TANJUNG PRIOK, SEBUAH PERJALANAN PENCARIAN DIRI

TANJUNG PRIOK, SEBUAH PERJALANAN PENCARIAN DIRI

Oleh : Muhammad Daud Berueh

aya tumbuh merindukan sosok ayah. Sosok yang menjadi pengayom keluarga, mendatangkan rasa aman dan nyaman.

Tapi, sosok yang kurindukan itu tak pernah ada di rumah. Kelas satu sekolah dasar (SD), saya pernah bertanya kepada ibu,

“Mah, kok, bapak tidak pernah pulang?” Dengan sedih ibu menjawab, “Belum saatnya bapak pulang ke rumah. Tunggu saja, nanti juga dia akan pulang.”

Sungguh, saya tidak mengerti apa yang telah terjadi pada ayah. Saya hanya bisa bertanya kepada kakek, nenek, paman, dan saudara yang lain.

Menurut kakek (almarhum), ayah ditangkap dan dijebloskan ke penjara karena dianggap melawan negara. Ayah diberi label kelompok ekstrim kanan oleh rezim Orde Baru. Kakek, dengan pendidikan terbatas, menelan begitu saja stereotipe dari rezim Orde Baru.

Alih-alih memuaskan, penjelasan kakek semakin membuat saya makin terpuruk dalam ketidakmengertian. Apalagi saya masih bocah ingusan, tujuh tahun, belum paham keruwetan dunia.

Saya kerap menghabiskan waktu liburan dengan menemani ibu menjenguk ayah di penjara, di Lembaga Pemasyarakatan (LP) Cipinang, Jakarta Timur. Puluhan penjaga berseragam dan bersenjata mengelilingi.

Paman dan kakek bercerita serba sedikit tentang penyebab ayah dipenjara. Pada 12 September 1984, kakek bertutur, terjadi tragedi besar di Tanjung Priok. Banyak warga kehilangan ayah, saudara, sanak, dan kerabat. Begitu pula harta benda.

Ratono, ayah saya, menurut kisah kakek dan paman, mengikuti pendidikan di Akademi Pendidikan Militer TNI Angkatan Laut. Lulus dari pendidikan, dia menjadi anggota Marinir TNI Angkatan Laut dengan dinas pertama di Surabaya. Sehari-hari ayah berada di atas kapal laut.

Tahun 1980-an, ayah dipindahkan ke kantor Marinir Angkatan Laut di Tanjung Priok, Jakarta Utara. Letak kantor ayah tidak begitu jauh dari Perguruan Tinggi Dakwah Islam (PTDI) yang didirikan almarhum Prof. Oetsmany Al-Hamidy. Kampus itu dikenal sebagai kampus perjuangan. Banyak penceramah yang kritis belajar di kampus itu.

Setiap hari, ketika adzan berkumandang, ayah biasanya langsung menuju mesjid untuk salat berjamaah di PTDI. Berawal dari seringnya salat berjamaah ini muncul ketertarikan ayah untuk belajar agama Islam lebih dalam. Ayah bahkan memutuskan untuk kuliah lagi, mengambil program sarjana dakwah di kampus tersebut.

Praktis, ayah makin sibuk. Selain bekerja di kantor TNI Angkatan Laut, dia juga harus meluangkan waktu belajar menekuni materi perkuliahan. Karena ketekunan dan keuletannya, dia dipercaya menjadi asisten almarhum Profesor Abu Hamidy. Salah satu tugasnya adalah menggantikan Profesor Abu Hamidy bila berhalangan berceramah.

Lalu, situasi politik semakin menekan. Pemerintah Orde Baru menetapkan kebijakan asas tunggal bagi semua partai politik, Lalu, situasi politik semakin menekan. Pemerintah Orde Baru menetapkan kebijakan asas tunggal bagi semua partai politik,

Melalui ceramah di berbagai mesjid, para ulama menyampaikan pendapat. Momentum pengajian, sholat Jumat, sholat lima waktu –terutama subuh dan maghrib dimanfaatkan para mubaligh. Ayah termasuk yang berceramah di masjid-masjid di Jakarta, mengkritik kebijakan asas tunggal. Saat itu dia masih aktif di TNI Angkatan Laut.

Puncak protes di kawasan Tanjung Priok terjadi pada 12 Sep- tember 1984. Tabligh akbar digelar. Ayah salah satu dari penceramah pada tabligh itu, menggantikan Syarifin Maloko yang berhalangan hadir.

Ribuan umat Islam berkumpul di acara malam itu. Selain menyatakan protes atas asas tunggal, mereka juga menuntut pembebasan empat rekan mereka yang ditahan beberapa hari sebelumnya akibat insiden di Musholla As’saadah. Keinginan ini tidak terpenuhi. Pada pukul 11 malam, massa tabligh bergerak menuju kantor Kodim dan Mapolres Jakarta.

Ayah tidak ikut dalam barisan massa. Bersama para mubaligh, ayah berada di salah satu rumah warga. Saat itulah tragedi meletus. Suara rentetan tembakan terdengar. Korban berjatuhan. Suasana di luar begitu kacau dan tidak terkendali.

Menyusul kekacauan itu, ayah melarikan diri ke luar kota. Ia khawatir akan menjadi target operasi berikutnya. Benar saja. Menurut ibu, saat ayah keluar kota untuk mengamankan diri, banyak aparat TNI dan intel –berpakaian sipil maupun seragam militer lengkap—datang mencari ayah.

Rumah kami di Bogor diawasi ketat. Paman saya, misalnya, ditodong senapan saat pulang dari kerja di malam hari. Tanpa ada proses bertanya lebih dahulu. Setelah tahu dia bukan ayah saya, barulah para tentara berhenti bertindak intimidatif terhadap paman. Keluarga besar kami sering kena bentak aparat dalam proses itu. Pencarian dan pengintaian ayah juga telah membuat warga kampung merasa tidak nyaman.

Pada bulan Oktober 1984, empat puluh hari setelah peristiwa Tanjung Priok, ayah ditangkap intel TNI Angkatan Laut di Pandeglang, Banten. Menurut ibu, seluruh keluarga –termasuk kakek yang sudah sepuh dan saya yang masih bayi tujuh bulan— dijadikan jaminan. Kami semua dibawa ke Pandeglang.

Setelah melalui proses yang berlarut-larut, ayah dipindahkan ke tahanan Pelaksana Khusus Daerah (Laksusda), di Tanah Abang, Jakarta Pusat. Dia dijatuhi hukuman 8 tahun penjara dengan tuduhan subversif.

Pada waktu itu berkembang pendapat bahwa sikap kritis terhadap pemerintah adalah tindakan melawan negara. Orang yang aktif dalam kegiatan agama juga disebut kelompok ekstrim kanan. Dengan asumsi semacam inilah sebagian besar warga kampung menyudutkan keluarga kami ketika ayah ditangkap. Apalagi penjara selalu diartikan sebagai tempat para kriminal. Ucapan- ucapan tidak nyaman sering menyambar keluarga kami.

Keadaan ini tidak membuat keluarga kami terpuruk dalam keputusasaan. Kami tidak berkecil hati. Dengan hati tulus kami terus berusaha menjalin silaturahmi dengan masyarakat sekitar.

Sementara itu, keluarga ayah di Tegal, Jawa Tengah, menggelar tahlilan. Mereka menganggap ayah telah tiada.

Tulang punggung keluarga otomatis berpindah dari ayah kepada ibu. Selain mengurusi rumah tangga, ibu adalah guru bantu di sebuah sekolah. Gajinya tidak seberapa, hanya cukup untuk membeli susu saya, anaknya.

Kami pun mengandalkan belas kasihan sanak saudara. Saat lebaran, misalnya, tak mungkin ada acara membeli baju bersama ibu. Kami hanya bisa berharap dan menunggu dibelikan baju oleh saudara atau orang yang lain yang bersimpati pada keluarga kami.