penegasan dan penguatan kembali tatanan kultur umum. Di samping itu juga untuk
menahan kekuatan kekacauan tolak bala. Menurut Pamberton Mulder, 2005:89, praktik yang sarat dengan makna slametan tersebut dilaksanakan dengan maksud agar
dapat membangun kembali hubungan dengan roh, terutama dengan roh penunggu desa dhanyang .
Hal ini pun terlihat jelas dalam novel P, meskipun sudah berpikiran modern masyarakat Jawa masih saja memercayai tradisi tersebut. Perhatikan kutipan berikut.
Selamatan pasar baru Dan dia datang untuk itu Ikut bersenang bersama keruntuhan pekerjaannya Macam-macam pikirannya waktu makan...Setelah
selesai makan. Paijo baru sadar sungguh, ia orang asing di situ dan selamatan itu juga ditujukan untuk menyelamati bangkrutnya pasarnya P:57.
Novel P menggambarkan Kasan Ngali sebagai tokoh yang menghalalkan segala cara demi memuaskan nafsunya. Ia mendirikan pasar baru di depan rumahnya
untuk menyaingi pasar pemerintah yang dipimpin oleh Pak Mantri, yang pada akhirnya pasar saingannya itu bangkrut. Untuk merayakan berdirinya pasar baru
miliknya sekaligus merayakan kebangkrutan pasar pemerintah itu, Kasan Ngali mengadakan selamatan. Ia mengundang warga setempat, termasuk Paijo. Padahal
Paijo adalah pegawai pasar pemerintah dan orang kepercayaan Pak Mantri. Di dalam novel ini terjadi pergeseran fungsi dan pemahaman pada masyarakat
Jawa tentang selamatan. Selamatan yang awalnya ditujukan untuk niat yang baik dan untuk keselarasan seluruh makhluk di bumi berubah maknanya bagi orang-orang
Universitas Sumatera Utara
tertentu. Orang yang menyalahgunakan tradisi tersebut, selamatan dijadikan sebagai alat untuk melancarkan usahanya semata.
b. Sesajen