Pemimpin komunitas setempat Pada awal konflik, peran pemimpin komunitas
Pemimpin komunitas setempat Pada awal konflik, peran pemimpin komunitas
dalam pengelolaan konflik adalah signifikan. Dalam kerangka MUSPIDA, pejabat pemerintah kabupaten dan petugas keamanan bertemu dan berkoordinasi dengan pemimpin komunitas untuk menyerukan ketenangan. Pada tahap pertama konflik, 129 pemimpin komunitas dan agama setuju untuk bekerja sama menghentikan kekerasan. Karena para pemimpin komunitas sangat berpengaruh, keterlibatan mereka dianggap penting oleh pemer- intah setempat.
Namun, kapasitas pemimpin komunitas semakin dipertanyakan oleh publik ketika konflik berlanjut ke 2000. Hal ini sebagian karena munculnya beberapa orang yang menyebut diri pemimpin komunitas tapi sebenarnya merancang dan mem- provokasi konflik. Juga karena ketidak mampuan atau keengganan pemimpin komunitas untuk mengendalikan elemen dari luar Poso, sepert Laskar Jihad dan Laskar Manguni. 204
Keberhasilan usaha pengelolaan konflik pada awalnya bergantung dari kerjasama yang erat antara pemimpin komunitas dan pemerintah setempat. Namun karena pemerintah setempat semakin tidak bisa dipercaya, terutama oleh umat Kristen, usaha pemerintah setempat untuk mem- fasilitasi pemimpin kedua komunitas tersebut tidak lagi berhasil seperti semula. Pengaruh dari ketua adat juga berkurang seiiring waktu. Kombinasi dari meningkatnya transmigrasi selama era Suharto dan kebijakan sentralisasi Jakarta membuat menu- runnya peran dan pengaruh ketua adat dan memunculkan kekuatan pemimpin agama. Pada
22 Agustus 2000, pemimpin provinsi menggunakan ketua adat untuk mencoba dan menemukan solusi di Poso. Mereka membawa kesepakatan Rujuk Sintuwu Maroso yang berdasarkan tradisi etnis Pamona ke Presiden. Namun keragaman etnis di Poso (daerah ini memiliki 13 sub-etnis berbeda, dan tidak semua mempunyai tradisi Pamona) melemahkan kesepakatan ini. Kebanyakan ketua adat kurang pengaruhnya dibanding pemimpin agama. Umat Muslim terutama ragu-ragu terhadap adat karena menurut mereka tarian tradisional Pamona tidak sesuai dengan agama Islam. 205
204 Ini adalah kelompok Kristen yang datang dari Manado, Sulawesi Utara. 205 Rozi, Syafuan, Mashad, Dhurorudin dll. (2005).
Selama konflik, beberapa ketua kampung memainkan peran penting dalam pengelolaan konflik. Sebagai contoh, di kampung Male-Lage, warga bekerja sama melindungi kampung dari penyerangan, walaupun mereka berbeda agama dan etnis. Di kampung Toyado, ada kesepakatan antara pemimpin agama untuk tidak mengganggu kelompok agama lain di dalam kampung. Pada 25 Mei 2000 di Tokorondo, ketua-ketua kampung dari Tokorondo (yang didominasi Islam) dan Masani (yang didominasi Kristen) membuat kesepakatan untuk bekerja sama jika mereka diserang dari luar kampung-kampung mereka. Di kampung Tangkura, warga diserang dan mereka melarikan diri, tapi baik umat Kristen dan Muslim membantu satu sama lain untuk kembali ke kampung mereka. Walaupun usaha mereka efektif, namun hanya terbatas pada kampung masing- masing. Kesuksesan tergantung pada kepemimpinan setempat yang kuat dan progresif, dan pada beberapa kasus, tergantung kekhasan masing-masing kam- pung. Sebagai contoh, salah satu alasan keberhasilan Tangkura adalah karena tidak ada Gereka Kristen Sulawesi Tengah yang dominan di daerah tersebut. Sebaliknya, beberapa aliran gereja yang berbeda yang tersedia – kurangnya kendali yang tersentralisasi dari satu kelompok agama membatasi kemampuan pemimpinnya untuk menggerakkan anggotanya untuk melakukan kekerasan.
Pemimpin setempat mempunyai kapasitas yang lebih besar untuk memainkan peran yang lebih membangun setelah Malino I karena banyak yang terlibat di kelompok kerja yang menyebarkan hal-hal kesepakatan ke komunitasnya (Pokja Deklarasi Malino atau Pokja Deklama). Sekitar 235 pemimpin komunitas adalah anggota Pokja Deklama 2002. Pemimpin-pemimpin ini bekerja sama dengan baik dengan petugas keamanan dan pemerintah kabupaten. Sebuah contoh yang baik keterlibatan komunitas dalam proses rekonsiliasi adalah kegiatan Muslim ke Poso, sebuah inisiatif beberapa pemimpin Muslim di kota Poso bekerja sama dengan Gereja Kristen Sulawesi Tengah di Tentena. Mereka meng- atur agar umat Muslim dari kota Poso mengunjungi Tentena untuk mengunjungi pengungsi dari Poso sebagai cara membangun pengertian satu sama lain yang lebih besar. 206
206 Rozi, Syafuan, Mashad, Dhurorudin, dll. (2005), hal.66-68.
Sebuah Analisis Konflik di Maluku, Papua dan Poso
67