K eluar dari Mabes Polri, kami sudah diserbu wartawan. Siaran

K eluar dari Mabes Polri, kami sudah diserbu wartawan. Siaran

pers pun digelar bersama sejumlah lembaga swadaya masyarakat di kantor KontraS. Isinya, mendesak pemerintah untuk segera melakukan investigasi, menyerahkan hasil otopsi kepada keluarga, dan membentuk tim penyelidikan independen yang melibatkan kalangan masyarakat sipil. Desakan serupa dikeluarkan oleh tokoh-tokoh masyarakat di berbagai daerah. Desakan yang ditanggapi dengan janji Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk mengusut kasus pembunuhan Munir. Janji penting itu adalah ‘test of our history’ kalau negri kita mau berubah lewat kasus ini ukurannya. Jika dituntaskan maka kita memang berubah menjadi lebih baik jika tidak tentu saja sebaliknya.

Tak lama pula kami membentuk KASUM (Komite Aksi Solidaritas Untuk Munir). Banyak organisasi dan individu yang punya komitmen akan pengungkapan kasus ini bergabung. Ini memang bukan hanya persoalan kematian seorang Munir. Lebih dari itu, ini persoalan kemanusiaan yang dihinakan dan kita tidak mau ada orang yang diperlakukan sama seperti dia hanya karena perbedaan pikiran.

Rapat paripurna Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pun sepakat untuk meminta pemerintah membentuk tim independen kasus Munir. DPR juga mendesak pemerintah segera menyerahkan hasil otopsi kepada keluarga almarhum. Pada November 2004, DPR membentuk tim pencari fakta untuk mengusut kasus pembunuhan Munir.

Pada 24 November 2004, Presiden Yudhoyono bertemu denganku. Teman-teman dari KontraS, Imparsial, Demos menemaniku bertemu Presiden. Satu bulan kemudian tepatnya tanggal 23 Desember 2004 Presiden mengeluarkan Keputusan Presiden untuk pembentukan Tim Pencari Fakta (TPF) Munir yang dipimpin oleh Brigjen Pol. Marsudi Hanafi. Tim ini terdiri dari kepolisian,deplu,kehakiman,kejaksaan,NGO,dan tokoh masyarakat.

Tim ini, di luar dugaan, bekerja efektif menemukan kepingan- kepingan puzzle siapa dibalik pembunuhan Munir. Fakta-fakta temuan tim ini cukup mencengangkan. Fakta yang menunjukkan benang merah pembunuhan keji penuh konspirasi dan penyalahgunaan kekuasaan serta kewenangan di Badan Intelejen Nasional (BIN). Sayangnya TPF tidak diperpanjang lagi setelah dua kali (enam bulan) masa kerjanya.

Adalah Pollycarpus, pilot Garuda, benang merah yang mengurai jaring laba-laba kebekuan dan kerahasiaan yang melingkupi BIN. Polly, sebuah nama yang sangat melekat dibenakku. Sangat dalam maknanya dalam perjalanan menguak kebenaran siapa dibalik kematian Munir, suamiku.

Dia adalah orang yang menelepon suamiku dua hari sebelum berangkat ke Belanda. Polly menanyakan jadwal keberangkatan suamiku dan dia mau mengajak berangkat bersama. Kebetulan waktu itu aku yang menerima telepon itu. Jika tidak, barangkali aku tidak akan pernah tahu keberadaan Polly. Munir mengatakan Polly adalah orang aneh dan sok akrab. “Dia itu orang tidak dikenal tapi tiba-tiba menitipkan surat untuk diposkan di bandara setempat ketika aku hendak ke Swiss,” begitu kata Munir.

Terungkap dalam persidangan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, sang pilot tidak hanya menerbangkan pesawat. Dia adalah orang Terungkap dalam persidangan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, sang pilot tidak hanya menerbangkan pesawat. Dia adalah orang

Tercatat pula dalam berkas dakwaan untuk Muchdi PR, keduanya –Polly dan Muchdi—berhubungan intensif melalui telepon. Pal- ing tidak 41 kali hubungan telepon antara Muchdi dan Polly yang terjadi menjelang, saat dan sesudah tanggal kematian Munir. Bisa diduga, keduanya berhubungan terkait dengan perencanaan, eksekusi, dan pembersihan jejak.

Kami, aku dan teman-teman KASUM, juga melakukan investigasi. Kami berusaha memetakan jejak sang pilot. Melalui berbagai penelusuran, terungkap bahwa Pollycarpus memiliki hubungan dengan para pejabat BIN. Sosok satu ini diketahui berada di berbagai daerah titik panas seperti Papua, Timor Leste, dan Aceh. Sebuah fakta yang tidak biasa dalam dunia profesi pilot.

Polly sendiri, dalam persidangan, mengaku bahwa dia pernah tinggal cukup lama di Papua. Katanya, dia bertugas sebagai pi- lot missionaris sebelum bekerja di Garuda. Mungkin kebetulan, mungkin juga tidak, keberadaan Polly di Papua ternyata bersamaan dengan Muchdi PR yang waktu itu menjadi Komandan Kodim 1701 Jayapura pada tahun 1988-1993. Lalu, Muchdi menjadi Kasrem Biak 173/ 1993-1995. Melihat rekam jejak ini, patut diduga, pada periode itulah perkenalan pertama sang pilot dengan sang jenderal.

Indra Setiawan, saat itu menjabat Direktur Utama Garuda, mengakui mengingat nama Pollycarpus karena khas dan unik. Pada 22 November 2004, ketika kami meminta keterangan kepada Indra.

Aku: “Apakah ada yang namanya Polly di Garuda?” Indra menjawab dengan cepat: “Oh ya. Ada. Namanya

Pollycarpus.” Aku: “Bapak kok hafal padahal karyawan bapak lebih dari 7000 ?” Indra: “Ya, soalnya namanya khas dan unik. Kalau namanya Slamet, saya pasti lupa.”

Belakangan, dalam persidangan, baik sebagai saksi atau pun ketika ditetapkan sebagai terdakwa pada tahun 2007, terungkap bahwa Indra mengingat Polly karena alasan khusus. Alasan yang berkaitan dengan BIN.

Polly merangkap pilot dan bagian pengamanan penerbangan (avia- tion security ) atas permintaan BIN. Sebuah alasan yang masuk akal. Jika BIN yang meminta, kendati tidak benar secara prosedur, maka pihak Garuda tidak bisa menolak.

BIN mengeluarkan permintaan tersebut dalam surat yang ditandatangani Wakil Kepala BIN As’ad Said Ali. Pada saat itu Kepala BIN dijabat oleh Hendropriyono –sosok yang selama ini sangat dekat dengan berbagai kasus yang diadvokasi almarhum.

Surat yang diteken As’ad patut diduga menjadi petunjuk bahwa rencana pembunuhan Munir melibatkan para petinggi BIN, bukan hanya Muchdi, tapi juga Hendropriyono. Apalagi, sesuai pengakuan agen BIN Ucok alias Empi alias Raden Patma dalam persidangan Peninjauan Kembali, Deputi II Manunggal Maladi dan IV Johannes Wahyu Saronto BIN juga diduga terlibat.

Serangkaian persidangan kasus pembunuhan Munir begitu melelahkan. Tak hanya secara fisik tetapi juga secara mental. Betapa tidak, pada tingkat Mahkamah Agung, Pollycarpus hanya dihukum dua tahun. Polly hanya dinyatakan bersalah melakukan Serangkaian persidangan kasus pembunuhan Munir begitu melelahkan. Tak hanya secara fisik tetapi juga secara mental. Betapa tidak, pada tingkat Mahkamah Agung, Pollycarpus hanya dihukum dua tahun. Polly hanya dinyatakan bersalah melakukan

Jantungku sakit sekali ketika aku mendengar putusan untuk Polly. Aku merasa kehilangan untuk yang kedua kalinya, kehilangan Munir dan kehilangan keadilan itu sendiri.

Bagaimana mungkin fakta-fakta yang begitu mencolok diabaikan begitu saja oleh hakim-hakim itu? Bagaimana mungkin keadilan hukum bisa kuraih jika dipenuhi oleh manusia tanpa hati nurani?

Dua dari tiga hakim yang membebaskan Pollycarpus dari dakwaan pembunuhan itu memiliki latar belakang sebagai tentara. Keduanya adalah purnawirawan TNI dengan pangkat terakhir mayor jenderal. Tak heran, beberapa pihak menduga, ada semangat korps dalam penanganan kasus ini sehing ga menguntungkan Pollycarpus.

Kesedihan sama sekali tidak membuatku surut. Aku yakin pasti masih banyak aparat penegak hukum mempunyai hati nurani. Masih banyak yang peduli pada keadilan dan kebenaran. Ini terbukti dalam putusan pengadilan kasasi pada tanggal 25 Januari 2008 Pollycarpus dijatuhi hukuman penjara selama 20 tahun atas dakwaan pembunuhan berencana dan pemalsuan surat tugas.

Selesai? Belum. Misteri pembunuhan Munir masih jauh dari terungkap. Terungkap dari persidangan, juga keputusan pemidanaan Polly, ada mesin intelijen yang bekerja dengan jahat menghabisi nyawa Munir. Ini jauh lebih penting ketimbang sekadar menghukum Polly. Dia hanya pelaku lapangan, bukan orang yang secara sistematis menggunakan kekuasaan dan kewenangan dalam melakukan pembunuhan ini.

Tragisnya, sampai hari ini proses meraih kebenaran dan keadilan siapa di balik pembunuhan Munir masih terseok-seok. Tabir misteri belum tersingkap.

Benar, ada perkembangan baru dengan ditangkapnya Muchdi Purwopranjono, pada 19 Juni 2008. Jenderal bintang dua ini diduga kuat berada di balik pembunuhan Munir. Saat ini proses persidangan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan sedang

berlangsung untuk membuktikan dugaan tersebut 1 . Yah, aku berharap persidangan ini berlangsung adil. Kejahatan

para pelaku pelanggar hak asasi manusia (HAM) selayaknya dibawa ke pengadilan. Namun, kecemasan selalu hadir. Adakah keadilan akan berpihak kepadaku?

Aku berharap masih ada jaksa dan hakim handal yang mengedepankan hati nurani ada di pengadilan ini. Meskipun aku juga dalam keraguan seperti jutaan rakyat Indonesia yang selama ini terus menuai keraguan terhadap jaksa dan hakim-hakin yang tidak kredibel itu. Dan yang tak kalah penting adalah political will pemerintah mengingat bawahannya adalah Ka Polri, Ka Jagung, dan Ka BIN yang berperan penting dalam penuntasan kasus ini. Tentu saja harapan tertinggiku pelaku sesungguhnya segera ditangkap, siapa pun dia.

erjalanan meraih keadilan begitu berliku. Satu hal yang pa- ling aku syukuri adalah begitu banyak sahabat yang

mendukung perjuangan pencarian keadilan ini. Teman-teman di KASUM dan tak sedikit sahabat yang secara pribadi memberiku kekuatan untuk terus berjuang.

Tak jarang teror hadir. Ada ancaman datang dari mereka yang ingin memadamkan pencarian keadilan ini. Bahkan statusku

1 Pada 31 Desember 2008, Pengadilan Negeri Jakarta Selatan memutuskan Muchdi Purwopranjono bebas dari tuduhan membunuh

Munir.

sebagai ibu juga menjadi bagian empuk untuk diserang oleh mereka. Tuduhan keji pencarian keadilan itu dianggap pencarian popularitasku...sungguh menyakitkan. Yakin bahwa itu adalah suara para pelaku aku tetap meneruskan langkah. Dan syukurlah, di saat-saat begini, sahabat-sahabatku setia mendampingi dan menguatkanku.

Desakan penuntasan kasus Munir dari dalam negeri cukup kuat. Pada 7 Desember 2006, Tim Munir DPR RI mengeluarkan rekomendasi agar Presiden membentuk Tim Pencari Fakta yang bar u. Berbagai kelompok masyarakat sipil pun ter us mempertanyakan kasus Munir. Mereka datang dari berbagai kalangan, antara lain lembaga swadaya masyarakat, akademisi, petani, buruh, seniman, wartawan, dan berbagai profesi lainnya.

Tak hanya dari dalam negeri, dukungan juga datang dari segala penjuru dunia. Pada 9 November 2005, misalnya, 68 anggota Kongres Amerika Serikat mengirimkan surat kepada Presiden Yudhoyono agar segera mempublikasikan laporan TPF. Anggota Kongres AS tersebut mempertanyakan keseriusan pemerintah Indonesia dalam menuntaskan kasus Munir.

Pada September 2006, saat KTT ke-6 ASEM (The Asia-Europe Meeting) di Helsinki, Finlandia, kasus Munir menjadi salah satu sorotan peserta. Presiden Komisi Eropa Jose Manuel Barroso, peserta penting dalam konferensi tersebut, mempertanyakan kelanjutan pengusutan kasus Munir langsung kepada Presiden Yudhoyono.

Philip Alston, UN Special Rapporteur on Extrajudicial, Summary or Arbitrary Executions , juga telah menyatakan kesediaannya untuk ikut membantu pemerintah Indonesia dalam mengusut kasus Munir. Pelapor khusus, yakni Hina Jilani (Human Rights Defender) dan Leandro Despouy (Kemandirian Hakim dan Pengacara), juga Philip Alston, UN Special Rapporteur on Extrajudicial, Summary or Arbitrary Executions , juga telah menyatakan kesediaannya untuk ikut membantu pemerintah Indonesia dalam mengusut kasus Munir. Pelapor khusus, yakni Hina Jilani (Human Rights Defender) dan Leandro Despouy (Kemandirian Hakim dan Pengacara), juga

Mengalirnya dukungan tersebut mestinya membuat pemerintah tidak usah ragu. Siapa pun di balik kekejian ini harus diungkap, tak peduli jika penjahatnya itu adalah orang kuat. Dukungan bagi pemerintah telah mengalir, secara hukum dan politik. Tinggal perintah dari sang presiden untuk memastikan kepolisian tetap bekerja mengusut kasus ini sampai terungkapnya sang aktor utama. Presiden juga hanya perlu memerintahkan Jaksa Agung untuk bekerja profesional. Hanya itu....

Presiden Yudhoyono pernah menyatakan bahwa pengusutan kasus pembunuhan Munir adalah ujian bagi sejarah bangsa. “Test of our history,” kata Pak Presiden. Jadi, aku, rakyat Indonesia dan komunitas internasional menunggu bukti perkataan itu. Aku menunggu pengusutan misteri ini sampai pada aktor utamanya, bukan hanya aktor pinggiran saja. Negara harus bertanggung jawab atas semua pelanggaran HAM yang telah terjadi.

B beserta semangatnya telah memecahkan ketakutan yang

agiku, Munir adalah cahaya yang tidak pernah padam. Kesan ini semakin mendalam terasa setelah kepergiannya. Munir

mencekam, menciptakan budaya demokrasi, memberi harapan penegakan HAM. Semua yang Munir lakukan menjadi inspirasi bagiku dan teman-teman penggerak demokrasi di negeri ini. Niscaya, semangat itu diteruskan oleh para pencinta keadilan dan kebenaran dengan tanpa henti.

Ya Allah, aku bukan Sayidina Ali yang Kau beri kemuliaan. Aku hanya manusia biasa dan aku memohon kepadaMu sebab aku meyakiniMu. Berilah kemudahan bagi kami untuk mengungkap pembunuhan ini. Beri kami kekuatan untuk menjadikan kebenaran sebagai kebenaran sesuai perintahMu. Menjadikan keadilan sebagai tujuanku seperti tujuan menurutMu.

Ya Allah, aku tidak menjadi manusia yang lebih dari yang lain dengan berbagai ujian yang Kau berikan, seperti Kau muliakan Nabi Muhammad dengan berbagai ujianMu. Aku hanya minta menjadi manusia biasa dan dapat mengungkap kasus ini. Amin.

Jakarta, September 2008