P agi menjelang siang, Rabu 13 Mei. Dari radio saya dengar

P agi menjelang siang, Rabu 13 Mei. Dari radio saya dengar

ada kerusuhan. Ada ramai-ramai. Pukul 11 siang, saya mandi dan berangkat ke tempat nongkrong, Kebonpala. Saya pengangguran waktu itu.

Menjelang berangkat, saya berpesan kepada anak-anak dan isteri saya, “Ini ada kerusuhan. Anak-anak semua jangan kasih keluar rumah. Semuanya jangan ada yang keluar. Ini bahaya.”

Dua anak saya, Mohammad Ihwan (Iwan), 22 tahun, dan Mulyani (Mumung), 18 tahun. Hari-hari menjelang kejadian itu, kelakuan mereka baik sekali. Mengaji, kumpul sama kawan-kawannya. Si Mumung bahkan sempet ngedandanin Ame, Mamahnya.

Setelah pamit, saya berangkat ke Kebonpala, Jatinegara. Ini tempat saya biasa nongkrong. Saya naik mikrolet dari Klender. Sesampai di Stasiun Jatinegara, saya lihat jalan di sekitar stasiun sudah dipenuhi orang. Saking penuhnya, mikrolet itu tidak bisa berjalan menuju ke Kampung Melayu.

Saya lihat orang-orang membakar bis kota dan kantor sebuah bank. Lalu, ada bus patas jurusan Bogor. Beberapa orang berperawakan tegap, mungkin anggota Kopasus, saya tidak tahu dari mana. Orang-orang tegap itu ada yang bilang, “Boleh ambil, boleh ambil, tapi jangan dibakar.”

Ketika itu banyak orang mengambil barang-barang dari toko. Semua barang diangkut. Saya jadi penonton saja, tetap di dalam mikrolet untuk melanjutkan perjalanan ke Kebonpala.

Sampai di Jatinegara Plaza orang sudah penuh di sana. Ada juga yang hendak menyerang Pasar Regional Jatinegara. Tapi, di situ semua pintu masuk sudah dijaga. Akhirnya, orang mengarah menyerbu Yogya Plaza. Ramai-ramai menjarah Yogya Plaza.

Saya tidak terpengaruh, tetap di dalam mikrolet. Sampai akhirnya saya tiba di tempat tujuan, Kebonpala. Saya duduk, mengobrol dengan teman-teman, menonton orang pada mengangkut barang jarahan.

Lalu, saya ingat ada kotak infak majelis taklim yang dititipkan di Jatinegara Plaza. Memang saat itu saya menjadi Ketua Umum Majelis Taklim Al Jihad. Seorang utusan guru mengaji bertanya kepada saya, “Itu kotak amal bagaimana?” Saya jawab, “Ambil saja. Sayang kalau hilang.”

Kami pun menuju Jatinegara Plaza, tak jauh dari Kebonpala. Saya menghadap petugas Koramil, Brimob, dan petugas berwenang yang lain. Kami minta izin ke Jatinegara Plaza, bukan untuk menjarah tetapi untuk mengambil kotak amal yang dititip di sana. “Oh, silakan,” kata seorang petugas.

Di Jatinegara Plaza, saya melewati kantor Polres 705, Jakarta Timur. Tak ada polisi yang berada di luar, semua ada di dalam kantor. Aneh. Kok polisi tidak mengamankan situasi, malah ngumpet di dalam.

Di luar Gereja Bethel, tampak pasukan Kopassus dan berbagai kesatuan lain. Mereka berseragam lengkap dengan senjata. Saya tidak tahu sedang ada apa. Tujuan saya untuk mengambil kotak amal ke Jatinegara Plaza.

Masuk ke dalam Jatinegara Plaza, keadaan gedung sudah gelap. Kotak amal bisa saya ambil meskipun sudah penyok. Tampaknya Masuk ke dalam Jatinegara Plaza, keadaan gedung sudah gelap. Kotak amal bisa saya ambil meskipun sudah penyok. Tampaknya

Kotak saya serahkan kepada ustadz. “Ini kotak amal hasil yang kita taruh di Jatinegara Plaza, ini saya serahkan.” Kemudian, saya kembali ke Jatinegara Plaza, ingin tahu keadaan. Semakin banyak orang mengambil barang. Saya hanya jadi penonton.

Keadaan makin menjadi-jadi. Ratusan, mungkin ribuan, orang datang. Ada yang mau menyerang kantor polisi. Entah kenapa, saya tidak mengerti. Bukan urusan saya.

Pukul 1 dini hari, saya mau pulang. Sudah tidak ada mobil lewat dan semua jalan diblokir. Tidak boleh ada yang lewat. Aneh. Akhirnya, saya menumpang teman mengantar saya dengan sepeda motor. Banyak jalan ditutup, kami muter-muter tidak keruan.

Sampai juga saya di rumah. Ameh, isteri saya, melapor bahwa Iwan dan Mumung, dua anak saya, tidak ada di rumah sedari siang. Belum pulang. “Coba lihat di Yogya Plaza,” kata Ameh.

Segera saya menuju Yogya Plaza. Ternyata di sana sudah banyak orang juga, mencari keluarga yang hilang. Saya lihat Ibu Untung mencari anaknya. Dia tetangga saya juga.

Saya berusaha naik ke lantai 2 dan 3 Yogya Plaza. Tangganya sudah goyang. Ruangan di lantai 2 sudah gelap. Saya pakai senter. Tampak masih ada sisa nyala api. Hawanya panas. Saya nggak kuat, sangat panas, saya turun lagi ke lantai 1. Saya ngadem dulu, duduk termenung. Apa iya anak saya ada di sini? Apa iya?

Setengah jam kemudian, hawa di luar sudah dingin. Saya naik lagi ke atas. Senter saya nyalakan. Mayat-mayat tampak bertumpuk di tangga eskalator. Mungkin tadinya mereka berebut Setengah jam kemudian, hawa di luar sudah dingin. Saya naik lagi ke atas. Senter saya nyalakan. Mayat-mayat tampak bertumpuk di tangga eskalator. Mungkin tadinya mereka berebut

Saat menyaksikan tumpukan mayat itu, muncul perasaan galau. Wah, mati deh anak saya. Tapi, saat itu kondisi gelap. Tidak bisa saya mencari dan memastikan mayat siapa di situ. Susah.

Saya pulang. Saya diam saja di rumah. Tak bisa tidur. Pukul 6 pagi, saya berangkat lagi ke Yogya Plaza. Tapi, lokasi sudah diblokir oleh pasukan TNI. Mayat dari atas sudah diturunkan satu per satu.

Ada orang yang memberi kabar, “Bang Mamang, di situ ada Si Mumung sama Si Iwan.” Langsung saya cari mayat mereka. Tidak ketemu. Ada salah satu mayat yang menurut perasaan saya, ini anak saya. Kaki dan tangannya sudah nggak ada. Copot. Kata petugas, mayat-mayat itu akan dibawa ke rumah sakit untuk diidentifikasi.

Siangnya, saya dan saudara-saudara datang ke rumah sakit. Mayat-mayat itu tidak semuanya hangus terbakar. Ada yang luka kena tembak, mayatnya bolong, tidak bau hangus. Saya lihat bahkan yang satu mayat perempuan yang lagi hamil. Mayat- mayat itu diberi nomor.

Korban-korban dikelompokkan menurut wilayah kedatangan. Ada dari Jakarta Barat, Ciledug, Jakarta Timur, Klender, segala macam ngumpul di RSCM (Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo). Saya mencari di bagian Klender.

Ada mayat yang saya curigai sebagai anak saya. Saya tanyakan kepada orang pinter keturunan Arab, “Di mana mayat dari Klender ? Dia menjawab, “Itu nomor 59. Ambil.” Katanya lagi, “Anakmu yang perempuan jangan dicari. Dia sudah ketiban tangga eskalator dari lantai 3, sudah hancur jadi debu, ndak bisa dicari.”

Lalu, saya minta izin kepada petugas untuk membawa pulang mayat anak saya. Kepada petugas rumah sakit, saya bilang, “Jangan coba-coba persulit, saya lagi kena musibah, saya lagi susah. Kalau dipersulit, saya bantai.” Alhamdulilah, saya tidak dipersulit. Di luar rumah sakit, saya diwawancara pers Amerika, Belanda, dan banyak lagi.

Sesampai di rumah, segera saya kuburkan anak saya. Pada waktu itu, saya ndak punya kerja. Duit seperak pun saya tidak punya. Sudah jatuh ketiban tangga. Ada musibah, uang nggak ada. Namun, alhamdulilah, teman-teman pada datang membantu.

Saat penguburan, pengurus makam sampai hati mempersulit. “Bapak orang mana? Satu lubang Rp 200.000,” katanya. Saya marah sama Pak Haji –sekarang orangnya sudah mati. Akhirnya teman saya bayar. Sesudah dimandikan, didoakan, mayat langsung dikubur.

Setelah itu, ada beberapa orang dari Tim Relawan untuk Kemanusiaan (TRuK) datang ke rumah. Mereka mendata korban. Keluarga korban diminta datang ke kantor TRuK di Jalan Arus. Kami mendapat pengarahan. Bahkan, pernah juga diberi uang Rp 200.000. Uang itu tidak membuat hati saya senang. Saya nggak menjual anak.

Bersama Kontras, kami melakukan berbagai demonstrasi. Ke Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Kejaksaan Agung, Universi- tas Indonesia, juga jalan long march dari Monas ke Kampus Atmajaya bersama TRuK yang telah membentuk Paguyuban Korban/Keluarga Korban Tragedi Mei 98, Tragedi Semanggi I, dan Tragedi Semanggi II.

Saya diajak (almarhum) Munir ke DPR dan ke Kejaksaan Agung, bersama banyak aktivis lain. Di DPR kami bertemu semua Saya diajak (almarhum) Munir ke DPR dan ke Kejaksaan Agung, bersama banyak aktivis lain. Di DPR kami bertemu semua

Pernyataan itu saya balas, “Ini Bapak mau membela rakyat yang mana? Apa orang-orang kecil begini, orang-orang yang nggak mampu harus dijadikan korban politik? Bapak harus membela rakyat kecil sebab seorang wakil rakyat bisa duduk di kursi ini hanya dengan dukungan 400.000 orang. Tanpa dukungan rakyat, nggak mungkin Bapak duduk di sini. Sedikit-sedikit berkomentar mau membela rakyat, tapi rakyat yang mana?”

Omongan saya disambut tepuk tangan. Saya sengaja nggak mau ngomong kalem. Uneg-uneg saya, semua saya keluarin. Saya sudah kesel sekali.

Sampai sekarang, sudah 10 tahun kami berjuang. Sudah ada Tim Pencari Fakta, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia , tapi berkas kasus ditolak berkali-kali oleh Kejaksaan Agung.

Kasus kerusuhan ini sepertinya tidak akan terungkap. Apalagi, di kalangan keluarga korban sudah terpecah-pecah. Ada beberapa orang yang bilang si A sudah terima duit, si Anu sudah terima segala macam. Kalau benar begitu, kalau mau islah, mengapa sendiri-sendiri? Sedangkan kita inginnya berjuang bersama-sama.

Memang, Tuhan saja memaafkan umat yang bersalah kalau or- ang bersangkutan mau bertobat. Masa manusia sendiri tidak bisa memaafkan? Tapi, buat saya, yang bersalah harus diadili dulu. Tanpa dilihat usia, tanpa dilihat yang lain-lainnya. Orang bersalah harus diadili. Terserah pengadilan memutuskan apa. Kalau sudah diadili, keluarga korban ada kepuasan tersendiri. Seharusnya memang begitu. Tetapi hukum di Indonesia ini hanya untuk orang-orang pejabat, hukum tidak untuk rakyat kecil.

Nah, karena ini persoalan politik, ya susah. Semuanya kait- mengait. Kapolda pada waktu itu, Pak Hamaminata, sudah Nah, karena ini persoalan politik, ya susah. Semuanya kait- mengait. Kapolda pada waktu itu, Pak Hamaminata, sudah

Komnas HAM jangan takut. Sampaikan yang benar itu benar. Jangan dibilang yang salah menjadi benar, yang benar menjadi salah. Saya ingat janji Susilo Bambang Yudhoyono, sebelum menjadi presiden, yang katanya akan mengusut kasus ini. Harus kita tagih janji itu. Jangan didiamkan saja. Secara pribadi, sampai kapan pun saya tidak akan melupakan bahwa kami pernah disakiti dan dikorbankan.

Saat ini saya bergabung dengan Partai Hanura (Hati Nurani Rakyat). Sebelumnya ada orang memberi tawaran, “Mau ikut Hanura nggak?” Spontan saya berpikir, ah ini ada kesempatan bertemu Wiranto.

Wah, saya memang ada tujuan tertentu. Saya mau berjuang sendiri untuk supaya suatu saat bisa menghadap penguasa Hanura. Saya mau bertanya pada dia, bagaimana tanggung jawab dia atas kerusuhan Mei 98. Dia kan pimpinan ABRI pada waktu itu.

Jadi, begitu ada tawaran bergabung dengan Hanura, saya spontan mengiyakan. Tanpa pikir-pikir lagi, saya kirim foto dan kelengkapan untuk bikin kartu anggota. Jadi cepat.

Tidak ada tujuan lain buat saya di Hanura. Ini program pribadi. Berjuang dengan jaringan keluarga korban kekerasan sudah terlalu melelahkan. Sudah sepuluh tahun. Di partai saya tidak mengincar jabatan. Biar bagaimana pun, suatu saat saya harus menghadap dan ngomong kepada Wiranto.

Jakarta, Mei 2008