Pengawasan Terhadap Hakim dalam Perspektif Hukum Progresif di Indonesia

B. Pengawasan Terhadap Hakim dalam Perspektif Hukum Progresif di Indonesia

Progresif berasal dari kata 35 yang berarti kemajuan. Untuk menuju hukum progresif, tidak hanya didukung oleh peraturan perundangan-undangan

progress

saja. Hal ini searah dengan teori efektivitas hukum menurut Lawrence Meier Friedman bahwa hukum yang baik, harus selalu memuat unsur-unsur sistem

33 O.C. Kaligis, 2014, Cet. Ke-2, Kejahatan Jabatan dalam Sistem Peradilan Terpadu, PT Alumni, Bandung, Hal. 53.

34 A. Sukris Sarmadi, 2012, ‘Membebaskan Positivisme Hukum ke Ranah Hukum Proُresiَ (Studi Pem bacaan Teks Hukum baُi Peneُak Hukum)’, Jurnal Dinamika Hukum, Vol. 12, No. 2, Hal. 335.

35 Kamus Besar Bahasa Indonesia

hukum, yaitu struktur hukum ( legal structure ), subtansi hukum ( legal subtance ) dan budaya hukum ( legal culture ). 36 Indonesia sebagai negara hukum harus mampu dan bangkit dari keterpurukan hukum. Di dalam hukum progresif, terkandung moralitas kemanusiaan yang sangat kuat. Jika etika atau moral manusia telah luntur, maka penegakan hukum tidak tercapai, sehingga membangun masyarakat untuk sejahtera dan kebahagiaan manusia tidak akan terwujud. Pembangunan pondasi dari kesadaran mental ini adalah dengan perbaikan etika, pembinaan moral, atau pembinaan karakter diri seorang hakim sebagai individu menjadi hakim yang bermoral. Hakim masa depan dalam konteks Indonesia sekarang yang kian kompleks dan akan datang adalah hakim-hakim progresif, yaitu hakim-hakim yang memiliki kepekaan sosial dalam melihat konteks dan selalu menakar teks-teks hukum normatif dengan konteks dimana dan terhadap kasus apa yang sedang ia tangani.

Hakim-hakim progresif adalah hakim-hakim yang diharapkan menegakkan hukum untuk mewujudkan keadilan substantif, tidak sekadar keadilan prosedural; tidak sekadar menerapkan rechtsmatigheid tapi juga doelmatigheid. Tuntutan kualitas hakim tidak hanya moralitas, intelektualias, tetapi juga keberpihakan. Hakim sebagai salah satu yudisi activism dalam peranannya harus mempunyai sikap yang dapat melindungi masyarakat, yang menjaga marwah hukum supaya ditegakkan sebagaimana apa yang diharapkan. Hakim merupakan pekerjaan ilmiah, artinya hakim harus mengembangkan pengetahuaanya, putusan berbobot atau tidak tergantung pada pertimbangan hukumnya, sehingga hakim tidak menggunakan putusan yang sama dengan kasus yang seolah-olah sama, karena antara kasus mempunyai alasan yang berbeda.

Dalam konteks hukum positif, aturan baik-buruk atau benar-salah dapat diukur dengan menempatkannya pada ketentuan peraturan perundang-undangan. 37

Contohnya, seseorang yang kedapatan mencuri. Dalam aturan hukum postif, mencuri itu dapat diganjar dengan aturan perundang-undangan. Akan tetapi, mencuri dapat pula diganjar dengan hukuman yang bersifat etis yang dalam

36 Yopi Gunawan, Kristian, Op. Cit., Hal. 1. 37 Sukarno Aburaera, Muhadar, dan Maskun, 2013, Filsafat Hukum Teori dan Praktik,

Kencana, Jakarta, Hal. 159 Kencana, Jakarta, Hal. 159

Keadilan adalah nilai dan keutamaan yang paling luhur, dan merupakan unsur penting dari martabat dan harkat manusia. 38 Keadilan merupakan kebutuhan

pokok rohaniah setiap orang dan merupakan perekat hubungan sosial dalam bernegara. Pengadilan merupakan tiang utama dalam penegakan hukum dan keadilan serta dalam proses pembangunan peradaban bangsa. Hakim sebagai figure sentral dalam proses peradilan senantiasa dituntut untuk mengasah kepekaan nurani, memelihara kecerdasan moral dan meningkatkan profesionalisme dalam menegakkan hukum dan keadilan bagi masyarakat banyak.

Menurut Hart, bahwa adil dan tidak adil merupakan bentuk kritik moral yang lebih spesifik dari pada baik dan buruk, atau benar dan salah, terlihat jelas dari fakta bahwa kita mungkin secara logis mengklaim sebuah hukum adalah baik karena hukum itu adil, atau bahwa hukum itu buruk karena tidak adil, namun kita tidak bisa mengkalim bahwa hukum itu adil

karena baik, atau tidak adil karena buruk. 39 Putusan pengadilan yang adil menjadi puncak kearifan bagi penyelesaian

permasalahan hukum yang terjadi dalam kehidupan bernegara. 40 Putusan pengadilan selalu diawali dengan ucapan “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan

Yanُ Maha Esa” yang mengandung tanggungjawab secara horizontal maupun secara vertikal. Horizontal berarti pertanggungjawaban kepada sesama manusia dan vertikal berarti pertanggungjawaban kepada Tuhan Yang Maha Esa. Hal ini sebagaimana sesuai dengan sabda Rasulullah SAW yang diriwiyatkan oleh Abu Daud yanُ berbunyi “Hakim itu ada tiُa ُolonُan, satu ُolonُan masuk surُa dan dua golongan masuk neraka. Adapun yang masuk surga adalah hakim yang mengetahui/memahami kebenaran hukum dan ia memutus perkara berdasarkan kebenaran itu. Adapun golongan hakim yang masuk neraka adalah hakim yang mengetahui/memahami kebenaran hukum tetapi ia sengaja memutus perkara secara menyimpang dari kebenaran itu, dan hakim yang memutus perkara atas dasar kebodohan (ketidaktahuan) ” (H.R. Abu Daud). Berdasarkan hal demikian,

38 Suhrawadi K. Lubis, Op. Cit., Hal. 9. 39 Petrus C. K. L. Bello, 2013, Hukum dan Moralitas: Tinjauan Filsafat Hukum, Erlangga,

Jakarta, Hal. 39. 40 Surat

Republik Indonesia No. KMA/104A/SK/XII/2006 tanggal 22 Desember 2006 tentang Pedoman Perilaku Hakim.

Keputusan

ketua

Mahkamah

Agung

Al- Qur’an telah meneُaskan bahwa, “ Sesungguhnya Allah menyuruh kamu untuk berlaku adil...” (Q.S. An-Nahl: 90).

Demi tegaknya keadilan, hakim dalam memberikan putusan perlu adanya pengawasan. Kata pengawasan berasal dari kata “awas” yanُ artinya antara lain “kontrol”. 41 Kontrol dalam hal ini mempunyai dua padanan yaitu pengawasan dan

pengendalian. Pada hakikatnya pengawasan merupakan suatu tindakan menilai apakah suatu telah berjalan sesuai dengan rencana yang telah ditentukan. Dengan pengawasan tersebut akan dapat ditemukan kesalahan-kesalahan yang akhirnya kesalahan-kesalahan tersebut akan dapat diperbaiki dan yang terpenting jangan sampai kesalahan tersebut terulang kembali. Pengawasan dalam arti sempit merupakan segala usaha atau kegiatan untuk mengetahui dan menilai kenyataan yang sebenarnya tentang pelaksanaan tugas atau pekerjaan, apakah hal tersebut telah sesuai ataukah belum sama sekali. Sedangkan pengendalian merupakan sebuah usaha atau kegiatan untuk menjamin dan mengarahkan agar pelaksanaan tugas atau pekerjaan sesuai dengan yang semestinya.

Ungkapan Taverne yang sangat terkenal dalam teori hukum geef me geode rechters, geode rechter commissarisson, geode officeren van justitie en geode politie ambetenaren, en ik zal met een slecht wet boek van strafprocesrecht het geode bereiken (berikan kepada saya hakim-hakim yang baik, hakim-hakim komisaris yang baik, jaksa-jaksa yang baik, dan petugas-petugas polisi yang baik, dan walaupun saya dibekali dengan kitab undang-undang pidana yang buruk (namun) saya akan dapat melaksanakan tugas dengan baik. 42

Hukum progresif diperlukan untuk membangkitkan hukum positif Indonesia dari keterpurukannya terkait pengawasan terhadap apratur penegak hukum. Hukum yang progresif mengajarkan bahwa hukum bukanlah raja, tetapi alat untuk menjabarkan dasar kemanusiaan yang berfungsi memberikan rahmat kepada dunia dan manusia. Karena hukum merupakan salah satu bagian dari upaya perubahan. Untuk menuju ranah hukum progresif, hukum diprinsipkan dalam konsep sebagai berikut: 43

1. Asumsi dasar hukum haruslah untuk manusia bukan untuk dirinya sendiri hukum itu diadakan.

41 Kamus Besar Bahasa Indonesia. 42 Ridwan, ‘Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi’, Matakuliah Hukum Pidana Khusus,

Serang, 13 Oktober, 2015. 43 A. Sukris Samadi, Op. Cit., Hal. 338.

2. Hukum progresif tidak menerima hukum sebagai institusi yang mutlak serta final.

3. Hukum tidak boleh melepaskan dirinya dari tujuan sosialnya.

4. Hukum mengabdi kepada manusia, karenanya tidak boleh mengabaikan hati nurani manusia.

5. Hukum harus bermoral.

6. Hukum progresif merupakan koreksi terhadap kelemahan sistem hukum modern yang sarat dengan birokrasi serta ingin membebaskan diri dari dominasi suatu tipe hukum liberal.

7. Hukum harus selalu berada dalam proses untuk terus menjadi. Pengawasan dalam perspektif hukum progresif lebih mengutamakan

pengaturan yang bermoral. Dalam hukum progresif terkandung moralitas kemanusiaan yang sangat kuat. Jika etika atau moral aparatur penegak hukum khususnya hakim telah luntur, maka akan sulit untuk membangun pribadi seorang hakim yang berintegritas. Pembangunan pondasi kesadaran mental ini dengan perbaikan akhlak, pembinaan moral atau pembinaan karakter diri supaya menjadi hakim yang bersikap mulia dan bertingkah laku terpuji seperti digambarkan dalam “Panca Brata Hakim”.

Panca Brata Hakim 44

Kartika

Sifat percaya dan takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, sesuai dengan agama dan kepercayaan masing-masing menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab.

Cakra

Sifat mampu memusnahkan segala kebhatilan, kezaliman dan ketidakadilan.

Candra

Sifat bijaksana dan berwibawa

Sari Berbudi luhur dan berkelakuan tidak tercela Tirta

Jujur

Moral dalam bahasa Latin (Yunani), yaitu moralis mos, moris berarti adat, istiadat, kebiasaan, cara, tingkah laku, dan kelakuan. Atau berarti mores ,

gambaran adat istiadat, kelakuan tabiat, watak, akhlak, dan cara hidup. 45 Etika dan moral keduanya saling berkaitan, etika membebani kita dengan kewajiban moral,

yang mana berbeda dengan kewajiban yang dibebankan dalam norma hukum. Namun, berbeda dengan kewajiban dalam norma hukum, kewajiban moral ini tidak mempunyai kekuatan mengikat untuk dipaksakan penerapannya, artinya tidak menimbulkan akibat hukum. Norma moral bersifat otonom, bukan

44 Ikatan Keluarga Hakim Indonesia (IKAHI), Panca Brata Hakim, Profil IKAHI, http://ikahi.or.id/ Diakses pada 20 Januari 2017 Pukul 02.10 WIB.

45 Sukarno Aburaera, Muhadar, dan Maskun, Op. Cit., Hal. 162.

heteronom, sehingga penegakannya tidak dapat dipaksakan melalaui daya

pemaksa eksternal (oleh penguasa). 46

Hubungan hukum, moral dan agama, digambarkan oleh Sir Denning dalam bukunya The Changing Law, yanُ menُatakan “ without religion there can be no morality, and without morality there can be no law 47 ”. Tidak akan ada moral tanpa agama, dan tidak akan ada hukum tanpa moral. Artinya, hukum bisa ditegakkan jika dilandasi dengan moral, dan moral bisa ditegakkan jika dilandasi oleh agama.

Moral erat kaitannya dengan berhasil-tidaknya penegakan hukum. Namun terdapat keutamaan yang lebih berpengaruh daripada keutamaan moral, yaitu keutamaan teologal. Berbeda dengan keutamaan moral, yang bersumber atau

merupakan hasil usaha manusia semata-mata. Teologal merupakan anugerah dari Tuhan Yang Maha Kuasa, yang di dalam dienul Islam dapat berupa iman, islam, dan ihsan. Dalam kaitannya dengan profesi hukum seperti yang dikemukakan oleh

Suhrawadi, sebagai berikut. Keterkaitan keutamaan Teologal ini dengan profesi hukum tentunya

sangat erat sekali, sebab seorang yang telah membaja imannya dia tidak guncang dan terombang ambing dalam menghadapi segala sesuatu yang berkaitan dengan profesinya, dia akan bersikap tenang dalam menghadapi problema, dan otomatis dalam jiwanya akan tumbuh dengan subur rasa persaudaraan, persamaan dan kemanusiaan, dan otomatis sifat dengki,

cemburu, cita pangkat/kekuasaan, dendam akan terkikis dari hatinya. 48 Pengoptimalan pengawasan terhadap hakim sebagai penegak hukum dan

keadilan perlu dilakukan penguatan tidak hanya dalam segi pengaturannya saja. Searah dengan teori efektivitas hukum oleh Lawrence meier Friedman, maka diperlukan juga penguatan pada unsur-unsur sistem hukum lainnya, yaitu penguatan pada lembaga hukum dan penguatan pada budaya hukum. Perpaduan antara hukum yang baik, institusi yang kuat dan orang-orang yang baik yang memiliki karakter merupakan persyaratan yang memberikan harapan bagi penegakan hukum di masa depan. Penguatan-penguatan yang dapat dilakukan untuk mengoptimalkan pengawasan terhadap hakim, antara lain:

46 Boy Nurdin, 2012, Kedudukan dan Fungsi Hakim dalam Penegakan Hukum di Indonesia, PT Alumni, Bandung, Hal. 112.

47 Suparman Usman, ‘Hubunُan Hukum, Moral, dan Aُama’, Matakuliah Filsafat Hukum, Serang, 21 November, 2016.

48 Suhrawadi K. Lubis, Op. Cit., Hal. 23.

1. Harus diatur secara tegas dengan sanksi yang tegas mengenai kewajiban pihak-pihak, dalam hal ini hakim yang melanggar kode etik dan pedoman perilaku kehakiman untuk memenuhi panggilan, menyerahkan bukti atau memberi persetujuan kepada Komisi Yudisial.

2. Patut dimuat jaminan hak imunitas fungsional ( functional immunity ) bagi anggota Komisi Yudisial, sehingga mereka akan dapat melaksanakan tugas dan kewajiban secara benar-benar independen tanpa gangguan atau gangguan ancaman.

3. Penyeleksian calon hakim harus memiliki integritas dan kompetensi ( knowledge, intelektual, dan skill );

4. Perekrutan yang fair dan tidak boleh KKN dengan adanya transparansi dalam perekrutan calon hakim yang sesuai prosedur untuk menghindari terjadinya korupsi, kolusi, dan nepotisme;

5. Promosi harus fair dengan adanya transparansi dalam penaikan pangkat hakim yang dinilai dari kemampuan dan prestasi yang diraih oleh hakim;

6. Pembenahan terhadap birokrasi penegak hukum dan prosedur, dengan memberikan sanksi yang tegas kepada para aparatur penegak hukum yang melakukan perbuatan yang dilarang dalam prosedur.