B apak dan saya sedang bersiap sholat subuh, kami hendak

B apak dan saya sedang bersiap sholat subuh, kami hendak

berangkat ke mushola. Dari arah selatan, rentetan suara tembakan mengejutkan kami. Kami bergegas memeriksa keadaan di luar. Melihat suasana yang tegang, bapak memutuskan kami sholat di rumah saja.

Dor, dor, dor, suara tembakan terus terdengar, keras dan semakin keras. Sekitar pukul 6, satu dua peluru bahkan menyambar rumah kami. Kontan, penghuni rumah –ada 13 orang—panik.

Ketakutan. Doa tanpa putus kami lafalkan. Di luar, hujan peluru makin deras. Entah mengapa, mungkin karena doa-doa kami, tidak satu pun peluru mengenai kami.

Saya memberanikan diri mengintip dari celah dinding yang bolong. Saya terperanjat. Ratusan tentara, Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI), berbaju loreng dalam posisi merangkak tiarap berada di halaman rumah kami. Senapan M-

16 ada di tangan mereka, siap memuntahkan peluru. Gemetar, saya membalikkan badan dan langsung menceritakan

apa yang saya lihat kepada penghuni rumah. Ibu dengan wajah ketakutan menyuruh saya bersembunyi di kolong tempat tidur. Saya turuti perintah ibu. Di kolong itu, jantung saya berdetak kencang. Cemas, takut, merajai hati saya. Peluru berdesing-desing di sekitar rumah.

Tak bisa lain, saya hanya pasrah. Tiba-tiba, prakk…! Ada yang menggedor-gedor pintu rumah. Sayup-sayup terdengar teriakan dari luar memanggil saya, “Pur, Pur, Purwoko! Cepat kamu lari keluar. Rumahnya mau dibakar sama ABRI!”

Otak saya berputar. Ah, itu suara Muhammad Ali, anak Ustadz Imam Bakri. Segera, saya, adik, dan ibu keluar dari kolong tempat tidur. Kami bergegas ke luar rumah dengan langkah berat. Firasat saya mengatakan bahwa rumah itu akan segera rata tanah. Benar saja, tak berapa lama kemudian, bapak-bapak ABRI membakar rumah kami.

Di luar, kami disambut moncong senjata para tentara. Caci- maki, hinaan, disemburkan kepada kami. “Kalian ini anak-anak bajingan, GPK, pemberontak.” Satu dua tentara menimpali, “Sudah, habisi saja anak-anak ini. Tembak sekalian, biar nggak dendam sama ABRI kalau sudah besar nanti.”

Ada juga tentara yang berusaha meredam nafsu membunuh teman-temannya. “Jangan, jangan dibunuh…! Masih kecil-kecil, kasihan. Nanti kita kuwalat,” katanya. Sejenak, suara itu meredakan detak jantung saya yang berderap begitu kencang.

Rasa takut, ngeri, semakin pekat. Kobaran api dengan asap mengepul melalap pondok yang dihuni anak-anak dan ibu-ibu. Rintihan dan jeritan mereka terdengar menyayat dan mengiris hati. Sayang, jeritan itu tak sanggup menghentikan kobaran api yang terus membesar.

Beberapa saat kemudian, saya dan warga lainnya digiring 100 meter ke arah timur, tepatnya di depan rumah Bapak Mardi. Ibu dan teman-teman saya ternyata sudah berkumpul di sana. Mereka hanya membisu. Kosong. Tak tahu harus berkata dan berbuat apa. Kami dikumpulkan satu tempat.

Lalu, saya melihat Bapak Warsidi dan Marsudi diseret dari arah barat dengan posisi tertelungkup. Bapak Warsidi diletakkan di pos ronda. Bapak Marsudi terus diseret ke arah kami. Di hadapan kami, Bapak Marsudi, yang kedua pahanya terkena peluru, kaki- tangannya diikat tambang, disiksa bagai binatang.

Jarak antara kami dan pos ronda tidak terlalu jauh, sekitar 25 meter. Jadi kami bisa menyaksikan Bapak Warsidi, yang sudah tidak bernyawa akibat terkena peluru di kepala dan dada kiri, tetap dianiaya. Biar pun Bapak Warsidi sudah meninggal, tentara ABRI itu tetap menyembelih lehernya sampai hampir putus. Sampai kini, saya masih ketakutan apabila mengingat peristiwa itu.

Pukul 8. Rentetan tembakan mulai reda. Pasukan ABRI datang berbondong-bondong ke arah kami. Tatapan mereka tajam menikam. Segala rupa kata-kata kotor dimuntahkan dari mulut mereka. Seolah kami ini makhluk paling menjijikkan.

Dari kejauhan, saya mendengar para tentara itu membicarakan ciri-ciri paman Jayus. Bentuk badannya, warna kulitnya, juga wajahnya. Rupanya Paman Jayus dituding sebagai aktor utama di balik prahara ini.

Ternyata para tentara itu tak ada yang tahu sosok Paman Jayus. Beberapa warga digelandang, termasuk saya. Saya khawatir akan dieksekusi di sebuah tempat sunyi. Tapi, saya tak bisa apa-apa. Hanya bisa pasrah mengikuti langkah para tentara itu.

Rupanya, saya dijadikan alat untuk mengenali sosok Paman Jayus. Saya dipaksa memeriksa satu demi satu mayat yang bergelimpangan. Bermacam-macam luka yang dialami mayat- mayat itu. Ada yang kepalanya tertembak peluru hingga pecah isinya berhamburan, ada yang dadanya berlubang menganga. Pemandangan yang membikin siapa pun merinding. Tapi, saya – yang masih muda—harus tahan dan dipaksa terus memelototi tumpukan mayat saudara-saudara kami.

Pencarian pun berlanjut. Kami diminta menyusuri sungai yang letaknya tidak jauh dari lokasi kejadian.

Di ping giran sungai, tampak ada mayat terkapar. Kami mendekat, memeriksa apakah itu Paman Jayus. “Astagfirullah,” saya berucap lirih. Mayat dengan kepala yang nyaris pecah itu adalah ayahku sendiri. Kaget, terperangah, saya menyaksikan kondisi ayah yang mengenaskan.

Peristiwa itu menorehkan trauma dalam diri saya. Sering kali sebuah film berputar dalam benak saya, membentangkan kembali kisah kesadisan yang menimpa ayah. Inilah pengalaman terpahit saya, kehilangan orang yang saya cintai dengan cara begitu sadis.

Belum sempat meneteskan air mata menangisi kepergian ayah, saya dipaksa terus mencari mayat-mayat lain yang belum Belum sempat meneteskan air mata menangisi kepergian ayah, saya dipaksa terus mencari mayat-mayat lain yang belum

Pukul 11 siang. Horor berlanjut. apak, ibu, dan anak-anak yang masih hidup, dikawal dengan

B Pakuan Haji. Tiga kilometer jarak kami tempuh dengan 30 menit

todongan senapan M-16, digiring menuju arah Utara, desa

berjalan kaki. Kami dikumpulkan di depan rumah Bapak Atmo, Kepala Dusun

Pakuan Haji. Kami menjadi tontonan gratis masyarakat, bagai berada di kebun binatang.

Bagi saya, rasa malu jadi tontonan telah mengalahkan rasa takut akan kematian yang mengancam. Meskipun saya masih kanak- kanak, tidak tahu duduk persoalan sebenarnya, tapi saya tak habis pikir, mengapa anak-anak tak berdosa turut menanggung semua ini. Apakah kami telah melanggar hukum di negeri ini? Apakah kami dikategorikan sebagai serdadu-serdadu anak yang akan melawan pemerintah Indonesia hingga harus dibinasakan?

Beberapa saat kemudian, teman dan saudara-saudara saya sampai di Pakuan Haji. Kondisi mereka amat memprihatinkan. Banyak yang sebenarnya tidak bisa berjalan jauh. Moncong senjata telah memaksa mereka berjalan mengikuti perintah tentara.

Isteri Bapak Marzuki, asal Tanjung Priok, Jakarta Utara misalnya. Sekujur tubuhnya terbakar oleh peluru yang bersarang di pantatnya, tapi dia tetap dipaksa berjalan. Kami saja –yang tidak terluka—kelelahan menempuh perjalanan yang menyiksa itu.

Setelah semua warga berkumpul, kami digiring ke sebuah truk bak terbuka. Truk pengangkut pasir yang kotor sekali.

Pukul 2, truk berangkat membawa kami, entah ke mana. Sepanjang perjalanan yang ada hanya kesunyian. Tidak ada percakapan dan tegur sapa di antara kami. Yang ada hanya rintihan, juga doa-doa kepada Sang Khalik.

Siang itu cukup terik. Langit cerah. Lapar dan haus, yang tadinya tak sempat kami rasakan karena begitu tegang, sekarang mulai muncul. Sedikit hiburan datang dari langit. Hujan gerimis turun seolah membasuh kami.

Truk berhenti di depan sebuah bangunan berpagar tembok yang tinggi. Kami diturunkan dan digiring ke sebuah ruangan yang luas. Suasana ruangan itu angker. Banyak manusia berpakaian loreng dengan menenteng senjata berlalu-lalang.

Seorang petugas meminta kami duduk. Satu per satu kami dipanggil sesuai hubungan famili. Identitas kami didata. Mulai nama lengkap, alamat, umur, orang tua, sidik jari, berat dan tinggi badan. Pas foto seluruh badan diambil. Jika mengenang itu, saya merasa seperti tawanan di Teluk Guantanamo.

Selesai diidentifikasi, saya bersama sembilan orang lainnya dimasukkan ke dalam penjara berukuran 2 x 4 meter yang disekat dengan toilet. Kami seperti ikan sarden yang dikalengkan. Merebahkan badan saja sangat sulit. Saya, dengan sehelai pakaian yang terus melekat di badan, tidak bisa memejamkan mata. Biar pun keletihan, kami tak bisa tidur.

Akhirnya, pukul 6 sore, saya dan teman-teman mendapatkan jatah makan untuk yang pertama kali. Baki alumunium dengan kotak-kotak yang memuat ber macam makanan. Begitu Akhirnya, pukul 6 sore, saya dan teman-teman mendapatkan jatah makan untuk yang pertama kali. Baki alumunium dengan kotak-kotak yang memuat ber macam makanan. Begitu

Selepas makan malam yang menyedihkan, saya berusaha menghilangkan penat dan letih dengan beristirahat. Tapi, saya tak kunjung tidur. Peristiwa mengerikan dalam dua hari terus berlintasan di pikiran saya. Rumah dibakar, pondok tempat sekolah telah rata dengan tanah, dan bapak saya yang tersungkur tak bernyawa. Kelelahan, akhirnya saya pun tertidur.

Pukul 6 pagi. Rabu, 8 Februari 1989. Saya dan teman-teman memulai aktivitas di penjara. Antre di WC adalah agenda pertama. Hampir semua dari kami terkena diare akibat santapan makan semalam. Ibu dan adik saya juga begitu.

Sepanjang hari kami lelah dan letih akibat buang air terus- menerus. Saya mengalami dehidrasi. Mata berkunang-kunang, kepala terasa berat, pikiran melantur entah ke mana. “Inikah yang dinamakan sekarat? Jika iya, sebentar lagi saya akan hilang dari bumi ini,” begitu saya membatin.

Dari sebelah sel penjara, saya mendengar ibu memanggil sipir penjara. Atas permohonan ibu, sipir membawakan air hangat dan oralit untuk saya. Kondisi saya pun membaik.

Di penjara, sarapan pagi datang pukul 11 siang. Menunya tidak jauh berbeda dengan yang semalam saya makan, kecuali tambahan telor rebus. Setelah mengunyah makanan beberapa lama, perut saya kembali seperti diperas. Rupanya oralit yang saya minum tidak cukup ampuh mengusir diare. Kondisi saya pun semakin mengenaskan. Berjalan ke arah WC saja saya harus berjuang setengah mati, saking beratnya.

Kamis, 9 Februari 1989. Kami diberikan kesempatan untuk mandi di luar sel penjara Kodim Lampung Tengah. Saya mengetahuinya dari ibu yang bertanya kepada sipir penjara tentang nama tempat ini.

Menelusuri sel-sel penjara, menuju kamar mandi, kami berjumpa dengan banyak tahanan. Ada seorang bapak yang melontarkan pertanyaan, “Dik, dik, kecil-kecil kok sudah masuk penjara? Emangnya salah apa?” Kami hanya bisa menahan senyum pahit. “Nggak tahu, Pak.”