P ada 8 September 2004, aku menjemput jenazah suamiku.

P ada 8 September 2004, aku menjemput jenazah suamiku.

Bersama Poengky dan Ucok dari Imparsial, Usman dari KontraS, dan Rasyid kakak Munir, aku berangkat ke Belanda. Ya Tuhan, beri aku kekuatan-Mu, begitu doaku sepanjang perjalanan.

Di ruang Mortuarium Schipol, jasad Munir terbujur kaku. Kami tiada tahan untuk tidak histeris. Usman melantunkan doa-doa yang membuat kami tenang kembali.

Sejenak aku ingin hanya berdua dengan suami tercintaku. Aku meminta teman-teman keluar dari ruangan. Aku pandangi Munir dalam derai air mata. Tak tahu lagi apa yang kurasakan saat itu. Sedih, hampa, kosong.

Lalu, kupegang tangannya. Kupandangi dia. Teringat saat-saat indah ketika kami bersama. Tiba-tiba ada rasa lain yang membuat aku menerima kenyataan ini. Aku harus merelakan kepergiannya. Doa-doa kupanjatkan. Ya Allah, berilah suamiku tempat terhomat disisi-Mu. Amien.

Di Batu, 12 September 2004, kota kelahirannya, Munir disemayamkan. Pelayat seolah tiada habisnya datang. Handai taulan, sahabat, teman-teman buruh, petani, mahasiswa, aktivis, wartawan semua ada. Banyak yang tidak tidur menunggu esok Di Batu, 12 September 2004, kota kelahirannya, Munir disemayamkan. Pelayat seolah tiada habisnya datang. Handai taulan, sahabat, teman-teman buruh, petani, mahasiswa, aktivis, wartawan semua ada. Banyak yang tidak tidur menunggu esok

Hari itu, masjid terbesar di Batu, tempat Munir disholati, tidak sanggup menampung semua yang hadir. Perlu antre bergantian untuk sholat jenazah. Kota Batu yang selama ini sepi mendadak dipadati manusia. Melimpahnya “tamu” Munir ini bagai suntikan semangat bagiku. Bahwa ternyata bukan aku dan keluarga saja yang merasakan kedukaan ini. Dukungan yang mereka berikan membuatku kuat.

Seperti menanam sesuatu maka kamu akan memanennya, itulah yang aku buktikan hari ini. Aku melihat yang dilakukan Munir selama ini membuktikan apa yang dia perbuat. Munir selalu mencoba berjuang bagi tegaknya keadilan dan perdamaian. Dia berteriak lantang menyuarakan keadilan bagi korban, baik di Aceh, Papua, Ambon, dan di mana saja.

Keberanian dan sikap kritisnya terhadap penguasa memang harus dibayar mahal oleh nyawanya sendiri dan juga oleh keluarga yang ditinggalkannya ‘anak dan istrinya’.

Tak mudah bagiku mencerna kehilangan ini. Perlu proses untuk menerima, mengikhlaskan kepergian Munir, dan menerima bahwa ini adalah kehendak-Nya. Jika Tuhan sudah berkehendak, maka siapa pun dan dengan cara apa pun tidak akan mampu mengelak. Keyakinan bahwa hidup-mati manusia adalah kehendak-Nya itu membuat aku bangkit lagi.

Munir adalah manusia, sama sepertiku dan yang lainnya, yang bisa mati. Kemarin, sekarang, atau besok, itu hanya persoalan waktu. Sakit, diracun, atau ditembak itu hanya persoalan cara. Kematian adalah keniscayaan. Suka atau tidak suka, kita tetap Munir adalah manusia, sama sepertiku dan yang lainnya, yang bisa mati. Kemarin, sekarang, atau besok, itu hanya persoalan waktu. Sakit, diracun, atau ditembak itu hanya persoalan cara. Kematian adalah keniscayaan. Suka atau tidak suka, kita tetap

Sepenggal doa Sayyidina Ali, sahabat Nabi Muhammad SAW, membuatku bertambah yakin bahwa aku harus bangkit:

“Ketika kumohon kekuatan, Allah memberiku kesulitan agar aku menjadi kuat. Ketika kumohon kebijaksanaan, Allah memberiku masalah untuk kupecahkan. Ketika kumohon kesejahteraan, Allah memberikan aku akal untuk berpikir. Ketika kumohon keberanian, Allah memberiku kondisi bahaya untuk kuatasi. Ketika kumohon sebuah cinta, Allah memberiku orang-orang bermasalah untuk kutolong. Ketika kumohon bantuan, Allah memberiku kesempatan. Aku tidak pernah menerima apa yang kupinta, tapi aku menerima segala yang kubutuhkan.”

Kucoba untuk merenung. Kuteguhkan hati bahwa ini bukan sekedar takdir, tapi ada misteri yang menyelubungi. Misteri yang harus diungkap. Aku harus berbuat sesuatu. Bersyukur, aku tidak sendirian dalam kedukaan ini. Banyak teman yang peduli kepada kami sekeluarga.

Dua bulan kemudian, tepatnya 11 November 2004, Rachland dari Imparsial menghubungiku. Dia mengabarkan ada wartawan dari Belanda ingin mewawancarai. Dia juga bertanya, apakah aku sudah mengetahui hasil otopsi yang dilakukan pihak Belanda terhadap almarhum Munir. Hasil otopsi itu kabarnya diserahkan kepada pemerintah Indonesia melalui Departemen Luar Negeri.

Aku berharap teman-teman memiliki jaringan ke Departemen Luar Negeri. Tapi, rupanya tidak. Aku pun menelepon 108 – Aku berharap teman-teman memiliki jaringan ke Departemen Luar Negeri. Tapi, rupanya tidak. Aku pun menelepon 108 –

Entah, keberanian dari mana yang menyusup dalam diriku waktu itu. Aku tanpa ragu menghubungi dan berbicara dengan mereka, semua pejabat itu. Kebetulan, semua nomor telepon pejabat- pejabat penting itu terekam dalam telepon genggam suamiku.

Kepada para petinggi itu, aku bertanya, “Kenapa aku sebagai orang terdekat almarhum, tidak diberitahu tentang otopsi? Apa yang terjadi padanya? Apa hasilnya?” Mereka tidak memberikan jawaban. Padahal, sebagai isteri korban, aku memiliki hak yang tak bisa diabaikan begitu saja.

Pukul 10.00 malam, Menteri Koordinator Politik dan Keamanan Widodo AS meneleponku. Menurut dia, hasil otopsi telah diserahkan kepada Kepala Bagian Reserse dan Kriminal Suyitno Landung, Markas Besar Kepolisian Republik Indonesia (Mabes Polri). Malam itu juga aku menelepon kepala badan reserse dan kriminal (Kabareskrim). Aku meminta bertemu dengan dia esok paginya.

Bersama Al Ar’af dari Imparsial, Usman Hamid dari KontraS, Binny Buchori dari INFID, Smita Notosusanto dari Center for Electoral Reform (CETRO), dan beberapa kawan, pagi 12 No- vember 2004 aku mendatangi kantor Pak Landung di mabes Polri.

Pagi itu pula aku menghadapi kenyataan yang menyakitkan. Benarlah dugaanku bahwa ada yang aneh pada kematian Munir. Hasil otopsi itu menjelaskan dengan gamblang bahwa kematian Pagi itu pula aku menghadapi kenyataan yang menyakitkan. Benarlah dugaanku bahwa ada yang aneh pada kematian Munir. Hasil otopsi itu menjelaskan dengan gamblang bahwa kematian

Ternyata dia memang dibunuh...!