SEKTOR EKSPOR PERIKANAN INDONESIA MENGHADAPI REGULASI INTERNASIONAL MENGENAI STANDARISASI MUTU PRODUK EKSPOR

(1)

1 BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Dalam perdagangan internasional khususnya kajian mengenai ekspor-impor tidak dapat lepas dari perjanjian-perjanjian atau regulasi yang dilahirkan oleh organisasi internasional. Regulasi-regulasi yang disepakati dalam World Trade Organization (WTO) bersifat mengikat bagi negara-negara anggota WTO, termasuk Indonesia. Rezim perdagangan internasional telah melegalkan WTO menjadi satu-satunya lembaga dunia yang memiliki kredibilitas dalam mengatur perekonomian internasional. Berada di bawah organisasi PBB, kebijakan yang dihasilkan WTO seringkali hanya menguntungkan Negara-negara maju dan justru menghambat pertumbuhan ekonomi negera berkembang seperti Indonesia.

Salah satu yang menjadi sorotan adalah regulasi mengenai standardisasi mutu produk ekspor, termasuk didalamnya mutu manajemen perusahaan. Tujuan dari dari munculnya regulasi standardisasi ini pada dasarnya diarahkan sebagai unsur penunjang pembangunan. Standardisasi mempunyai peranan penting dalam usaha mengoptimalisasi pendayagunaan sumber daya dalam kegiatan pembangunan. Standardisasi berperan pula dalam menunjang kemampuan produksi khususnya peningkatan perdagangan internasional, serta pengembangan industri dan perlindungan konsumen. Indonesia yang merupakan bagian dari masyarakat internasional yang turut meratifikasi kerangka WTO ini, dengan sendirinya tunduk pada aturan perdagangan yang dimuat dalam kesepakatan tersebut. Untuk itu Indonesia tanpa tawar menawar, harus menyesuaikan peraturan perundang-undangannya dengan kerangka atau regulasi-regulasi dikeluarkan oleh WTO.1

Disisi lain, kebijakan standardisasi internasional justru menjadi hambatan dalam perdagangan internasional, khususnya bagi Negara berkembang dimana industri didominasi jumlahnya oleh industri kreatif yang dikelola secara swadaya.

1 Sutiarnoto MS, 2001, Tantangan dan Peluang Investasi Asing, Jurnal Hukum,Vol 6 No. 3, Agustus, hal. 271


(2)

2

Standardisasi masuk dalam kategori hambatan non tarif (nontariff barrier) yang oleh kalangan kritikus ekonomi internasional dianggap sebagai upaya negara untuk melindungi kepentingan ekonomi domestiknya terhadap produk-produk impor yang masuk ke negaranya. Kajian mengenai hambatan non tarif mengenai kebijakan standardisasi sampai detik ini masih sangat sering dikaji karena pengaruhnya yang berdampak pada penurunan angka ekspor bagi beberapa negara anggota WTO, khususnya negara berkembang, yang kesulitan memenuhi tingginya standardisasi pasar internasional. Kesimpulannya adalah standardisasi internasional memang diperlukan dalam perdagangan internasional selama tingkat standar yang disepakati memungkinkan untuk dapat dipenuhi oleh negara-negara anggota WTO lainya. Sebaliknya jika standar yang diberlakukan terlalu tinggi maka justru akan menghambat kegiatan perdagangan internasional suatu negara.

Konsekuensi keanggotaan dalam organisasi internasional sebelum mengesahkan suatu perjanjian internasional, yaitu: Pertama, Negara harus menerjemahkan atau mentransformasikan kewajiban dalam perjanjian internasional ke dalam hukum nasional. Ini berarti berbagai produk nasional yang bertentangan dengan ketentuan dalam perjanjian internasional wajib untuk diamendemen. Transformasi ini adalah untuk memastikan agar tidak ada ketentuan yang berbenturan (conflicting) antara hukum nasional atau domestik dengan perjanjian internasional yang telah diratifikasi. Kedua, konsekuensi yang harus diperhatikan adalah kewajiban negara memberikan laporan ke suatu lembaga yang ditentukan dalam perjanjian internasional. Dalam sejumlah perjanjian internasional yang bersifat multilateral terdapat kewajiban negara peserta untuk melaporkan kemajuan (progress) yang telah dilakukan. Sebelum meratifikasi perjanjian internasional perlu untuk diketahui kapasitas aparat penegak hukum.2

Berada dalam sebuah rezim perdagangan internasional, Indonesia dengan keangggotaannya di WTO tidak bisa tidak untuk ikut mengimplementasikan

2 Sadikin, 2010 Ratifikasi Perjanjian Internasional Dalam Kaitannya Dengan Program Legislasi


(3)

3

kebijakan yang dihasilkan oleh WTO, dalam hal ini terkait kebijakan standardisasi mutu produk ekspor. Dampak adanya legalitas kebijakan standardisasi adalah muncul persyaratan mutu yang terlalu tinggi yang dikehendaki negara pengimpor, jumlah dengan mutu yang tidak memenuhi quota, persaingan internasional, perubahan harga yang terlalu cepat, pemasaran tidak langsung yang merugikan negara produsen, adanya proteksi di negara pengimpor dan batas quota dan penolakan komoditas ekspor atau claim oleh negara pengimpor.3 Hal ini tentu sudah menjadi kalkulasi maupun pertimbangan yang

serius oleh pemerintah Indonesia sebelum meratifikasi kebijakan standardisasi dan mengintegrasikannya dalam sistem standar domestik.

Salah satu maksud dibalik penerapan standardisasi mutu adalah untuk meningkatkan kualitas produksi dengan memanfaatkan teknologi sehingga produk yang dihasilkan dinilai lebih aman bagi konsumen. Dalam poin inilah pemerintah Indonesia meyakinkan diri sendiri akan mampu mengikuti segala bentuk konsekuensi yang muncul pasca diratifikasinya kebijakan standardisasi. Sebagai Negara produsen, Indonesia harus memfasilitasi industrinya dengan mesin-mesin produksi yang layak untuk dapat memenuhi standar yang diinginkan pasar.

Menjadi tugas yang tidak mudah bagi Negara-negara berkembang untuk secepatnya merealisasikan hal ini mengingat keterbatasan sumber daya yang dimiliki. Lebih jauh lagi hal ini memungkinkan masuknya investor asing dari Negara maju untuk menanamkan modalnya pada sektor-sektor industri di Negara berkembang. Pada akhirnya muncul ketergantungan Negara berkembang pada Negara maju. Rezim perdagangan internasional yang dimotori oleh WTO melalui kebijakan-kebijakan yang dihasilkan seolah menguatkan ketergantungan Negara-negara berkembang terhadap Negara industri maju.

Standardisasi yang disepakati dalam WTO pada dasarnya bukan kebijakan yang baru dikaji dalam beberapa tahun terakhir, namun kebijakan ini telah banyak dibicarakan sejak tahun 1960an dimana saat itu WTO masih bernama GATT

3Standar Mutu dan Tantangan Keberhasilan FTA, http;//www.fajarpos.com/berita/ekonomi.htm, diakses pada tanggal 2 September 2016


(4)

4

(General Agreement on Tarriffs and Trade). Artinya bahwa tuntutan standar

internasional telah muncul sejak lama. Jika melihat pada upaya pemerintah Indonesia mengatur mutu produk ekspor baru pada awal tahun 2000 muncul kesungguhan untuk mengelola standardisasi nasional. Jelas sebagai sebuah keterlambatan yang hasilnya sebenarnya sudah dapat diduga bahwa industri dan pertumbuhan ekspor Indonesia berjalan lambat.

Pemerintah Indonesia dengan status keanggotaannya dalam WTO harus ikut mengaplikasikan kebijakan WTO dengan meratikasi kebijakan dan menerapkan dalam sistem ekonomi domestik. Pemerintah Indonesia harus segera memfasilitasi kebijakan standardisasi dengan peraturan yang memiliki kekuatan hukum yang mengikat. Pada tahun 2000, pemerintah Indonesia mengeluarkan Peraturan Pemerintah RI No. 102 tahun 2000 tentang Standardisasi Nasional, yang mencakup Metrologi Teknik (Standar Nasional Satuan Ukuran dan Kalibrasi), Standar, Pengujian, dan Mutu untuk mengatur standardisasi mutu produk ekspor. Konsep tersebut mengacu pada konsep internasional tentang

Measurement, Standard, Testing and Quality Management (MSTQ)

Infrastructure. Peraturan ini menjadi dasar hukum bagi terbentuknya sistem

standar nasional yang akan mendukung peningkatan mutu produk ekspor dari Indonesia.

Dalam mengeluarkan kebijakan pemerintah harus melakukan kajian mendalam terlebih dahulu pada kondisi masyarakat Indonesia secara luas. Kebijakan dihasilkan tentu dengan tujuan yang positif, dalam hal ekonomi memberi keuntungan lebih, sehingga tidak hanya terkesan sebagai reaksi spontan dalam menjawab tuntutan rezim perdagangan internasional, melainkan harus menjadi solusi sistematis yang mampu mengangkat perekonomian Indonesia. Kebijakan tidak hanya berhenti pada dikeluarkannya aturan perundang-undangan namun harus mampu diimplementasikan dengan baik melalui upaya-upaya sistematis seperti penambahan sumber daya, penguatan infrastruktur, dan koordinasi serta hubungan yang bersinergi antara pelaku industri dan pemerintah berjalan dengan baik. Khusus dalam peningkatan kualitas ekspor menuju standar pasar global pemerintah Indonesia memerlukan fasilitas pendukung, utamanya


(5)

5

modal. Kebutuhan modal ini memunculkan ketergantungan pada modal asing. Dari sini kemudian muncul dugaan awal penyebab perlambatan ekspor yang disebabkan oleh kegagalan pemerintah mengatur neraca pembayaran negara.

Kegiatan ekspor akan tetap menempati peranan penting sebagai penggerak ekonomi dalam negeri. Oleh sebab itu arah kebijaksanaan di bidang perdagangan ekspor ditujukan untuk meningkatkan ekspor barang khususnya komoditi non migas. Pada penelitian ini secara khusus peneliti akan mengkaji komoditi ekspor non migas dengan pertimbangan objek penelitian yang mengarah pada industri non migas.

Gambar 1. Penurunan Ekspor Non Migas Indonesia 2011-September 2016

Sumber: Kementerian Keuangan RI, 2016

Lebih spesifik kajian penelitian ini menyorot ekspor komoditi perikanan indonesia yang disejumlah negara didapati kasus penolakan produk perikanan dari indonesia menyangkut mutu produk. Untuk mengatasi situasi yang tidak menguntungkan maka pemerintah berusaha mengurangi ketergantungan terhadap ekspor migas yaitu dengan mengadakan diversifikasi penerimaan ke arah peningkatan produksi serta peningkatan ekspor komoditi dan jasa-jasa non migas. Sumber daya alam Indonesia dari sektor kelautan sangat potensial dari sisi kualitas dan kuantitasnya. Bukan hanya mampu menutup kebutuhan domestik namun juga mampu memenuhi permintaan pasar internasional. Peluang pengembangan usaha perikanan Indonesia memiliki prospek yang sangat tinggi.

162,019.00

153,043.00 149,918.00 145,961.00

131,791.00

94,718.00

0.00 20,000.00 40,000.00 60,000.00 80,000.00 100,000.00 120,000.00 140,000.00 160,000.00 180,000.00


(6)

6

Potensi ekonomi sumber daya kelautan dan perikanan yang dapat dimanfaatkan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi diperkirakan mencapai USD 82 miliar per tahun.4 Realisasi potensi perikanan ini mendapat tantangan standardisasi

ekspor yang tidak bisa dianggap sebelah mata dari pasar internasional. Terdapat fakta dimana produk Indonesia banyak mendapat penolakan dari pasar internasional. Penolakan produk ekspor Indonesia oleh Negara pengimpor salah satunya disebabkan oleh adanya perbedaan hasil pengujian di dalam negeri dan hasil pengujian yang dilakukan oleh negara pengimpor, serta ketidakmampuan pengujian di dalam negeri karena lemahnya infrastruktur pengukuran nasional yang mengatur tentang metrologi, pengujian, dan pengontrolan kualitas produk. Lemahnya infrastruktur pengukuran nasional dapat menjadi sasaran politik dagang negara tujuan ekspor untuk merendahkan nilai produk atau bahkan menolak produk ekspor Indonesia.

Sebagai contoh, standardisasi mempengaruhi jumlah maupun volume ekspor udang Indonesia ke pasar Uni Eropa. Pada 2009 jumlah ekspor mencapai 14.013 ton udang. Tahun berikutnya volume ekspor menurun, sehingga hanya 12.191 ton. Padahal Eropa mengimpor 470 ribu ton udang setiap tahunnya.5 Pada periode tahun 2009-2013 ekspor udang Indonesia ke Jerman akhir benar-benar konsisten mengalami penurunan yaitu hanya sebesar 2037 ton saja sedangkan jumlah transaksi hanya sebesar US$ 17.855. Berikut data BPS mengenai ekspor udang ke sejumlah Negara pada tahun 2009-2013:

Gambar 2. Ekspor Udang Indonesia ke Uni Eropa tahun 2009-2013

4 http://setkab.go.id/potensi-besar-perikanan-tangkap-indonesia/, diunduh pada 28 Desember 2016 5 https://m.tempo.co/read/news/2011/09/20/090357253/pengusaha-desak-solusi-hambatan-nontarif-ke-eropa. Diakses pada tanggal 5 November 2016


(7)

7

Sumber: Badan Pusat Statistik, 2013

Penolakan produk perikanan Indonesia ke pasar potensial internasional haruslah mendapat perhatian lebih intensif dari pemerintah Indonesia sebab jika hal ini tidak ditangani dalam jangka pendek kedepan akan berdampak pada lambatnya pertumbuhan ekspor. Indikasi lain yang menjadi permasalahan terkait standar pasar adalah kontribusi ekspor oleh perusahaan domestik atau perusahaan berjenis modal dalam negeri (non modal asing) yang masih rendah. Dengan menggunakan data World Bank Enterprise Survey yang mencakup 5.900 perusahaan pada lima negara ASEAN, yaitu Malaysia, Thailand, Filipina, Indonesia, dan Vietnam, didapati kontribusi ekspor UKM Indonesia adalah yang terendah dibandingkan dengan empat negara ASEAN lain. Kontribusi ekspor UKM Indonesia hanya 9,3 persen, kontras dengan UKM Thailand, Filipina, dan Malaysia yang mampu berkontribusi diatas 28,1 persen terhadap total ekspor. Bahkan kontribusi UKM Indonesia terhadap total ekspor masih tertinggal dibawah UKM Vietnam dengan kontribusi sebesar 16,8 persen.6

6 Wignaraja, G., Jinjarak, Y, 2015, Why do SMEs not borrow more from banks? Evidence from the

People's Republic of China and Southeast Asia. ADBI Working Paper 509. 0

2000 4000 6000 8000 10000 12000

2009 2010 2011 2012 2013

To

n

Hongkong Tiongkok Singapura Malaysia Australia Inggris Belanda Perancis Jerman


(8)

8 Gambar 3. Kontribusi Ekspor UKM dan Perusahaan Besar

Sumber: Wignaraja, 2012

Menarik untuk menganalisis langka pemerintah Indonesia yang meratifikasi kebijakan standardisasi mutu produk ekspor namun pada saat sekarang ini justru disebut sebagai salah satu alasan penyebab melambatnya ekspor perikanan Indonesia ke pasar-pasar potensial yang didominasi oleh negara-negara maju seperti Uni Eropa dan Amerika Serikat. Dengan potensi sumber daya perikanan yang sedemikian luas seharusnya Indonesia mampu menjadi raja dalam ekspor komoditi ikan ke seluruh dunia. Namun sampai saat ini proses ke arah tersebut berjalan lambat seiring dengan dikeluarkannya perjanjian-perjanjian perdagangan yang justru menjadi penghambat pertumbuhan ekspor komoditi sektor perikanan Indonesia. Kajian ini diharapkan mendukung pemerintah dalam mengoptimalisasi ekspor perikanan Indonesia dengan menunjukkan titik permasalahan yang harus segera diperbaiki oleh pemerintah jika komoditi perikanan Indonesia ingin tetap bertahan ditengah diberlakukannya regulasi standardisasi mutu produk ekspor oleh pasar internasional.


(9)

9

Dari latar belakang diatas peneliti menentukan pertanyaan penelitian ini

adalah “Mengapa kebijakan internasional mengenai standardisasi mutu produk ekspor menghambat peningkatan volume ekspor perikanan Indonesia?”

C. Tujuan Penelitian

Sejalan dengan latar belakang dan permasalahan yang ada dalam penelitian ini, maka tujuan yang ingin dicapai adalah:

1. Untuk mengetahui dan menganalisis langkah pemerintah Indonesia dalam meratifikasi kebijakan internasional mengenai standardisasi mutu produk ekspor

2. Untuk mengetahui dan menganalisis dinamika ekspor perikanan Indonesia ditengah diberlakukannya kebijakan standardisasi mutu produk ekspor oleh pasar internasional.

D. Kontribusi Penelitian 1. Kontribusi Akademik

Penelitian ini diharapkan dapat memberi sumbangsih akademis bagi mahasiswa, dosen, dan peneliti terait dengan isu-isu perdagangan internasional, khususnya kajian standardisasi mutu ekspor. Penelitian ini secara umum membicarakan kedudukan Indonesia sebagai bagian dari rezim perdagangan internasional yang harus tunduk pada regulasi organisasi perdagangan internasional (WTO) dan konsekuensinya terhadap peningkatan ekspor komoditas perikanan Indonesia. Pada Bab II dari penelitian ini dijelaskan mengenai rezim perdagangan internasional, utamanya dalam regulasi standardisasi mutu produk ekspor. Sedangkan penerapan regulasi standardisasi tersebut di Indonesia dan pengaruhnya bagi aktifitas ekspor Indonesia dijelaskan dalam Bab III. Analisis kebijakan pemerintah Indonesia dalam meratifikasi standardisasi mutu produk ekspor yang justru menjadi penghambat ekspor perikanan Indonesia dijelaskan pada Bab IV dengan menggunakan teori ketergantungan.


(10)

10

Penelitian ini diharapakan bisa menjadi rujukan bagi pemerintah terutama pemerintah Indonesia dalam mengelola ekspor untuk mempertahankan daya saing produk ekspor Indonesia ditengah berlakunya standardisasi pasar internasional. Secara praktis kontribusi pada Bab II bisa digunakan untuk mengetahui standardisasi pasar internasional yang harus diterapkan pada aktivitas ekspor di Indonesia. Bab III dapat digunakan untuk memberikan gambaran kondisi ekspor Indonesia pasca diberlakukannya kebijakan standardisasi mutu produk ekspor. Dan poin utama dalam penelitian ini yang dijelaskan pada Bab IV dapat digunakan untuk mengetahui titik-titik permasalahan dalam ratifikasi dan pelaksanaan kebijakan standardisasi mutu produk ekspor di Indonesia yang kemudian dapat ditindaklanjuti oleh pemerintah sehingga tujuan positif diratifikasinya kebijakan tersebut dapat tercapai.

E. Originalitas Penelitian

Penelitian ini murni dilakukan oleh penulis dengan mengembangkan sejumlah penelitian yang telah dilakukan oleh para peneliti sebelumnya. Penelitian ini menganalisis implementasi kebijakan pemerintah Indonesia dalam meratifikasi regulasi internasional mengenai standardisasi mutu produk ekspor dengan menghubungkan dengan kondisi ekspor Indonesia. Kebaruan dalam data (data dokumen dan lapangan) menjadi poin pembeda lainnya yang semakin menguatkan originalitas penelitian ini.

F. Studi Pustaka.

Membicarakan tentang konsekuensi keikutsertaan Indonesia dalam WTO dijelaskan dalam penelitian yang dilakukan oleh Hikmahanto Juwana dengan

judul “Konsekuensi Keikutsertaan Indonesia dalam Perjanjian Internasional”, memaparkan beberapa alasan mengapa Indonesia perlu ikut serta dalam sejumlah perjanjian internasional, yaitu: upaya mengangkat citra Indonesia di dunia internasional, desakan dari para penggiat lembaga swadaya masyarakat, tekanan masyarakat internasional hingga kebutuhan nyata. Alasan yang


(11)

11

dikemukakan Hikmahanto Juwana mengenai perlunya Indonesia mengikuti regulasi internasional menjadi dasar diratifikasinya standardisasi mutu produk ekspor memerlukan tindak lanjut sebagai evaluasi pelaksanaan implementasi kebijakan tersebut oleh pemerintah. Penelitian ini akan menjadi penelitian lanjutan yang memberi penjelasan proses ratifikasi dan evaluasi terhadap kebijakan standaridisasi mutu produk ekspor di Indonesia.7

Hikmahanto Juwono dalam penelitian ini tidak menjelaskan tentang adanya penetrasi asing dari rezim perdagangan internasional yang membuat negara tidak bisa menghindari kebijakan yang dihasilkan oleh organisasi internasional. Hikmahanto Juwono memandang kebijakan internasional akan selalu memberi dampak positif dalam tatanan pegaulan Indonesia di kancah internasional. Disinilah letak perbedaan pada tesis ini dengan penelitian Hikmahanto Juwono, dimana tesis ini memberi gambaran adanya tekanan internasional kepada negara yang seolah memaksa untuk diratifikasi, bahkan dalam waktu yang singkat dari diberlakukannya kebijakan oleh organisasi internasional dibawah PBB.

Situasi penolakan produk ekspor indonesia terkait mutu produk diceritakan dalam penelitian yang dilakukan oleh Lely Rahmawaty, Winiati P.

Rahayu dan Harsi D. Kusumaningrum dengan judul “Pengembangan Strategi

Keamanan Produk Perikanan Untuk Ekspor Ke Amerika Serikat, Food Safety

Strategy Development of Fishery Products Export to the United States, (2013)

menjelaskan bahwa Indonesia telah mewajibkan rantai pasok produk perikanan dengan menerapkan sistem mutu HACCP melalui Program Manajemen Mutu Terpadu (PMMT) berdasarkan konsep HACCP pada tahun 1998 (Kementan-RI 1998), namun masih terdapat produk perikanan yang ditolak di Amerika Serikat. Hasil penelitian menunjukkan terdapat 146 kasus penolakan dari FDA

(Food and Drug Administration). Sebanyak 64% kasus penolakan disebabkan

adanya bakteri patogen maupun toksin yang dihasilkan seperti histamin, 26% disebabkan filthy, 6% disebabkan adanya residu kimia, dan 4% disebabkan

7 Juwana, Hikmahanto, 2013, Konsekuensi Keikutsertaan Indonesia dalam Perjanjian Internasional, Journal Law Riview. Vol. VIII, No. 2, November 2008. Hal. 232- 251, Jakarta


(12)

12

misbranding. Penolakan produk perikanan terbesar di AS disebabkan adanya kontaminasi bakteri patogen (termasuk Salmonella) dan filthy.8

Penelitian Lely Rahmawati, dkk, memaparkan kasus penolakan komoditas ekspor Indonesia dengan cukup baik namun tidak mengkaji situasi proses produksi domestik yang kompleks. Tesis ini melengkapinya dengan memaparkan kondisi ketidakefektifan pada proses produksi dalam negeri dalam menjawab regulasi standardisasi mutu produk ekspor.

Dalam penelitian yang telah dilakukan oleh Victor Tulus Pangapoi

Sidabutar (2013) dengan judul “Peluang dan Permasalahan yang Dihadapi

UKM Berorientasi Ekspor, mengkaji hambatan internal dan ekternal yang

dihadapi UKM dalam proses ekspor, yaitu: a) Hambatan internal, yaitu hambatan yang melekat pada UKM itu sendiri, antara lain adalah: keterbatasan SDM, keterbatasan akses ke sumber daya produktif (permodalan/pembiayaan, pasar, dll), rendahnya kemampuan UKM dalam riset dan pengembangan (untuk pasar), masih banyak UKM yang tidak memiliki Badan Hukum, b) hambatan eksternal, tidak stabilnya pasokan & harga bahan baku/pendukung lainnya, implikasi perdagangan bebas (hambatan tariff & non tariff barriers, skala & standar kualitas pasar ekspor yang sulit dipenuhi UKM seperti isu lingkungan/HAM/TK), lifetime produk UKM pendek, kurangnya akses UKM terhadap pasar luar negeri, infastruktur pendukung ekspor belum merata, masih terdapat biaya-biaya tidak terduga terkait dengan transportasi, keamanan dll, situasi politik, sosial, ekonomi di luar negeri, dan tingginya biaya modal dibandingkan dengan negara-negara pesaing.9

Victor Tulus Pangapoi Sidabutar memaparkan hambatan perusahaan kecil dan menengah dalam aktifitas ekspor dengan menempatkan penelitiannya pada UKM semata sebagai objek analisisnya. Penelitian ini mengkaji objek-objek

8 Lely Rahmawaty, Winiati P. Rahayu, dan Harsi D. Kusumaningrum, Pengembangan Strategi

Keamanan Produk Perikanan Untuk Ekspor ke Amerika Serikat, Jurnal Standardisasi Volume 16 Nomor 2, Juli 2014: Hal 95 - 102, Badan Standardisasi Nasional, diunduh dari http://ojs.bsn.go.id/index.php/standardisasi/article/view/170, diakses tanggal 12 November 2016 9 Sidabutar, Victor Tulus Pangapoi. 2014. Permasalahan yang Dihadapi UMKM Berorientasi Ekspor. Jurnal Balai Besar Pendidikan dan Pelatihan Ekspor Indonesia Dirjen Pengambangan Ekspor Nasional Kementrian Perdagangan RI.


(13)

13

yang tidak dimunculkan dalam penelitian yang dilakukan oleh Victor Tulus Pangapoi Sidabutar yaitu dengan melakukan analisis dari penetrasi internasional dan kemudian mengkaitannya dengan kondisi industri domestik untuk menjawab mengapa usaha kecil dan menengah di Indonesia banyak mengalami hambatan dalam proses perluasan pasar menuju pasar internasional.

Syamsul Huda dalam penelitiannya berjudul Analisis Beberapa Faktor

Yang Mempengaruhi Ekspor Non Migas Indonesia, menjelaskan Ekspor

Indonesia sangat mengandalkan faktor-faktor keunggulan komperatif dalam penentu utama daya saingnya, terutama daya saing harga, seperti upah buruh murah dan sumber daya alam berlimpah sehingga murah pengadaannya. Namun, dalam era perdagangan bebas nanti, teknologi dan keahlian khusus yang merupakan tiga faktor keunggulan kompetitif semakin dominan dalam penentuan daya saing. Selain itu, dengan tuntutan masyarakat dunia yang semakin kompleks menyangkut masalah-masalah lingkungan hidup, kelestarian alam bersama isinya, kesehatan, keamanan, dan hak asasi manusia membuat faktor-faktor keunggulan komparatif semakin tidak penting dibandingkan faktor-faktor keunggulan kompetitif.10

Penelitian yang dilakukan Syamsul Huda pada dasarnya sejalan dengan tesis ini, namun peneliti dalam tesis ini secara khusus memilih sektor perikanan sebagai objek kajian dan ditambah dengan analisis lebih dalam mengenai kondisi industri perikanan dalam negeri Indonesia dalam menjawab tantangan menciptakan kompetitif yang menjadi sasaran dari dilahirkannya kebijakan standardisasi mutu ekspor pada pasar internasional.

G. Kerangka Teoritik 1. Definisi Operasional

10 Huda, Syamsul, 2006, Analisis Beberapa Faktor Yang Mempengaruhi Ekspor Non Migas Indonesia, Jurnal Ilmu-Ilmu Ekonomi Vol.6 No.2 September 2006 : 117-124


(14)

14

Dengan mengembangkan konsep-konsep penelitian diatas peneliti secara khusus memberi definisi terhadap istilah-istilah yang muncul dari konsep penelitian yang digunakan selama penelitian ini, yaitu sebagai berikut:

a. Ratifikasi, adalah proses adopsi perjanjian internasional. Menurut Undang-Undang Nomor 24 tahun 2000 Tentang Perjanjian lnternasional, ratifikasi atau pengesahan suatu perjanjian internasional dapat dilakukan dengan undang-undang atau keputusan presiden. Terdapat dua konsekuensi penting yang harus dicermati sebelum mengesahkan suatu perjanjian internasional, yaitu: Pertama, Negara harus menerjemahkan atau mentransformasikan kewajiban dalam perjanjian internasional ke dalam hukum nasional. Kedua, konsekuensi yang harus diperhatikan adalah kewajiban negara memberikan laporan ke suatu lembaga yang ditentukan dalam perjanjian internasional.

b. Ekspor, merupakan kegiatan mengeluarkan barang atau produk dari Indonesia ke negara lain. Biasanya proses ekspor dimulai dari adanya penawaran dari suatu pihak yang disertai dengan persetujuan dari pihak lain melalui sales contract process, dalam hal ini adalah pihak Eksportir dan Importir.11 Secara garis besar, barang-barang yang diekspor oleh Indonesia terdiri atas dua macam, yaitu minyak bumi dan gas alam (migas), seperti: minyak tanah, bensin, solar, dan elpiji dan nonmigas seperti: 1) Hasil pertanian dan perkebunan. Contohnya, ketela pohon, karet, kopi, dan kopra, 2) Hasil laut terutama ikan dan kerang, 3) Hasil industry, seperti kayu lapis, konfeksi, minyak kelapa sawit, meubel, bahan-bahan kimia, pupuk, dan kertas, 4) Hasil tambang nonmigas, seperti bijih nekel, bijih tembaga, dan batubara.

c. Standar adalah spesifikasi teknis atau sesuatu yang dibakukan termasuk tata cara dan metode yang disusun berdasarkan konsensus semua pihak yang terkait dengan memperhatikan syarat-syarat keselamatan, keamanan, kesehatan, lingkungan hidup, perkembangan ilmu pengetahuan dan

11 Panduan Ekspor, diunduh dari http://djpen.kemendag.go.id, diakses pada tanggal 4 Sepetember 2016


(15)

15

teknologi, serta pengalaman, perkembangan masa kini dan masa yang akan datang untuk memperoleh manfaat sebesar-besarnya.

d. Standardisasi, adalah segala usaha yang dilakukan dalam rangka menggunakan barang standar, khususnya barang yang diproduksi oleh perusahaan termasuk penentuan sistem, pemilihan barang standar, kebijakan dan segala sesuatu yang diperlukan untuk memaksimalkan keuntungan progran tersebut. Menurut Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2014 Standardisasi adalah proses merencanakan, merumuskan, menetapkan, menerapkan, memberlakukan, memelihara, dan mengawasi Standar yang dilaksanakan secara tertib dan bekerja sama dengan semua pemangku kepentingan

e. Sertifikasi adalah rangkaian kegiatan penilaian kesesuaian yang berkaitan dengan pemberian jaminan tertulis bahwa suatu produk, proses, sistem manajemen, dan/atau kompetensi personel telah memenuhi Standar Nasional Indonesia tertentu atau persyaratan lain yang dibakukan. Sedangkan sertifikat adalah jaminan tertulis yang diberikan oleh lembaga/institusi/laboratorium yang telah diakreditasi untuk menyatakan bahwa barang atau jasa, proses, sistem manajemen dan/atau kompetensi personel telah memenuhi SNI dan/atau persyaratan lain yang dibakukan

f. Stakeholders (pemangku kepentingan) adalah pihak yang mempunyai

kepentingan terhadap kegiatan standardisasi dan penilaian kesesuaian dari unsur konsumen, produsen atau pelaku usaha, asosiasi usaha, pakar/cendekiawan dan pemerintah/regulator

2. Definisi Konseptual

Teori Ketergantungan (Dependency Theory)

Teori ketergantungan yang juga termasuk teori struktural yang memihak kepada kemiskinan di dunia ketiga dan mengkhususkan diri pada produksi pertanian adalah akibat dari struktur perekonomian dunia yang bersifat eksploitatif, maksudnya yakni negara yang kuat melakukan eksploitatif terhadap yang lemah. Maka dari adanya sifat yang merugikan negara yang


(16)

16

lemah surplus ekonomi dari dunia ketiga yang pada awalnya merupakan negara pra kapitalis atau negara yang memproduksi pertanian beralih ke negara industri yang maju.12 Pendekatan Dependency pada dasarnya hendak

menjelaskan persoalan kemunduran negara-negara bekas jajahan dunia ketiga dengan melihatnya dalam konteks global.13

Andre Gunder Frank adalah pakar sosiolog yang mendapat perhatian dari kajiannya mengenai teori ketergantungan. Teori ketergantungan berawal dari Amerika Latin yang banyak dieksploitasi sumber daya alamnya oleh negara industri maju atau kelompok pemodal dari Amerika Serikat dan Eropa. Teori ketergantungan merupakan cabang khusus dari teori-teori kapitalisme marxian. Andre Gunder Frank mengelompokkan Negara-negara di dunia menjadi dua kelompok yakni Negara-negara metropolis maju (developed

metropolitant countries) dan Negara-negara satelit yang terbelakang (satelite

underdeveloped countries).14

Gambar 4. Dependency Theory menurut Andre Gunder Frank

Sumber: Ratri Medya dan Wisnu Chandra Kristiaji. 2006, Ekonomi Politik, Jakarta: Erlangga, hal 82

Andre G Frank mengajukan tiga hipotesis melihat pola hubungan Negara-negara maju (metropolis) dan Negara-negara terbelakang (satelit),

12 Blomstrom dan Hettne. 1984, Development Theory in Transition, The Dependency Debate and

Beyond: Third World Response, London : Routledge, hal 17

13 Mohtar Mas’oed, 1990, Ilmu Hubungan Internasional: Disiplin dan Metodologi, Jakarta; LP3ES;1990, hal. 204


(17)

17

yaitu sebagai berikut: 1) Dalam struktur hubungan antara negara-negara metropolis maju dengan negara-negara satelit yang terbelakang, pihak metropolis akan berkembang dengan pesat sedangkan pihak satelit akan tetap dalam posisi keterbelakangan. 2) Negara-negara terbelakang yang sekarang menjadi satelit, perekonomiannya dapat berkembang dan mampu mengembangkan industri yang otonom justru bila tidak terkait dengan metropolis dari kapitalis dunia dunia, atau kaitannya sangat lemah (tidak ada dominasi metropolis), 3) Kawasan-kawasan yang terbelakang saat ini, situasinya mirip dengan situasi sistem feodal di masa lalu, dimana ada kawasan yang memiliki kaitan yang kuat dengan metropolis dari sistem kapitalis internasional akan terlantar akibat adanya hubungan perdagangan internasional.15

Pendekatan Dependency pada dasarnya hendak menjelaskan persoalan kemunduran negara-negara bekas jajahan dunia ketiga dengan melihatnya dalam konteks global. Teori ketergantungan pada umumnya juga mengabaikan faktor-faktor intern, seperti struktur sosial-budaya dan pola perilaku masyarakat prakolonial itu. Dengan menyalahkan kolonialisme dan neo-kolonialisme Barat sebagai faktor utama yang bertanggung jawab atas keterbelakangan daerah-daerah pinggiran tersebut dan atas masalah-masalah besar yang merintangi pembangunan daerah-daerah tersebut, maka struktur sosial-budaya masyarakat-masyarakat prakolonial ini sebagai suatu faktor penyebab penting dari keterbelakangan mereka rupanya kurang diperhatikan oleh penganut teori ketergantungan.

Dari uraian di atas dapatlah disimpulkan bahwa, menurut teori ini, tergabungnya secara paksa (forced incorporated) daerah-daerah pinggiran ke dalam sistem ekonomi kapitalisme dunia merupakan satu-satunya sebab dari keterbelakangan (underdeveloped) negara-negara sedang berkembang sekarang ini. Dengan demikian implikasi dan kesimpulan tersebut adalah bahwa tanpa kolonialisme dan integrasi ke dalam sistem ekonomi kapitalisme


(18)

18

dunia, negara-negara sedang berkembang sekarang ini sudah berhasil mencapai tingkat kesejahteraan yang tinggi dan sangat, mungkin sudah dapat mengembangkan industri-industri pengolahan (manufacture) mereka atas usaha dan kekuatan mereka sendiri.16

Gambar 5. Model Sederhana Teori Ketergantungan

Sumber: Mohtar Mas’oed, 1990, Ilmu Hubungan Internasional: Disiplin dan Metodologi, LP3ES, hal. 204

Kondisi ketergantungan adalah merupakan keadaan dimana kehidupan ekonomi negara-negara tertentu dipengaruhi oleh perkembangan dan ekspansi dari negara-negara lain, dimana negara-negara tertentu hanya berperan sebagai penerima akibat saja. Hubungan ketergantungan terjadi bila ekonomi beberapa negara (yang dominan tentu saja) bisa berekspansi dan berdiri sendiri, sedangkan ekonomi negara-negara tertentu (yang tergantung) mengalami perubahan tetapi hanya sebagai akibat dari ekspansi tersebut, baik positif maupun negatif.17

Teori ketergantungan inilah yang kemudian menginspirasi masuknya perusahaan multinasional dari Negara maju yang melakukan ekspansi bisnis

16 Budiman, Arif (terj.) Frank, Andre Gunder, 1984, Sosiologi Pembangunan Dan Keterbelakangan

Sosiologi, Jakarta: Pustaka Pulsar

17 Theotonio Dos Santos, 1970, The Sctructure of Dependence, American Economic Review, Vol 60 (2), h. 231

Penetrasi Asing

Distorsi Sektor Perdagangan

Distorsi Sosiopolitik Konflik Sosiopolitik Distorsi Ekonomi Internal


(19)

19

dan perluasan pasar dinegara-negara berkembang diseluruh dunia. Dalam kajian standardisasi, ketergantungan Negara berkembang muncul pada upaya mengimplementasikan kebijakan standar internasional dilevel domestik. Negara-negara berkembang dengan keterbatasan sumber daya dan kompleksitas permasalahan yang dihadapi mengalami kesulitan untuk memenuhi standar internasional yang diminta, hal ini membuka kesempatan besar bagi investor asing dan MNCs untuk terlibat dalam aktifitas produksi dan ekspor di Negara berkembang. Salah satu contoh aplikatifnya adalah keterbatasan infratruktur membuat perusahaan domestik di Indonesia kesulitan memenuhi jumlah permintaan dengan kualitas produk yang konsisten baik dan harus dipenuhi dalam waktu cepat hanya dapat dilakukan dengan penggunaan mesin produksi berteknologi tinggi yang harganya sangat tinggi. Hal ini membuka peluang bagi masuknya investor dan MNCs untuk menyediakan fasilitas teknologi tersebut dan pada akhirnya kelompok investor ini akan memperoleh keuntungan dari aktifitas ekspor yang dilakukan oleh Negara produsen.

H. Hipotesa

Hipotesa yang diajukan peneliti dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: Kebijakan internasional mengenai standardisasi mutu produk ekspor menghambat penambahan volume ekspor perikanan Indonesia karena minimnya kontribusi perusahaan kecil dan menengah di Indonesia akibat tidak mampu mengikuti standar pasar internasional yang menuntut tersedianya modal besar dan penggunaan teknologi dalam proses produksi hasil komoditi perikanan.

I. Alur Penelitian

Peneliti menentukan alur penelitian untuk mempermudah dalam proses pengumpulan dan analisis data serta membantu pembaca dalam memahami substansi penelitian. Alur penelitian ini adalah sebagai berikut:

Gambar 6. Alur Penelitian

Rezim Perdagangan Internasional (WTO)

Dependency Theory Teori Ketergantungan


(20)

20

J. Metode Penelitian 1. Tipe Penelitian

Penelitian ini dilakukan dengan pendekatan deskriptif dan bersifat kualitatif. Penelitian deskriptif kualitatif adalah penelitian yang mendeskripsikan data apa adanya dan menjelaskan data atau kejadian dengan kalimat-kalimat penjelasan secara kualitatif Tujuan pendekatan ini adalah untuk memperoleh gambaran dan penjelasan yang mendalam mengenai permasalahan penelitian.18

2. Lokasi Penelitian

Jenis data primer dan sekunder dalam penelitian ini diperoleh dari objek penelitian, yaitu sebagai berikut:

a) Sub Bagian Perdagangan Internasional, Departemen Perindustrian dan Perdagangan Jawa Tengah, Semarang

b) Sub Bagian Perdagangan Internasional, Departemen Perindustrian dan Perdagangan Kabupaten Pati

c) Perusahaan UKM Perikanan berorientasi ekspor di Kabupaten Pati d) Data dokumen dan perpustakaan, berupa data dari website resmi, jurnal

ilmiah, dan buku-buku literatur lainnya

3. Sumber Data

18 Sugiyono, 2009, Memahami Penelitian Kualitatif, Bandung: Penerbit CV Alfabeta Kebijakan Internasional Mengenai Standardisasi Ekspor

Ratifikasi Kebijakan Standardisasi oleh Pemerintah Indonesia Distorsi Perdagangan dan


(21)

21

Dalam penelitian ini akan menggunakan dua sumber data untuk menyempurnakan analisis yakni sumber data primer dan data sekunder. Data Sekunder akan lebih menitik beratkan pada telaah pustaka atau library research yang akan di peroleh dari berbagai buku, dokumen, jurnal, koran, majalah, website dan literatur lainya yang relevan dengan penelitian ini. Kemudian data primer akan dilakukan observasi lapangan dengan melakukan wawancara langsung kepada aktor-aktor yang relevan dengan kajian dalam penelitian ini.

4. Teknik Pengumpulan Data

Penelitian ini menggunakan tiga (3) macam teknik untuk melakukan pengumpulan data, yaitu sebagai berikut:

a. Observasi

Observasi merupakan tindakan atau proses pengambilan informasi melalui media pengamatan. Observasi yaitu teknik pengumpulan yang mengharuskan peneliti turun ke lapangan mengamati hal-hal yang berkaitan dengan ruang, tempat, pelaku, kegiatan, waktu, peristiwa, tujuan dan perasaan. Sutrisno hadi dalam Sugiono (2011) mengemukakan bahwa observasi merupakan suatu proses yang kompleks, dua diantaranya adalah proses pengamatan dan ingatan. Dengan kata lain Observasi yaitu penelitian dengan melalui pengamatan insentif terhadap berbagai faktor sehingga dapat memberikan gambaran permasalahan yang ada.19

Observasi terbagi dua, pertama observasi berperan serta merupakan teknik pengumpulan data yang mengharuskan peneliti melibatkan diri dalam kehidupan dari masyarakat yang di teliti untuk dapat melihat dan memahami gejala yang ada, sesuai maknanya dengan yang diberikan dipahami oleh para warga yang ditelitinya dan kedua observasi non partisipan. Observasi non partisipan terbagi lagi menjadi observasi struktural dan observasi tidak terstruktur (Sugiyono 2011). Penelitian ini menggunakan observasi nonpartisipan yang terstruktur, dimana peneliti


(22)

22

sudah tau observasi yang akan diamatinya, mencatat, menganalisis dan selanjutnya membuat kesimpulan.20

Dalam penelitian ini peneliti mengobservasi sumber daya ekspor seperti, sumber daya pemerintah dalam memfasilitasi kegiatan ekspor, sumber daya infrastruktur perusahaan sebagai salah satu syarat penunjang standardisasi, dan sumber daya lain yang mendukung ekspor, khususnya di Kabupaten Pati, sebagai daerah yang memiliki kontribusi ekspor komoditi non migas nasional yang cukup tinggi.

b. Wawancara

Menurut Denzin & Lincoln, wawancara merupakan suatu percakapan, seni tanya jawab dan mendengarkan. Ini bukan merupakan suatu alat yang netral, pewawancara menciptakan situasi tanya jawab yang nyata. Dalam situasi ini jawaban-jawaban diberikan. Maka wawancara menghasilkan pemahaman yang terbentuk oleh situasi berdasarkan peristiwa-peristiwa interaksional yang khusus. Teknik wawancara yang digunakan oleh peneliti dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan metode wawancara semistruktur (semistructure interview). Tujuan wawancara jenis ini adalah untuk menemukan permasalahan secara lebih terbuka dan pihak yang diajak wawancara diminta pendapatnya. Dalam melakukan wawancara, peneliti perlu mendengarkan secara teliti dan mencatat apa yang dikemukakan oleh informan. Peneliti telah membuat struktur wawancara namun tidak menentukan batasan atas jawaban dari responden. Jenis wawancara ini digunakan untuk tujuan mendapatkan hasil wawancara yang sesuai dengan pokok kajian penelitian serta mendapatkan informasi-informasi tambahan yang dibutuhkan dalam penelitian.21 Dalam penelitian ini peneliti

melakukan wawancara dengan nara sumber terkait dengan proses ratifikasi kebijakan yang ditujukan kepada pemerintah dan implementasi kebijakan kepada stakeholder standaridisasi ekspor.

20 Ibid

21 Denzin, N. K. and Lincoln, Y. S. (2005). The Sage Handbook of Qualitative Research. Third Edition. Thousand Oaks, California: Sage Publications Inc.


(23)

23 c. Dokumentasi

Menurut Sugiyono (2011) dokumen merupakan catatan peristiwa yang sudah berlalu. Dokumen bisa berbentuk tulisan, gambar, atau karya-karya monumental dari seorang. Dokumen yang berbentuk tulisan misalnya catatan harian, sejarah kehidupan (life histories), peraturan, kebijakan. Dokumen yang berbentuk gambar misalnya foto, gambar hidup, sketsa dan lain-lain. Dokumen yang berbentuk karya misalnya karya seni, yang dapat berupa gambar, patung, film dan lain-lain. Studi dokumen merupakan pelengkap dari penggunaan metode observasi dan wawancara dalam penelitian kualitatif.22

Dalam mengumpulkan data-data penulis membutuhkan alat bantu sebagai instrumen penelitian. Dalam penelitian ini peneliti menggunakan 3 alat bantu, yaitu: a) Pedoman Wawancara, pedoman wawancara digunakan agar wawancara yang dilakukan tidak menyimpang dari tujuan penelitian. Pedoman ini disusun tidak hanya berdasarkan tujuan penelitian, tetapi juga berdasarkan teori yang berkaitan dengan masalah yang diteliti. Pedoman Wawancara dalam penelitian ini terlampir dalam bab lampiran, b) Pedoman Observasi, pedoman observasi digunakan agar peneliti dapat melakukan pengamatan sesuai dengan tujuan penelitian. Pedoman observasi disusun berdasrkan hasil observasi terhadap perilaku subjek selama wawancara dan observasi terhadap lingkungan atau setting wawancara, serta pengaruhnya terhadap perilaku subjek dan informasi yang muncul pada saat berlangsungnya wawancara. Pedoman Wawancara dalam penelitian ini terlampir dalam bab lampiran, c) Alat Perekam, alat perekam berguna sebagai alat Bantu pada saat wawancara, agar peneliti dapat berkonsentrasi pada proses pengambilan data tampa harus berhenti untuk mencatat jawaban-jawaban dari subjek. Dalam pengumpulan data, alat perekam baru dapat dipergunakan setelah mendapat ijin dari subjek untuk mempergunakan alat tersebut pada saat wawancara berlangsung.


(24)

24

Data dokumentasi yang diperoleh merupakan data primer dan sekunder, dimana data primer didapatkan secara langsung oleh peneliti dengan mendatangi objek penelitian dan data sekunder diperoleh dari sumber referensi yang memiliki validitas.

5. Teknik Analisis Data

Analisis data menurut Patton (1989) dalam Moleong (2004), adalah proses mengatur urutan data, mengorganisasikannya dalam suatu pola, kategori, dan satuan uraian dasar. Analisis data berbeda dengan penafsiran data. Analisis data lebih memberikan arti yang signifikan terhadap analisis, menjelaskan pola uraian, dan mencari hubungan di antara dimensi-dimensi uraian.23

Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis kualitatif. Dalam analisis kualitatif, langkah-langkah analisis yang sering digunakan untuk memahami komponen-komponen data adalah reduksi data,

display data, dan penarikan kesimpulan. Adapun penjabaran dari

masing-masing langkah tersebut adalah sebagai berikut:24

a) Reduksi Data,reduksi data diartikan sebagai proses pemilihan, pemisahan, perbaikan dan penyederhanaan, pengabstrakan serta tranformasi data kasar yang muncul dari catatan-catatan tertulis di lapangan. Reduksi data berlangsung terus menerus, bahkan sebelum data terkumpul antisipasi akan adanya data yang sudah tampak, ketika memutuskan kerangka konseptual, wilayah penelitian, proses penelitian dan pendekatan pengumpulan data yang dipilih. Pilihan-pilihan terhadap data mana yang diambil, mana yang dibuang, pola-pola apa yang dihasilkan atau cerita apa yang sedang berkembang merupakan pilihan analisis, sehingga kesimpulan akhir dapat ditarik.

b) Penyajian Data, penyajian data atau display data dalam penelitian ini dilakukan dengan cara menyusun sekumpulan informasi yang diperoleh

23 Moleong, Lexy. 2002. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya 24 Miles, Matthew dan Huberman, A. Michael. 1992.

Analisis Data Kualitatif: Buku Sumber Tantang Metode-Metode Baru. Jakarta:UI Press


(25)

25

dan diarahkan supaya memberi kemungkinan pada penarikan kesimpulan, verifikasi dan pengambilan tindakan.

c) Penarikan Kesimpulan/Verifikasi,penarikan kesimpulan/verifikasi dalam penelitian ini dilakukan dengan cara meninjau ulang pada laporan-laporan untuk mengembangkan kesepakatan intersubjektif. Dengan meninjau ulang laporan-laporan akan mempermudah dalam upaya untuk menempatkan salinan suatu temuan dalam seperangkat data yang lain. Singkatnya makna yang muncul dari data harus diuji kebenarannya, kekokohannya dan kecocokannya, yakni yang merupakan validitasnya.

Gambar 7. Teknik Analisis Data

Sumber: Miles, Matthew dan Huberman, A. Michael. 1992. Analisis Data

Kualitatif: Buku Sumber Tantang Metode-Metode Baru. Jakarta: UI Press

K. Sistematika Penulisan

Dalam penulisan tesis ini akan dilakukan secara terstruktur dan tersistematis dengan bagian-bagian yang merupakan suatu kesatuan yang utuh dalam memahami, mendeskripsikan, dan menganalisis terhadap permasalahan yang menjadi pokok penelitian, adalah sebagai berikut:

Tabel 1. Sistematika Penulisan

BAB I: PENDAHULUAN

Pada bab pendahuluan ini dibagi dalam beberapa sub bab yang menguraikan tentang latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, originalitas penelitian, kajian pustaka, manfaat penelitian, kerangka teori, hipotesa, alur penelitian, metode penelitian dan sistematika penulisan tesis

Pengumpulan Data Penyajian Data

Penarikan Kesimpulan/ Verifikasi Reduksi Data


(26)

26 BAB II: REGULASI INTERNASIONAL MENGENAI STANDARIDISASI

MUTU PRODUK EKSPOR

Bab ini menjelaskan regulasi standaridisasi mutu produk ekspor yang dihasilkan oleh WTO dan organisasi standar Internasional lainnya dalam tatanan rezim perdagangan internasional serta secara khusus memaparkan regulasi ekspor perikanan di sejumlah negara atau pasar internasional yang menjadi target utama ekspor perikanan Indonesia

BAB III: KEBIJAKAN STANDARDISASI EKSPOR DI INDONESIA DAN DINAMIKANYA TERHADAP VOLUME EKSPOR PERIKANAN INDONESIA

Bab ini menjelaskan pelaksanaan standardisasi mutu produk ekspor di Indonesia, lembaga standardisasi dan memaparkan kondisi ekspor Indonesia di tengah diberlakukannya kebijakan standar mutu produk ekspor Internasional

BAB IV: ANALISIS KETERGANTUNGAN EKSPOR INDONESIA PADA

REZIM PERDAGANGAN INTERNASIONAL DALAM

IMPLEMENTASI KEBIJAKAN STANDARDISASI MUTU

PRODUK EKSPOR

Bab ini menjadi kunci dari penelitian ini dimana dengan menggunakan teori ketergantungan peneliti akan menganalisis pelaksanaan kebijakan Standardisasi Mutu Produk Ekspor di Indonesia dengan memaparkan lebih detail kondisi produsen atau eksportir komoditi perikanan domestik dalam menghadapi tantangan standar pasar internasional.

BAB V: KESIMPULAN

Pada bab penutup ini merupakan bagian akhir penulisan tesis yang memuat kesimpulan dan saran, sebagai sumbangan pemikiran berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan


(27)

27 BAB II

REGULASI INTERNASIONAL MENGENAI STANDARDISASI MUTU PRODUK EKSPOR

Kajian ekonomi dalam hubungan internasional khususnya mengenai perdagangan global mulai terlihat masif pasca perang dunia II. Dekolonisasi pada tahun 1940-1950an melahirkan negera-negara merdeka baru yang kemudian dilanjutkan dengan agenda bersama untuk melakukan pembangunan dengan salah satu tujuannya menciptakan kesejahteraan ekonomi disemua negara. Dari situasi ini, ketergantungan Negara baru terhadap negara maju pada hakikatnya sudah mulai terlihat. Diawali dengan tagline “pembangunan (development)” negara industri maju menunjukkan kepeduliannya terhadap negara bekas kolonialisme untuk membangun perekonomiannya. Lahirnya PBB yang kemudian menjadi Organisasi Internasional paling berpengaruh di dunia telah mengatur banyak sektor kehidupan, seperti sektor ekonomi, keamanan, budaya, pendidikan, hak asasi manusia, dan sektor-sektor yang lainnya. Dalam hal ekonomi dan kaitannya dengan perdagangan internasional dibentuk badan khusus dibawah naungan PBB dengan label World Trade Organization (WTO). Sejak kelahirannya WTO telah banyak mengeluarkan regulasi yang mengatur perdagangan internasional.

Dalam penelitian ini peneliti mengkaji salah satu kebijakan WTO dalam bidang ekspor, yaitu kebijakan standardisasi mutu produk ekspor yang bersifat mengikat seluruh anggota WTO, baik negara maju, berkembang, dan negara miskin. Standardisasi mutu produk dipahami positif oleh pemerintah Indonesia untuk mendukung kegiatan ekonomi, perlindungan konsumen, keselamatan, dan kesehatan. Standardisasi dibutuhkan peranannya dalam memfasilitasi kegiatan perdagangan, baik pada level domestik, regional, maupun internasional. Faktor-faktor yang mendorong pentingnya pemberlakuan standardisasi yaitu: 1) peningkatan persyaratan mutu oleh negara-negara di dunia sehingga perlu kepastian akses ekspor ke negara tujuan utama; 2) kebutuhan di tingkat regional dalam hal standar dan persyaratan teknis dalam rangka kompetisi dan komitmen baru perdagangan, sehingga diperlukan infrastruktur mutu yang sejajar; dan 3)


(28)

28

peningkatan perekonomian dalam negeri sehingga masyarakat membutuhkan produk dengan mutu yang baik serta aman dari bahan berbahaya.1 Dari poin-poin diatas inilah kemudian pemerintah Indonesia memandang positif atas konsekuensi kebijakan yang dihasilkan WTO mengenai Standardisasi Mutu Produk Ekspor.

A. Rezim Perdagangan Internasional dan WTO

Menurut Stephen D. Krasner (1982), pengertian rezim internasional adalah suatu tatanan yang berisi kumpulan prinsip, norma, aturan, proses pembuatan keputusan yang bersifat eksplisit maupun implicit dan saling berkaitan dengan ekspektasi atau pengharapan aktor-aktor dan memuat kepentingan aktor tersebut dalam hubungan internasional.2 Dalam

perkembangannya, Stephen Haggard dan Beth A. Simmons (1987) mengatakan bahwa selama sepuluh tahun terakhir, rezim internasional muncul sebagai fokus terpenting dan utama dari hasil penelitian secara empiris dan debat teoritis di dalam hubungan internasional.3

Dibentuknya rezim internasional merupakan sebuah upaya untuk menciptakan kerangka kerjasama internasional dan untuk memfasilitasi proses pembuatan kebijakan yang dapat dilakukan bersama. Donald J. Puchala dan Raymond F. Hopkins menyatakan bahwa rezim internasional mempunyai 5 ciri utama, yaitu:

1) Rezim mempunyai kemampuan untuk membentuk perilaku kepatuhan terhadap prinsip-prinsip, norma dan aturan. Rezim bersifat subjektif, dia hanya bisa eksis berdasarkan pemahaman, ekspektasi dan keyakinan para partisipannya mengenai legitimasi, kelayakan atau perilaku yang bermoral. 2) Rezim internasional dapat menciptakan mekanisme atau prosedur bagi pembuatan kebijakan. Karakteristik ini menunjukkan bahwa rezim internasional bukan hanya sekedar berisikan norma substantif. Tapi lebih

1 Badan Pengkajian dan Pengembangan Kebijakan Perdagangan, Pusat Kebijakan Perdagangan Luar Negeri, 2012, Kajian Kebijakan Mutu Dan Standar Produk Ekspor Tertentu Dalam Meningkatkan Daya Saing, Jakarta: Kementerian Perdagangan

2Krasner, Stephen D. 1982. “Structural Causes and Regime Consequences: Regime as Intervening Variables.” The MIT Press Spring: International Organization.

3 S. Haggard & Beth A. Simmons, 1987, “ Theories of International Regimes”, International


(29)

29

dari itu, rezim internasional adalah tentang bagaimana prinsip-prinsip tersebut dibuat yang melibatkan unsur-unsur seperti siapa partisipannya, kepentingan apa yang mendominasi atau yang menjadi prioritas dan aturan apa yang dapat melindungi dari dominasi dalam proses pembuatan kebijakan.

3) Sebuah rezim selalu mempunyai prinsip-prinsip yang dapat menguatkannya, sebagaimana halnya sebuah norma dapat menetapkan kebenaran dan melarang perilaku yang menyimpang.

4) Dalam setiap rezim selalu terdapat aktor yang berperan di dalamnya. Partisipan (aktor utama) dalam kebanyakan rezim internasional adalah pemerintahan negara-bangsa, akan tetapi tidak menutup kemungkinan juga ada dari aktor-aktor non-negara. Peran mereka sebagai partisipan sangat krusial, yakni menciptakan, menjalankan dan mematuhi aturan yang dibuat.

5) Eksistensi rezim internasional adalah untuk mencocok nilai-nilai, tujuan-tujuan, dan prosedur pembuatan kebijakan yang dapat mengakomodir kepentingan dan kebutuhan semua partisipan.4

Dalam rezim perdagangan internasional terbentuk organisasi perdagangan dunia WTO (World Trade Organization) pada tahun 1995 sebagai kelanjutan dari GATT (General Agreement on Tarriffs and Trade). WTO berperan besar dalam mempromosikan perdagangan bebas dalam proses globalisasi. Tujuan utama dari didirikanya WTO adalah untuk mendorong dan mengembangkan liberalisasi perdagangan dan menyediakan sebuah sistem perdagangan dunia yang aman. Disamping itu, WTO berperan besar dalam menjalankan setiap aturan yang telah ditetapkan dalam setiap perjanjian perdagangan dunia.

WTO terdiri dari 150 negara anggota dan sekitar 30 negara anggota lainnya sedang dalam proses negosiasi keanggotaan. Sekretariat WTO, berbasis

4 Puchala, Donald J. dan Raymond F. Hopkins. 1982. ”International Regimes: Lessons From Inductive Analysis”, international Organization, Vol. 36, No. 2, International Regimes, published by The MIT Press


(30)

30

di Jenewa, Swiss dan tidak memiliki kantor perwakilan di luar Jenewa. Keputusan diambil oleh seluruh anggota, yang umumnya dilakukan secara konsensus. Voting mayoritas juga dimungkinkan namun sampai saat ini belum pernah digunakan dalam WTO. Perjanjian-perjanjian dalam WTO telah diratifikasi oleh seluruh anggota WTO. Pengambilan keputusan tertinggi dalam WTO adalah Konferensi Tingkat Menteri (Ministerial Conference) yang bertemu setiap dua tahun sekali. Tingkat dibawahnya adalah Dewan Umum

(General Council) yang bertemu beberapa kali setahun. Dibawah Dewan

Umum terdapat Dewan negosiasi untuk Perdagangan Barang, Perdagangan Jasa dan Hak Kekayaan Intelektual (TRIPS). Terdapat juga sejumlah komite khusus, kelompok kerja dan gugus tugas yang berurusan dengan perjanjian individual serta sektor-sektor khusus seperti lingkungan, pembangunan, keanggotaan dan perjanjian perdagangan regional.

Sejak tahun 1994 Pemerintah Indonesia turut serta meratifikasi perjanjian pembentukan GATT/WTO, yakni dengan diterbitkannya UU no 7/1994 tentang Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia. Dengan demikian, Indonesia telah sepakat untuk mengikuti aturan-aturan GATT (WTO) dalam kebijakan perdagangan luar negerinya dengan segala dampaknya. Dalam penjelasan UU No. 7/1994, menyebutkan bahwa secara umum negaranegara anggota harus melakukan perdagangan tanpa diskriminasi. WTO juga menjadi forum untuk mengajukan keberatan atas kebijakan perdagangan suatu negara. Selain itu, negara anggota tidak lagi bebas melakukan penentuan tarif bea masuk dan menolak praktek persaingan yang tidak sehat seperti subsidi produk ekspor, dumping, dan hambatan non tarif lainnya.5

Perdagangan yang diatur oleh WTO telah merambah ke bidang-bidang non-perdagangan. Ini dapat dilihat dari munculnya kebijakan-kebijakan seperti TRIPs (Trade Related Aspect of Intellectual Property’s Rights), TRIMS (Trade

Related Investment Measures), AoA (Agreement on Agriculture) maupun New

5 Asdi Aulia, 2008, Perdagangan Internasional dan Restrukturisasi Industri TPT di Indonesia, Jurnal Administrasi Bisnis (2008), Vol.4, No.1: hal. 46–54, (ISSN:0216–1249) Center for Business Studies. FISIP Unpar


(31)

31

Issues yang sejak Konferensi WTO I di Singapura, terus menerus coba dipaksakan oleh negara maju, yaitu Government Procurement (Belanja Pemerintah), Investasi, Competition Policy (Kebijakan Persaingan), Lingkungan Hidup dan Perburuhan.6

Dengan melebarnya lingkup kerja WTO membuat organisasi yang berada di bawah PBB ini menjadi lembaga ekonomi dunia yang sangat berkuasa. Para anggota WTO kini harus tunduk sepenuhnya pada yang dihasilkan. Ini membuat ekonomi negara berkembang harus menyerahkan sepenuhnya kegiatan ekonominya kepada mekanisme pasar bebas dan liberalisme ekonomi sebagai implementasi dominasi negara liberal di PBB. Tidak ada lagi kebebasan dan kemandirian untuk merancang dan menyusun sendiri model perekonomiannya yang cocok dengan situasi dan kondisi negaranya masing-masing. Di lain pihak, berbagai implementasi agreements tersebut kenyataannya lebih banyak merugikan negara berkembang dan sementara itu sangat sulit untuk diterapkan. Ini akan memposisikan mereka dalam keadaan kalah dan lemah dalam menghadapi perekonomian negara maju.

Negara-negara anggota WTO telah sepakat bahwa jika ada negara anggota yang melanggar peraturan perdagangan WTO, negara-negara anggota tersebut akan menggunakan sistem penyelesaian multilateral daripada melakukan aksi sepihak. Ini berarti negara-negara tersebut harus mematuhi prosedur yang telah disepakati dan menghormati putusan yang diambil. Negara yang telah melanggar aturan WTO karena menetapkan aturan perdagangan yang tidak konsisten dengan WTO harus segera mengkoreksi kesalahannya dengan menyelaraskan aturannya dengan aturan WTO. Jika negara tersebut masih saja melanggar aturan WTO, maka negara penggugat berhak mengajukan permintaan kepada Dispute Settlement Body (DSB) untuk melakukan negosiasi dengan negara tergugat dalam menyepakati kompensasi. Jika tidak tercapai kesepakatan dalam penentuan kompensasi, negara penggugat dapat meminta otorisasi dari DSB untuk melaksanakan retaliasi. Retaliasi dimaksudkan


(32)

32

sebagai upaya terakhir (last resort) dengan tujuan agar negara pelanggar memperbaiki tindakannya agar sesuai dengan kewajibannya sebagai anggota WTO. Penerapan retaliasi biasanya dalam bentuk peningkatan drastis pengenaan bea masuk (tarif) pada produk-produk tertentu kepentingan ekspor dari negara pelanggar.7

Perluasan kewenangan dan dijadikannya WTO sebagai lembaga penyelesaian sengketa membuat WTO efektif digunakan oleh perusahaan transnational dan negara-negara maju untuk melindungi dan melebarkan sayap bisnisnya. Pada November 2001, dalam Konferensi Tingkat Menteri (KTM) WTO yang berlangsung di Doha, Qatar, perundingan WTO diwarnai dengan perlawanan Negara berkembang dan terbelakang (LDCs). Mereka menolak agenda pembangunan Negara-negara maju. Putaran perundingan di Doha untuk menyepakati Agenda Pembangunan Doha (Doha Development Agenda-DDA) yang terdiri dari Perjanjian Pertanian, Perjanjian Jasa, Perjanjian TRIPS, Perjanjian Akses Pasar untuk produk non-pertanian (NAMA), Perjanjian Trade Facilitation (Fasilitasi perdagangan), dan Perjanjian-perjanjian yang mengatur tentang paket perberlakuan berbeda untuk Negara-negara berkembang dan terbelakang (LDCs). Hal inilah yang diantaranya: Trade Faciitation, LDCs, dan agriculture yang belakangan disebut sebagai Paket Bali (Bali Package) dan disepakati dalam konferensi Tingkat Menteri ke-9 di Bali, 3-6 Desember 2013. WTO dengan kewenangan yang dimiliki dapat menekan Negara anggotanya untuk mengikuti bentuk kebijakan yang disepakati dalam WTO. Keikutsertaan Indonesia didalamnya membawa konsekuensi tersebut. Kebijakan standardisasi mutu produk ekspor termasuk didalamnya mutu manajemen perusahaan mau tidak mau harus diintegrasi kedalam system standar ekspor nasional untuk dapat terlibat dalam aktifitas ekspor dalam perdagangan internasional. Negara berkembang secara mandiri harus mampu mengangkat kualitas produk yang dihasilkan. Upayanya adalah dengan menerapkan standar nasional yang mengacu pada standar internasional.

7 Nandang Sutrisno, 2012, Pemajuan kepentingan Negara-negara Berkembang Dalam Sistem WTO, IMR Press, Cianjur. hal 129


(33)

33

Ketidakmampuan sebuah Negara dalam mengikuti standar ekspor akan berakibat pada menurunnya volume ekspor Negara itu sendiri. Inilah yang sekarang terjadi dalam rezim perdagangan internasional dibawah kendali WTO yang berada dalam tubuh PBB dan didominasi oleh pengaru-pengaruh kuat dari Negara maju yang kapitalis.

B. Standardisasi dalam Paradigma Konstruktivisme

Peneliti menggunakan paradigma konstruktivisme dalam memaparkan pengertian standardisasi yang akan dipaparkan pada bagian ini. Konstruktivisme muncul untuk memberikan pandangan bahwa realitas sosial tidak bisa dilihat sebagai suatu yang secara alamiah ada dengan sendirinya dan independen dari interaksi (rasionalis) dan sebaliknya tidak bisa juga dilihat sebagai sesuatu yang nihil atau tidak ada dan semata-mata hanya dilihat sebagai refleksi ide-ide manusia. Asumsi yang berbeda secara mendasar tersebut dalam pandangan konstruktivis pada dasarnya bisa dipertemukan dalam satu titik temu yaitu dengan argumennya bahwa realitas sosial tidak sepenuhnya alamiah dan tidak juga sepenuhnya nihil. Konstruktivis melihat relitas dunia ini sebagai sesuatu yang didasarkan oleh fakta yang secara materil bisa ditangkap ataupun tidak oleh panca indera namun fakta tersebut tidak menuntun/tidak menentukan bagaimana kita melihat realitas sosial. Sebaliknya realitas sosial menurut konstruktivis adalah hasil konstruksi manusia (konstruksi sosial).

Tata kelola global atau sering disebut good global governance muncul seiring dengan semakin menguatnya kajian ilmu hubungan internasional dalam kacamata konstruktivisme. Kebutuhan global akan tatanan kehidupan internasional yang memiliki keteraturan dianggap perlu dibangun dengan mengarah pada satu ukuran tertentu sebagai kaidah sosial yang semestinya berlaku diseluruh bagian dunia.. Ukuran keteraturan tidak dapat terjadi begitu saja, melainkan perlu adanya norma internasional yang diwadahi dalam sebuah aturan atau regulasi. Hal inilah yang coba diambil alih perannya oleh WTO sebagai badan internasional yang khusus menangani perdagangan internasional.


(34)

34

Salah satu kebijakannya adalah kebijakan mengenai standar kualitas produk ekspor.

Standar mutu produk ekspor muncul sebagai sebuah kesepakatan internasional mengenai ukuran mutu tertentu serta ketentuan lainnya yang menyertai sebuah produk atau komoditas ekspor. Rezim perdagangan internasional melalui WTO mencoba meyakinkan negara-negara anggota mengenai previllage atau keuntungan yang menjanjikan jika pemenuhan standar ekspor ini dalam dipenuhi oleh negara eksportir. Produk yang lulus kualifikasi diyakini akan semakin mudah mendapatkan pasar dibanyak region di seluruh dunia. WTO juga meyakinkan eksportir bahwa standar pasar dibentuk tidak sebagai proteksi melainkan sebagai akselerator perdagangan yang oleh sebab itu regulasi seolah diharuskan untuk diimplementasikan oleh eksportir dalam aktifitas perdagangan internasional. Hal ini peneliti sebut sebagai skenario pertama penetrasi rezim pedagangan internasional dalam mengharuskan regulasi ini diratifikasi dan diintegrasi dalam sistem produsi domestic negara pengekspor. Skenario yang kedua adalah dengan pengaruh negara-negara industri maju yang dominan dalam WTO membuat negara anggota WTO lainnya mau tidak mau harus ikut meratifikasi setiap kebijakan WTO jika ingin memperoleh keuntungan yang ditawarkan, seperti bantuan finansial, investasi, alih teknologi, dan keuntungan lainnya.

Prinsip dan pemikiran tentang standar mutu suatu produk, secara rinci konsepnya terbagi dalam lima tahapan:

1. Tahapan tanpa mutu, sejarah dimulainya sebelum abad 18, dimana produk

yang dibuat tidak memperhatikan masalah mutu, kondisi ini terjadi jika organisasi tidak mempunyai pesaing

2. Tahapan Inspeksi, pada masa ini konsepsi mutu hanyalah melekat pada

produk akhir, dengan kata lain masalah mutu berkaitan dengan produk rusak atau cacat. Hal ini terjadi pada masa fase kebangkitan revolusi industri dimana barang-barang dihasilkan melalui mesin-mesin bersifat massal.


(35)

35

3. Tahapan Statistical Quality Control, jika pada jaman inspeksi terjadi

penyimpangan atriut produk yang dihasilkan dari atribut standar, departemen inspeksi tidak dapat mendeteksi apakah penyimpangan tersebut disebabkan oleh kesalahan pada produksi atau hanya karena faktor kebetulan. Namun pada era ini deteksi penyimpangan sangat signifikan secara statistic sudah dimulai sehingga kualitas produk dapat dikendalikan dari sejak awal proses produksi.

4. Tahapan Quality Assurance, konsep mutu pada masa ini telah mengalami

perluasan, dari sebelumnya yang terbatas pada tahap produksi meningkat ke tahap lainnya seperti desain serta koordinasi antar departemen. Keterlibatan manajemen dalam penanganan mutu mulai dari pemasok hingga pada distribusi sehingga didapatkan korelasi antara tindakan pencegahan memproduksi produk yang rusak atau cacat dengan besar kecilnya biaya dari factory overheat.

5. Tahapan Strategic Quality Management atau Total Quality Mangement,

dalam era ini, keterlibatan manajemen puncak sangat besar dan menentukan dalam mennjadikan kualitas untuk menempatkan perusahaan pada posisi kompetitif dimana konsep mutu adalah bagian dari jiwa serta strategi manajemen. Sehingga konsepsi mutu adalah integrasi kedalam pemikiran seluruh karyawan, dari tingkat paling bawah hingga ke tingkat paling atas.8

Konsepsi mutu yang menjadi dasar penyediaan produk ekspor dalam perdagangan internasional yang telah dicapai oleh masyarakat ekonomi dunia melahirkan konsekuensi percepatan peningkatan infrastruktur industri disemua negara, khususnya di negara berkembang dan miskin jika ingin terus terlibat aktif dalam proses ekspor. Kaitannya dengan agenda tata kelola global (Global

Good Governance), standaridisasi adalah satu konsep yang mendukung

8 Indrawan, 2004, Standardisasi Mutu Produk Bagi Perlindungan Konsumen, Jakarta: Program Pasca Sarjana Fakultas Hukum Indonesia


(36)

36

terciptanya level tata kelola yang teratur dan lebih memiliki tanggung jawab pada publik atau masyarakat.

Standardisasi yang dilakukan sesuai dengan prinsip diatas diyakini akan membawa perdagangan internasional pada kondisi yang lebih stabil dan sehat. Namun jika standardisasi digunakan oleh negara sebagai alat proteksi ekspor maka standardisasi akan menjadi kebijakan yang menghambat pertumbuhan ekspor oleh negara berkembang. Kontrol dari WTO sebagai badan perdagangan dunia harus dilakukan dan jika ditemukan kesengajaan proteksi melalui penerapan standardisasi, WTO diharapkan memberi teguran atau bahkan sanksi kepada negara importir tersebut sesuai dengan prosedur yang telah ditentukan.

C. Regulasi Standardisasi Internasional pada Komoditas Perikanan

Regulasi internasional mengenai standardisasi mengatur hampir seluruh komoditas ekspor di dunia. Eksportir dan importir menyepakati beberapa standar persyaratan dalam kerja sama perdagangan yang dilakukan dengan mengacu pada standar yang dikeluarkan oleh lembaga-lembaga dibawah WTO. Orientasi negara maju seperti negara-negara Eropa dan Amerika Serikat terhadap perlindungan konsumen sangat tinggi, apalagi ketika banyak ditemukan pada produk pangan yang diimpor mengandung bahan-bahan yang dianggap berbahaya bagi kesehatan manusia.

1. Regulasi Standardisasi Ekspor perikanan ke Uni Eropa

Uni Eropa cukup ketat dalam melakukan filter terhadap produk impor yang masuk ke Eropa dengan mengeluarkan berbagai kebijakan yang terkait dengan standar mutu dan keamanan pangan, bahkan berbasis kepada kelestarian hewan dan lingkungan. Efek kebijakan itu cukup dirasakan oleh para eksportir perikanan asal Indonesia dengan keterbatasan sumber daya yang dimiliki serta penggunaan metode-metode tradisional dalam proses produksi komoditi perikanan. Uni Eropa menerapkan Zero Tolerance atas kandungan Chlorampenicol pada udang asal Asia yang masuk ke pasar Eropa karena kandungan ini dianggap membahayakan kesehatan konsumen.


(37)

37

Lebih lanjut Uni Eropa mengelompokkan ketentuan legal

requirements yang harus dipenuhi untuk melakukan ekspor ke Uni Eropa

menjadi 9 bagian, yakni:9 a) Control of contaminants in foodstuffs atau

kontrol kontaminan dalam bahan makanan, 2) Control of residues of veterinary medicines in animals and animal products for human

consumption--only required for aquaculture atau pengendalian residu obat

hewan pada hewan dan produk hewan untuk dikonsumsi manusia, diperlukan hanya untuk produk budidaya, c) Control on illegal fishing--not

applicable to aquaculture products obtained from fry or larvae atau

pengendalian terhadap penangkapan ilegal, tidak berlaku untuk produk budidaya benih atau larva, d) Health control of fishery products intended

for human consumption atau kontrol kesehatan terhadap produk perikanan

yang dikonsumsi manusia, e) Health control of fshery products not intended

for human consumption atau kontrol kesehatan terhadap produk perikanan

yang tidak dikonsumsi manusia, f)Labelling for fishery products (pelabelan untuk produk perikanan, g) Marketing standards for fshery products--only

required for Pandalus borealis atau standar pemasaran untuk produk

perikanan, hanya diperlukan untuk Pandalus borealis, h) Traceability,

compliance, and responsibility in food and feed atau penelusuran,

kepatuhan, dan tanggung jawab dalam makanan dan pangan, i)

Voluntary-Products from organic production atau voluntir produk dari produksi

organik.

Pada dasarnya Indonesia, telah memiliki Sistem Nasional Jaminan Keamanan Pangan sejak tahun 1998 seperti yang diamanatkan oleh Code of

Conduct for Responsible Fisheries. Sistem ini dituangkan dalam Keputusan

Menteri Pertanian N0. 41/Kpts/IK210/2/1998 yang diamandemen terakhir melalui Keputusan Menteri Kelautan dan UG Jurnal Vol. 6 No. 02 Tahun 2012 15 Perikanan No. 01/Kep/2002 dan sistem jaminan mutu dan kemanan ini lebih terkenal disebut Program Manajemen Mutu Terpadu Hasil


(38)

38

Perikanan (PMMT). Dalam menerapkan program ini, Unit pengolahan ikan secara rutin diperiksa oleh pengawas mutu perikanan di daerah dan di pusat, melalui kegiatan validasi, audit dan verfikasi audit. Kekurangannya belum semua UPI yang terdaftar saat ini berjumlah lebih dari 650 unit menerapkan HACCP.

Menurut catatan terakhir Ditjen Perikanan Tangkap yang telah menerapkan HACCP berjumlah 263 unit. Sumber residu chloramphenicol di UPI diperkirakan berasal dari bahan-bahan disinfektan yang digunakan untuk mencuci udang di unit pengolahan ikan. Sumber lainnya adalah salep yang sering digunakan untuk mengobati bagian tubuh pekerja yang luka. Oleh karena itu pada saat pengawasan, bahan-bahan desinfektan dan salep dilarang untuk digunakan kapan saja. Pekerja yang bagian tangannya terluka dilarang menangani produk untuk menghindari pencemaran. Berdasarkan laporan pengawas mutu, beberapa unit pengolahan udang pernah menggunakan bahan disinfektan yang diduga mengandung CHP.10

2. Regulasi Standardisasi mutu ekspor Perikanan ke Amerika Serikat

Amerika serikat adalah pasar yang potensial bagi ekspor komoditi perikanan. Indonesia telah sejak lama menjadikan negara ini sebagai pasar prioritas karena permintaan produk perikanan d Amerika Serikat yang cukup tinggi. Akan tetapi Amerika Serikat juga merupakan alah satu negara yang menetapkan persyaratan tinggi terhadap produk pangan terutama produk perikanan adalah Amerika Serikat.

Melalui FDA yaitu lembaga di bawah Departemen Kesehatan dan Layanan Masyarakat Amerika Serikat. Dalam menjamin kesehatan masyarakat, FDA memiliki undang-undang “Public Health Security and

Terorism Prepardness and Response Act of 2002” yang selanjutnya disebut “Bioterorism Act”. Regulasi dan standar FDA terkait keamanan produk

perikanan adalah peraturan FDA No. 21 CFR 123, FDA Food Code 2009

10 Irwandaru Dananjaya dan Ajie Wahyujati, 2012, Peningkatan Daya Saing Produk Lokal Dalam

Upaya Standardisasi Memasuki Pasar Global (Standardisasi Mutu Dan Kualitas Produk Udang Windu), UG Jurnal Vol. 6 No. 02 Tahun 2012, Jakarta: Universitas Gunadarma


(1)

31

E. KESIMPULAN DAN SARAN

1. Kesimpulan

Dari hasil penelitian tersebut diatas dapat disimpulkan dengan mengacu pada hipotesa yang peneliti tentukan sebelumnya, yaitu sebagai berikut: pertama, Kausalitas kebijakan berupa pengaruh variable standardisasi terhadap variable daya saing serta pengaruhnya pada kesejahteraan ekonomi rakyat adalah sifat teoritis yang menjadi dasar penerapan kebijakan standardisasi ini. Akan tetapi adalah benar bahwa hal ini terlalu prematur atau terlalu dini jika indikatornya melihat pada kemampuan perusahaan kecil dan menengah dengan kondisi infrastruktur yang rendah untuk mengikuti standar pasar internasional. Sebuah kebijakan semestinya tidak hanya kuat dalam melahirkan aturan perundang-undangan, sekalipun ini juga sangat penting, namun juga harus mengukur kemampuan masyarakat sebagai pihak yang berdampak langsung atas kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah. Namun yang terjadi kebijakan standardisasi mutu produk ekspor di Indonesia terkesan hanya memfasilitasi kebutuhan pasar internasional namun tidak diikuti dengan pendampingan dan pemberian bantuan yang nyata bagi pelaku usaha untuk dapat ikut merasakan manfaat yang didapat dari kebijakan tersebut.

Analisis dengan pendekatan konstruktivisme cukup memberi pengampunan bagi pemerintah Indonesia atas langkahnya yang dianggap terlalu dini dalam meratifikasi kebijakan standardisasi mutu produk ekspor. Dunia internasional saat ini seolah sedang dibangun menuju ukuran atau standar norma tertentu di segala sektor, utamanya disektor politik dan ekonomi, yang didorong kepada seluruh aktor internasional, baik aktor negara (public) maupun aktor swasta (private). Situasi ini yang kemudian tidak bisa dihindari oleh pemerintah Indonesia sehingga dengan modal keyakinan dan strategi-strategi ekonomi yang sebenarnya disandarkan pada peran serta aktor ekonomi asing maka pemerintah Indonesia dengan yakin menyepakati kebijakan ekspor tersebut.

Kondisi berikutnya yang muncul akibat kebijakan standardisasi yang seolah dipaksakan untuk diintegrasi dalam sistem standar nasional, terutama dalam aktifitas ekspor adalah munculnya ketergantungan kepada negara industri maju. Dua


(2)

32 klasifikasi ketergantungan yang muncul secara nyata adalah: Pertama, ketergantungan industri keuangan, ditandai dengan adanya suatu dominasi modal besar di negara maju yang ekspansinya ke negara berkembang dan negara miskin dilakukan dengan investasi dalam produksi bahan mentah primer untuk tujuan konsumsi di negara tujuan investasi modal. Struktur produksi di negara berkembang tumbuh untuk melayani ekspor komoditi sehingga terjadilah apa yang disebut oleh masyarakat Amerika Latin "desarollo hacia afuera" atau pembangunan yang berorientasi ke luar negeri. Ekonomi dalam negeri tidak mampu menciptakan pasar atau landasan permintaan efektif yang kokoh untuk menopang pembangunan industri dalam negeri. Hal ini disebabkan oleh dua faktor, yaitu: 1) Sebagian besar pendapatan nasional yangdiperoleh melalui ekspor digunakan untuk membeli input dari luar negeri, dikirimkan ke luar negeri sebagai keuntungan dan digunakan untuk mengimpor barang konsumsi mewah sehingga yang tinggal untuk reinvestasi relatif sangat kecil, 2) Kaum pekerja berada dalam proses super-eksploitatif sehinggakonsumsi mereka relatif terbatas dan tidak dapat menimbulkan permintaan efektif yang berarti. Situasi ini menimbulkan ketergantungan perdagangan internasional negara berkembang pada modal asing karena modal domestik tidak mampu menjawab kebutuhan industrialisasi dengan sendirinya. Begitu pula ketika standarisasi mutu produk ekspor diratifikasi dalam kondisi infrastruktur industri di Indonesia yang masih rendah semakin membuka peluang bagi masuknya modal asing yang diarahkan untuk menutupi keteringgalan infrastruktur industri. Dari sini maka dapat dibaca prioritas diratifikasinya kebijakan internasional oleh pemerintah Indonesia cenderung lebih ditujukan untuk membuka investasi dan modal asing daripada membangun perekonomian berbasis kerakyatan. Kedua, ketergantungan teknologi industry, yaitu konsekuensi dari operasi perusahaan multinasional yang mulai melakukan investasi di sektor industri dinegara berkemban. Hampir seluruh industri baru di negara berkembang secara teknis produksinya tergantung pada luar negeri. Investasi baru di negara berkembang seluruhnya ditentukan oleh tersedianya devisa untuk membiayai mesin dan bahan mentah yang tidak diproses di dalam negeri. Pembelian mesin dan input lain yang diperlukan dari luar negeri oleh pihak di negara berkembang dibatasi oleh dua faktor, yaitu kemampuan sektor ekspor yang


(3)

33 ada untuk menghasilkan devisa dan sistem monopoli hak paten yang selalu mengakibatkan produsen mesin atau afiliasinya cenderung untuk mengalihkan mesin tersebut sebagai penyertaan modal merekadalam proyek investasi di negara berkembang dan selalu tidak bersedia menjual mesin sebagai komoditi biasa. Jika produksi di sektor ekspor dikuasai oleh pihak asing, maka di sini kembali timbul ketergantungan yang pada hakekatnya merupakan ketergantungan kolonial dalam bentuk baru dengan segala akibatnya di bidang ekonomi dan sosial politik.

Ketergantungan pada dua aspek diatas membuat banyak perusahaan kecil dan menengah yang gulung tikar karena tidak mendapatkan akses modal yang disediakan. Kebutuhan modal dan alih teknologi belum mampu dijawab oleh pemerintah Indonesia sehingga yang terjadi adalah ketertinggalan tingkat kontribusi perusahaan kecil dan menengah dalam ekspor. Kontribusi ekspor UKM Indonesia hanya 9,3 %, kontras dengan UKM Thailand, Filipina, dan Malaysia yang mampu berkontribusi diatas 28,1 % terhadap total ekspor.Bahkan kontribusi UKM Indonesia terhadap total ekspor masih tertinggal dibawah UKM Vietnam dengan kontribusi sebesar 16,8 %

Kedua, disadari oleh pemerintah bahwa standardisasi hanya bisa diikuti oleh perusahaan besar. Terdapat kesan bahwa pemerintah sudah cukup puas dengan aktifitas ekspor Indonesia yang didominasi oleh perusahaan besar yang memiliki modal finansial memadai sehingga mampu menyediakan infrastruktur yang lebih modern dan pemanfaatan teknologi dalam proses produksi. Hal ini sebenarnya dapat dipahami jika melihat pada keterbatasan sumber daya yang dimiliki pemerintah untuk mendukung dan mengangkat perusahaan kecil dan menengah untuk dapat terlibat lebih dalam pada aktifitas ekspor di Indonesia.

Rezim perdagangan Internasional membuat negara-negara berkembang terkoneksi dengan sistem ekonomi dunia yang kapitalis dan liberal, sehingga mereka menjadi negara-negara pinggiran dari negara-negara kapitalis. Liberalisme hanya akan menyebabkan terbentuknya dua jenis negara yaitu negara pusat dan negara pinggiran seperti mengaju pada istilah pada teori ketergantungan. Barang-barang industri dihasilkan oleh negara pusat, sedangkan hasil-hasil perikanan (dan pertanian) dihasilkan oleh negara pinggiran. Keduanya melakukan transaksi


(4)

34 perdagangan yang seharusnya mencapai keuntungan dikedua belah pihak, namun dalam prakteknya keuntungan itu hanya dinikmati oleh negara maju. Dengan melakukan ekspor barang-barang ke negara pusat, maka pendapatan negara pinggiran semakin meningkat dan berakibat pada peningkatan pendapatan rakyat dinegara pinggiran. Selanjutnya dengan meningkatnya pendapatan, maka kebutuhan akan barang-barang mewah dari negara industri juga mengalami peningkatan, sehingga impor barang mewah di negara pinggiran meningkat. Peningkatan nilai tukar barang-barang primer dengan hasil komoditi perikanan dan pertanian, menyebabkan tidak berimbangnya neraca perdagangan dan menjadikanya defisit.

Negara industri juga sering melakukan proteksi atas komoditi yang mereka hasilkan, sehingga negara pinggiran sulit mengekspor hasil produksinya ke negara pusat. Penemuan teknologi baru juga mendorong sintesis bahan mentah industri, sehingga negara pusat tidak perlu mengimpor bahan bakar mentah dari negara pinggiran. Hal ini menyebabkan gerak ekonomi negara pinggiran menjadi terhenti. Disamping itu Negara pinggiran juga seolah dipaksa untuk menjadi negara penerima donor agar mampu menjawab tuntutan standar pasar internasional. Kewajiban membayar utang luar negeri dan perjuangan mengurangi kesenjangan standar proses produksi komoditas ekspor ikut menambah pengeluaran neraca pembayaran. Inilah yang menimbulkan struktur ketergantungan yang menjadi penghambat utama bagi perkembangan pembangunan ekonomi di negara-negara pinggiran atau negara berkembang.

Dalam posisinya sebagai negara pinggiran13, pelaku usaha atau produsen ekspor pada industri kecil dan menengah di Indonesia mengalami kondisi ketidakefektifan (distorsi) akibat berupaya mengikuti standar pasar internasional yang tinggi dengan kondisi sumber daya yang terbatas. Kemampuan pemerintah melakukan alih teknologi yang kembali lagi terkendala modal membuat minim peranannya dalam membantu industri kerakyatan menjawab tantangan standardisasi ekspor. Kompleksitas ini membuat kontribusi industri kerakyatan relatif masih

13

istilah ini merujuk pada teori Dependency padaMohtar Mas’oed, 1990, Ilmu Hubungan Internasional: Disiplin dan Metodologi, Jakarta; LP3ES


(5)

35 rendah dan tertinggal dari negara-negara Asia Tenggara lainnya. Keseluruhan hal inilah yang menjadi penghambat peningkatan volume hasil perikanan Indonesia.

2. Saran

Dari penelitian ini dapat peneliti sampaikan beberapa saran yang membangun bagi pelaksanaan ekspor di Indonesia dalam menghadapi tantangan standardisasi mutu produk ekspor pasar internasional, yaitu sebagai berikut:

a) Tantangan oleh rezim perdagangan internasional harus dijawab oleh pemerintah dengan strategi yang sistematis dan melalui pertimbangan yang matang sebelum melakukan ratifikasi kebijakan internasional

b) Kontribusi ekspor oleh UKM di Indonesia yang masih tertinggal dengan negara Asia Tenggara lainnya harus mampu dijawab oleh pemerintah dengan kebijakan-kebijakan ekonomi yang mengedepankan UKM sebagai tiang penyangga perekonomian Indonesia dengan alokasi modal Negara dan modal asing yang tepat sasaran pada peningkatan kualitas produksi oleh UKM.

c) Kemampuan daya saing dalam menghadapi perdagangan internasional yang sejauh ini dicapai oleh Indonesia adalah didominasi oleh perusahaan besar yang berbasis investasi asing. Kondisi ini harus disadari oleh pemerintah Indonesia dan disikapi dengan regulasi ekonomi yang mendorong industri kerakyatan.

d) Prioritas pada alih teknolgi akan mempercepat pencapaian produk Indonesia pada standar pasar internasional

e) Mengurangi ketergantungan utang luar negeri (ULN) dalam menggerakkan perekonomian domestic

f) Global Governance Gaps dalam regulasi ekonomi harus dikelola dan disikapi dengan strategi yang mengedepankan kepentingan rakyat daripada bergantung pada aktor asing


(6)

36

F. DAFTAR PUSTAKA

Bank Dunia, Ketimpangan yang Semakin Lebar, November 2015, jurnal The World Bank and Australian Aid, Jakarta: Kantor Bank Dunia, diunduh dari http://pubdocs.worldbank.org, diakses pada 01 Januari 2017

Blomstrom dan Hettne. 1984, Development Theory in Transition, The Dependency Debate and Beyond: Third World Response, London : Routledge, hal 17

Edelman, Marc and Angelique Hangerud.: 2006, The Anthropology of Development and Globalization; From Classical Political Economy to Contemporary Neoliberalism. Blackwell Publishing, Malden MA USA, Victoria, Australia

Edwards, Michael, 2007, Civil Society: Polity Press in association with Blackwell Publishing Ltd, Malden, MA 02148, USA

http://setkab.go.id/potensi-besar-perikanan-tangkap-indonesia/, diunduh pada 28 Desember 2016

Kementerian Keuangan RI, Statistik Utang Luar Negeri Indonesia, Volume VII Januari 2016, Jakarta: Kementerian Keuangan Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko

Miles, Matthew dan Huberman, A. Michael. 1992. Analisis Data Kualitatif: Buku Sumber Tantang Metode-Metode Baru. Jakarta:UI Pres

Mohtar Mas’oed, 1990, Ilmu Hubungan Internasional: Disiplin dan Metodologi, Jakarta; LP3ES;1990, hal. 204

Sutiarnoto MS, 2001, Tantangan dan Peluang Investasi Asing, Jurnal Hukum,Vol 6 No. 3, Agustus, hal. 271

Theotonio Dos Santos, 1970, The Sctructure of Dependence, American Economic Review, Vol 60 (2), h. 231

Viviane, Manoppo, 2007, Utang Luar Negeri Indonesia (Perspektif Ekonomi Politik), Journal of Indonesian Applied Economics Vol.1 No.1 Oktober 2007, 36-45, Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Manado

Wignaraja, G., Jinjarak, Y, 2015,Why do SMEs not borrow more from banks? Evidence from the People's Republic of China and Southeast Asia. ADBI Working Paper 509.

Yozua Makes, "Divestasi pada Perusahaan PMA: Beberapa Masalah", Newsletter, No.l3/lV/Junl1993