S uaraku mendadak menghilang. Airmataku jatuh. Sungguh,

S uaraku mendadak menghilang. Airmataku jatuh. Sungguh,

seandainya boleh memilih, aku akan pergi jauh. Tak kuasa aku menatap mata tanpa dosa yang menuntut jawaban itu. Terlalu dini, sayang. Belum saatnya kau mengetahui kekejian di balik meninggalnya ayahmu, suamiku, Munir.

Seolah tahu lidah ibunya kelu, Diva memelukku. Tangan kecilnya melingkari tubuhku. “Ibu jangan menangis…Jangan sedih,” kata- kata itu terus mengiang di telingaku.

Pada 7 September 2004, sejarah kelam itu tertoreh. Munir, suami dan ayah dua anakku –Alif Allende (10) dan Diva Suukyi (6)— meninggal. Siang itu, pukul 2. Usman Hamid dari KontraS menelepon ke rumah. “Mbak Suci ada di mana?” Firasatku langsung berkata ada yang tidak beres. Pasti ada hal yang begitu besar terjadi sampai Usman begitu bingung. Jelas dia menelepon ke rumah, kok masih bertanya aku di mana.

Benar saja. Tergagap Usman bertanya, “Mbak, apa sudah mendengar kabar bahwa Cak Munir sudah meninggal?” Tertegun aku mendengarnya. Seolah aku berada di awang-awang dan kemudian langsung dibanting ke tanah dengan keras. Kehidupan seolah berhenti. Seseorang yang menjadi bagian jiwaku, nyawaku, Benar saja. Tergagap Usman bertanya, “Mbak, apa sudah mendengar kabar bahwa Cak Munir sudah meninggal?” Tertegun aku mendengarnya. Seolah aku berada di awang-awang dan kemudian langsung dibanting ke tanah dengan keras. Kehidupan seolah berhenti. Seseorang yang menjadi bagian jiwaku, nyawaku,

Nyatakah ini? Air mata membanjir. Tubuhku limbung. Perlu beberapa saat bagiku untuk mengumpulkan tenaga dan akal sehat. Aku harus segera mencari informasi tentang Munir. Ya Tuhan, apa yang terjadi pada dia?

Begitu kesadaranku hadir, segera kutelepon berbagai lembaga seperti Imparsial dan kantor Garuda di Jakarta dan di Schipol, Belanda. Begitu pula teman-teman Munir di Belanda. Aku segera mencari kabar lebih lanjut dari kawan-kawan aktivis. Tak ada yang bisa memberikan keterangan memuaskan.

Orang-orang mulai berdatangan untuk menyampaikan bela sungkawa. Aku masih sibuk mencari informasi kesana-kemari. Sebagian diriku masih ngeyel, berharap berita itu bohong semata. Aku hanya akan percaya jika melihat langsung jenazah almarhum.

Pada tragedi ini, pihak Garuda amat tidak bertanggungjawab. Tiga kali aku menelepon kantor mereka di Jakarta, tapi tak satu pun keterangan didapat. Mereka bahkan bilang tidak tahu- menahu soal kabar kematian Munir. Sungguh menyakitkan, pihak maskapai penerbangan Garuda har usnya yang paling bertanggungjawab tidak sekali pun menghubungiku untuk memberi informasi. Padahal, Munir meninggal di pesawat Garuda 974.

Kantor Garuda di Schipol pun sama saja. Pada telepon ketiga, dengan marah aku menyatakan berhak mendapat kabar yang jelas menyangkut suamiku. Barulah informasi itu datang. Yan, nama karyawan Garuda itu, menjelaskan bahwa memang Munir telah meninggal dan dia menyaksikan secara langsung. Yan bahkan berpesan jangan sampai orang mengetahui kalau dia yang memberi Kantor Garuda di Schipol pun sama saja. Pada telepon ketiga, dengan marah aku menyatakan berhak mendapat kabar yang jelas menyangkut suamiku. Barulah informasi itu datang. Yan, nama karyawan Garuda itu, menjelaskan bahwa memang Munir telah meninggal dan dia menyaksikan secara langsung. Yan bahkan berpesan jangan sampai orang mengetahui kalau dia yang memberi

Aku hanya bisa menangis. Si sulung Alif, saat itu baru 6 tahun, melihatku dengan sedih dan ikut menangis. Diva terus bertanya dalam ketidak mengertiannya, “Kenapa Ibu menangis?” Aku merasa seolah jauh dari dunia nyata. Kosong.

Jiwaku hampa. Saat itu, dengan kedangkalanku sebagai manusia, sejuta pertanyaan dan gugatan terlontar kepada Tuhan. “Kenapa bukan aku saja yang Engkau panggil, Ya Allah? Mengapa harus dia? Mengapa dengan cara seperti ini? Mengapa harus saat ini? Mengapa? Ya Allah, Kau boleh ambil nyawaku, hamba siap menggantikannya. Dia masih sangat kami butuhkan, negara ini butuh dia.”

Rumah tiba-tiba dibanjiri manusia. Teman, kerabat, tetangga berdatangan. Bunga berjajar dari ujung jalan sampai ujung satunya. Alif bertanya, “Kenapa bunga itu tulisannya turut berduka cita untuk Abah?” Anakku, aku peluk dia, kukatakan bahwa Abah tidak akan pernah kembali lagi dari Belanda. Abah telah meninggal dan kita tidak akan pernah bertemu lagi dengannya.

Alif menangis dan protes, “Bukannya Abah hanya sekolah? Bukannya Abah akan pulang Desember? Kenapa kita tidak akan ketemu lagi?” Amel, guru yang selama ini melakukan terapi untuk Alif yang cenderung hiperaktif, segera menggendong dan membawa Alif ke luar. Maafkan, Nak. Aku tak berdaya bahkan untuk sekedar menjawab pertanyaanmu. Aku tidak mampu.

Teman-teman dari berbagai lembaga juga datang. Antara lain dari Kontras, Imparsial, International NGO Forum on Indonesian Development (INFID), Human Rights Working Group (HRWG), Teman-teman dari berbagai lembaga juga datang. Antara lain dari Kontras, Imparsial, International NGO Forum on Indonesian Development (INFID), Human Rights Working Group (HRWG),