P ERJUANGAN merebut ruang ingatan untuk mengungkap

P ERJUANGAN merebut ruang ingatan untuk mengungkap

pelanggaran politik di masa lalu, sangat boleh jadi, adalah pelanggaran politik di masa lalu, sangat boleh jadi, adalah

Beberapa perempuan sepuh dari Plaza de Mayo, Argentina yang saya temui dalam Forum Sosial Dunia di Porto Alegre, Brazil, Januari tahun 2003 mengungkapkan bahwa mereka terus berjuang untuk mengetahui di mana kerangka anak, suami dan anggota keluarga mereka yang dibunuh oleh junta militer di Argentina pada tahun 1980-an.

Ketika menemani korban pada acara aksi Kamisan 16 Agustus 2007, tepat pada Hari Ulang Tahun Kemerdekaan RI ke-62, seorang korban berkata pada saya, “Yang kita lakukan ini adalah kerja panjang yang mungkin baru berdampak pada generasi berikutnya. Tugas kita adalah menunjukkan kepada anak-anak kita bahwa penguasa cenderung menutup mata, telinga dan hatinya terhadap pelanggaran berat hak-hak asasi manusia; dan bahwa bangsa ini telah mengingkari sejarahnya sendiri.”

Namun tampaknya dekade kedua ‘reformasi’ tampaknya akan ditandai dengan arus balik, dengan kembalinya para tokoh yang secara kesejarahan ditengarai memiliki hubungan dekat dengan rezim otoritarianisme Orde Baru, dan para petualang politik yang menggunakan mekanisme demokrasi untuk kepentingan politik kelompok atau golongannya.

Pada saat yang sama, gelombang arus utama mendefinisikan “masa depan bangsa”, senantiasa dikaitkan dengan isu ekonomi dan kompetisi global. Persoalannya, kita terus menerus diguncang isu ekonomi, mulai dari naiknya pasar minyak dunia sampai krisis keuangan global yang menghantam sendi-sendi ekonomi yang Pada saat yang sama, gelombang arus utama mendefinisikan “masa depan bangsa”, senantiasa dikaitkan dengan isu ekonomi dan kompetisi global. Persoalannya, kita terus menerus diguncang isu ekonomi, mulai dari naiknya pasar minyak dunia sampai krisis keuangan global yang menghantam sendi-sendi ekonomi yang

Semua yang terkait soal kebijakan ekonomi yang semakin tergantung pada sistem ekonomi global dengan peran Negara di dalamnya itu tak hanya melumpuhkan, tetapi juga memunculkan kerinduan banyak orang pada kedamaian hidup dan kemakmuran (semu) di masa lalu.

Dengan demikian, ruang untuk memperjuangkan isu-isu pelang garan hak asasi manusia di masa lalu tak hanya menghadapi berbagai isu terkait dengan ekonomi yang menjadi fokus perhatian para pemimpin saat ini, tetapi terutama juga dengan ingatan kolektif sebagian warga akan kemudahan hidup di masa lalu itu. Hal itu tak sulit terjadi karena ideologi rezim Orde Baru telah berkerak di dalam darah sebagian warga.

Inilah fakta yang semakin membuat banyak orang percaya dengan pernyataan Churchill dibandingkan keyakinan para pembela hak asasi manusi, bahwa, masa depan suatu bangsa yang cerah hanya bisa dibangun dengan fondasi keadilan dan penghargaan pada hak asasi manusia, kalau ada penyelesaian bagi pelanggaran hak asasi manusia di masa lalu; dan bahwa harus ada kata “Cukup!” untuk kekejian terhadap kemanusiaan, agar kekejian serupa tak akan pernah dilakukan lagi.

A Namun, Undang-undang No 27 tahun 2004 mengenai Komisi

DA mekanisme politik yang bisa dilakukan untuk memaksa Negara menyelesaikan persoalan-persoalan masa lalu itu.

Kebenaran dan Rekonsiliasi yang memberi celah, telah dibatalkan pada bulan Desember tahun 2006, karena alasan teknis dan politis.

Para politisi selalu berlindung di balik pernyataan bahwa memaafkan dan rekonsiliasi bisa dilakukan tanpa pengungkapan kebenaran. Tampaknya mereka tak paham, atau tak mau paham, bahwa pengungkapan kebenaran, penegakan keadilan, pemutusan rantai impunitas, memaafkan dan rekonsiliasi, adalah satu paket.

Meski demikian, upaya memelihara r uang ingatan agar pengungkapan kebenaran tetap bisa dilakukan, terus berlangsung dengan berbagai cara. Salah satunya dengan menuliskan pengalaman di dalam buku yang sedang kita baca bersama ini. Upaya ini sangat penting karena pengalaman masa lalu mengajarkan kepada kita bagaimana sejarah versi tunggal penguasa dilembagakan melalui buku-buku sejarah anak-anak.

Upaya menuliskan kembali pengalaman sebagai korban dan keluarga korban itu merupakan langkah strategis dari kampanye melawan lupa, contre l’oublie, atau malah bisa dikatakan sebagai ‘kitab melawan lupa’ – meminjam istilah dari sastrawan Cekoslovakia, Milan Kundera.

Catatan-catatan korban dan keluarga korban dalam buku ini, bukanlah sesuatu yang sederhana kalau ditinjau secara lebih komprehensif. Begitu seseorang menuliskan pengalaman dan perasaannya, ia harus mengingat kembali apa yang pernah terjadi terhadap dirinya dan anggota keluarganya. Tentu saja tulisan ini bersifat sangat subyektif dan selalu ada kecenderungan memilih dan memilah bagian mana dari pengalaman yang harus diungkapkan.

Ingatan manusia pun terbatas untuk menampung hal-hal yang dikehendaki untuk ditampung. Pada banyak korban dan keluarga korban yang sampai hari ini tak ingin diketahui identitasnya, ingatan akan penderitaan terus diupayakan dengan sangat keras untuk ditekan jauh ke dalam, dan dijaga agar tidak muncul lagi ke permukaan. Benar kata sosiolog Anthony Storr, bahwa pada dasarnya orang cender ung melupakan hal-hal yang tak menyenangkan dalam hidupnya.

Pengalaman yang ditulis korban dan keluarga korban ini sebenarnya merupakan basis identitas. Hubungan antara ingatan dengan identitas merupakan proses dialektika karena baik ingatan mau pun identitas membentuk materi yang hendak dikomunikasikan dalam proses sosialisasi, sekaligus dibentuk oleh proses tersebut.

Ironisnya, situasi kontekstual di mana identitas dibangun dan dampaknya dalam seluruh kehidupan individu dan kelompok, kerapkali dilupakan. Banyak diskusi mengenai identitas mengesampingkan konteks politik yang melingkupi kehidupan individu atau kelompok yang sedang berupaya membangun identitasnya.

Seluruh struktur sosial tertanam dalam struktur sosial-politik, dan identitas merupakan manifestasi politik karena direfleksikan dan dipengaruhi keadaan sosial, ekonomi dan politik dalam kehidupan individu mau pun kelompok.

Jadi, identitas dipengaruhi oleh situasi sosial-politik kalau dikaitkan dengan kekuasaan. Oleh karena itu, siapa pun yang dianggap “liyan” atau “the other” senantiasa berada pada posisi subordinat.

Penolakan akses atau kesempatan sosial, ekonomi dan politik, senantiasa terkait dengan karakteristik yang ditentukan untuk Penolakan akses atau kesempatan sosial, ekonomi dan politik, senantiasa terkait dengan karakteristik yang ditentukan untuk

Penghakiman subyektif ini dapat bertransformasi ke dalam kategori “obyektif ” kalau digunakan untuk menutup akses bagi “liyan”. Pendek kata, apa yang tampaknya merupakan kriteria “obyektif ” sebenarnya lebih merupakan evaluasi subyektif yang bersifat sangat politis yang dikembangkan di dalam masyarakat.

Dengan demikian, tak sulit untuk memahami mengapa keluarga korban kekerasan politik, yang paling jelas pada korban tragedi tahun 1965, sulit mendapatkan akses untuk mendapatkan hak- hak dasarnya, seperti pendidikan, lapangan kerja, pelayanan kesehatan, hak bersuara, hak mengemukakan pendapat dan lain- lain untuk waktu yang sangat panjang. Mereka kehilangan hak- hak dasarnya sebagai warganegara, padahal mereka adalah warganegara.

UNGGUH tak mudah memelihara ingatan akan penderitaan yang tertinggal dalam diri seseorang. Itulah memoria passionis,

yang menurut teolog Jerman, Johannes B. Metz, bersifat dinamik dan memiliki kekuatan dahsyat, sehingga dapat digunakan secara positif mau pun negatif.

Saya teringat pada apa yang dikatakan Nani Nurrachman-Sutoyo, psikolog, bahwa, memoria passionis lebih tepat digunakan sebagai pergumulan nalar, moral dan spiritual, bukan sebagai pembenaran rasa iba bagi penderitaan. Semua itu dimaksudkan untuk memutus kebencian, prasangka dan dendam.

Nani, putri Mayjen Anumerta Sutoyo Siswomihardjo yang melakukan rekonsiliasi dengan para korban peristiwa tahun 1965 yang selama ini secara politis ditempatkan sebagai ”lawan” dari dirinya, menegaskan, dalam soal ingatan, individu berhadapan dengan diri sendiri. Tak ada yang harus ditakuti, kecuali ketakutan itu sendiri. Kekejian yang pernah terjadi tak boleh disangkali karena karena penyangkalan untuk menghapus peristiwa kekejaman dari sejarah justr u membuat orang tak bisa melupakannya.

Ingatan akan peristiwa itu akan terus berada di bawah sadar ingatan kolektif, yang kalau tidak dikelola akan menjadi bibit- bibit kekerasan baru karena di sana ada kekecewaan, dendam dan rasa mau membalas. Itulah yang dikatakan Nani sebagai sifat negatif memori yang dinamik.

Proses rekonsiliasi politik di ruang publik, tak bisa tidak, tampaknya harus berawal dari proses rekonsiliasi dengan diri sendiri. Buku ini, menurut saya, sangat berarti bagi proses itu. Saya menaruh perhatian besar pada proses individual karena menemukan banyak korban dan keluarga korban yang tak pernah selesai dengan proses itu, sehing ga perjuangan untuk mengungkapkan kebenaran dan menegakkan keadilan yang merupakan kegiatan di ruang publik terasa sangat berat dan tertatih-tatih karena energi individu dan kolektif terkuras untuk menghadapi situasi di dalam diri.

Membuat testimoni dengan menuliskan pengalaman yang terpahit, adalah proses rumit dan berat untuk membongkar ingatan akan penderitaan, dan menjadikannya sebagai terapi untuk menyembuhkan, dan kemudian untuk memaafkan, pertama-tama pada diri sendiri.

Upaya merebut sifat positif dari memori yang dinamik itu lebih merupakan proses yang bersifat filosofis dan spiritual: suatu perjalanan yang sangat panjang untuk menemui diri sendiri.

Daftar bacaan

1. Lewis A. Coser (end), Maurice Halbwachs On Collective Memory, Chicago & London: The University of Chicago Press, 1992

2. Barry D. Adam, The Survival of Domination: Inferiorization and Everyday Life, New York: Elsevier, 1978

3. Anthony Storr, Human Destructiveness, New York: Ballantine, 1991

4. Herbert Hirsch, Genocide and the Politics of Memory: Studying Death to Preserve Life , North Carolina: University of North Carolina Press, 1995