1
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Penelitian
Tata kelola kepemerintahan yang baik Good Governance merupakan issue yang menonjol dalam pengelolaan administrasi publik saat ini. Tuntutan gencar
yang dilakukan oleh masyarakat kepada pemerintah untuk melaksanakan penyelenggaraan pemerintahan yang baik adalah sejalan dengan meningkatnya
tingkat pengetahuan dan pendidikan masyarakat, selain adanya pengaruh globalisasi Sedarmayanti, 2003:4.
Good governance merupakan prinsip penyelenggaraan pemerintahan yang universal, karena itu seharusnya diterapkan dalam penyelenggaraan pemerintahan
di Indonesia, baik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah. Apalagi setelah dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 Tentang
Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme, yang di dalamnya telah diatur secara tegas dan limitatif asas-asas
umum penyelenggaraan negara. Good governance merupakan proses penyelenggaraan kekuasaan negara dalam melaksanakan penyediaan public good
and service di dalam governance pemerintahan atau kepemerintahan sedangkan praktek baiknya disebut “good governance” kepemerintahan yang baik.
Penyediaan public good and service di dalam praktek good governance erat kaitannya dengan pelayanan publik.
2
Pelayanan publik public service merupakan suatu perwujudan dari fungsi aparatur negara sebagai abdi masyarakat dan abdi negara. Pelayanan publik
adalah segala kegiatan pelayanan yang dilaksanakan oleh penyelenggara pelayanan publik sebagai upaya pemenuhan kebutuhan penerima pelayanan,
maupun dalam rangka pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan. Kepmenpan No.25KEPM.PAN022004. Pelayanan publik oleh birokrasi
publik dimaksudkan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Menilik dari fungsi utama pemerintah yang merupakan penyelenggara pelayanan publik, sudah
seharusnya pemerintah melakukan perbaikan dalam pelayanan publik tersebut dan tidak menjadikan good governance hanya sebagai sloganistik.
Dewasa ini, kepercayaan masyarakatpublik terhadap kinerja pemerintah atau birokrasi mengalami degradasi yang kian semakin parah oleh akibat dari
lemahnya kinerja aparat-aparat pemerintahanbirokrasi. Kepercayaan dan kehidupan masyarakat menjadi semakin sengsara ketika pemerintahbirokrasi
yang seharusnya berperan menghadirkan pelayanan prima kepada publik menjadi didominasi dan ditentukan oleh rezim yang berkuasa sehingga menyebabkan
kebalikan daripada pelayanan publik menjadi publiklah yang menjadi pelayan bagi birokrasi. Hal ini membuktikan bahwa pelayanan publik yang selama ini
dirasakan masyarakat belum bisa memberikan kemudahan dan kesejahteraan bagi masyarakat itu sendiri. Selain itu banyak pelayanan publik yang diberikan kepada
masyarakat tidak secara efektif dan efisien, dimana pelayanan yang diberikan cenderung kurang memuaskan dan berbelit-belit.
3
Setelah dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah dimana telah mengalami perubahan sebanyak dua kali, yaitu
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2005 dan Undang-Undang No.12 Tahun 2008, telah membawa perubahan besar terhadap bentuk sistem pemerintahan yang
sebelumnya menganut sistem sentralisasi terpusat menjadi desentralisasi otonomi daerah. Perubahan sistem ini memberikan dampak besar dalam
pelaksanaan administrasi dan manajemen sumber daya manusia sektor publik. Perubahan ini membawa implikasi yang sangat luas bagi pelaksanaan tugas
aparatur di daerah. Perubahan yang sangat mendasar adalah kewenangan yang diberikan pemerintah kepada kepala daerah gubernur, bupati atau walikota yang
sangat besar berkenaan dengan pengelolaan kepegawaian di daerah, mulai dari pengangkatan, promosi dalam jabatan, kenaikan pangkat, hingga kepada
pemberhentian pegawai. Kewenangan yang besar tersebut diharapkan akan membantu kelancaran keberhasilan pelaksanaan otonomi daerah, karena sumber
daya manusia aparatur di daerah merupakan ujung tombak dalam implementasi kebijakan otonomi daerah. Sesuai dengan pendapat Thoha dalam Torang
2013:50 yang menyatakan bahwa “manusia man adalah salah satu dimensi dalam organisasi yang amat penting, merupakan salah satu faktor dan pendukung
organisasi”. Namun demikian kenyataan menunjukkan bahwa setelah lebih dari satu
dasawarsa pelaksanaan otonomi daerah, masih banyak terjadi penyalahgunaan wewenang oleh kepala daerah, diantaranya pengangkatan tenaga honorer yang
terkesan asal-asalan tidak memiliki standar dan kompetensi, pengangkatan calon
4
pegawai negeri sipil CPNS dan promosi jabatan yang banyak terimplikasi ada praktek Korupsi, Kolusi dan Nepotisme KKN dan pengangkatan jabatan yang
tidak memiliki kualifikasi dan kompetensi. Padahal seharusnya penempatan pegawai disesuaikan dengan keahliannya sesuai prinsip the right man on the right
job yang merupakan kaidah dan prinsip yang berlaku secara universal. Apabila hal ini terus terjadi, maka akan mengganggu kinerja sumber daya manusia
aparatur secara umum, mengganggu sistem karir dan akan menghambat aktivitas pelayanan publik sehingga berimplikasi terhadap penurunan kepercayaan publik
kepada pemerintah daerah dan pada gilirannya akan berimbas kepada sulitnya atau gagalnya pelaksanaan otonomi daerah dalam mewujudkan good governance.
Padahal seharusnya good governance digunakan sebagai sebuah kerangka institusional untuk memperkuat otonomi daerah karena secara subtantif
desentralisasi dan otonomi daerah bukan hanya masalah pembagian kewenangan antara level pemerintahan, melainkan upaya membawa negara lebih dekat
terhadap masyarakat dan good governance adalah basis penyelenggaraan otonomi lokal.
Sejalan dengan pendapat Thoha, Tajuddin 2008 juga menyatakan bahwa “berhasil atau tidaknya pelaksanaan good governance sebagian besar tergantung
pada pemerintah daerah local government yang terdiri dari unsur-unsur pimpinan daerah, DPRD. Disamping itu terdapat aparatur atau alat perlengkapan
daerah lainnya yaitu para pegawai daerah itu sendiri”. Berdasarkan pendapat ahli tersebut diketahui bahwa salah satu unsur penyelenggaraan pemerintahan yang
perlu memperoleh perhatian dalam upaya perwujudan tata kelola kepemerintahan
5
yang baik good governance ialah penataan aparatur pemerintah yang meliputi penataan kelembagaan birokrasi pemerintahan, sistem dan penataan manajemen
sumber daya pegawai PNS. Jika diamati dengan seksama, persoalan yang menjadikan aparatur negara
kurang amanah salah satunya disebabkan oleh terabaikannya faktor moral dan etika. Konsentrasi aparatur negara lebih banyak bernuansa materi. Vonita 2010,
‘untuk negara yang lebih baik maka terlebih dahulu membangun peradaban manusia-manusia yang baik, hal ini dapat terwujud dengan membangun individu-
individu yang membentuk masyarakat itu sendiri. Sebab individu merupakan pondasi dari masyarakat. Tanpa memperhatikan hal tersebut, peradaban yang
baik sesuai dengan tujuan bangsa tidak akan terwujud’. Fenomena yang terjadi di Indonesia penyebab kurang berhasilnya good
governance disebabkan kurangnya perhatian pemerintah terhadap budaya kerja
aparat. Budaya kerja adalah sikap dan perilaku individu dan kelompok aparatur
negara yang didasari atas nilai-nilai yang diyakini kebenarannya dan telah menjadi sifat serta kebiasaan dalam melaksanakan tugas dan pekerjaan sehari-
hari. Budaya kerja diharapkan bermanfaat bagi pribadi aparat negara maupun unit kerjanya, dimana secara pribadi memberi kesempatan berperan, berprestasi dan
aktualisasi diri, dan dalam kelompok bisa meningkatkan kualitas kinerja kelompok. Sasaran yang ingin dicapai dalam penerapan dan pengembangan
budaya kerja adalah bertumbuh kembangnya nilai-nilai moral dan budaya kerja produktif aparat negara, meningkatnya persepsi, pola pikir, pola sikap, pola
tindak, dan perilaku aparat negara sehingga terhindar dari perbuatan KKN,
6
meningkatnya kinerja aparat negara, dan terbentuknya citra aparat negara dan kepercayaan masyarakat trust.
Agar penyelenggaraan pemerintahan daerah dalam mewujudkan pemerintahan yang baik dan bersih terwujud, maka pengawasan sebagai
instrumen dalam manajemen organisasi pemerintahan harus berjalan dan terlaksana secara optimal. Optimalisasi pengawasan atas penyelenggaraan
pemerintahan daerah selain mewujudkan cita-cita otonomi daerah dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat, juga mencegah terjadinya
penyimpangan dan penyalahgunaan wewenang. Guna mencegah terjadinya penyimpangan dan penyalahgunaan wewenang dalam penyelenggaraan
pemerintahan, maka di setiap institusi pemerintah dibentuk lembaga pengawasan internal pemerintah yang secara khusus melaksanakan fungsi pengawasan.
Lembaga pengawasan internal pemerintah adalah lembaga yang dibentuk dan secara inheren merupakan bagian dari sistem pemerintahan yang memiliki tugas
pokok dan fungsi dibidang pengawasan. Pengawasan atas penyelenggaraan pemerintahan daerah dilakukan oleh Inspektorat. Pengawasan sebagai suatu
proses merupakan rangkaian tidak terputus, salah satu unsur manajemen pemerintah yang penting untuk mewujudkan tata pemerintahan yang baik, efektif,
efisien, terarah dan terkoordinasi. Pengawasan atas penyelenggaraan pemerintahan daerah merupakan amanat dari ketentuan Bab XII, Pasal 218
Undang Undang Nomor 32 Tahun 2004 yang menyatakan bahwa 1.
Pengawasan atas penyelenggaraan pemerintahan daerah dilaksanakan oleh Pemerintah meliputi :
a. Pengawasan atas pelaksanaan urusan pemerintah di daerah.
b. Pengawasan terhadap peraturan daerah dan peraturan kepala daerah.
7
2. Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 huruf a dilaksanakan
oleh aparat pengawas intern Pemerintah sesuai peraturan perundang- undangan.
Guna mewujudkan pemerintahan yang baik lembaga pengawasan selayaknya memainkan peran aktifnya dalam menghadapi tuntutan perkembangan
dan pencapaian sasaran pembangunan sesuai dengan aspirasi reformasi, peranan aparatur negara dan tuntutan masyarakat. Sesuai dengan tuntutan masyarakat
terhadap kinerja aparatur pemerintah dalam penyelenggaraan kepemerintahan yang baik good governance, maka perlu dilakukan upaya perbaikan secara terus-
menerus terhadap hal-hal yang berkaitan dengan masalah ketidakekonomisan, ketidakefisienan dan ketidakefektifan dalam praktek manajemen publik baik
dimasa lalu maupun yang berpotensi timbul di masa yang akan datang. Perubahan yang terjadi terus menerus juga menuntut peningkatan
kompetensi aparat pengawas internal. Pengetahuan dan ketrampilan minimal yang dibutuhkan dari pengawas intern juga mengalami
perubahan. Jika dahulu aparat lebih didominasi oleh ilmu akuntansi dan auditing, saat ini pengawas intern membutuhkan berbagai jenis disiplin
ilmu untuk mendukungnya Warta Pengawasan, 2012:9 Kabupaten Labuhanbatu Utara merupakan kabupaten hasil pemekaran
Kabupaten Labuhanbatu. Pembentukan Kabupaten ini sendiri didasarkan pada Undang-Undang No.23 Tahun 2008 tanggal 21 Juli 2008. Sebagai kabupaten
baru, peneliti tertarik untuk melihat sejauhmana peran Inspektorat Kabupaten dalam melakukan pengawasan demi mewujudkan good governance.
Penelitian Syamsir 2014 mencoba menganalisis hubungan peran inspektorat daerah sebagai lembaga pengawas daerah dan budaya organisasi
terhadap penerapan good governance yang mengatakan bahwa inspektorat tidak berpengaruh terhadap penerapan good governance di pemerintahan Kota
8
Bukittinggi, sedangkan budaya organisasi memiliki pengaruh langsung terhadap penerapan good governance.
Amelia et al. 2012 dalam penelitiannya menyatakan bahwa good governance berpengaruh terhadap kinerja pemerintah daerah di Kabupaten
Pelalawan sedangkan budaya kerja organisasi tidak berpengaruh terhadap kinerja pemerintah.
Berdasarkan latar belakang diatas, penelitian ingin melihat pengaruh budaya kerja dalam mewujudkan good governance. Perbedaan penelitian ini dengan
penelitian sebelumnya terletak pada 1 objek penelitian, yaitu Satuan Kerja Perangkat Daerah SKPD dalam penelitian ini adalah Inspektorat Kabupaten
Labuhanbatu Utara dan 2 penambahan variabel penelitian, yaitu kompetensi sumber daya manusia.
Dari uraian diatas dan berdasarkan hasil dari penelitian terdahulu, maka
penulis melakukan penelitian ini dengan judul: “PENGARUH KOMPETENSI SUMBER DAYA MANUSIA DAN BUDAYA KERJA DALAM
MEWUJUDKAN GOOD GOVERNANCE DI INSPEKTORAT
KABUPATEN LABUHANBATU UTARA”.
9
1.2. Rumusan Masalah