Pencarian Jati Diri

Pencarian Jati Diri

ulus SMA (Sekolah Menengah Atas), pada 2002, saya berniat melanjutkan kuliah di Jakarta. Namun harapan itu pupus.

Ayah tidak punya uang untuk membiayai kuliah. Selepas dari penjara dia memang tidak memiliki pekerjaan tetap.

Selain mengajar di Perguruan Tinggi Dakwah Islam, ayah biasanya mengisi ceramah di masjid. Itupun jika ada orang yang mengundangnya.

Melihat kondisi ini, saya sedih, marah, dan sakit. Semuanya campur aduk. Perekonomian keluarga kami menjadi hancur. Hancur karena ditinggalkan tulang punggung yang harus dipenjara tanpa alasan kuat.

Saya berusaha bangkit. Sudah cukup orangtua menyekolahkan saya hingga SMA. Sekarang saatnya saya melanjutkan hidup. Saya tidak berkecil hati. Kondisi ini saya jadikan cambuk pemicu untuk menggapai cita-cita dan harapan saya : kuliah.

Saya tak segan menjadi tukang ojek. Setiap pagi saya berhenti di perempatan jalan menunggu penumpang yang lewat. Tapi, penghasilan mengojek belum juga cukup untuk membiayai kuliah. Saya memberanikan diri membawa mobil angkutan kota bernomor 06, jurusan Parung-Bogor. Lagi-lagi, penghasilan sebagai supir angkot tak kunjung cukup untuk membuat saya bisa mendaftarkan diri ke universitas.

Saya berhenti menjadi supir angkot. Berbekal ijazah SMA, saya melamar pekerjaan ke berbagai perusahaan. Pada tahun 2003, saya berkesempatan mengikuti pendidikan dan pelatihan yang difasilitasi Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Jawa Barat. Dua bulan saya mengikuti program ini. Sertifikat saya kantongi.

Singkat kata, saya memberanikan diri datang ke Jakarta. Saya diterima bekerja di salah satu percetakan di Senen, Jakarta Pusat.

Sejak di Jakarta ini saya sering diajak ayah pergi ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Saya bertemu dengan rekan-rekan ayah sesama korban Tanjung Priok. Dari merekalah saya mengerti tentang proses persidangan yang sedang berjalan. Saya rajin mengikuti persidangan Pengadilan HAM Ad Hoc Tanjung Priok yang digelar seminggu tiga kali. Melalui proses persidangan itu, saya mulai mengerti apa yang sebenarnya terjadi di masa lalu dan apa yang sedang diperjuangkan ayah.

Saya sangat kaget ketika pertama kali datang ke persidangan. Begitu banyak tentara berseragam memadati ruang persidangan. Tak ayal, kondisi ini menciptakan rasa ketakutan kepada pengunjung.

Pada saat mengikuti persidangan, saya merasa ada sesuatu yang berharga dalam hidup saya yang dulu pernah hilang dan kini kembali. Proses pencarian jati diri saya pun semakin mengkristal.

Setiap kali pulang dari persidangan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, saya diajak rekan-rekan ke kantor KontraS (Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan). Kami mengikuti rapat menyikapi proses persidangan. Ada kebanggaan dalam diri saya ketika ikut berdiskusi dan melakukan rapat di KontraS.

Aktivitas di KotraS, juga perjumpaan dengan sesama korban peristiwa Priok, membuat saya makin mendalami berbagai kasus pelanggaran hak asasi manusia (HAM). Saya mulai rajin membaca buku tentang HAM dan sering membawa pulang buletin KontraS untuk dibaca di rumah. Pergumulan ini semakin menguatkan pemahaman saya bahwa peristiwa Tanjung Priok adalah pelanggaran HAM berat.

Saya juga mulai mengikuti serangkaian aksi yang dilakukan korban bersama KontraS ke berbagai lembaga terkait. Kami mendatangi Dewan Perwakilan Rakyat, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Kejaksaan Agung, Mahkamah Agung, dan instansi terkait lainnya. Saya sering mendengarkan orasi yang dilakukan almarhum Munir dan rekan-rekan KontraS. Dari pergumulan ini saya sadar bahwa pelanggaran HAM di Indonesia cukup banyak, bukan hanya peristiwa Tanjung Priok.

Lewat aktivitas inilah saya menemukan kehidupan yang sesungguhnya. Saya mengundurkan diri bekerja di percetakan dan memutuskan bergabung bersama korban, keluarga korban, dan KontraS untuk terus mengikuti persidangan Pengadilan HAM Ad Hoc Tanjung Priok. Setelah persidangan itu selesai, saya bergabung di KontraS.

Untuk mendukung kemampuan pendampingan, saya melanjutkan kuliah di salah satu perguruan tinggi di Jakarta mendalami Ilmu Hukum. Tak disangka, cita-cita saya untuk kuliah tercapai. Tuhan memberi jalan tak terduga.

Harapan dan Impian

ak hanya cita-cita kuliah yang tercapai, saya juga berkesempatan berjuang di bidang penegakan hak asasi

manusia. Ini sebuah keistimewaan yang luar biasa bagi saya. Berbagai kasus pelanggaran HAM terus dan terus terjadi di negeri

ini. Hal ini karena tak ada penegakan hukum yang berarti bagi para pelaku pelanggaran HAM.

Maka, deretan kasus pelanggaran HAM begitu panjang. Mulai dari peristiwa 65, penembakan misterius, Tanjung Priok, Talangsari, tragedi Mei, penculikan dan penghilangan paksa, Trisakti, Semanggi I dan II, DOM di Aceh, Papua, pembunuhan Munir, dan banyak lagi lainnya.

Bersama teman-teman KontraS, saya terus berjuang bersama korban pelanggaran HAM untuk menagih hak dan keadilan mereka yang dirampas oleh negara dan para penguasa.

Adanya penghukuman terhadap pelaku, tentunya dapat memberikan efek jera agar penguasa tidak mengulangi kejahatan serupa. Penghukuman juga menunjukkan kepada bangsa dan dunia internasional bahwa negara kita adalah negara hukum.